Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Kongres One Health : FAO dan Kementan Bawa Poster Penggunaan Antibiotik


Drh Ni Made Ria Ria Isriyanthi PhD berpose di papan poster hasil riset penggunaan antibiotik (Foto: Istimewa)

Kongres One Health yang berlangsung di Saskatoon, Kanada pada 22 - 25 Juni 2018, Food and Agricultural Organization (FAO) Emergency Centre for Transboundary Animal Disease (ECTAD) serta Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian membawa isu resistensi antimikroba dan One Health dalam bentuk poster.

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Obat Hewan Kementan RI, Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD yang mewakili Indonesia dalam kongres ini mengatakan poster yang dibawa dalam kongres ini berupa hasil riset penggunaan antibiotik di peternakan broiler skala kecil dan menengah di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan sebagai pusat produksi peternakan ayam broiler di Indonesia.

Ni Made Ria Isriyanthi (kanan) bercengkrama dengan peserta kongres
Implementasi rencana aksi nasional pengendalian resistensi antimikroba 2017- 2019 kerja sama dengan FAO melibatkan lintas kementerian yakni Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kemenristekdikti, Kementerian Pertahanan, BPOM, WHO, dan FAO.

Dalam rencana aksi ini meliputi peningkatan kesadaran dan pemahaman resistensi antimikroba, meningkatkan pengetahuan melalui surveilance dan penelitian, mengoptimalkan penggunakan antimikroba secara bijak pada manusia dan hewan, serta meningkatkan investasi temuan obat alat diagnostik dan vaksin baru untuk menurunkan penggunaan antimikroba.

Pemerintah Indonesia, kata Ni Made, telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan berlaku efektif mulai 1 Januari 2018. Kementerian Pertanian memperketat pengawasan terhadap peternak dan menyiapkan sanksi bagi yang melanggar.

Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan terdapat dalam Pasal 16 Permentan Nomor 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pasal 17 menjelaskan percampuran obat hewan dalam pakan untuk terapi sesuai dengan petunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan. Larangan tersebut mengacu pada UU No 41/2014 Jo. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif. Satu di antara contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunaan antibiotika.

Bahaya lain resistensi antimikroba juga mengancam kemampuan tubuh dalam mengobati penyakit sehingga menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Jika tubuh kebal terhadap antimikroba, maka prosedur medis seperti transplantasi organ, kemoterapi, pengobatan diabetes, dan operasi besar menjadi sangat berisiko.

Dokter Hewan Pebi Purwo Suseno dari Direktorat Kesehatan Hewan mengatakan, poster untuk One Health dalam kongres ini menyampaikan berbagai program yang telah dilakukan Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan satu di antara negara terbaik dalam implementasi pendekatan ini. Untuk skala Asia Tenggara, Pebi berani menyatakan Indonesia adalah yang terbaik.

“Karena implementasi One Health kita hingga tingkat lapangan sudah baik. Negara lain masih sekadar konsep, kita sudah mengimplementasikannya,” katanya.

Isu Global

Isu resistensi antimikroba atau antimicrobial agents and resistance (AMR), menurut Chief Technical Advisor FAO ECTAD, Luuk Schoonman menjadi persoalan global yang dibahas dalam Kongres One Health tahun ini. AMR dibahas dalam sesi khusus di Kanada yang melibatkan para akademisi kampus.

The 5th International One Health Congress
Sesi khusus tersebut di antaranya membicarakan tentang penggunaan agen antimikroba, penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan, makanan dan pertanian, serta hubungan antara AMR dan dampak lingkungan. Satu di antaranya adalah Jaap Wagenaar dari Universitas Utrecth Belanda. Jaap Wagenaar mengenal baik Indonesia karena pernah menjadi konsultan tentang vaksinasi dan AMR.

Semua anggota PBB, termasuk Indonesia, punya komitmen mengurangi bakteri antimikroba. AMR menjadi penting karena berhubungan dengan pemenuhan produksi daging oleh binatang dan konsumsi manusia. “Menjadi persoalan di Indonesia adalah penggunaan antibiotik yang berlebih,” terang Luuk.

FAO menekankan semua negara menggunakan perannya untuk mengatasi resistesi antimikroba, misalnya mendorong peternak menerapkan biosekuriti untuk melawan berbagai serangan penyakit pada hewan dan vaksinasi.

Ketika terjadi AMR, maka produksi pangan terganggu dan membahayakan manusia. Penggunaan antibiotik berlebihan pada ternak seperti ayam broiler dan petelur membahayakan tubuh manusia. One Health  menggunakan pendekatan kesehatan hewan, kesehatan manusia, dan lingkungan.

FAO dan WHO sebagai bagian dari PBB berkolaborasi melalui One Health untuk mengatasi AMR. Fokus FAO adalah memastikan ketersediaan pangan dan kesehatan hewan ternak. Pada kesehatan hewan ternak, misalnya, mengantisipasi penyakit. “Keamanan produksi pangan dan konsumsi yang sehat harus dijamin sepenuhnya,” tegas Luuk. (Tempo/NDV)


Gubernur Aher Resmikan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Unpad

Momen peresmian Rumah Sakit Hewan Pendidikan di Unpad

Gubernur Jawa Barat Dr Ahmad Heryawan atau Aher meresmikan awal pembangunan Rumah Sakit Hewan Pendidikan di Universitas Padjadjaran (Unpad) Kampus Jatinangor, Sabtu (9/6/2018). Peresmian ini ditandai dengan peletakan batu pertama bersama Rektor Unpad, Tri Hanggono Achmad.

Aher menyampaikan sejarah kelahiran Program Studi Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Unpad. Pada Idul Adha 2015, kata dia, ditemukan cacing di dalam hati sapi kurban. Saat itu juga Aher mengerahkan dokter hewan dan dinas terkait untuk memeriksa semua hewan kurban.

"Saat itu saya melihat betapa penting peran dokter hewan. Jumlah dokter hewan di kita ternyata sedikit. Di situ saya menilai harus memperbanyak jumlah dokter hewan dengan membuka Jurusan Kedokteran Hewan," ungkapnya Aher.

Kata Aher, di Indonesia waktu itu hanya terdapat tujuh Jurusan Kedokteran Hewan dan hanya bisa menghasilkan 400 dokter hewan per tahun. Menurutnya, kebutuhan dokter hewan di Indonesia 1.200 dokter per tahun.

Oleh karenanya, tahun 2016 Program Studi Kedokteran Hewan pun dibuka di Universitas Padjadjaran yang berlokasi di Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Dalam waktu yang bersamaan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga membuka rumah sakit hewan di Lembang dan akhirnya menjadi rumah sakit hewan pertama di Indonesia.

“Kesehatan hewan peliharaan dan hewan ternak harus dijamin kesehatannya demi kesehatan manusia,” tegasnya.

Penghargaan dari PDHI  

Komitmen dan perhatiannya dalam mendukung peningkatan dokter hewan di Jawa Barat dan Indonesia, Aher menerima penghargaan “Manusya Mriga Satwa Sewaka” dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Pemberian anugerah diberikan langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar PDHI, Dr drh Heru Setijanto.

Ketua PDHI (kiri) memberi penghargaan untuk Aher
Aher tercatat telah mempelopori Jurusan Kedokteran Hewan di Unpad, mendirikan Rumah Sakit Hewan di Lembang yang merupakan yang pertama di Indonesia, dan mendirikan Rumah Ssakit Hewan Pendidikan di Unpad.

Dia menuturkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengucurkan dana Rp 20 miliar untuk pembangunan tahap awal RSHP Unpad.

Lanjutnya, tidak hanya untuk menjamin kesehatan hewan ternak, tenaga kesehatan hewan pun dibutuhkan untuk menjamin kesehatan hewan peliharaan bahkan hewan liar. Provinsi Jawa Barat, ujarnya, harus mencegah penularan TBC dan rabies dari anjing atau monyet ke manusia.

Sementara itu, Rektor Unpad menyatakan apresiasinya kepada Aher yang menaruh perhatian begitu besar pada bidang pendidikan serta kesehatan.

"Unpad pun tengah berupaya untuk meratakan persebaran dokter di Jawa Barat dengan program beasiswa," pungkasnya. (Antara/Unpad)

Rawan Hijauan Pakan, (Masihkah) Silase jadi Solusi

Bahan baku seperti rumput raja, dedak padi dan molasses. (Foto: Dok. pribadi)

((Ketahanan pakan bukan melulu soal sukses menyediakan, tetapi juga soal kemampuan bertahan menghadapi segala kemungkinan.))

Teknologi silase, terdengar bukan sebagai penemuan kekinian. Puluhan tahun yang lalu teknologi ini sudah diperkenalkan, khususnya di negara-negara subtropis dengan empat pola musim. Bagi mereka, silase hijauan pakan ruminansia adalah keniscayaan untuk ketahanan pakan pada musim dingin, di mana sulit ditemukan cadangan pakan hijauan di lahan yang tertutupi salju.

Hijauan Fermentasi di Indonesia
Di Indonesia, teknologi silase atau yang biasa disebut hijauan pakan fermentasi, didengungkan sebagai solusi mengatasi kerawanan hijauan di musim kemarau. Namun, realita di lapangan hingga kini, jarang ditemukan peternak dan kelompok peternak yang secara masif memproduksi silase sebagai kebutuhan pokok untuk mempertahankan ketahanan pakan. Berbagai penyuluhan yang diberikan kepada mereka, dari tahun ke tahun, tidak diimplementasikan secara berkesinambungan. Hal ini bisa jadi disebabkan karena kekayaan sumber daya alam Indonesia. Berbagai jenis hijauan pakan mudah ditemukan dan tumbuh subur. Bahkan beberapa daerah disebut sebagai lumbung pakan hijauan. Kondisi kekeringan di musim kemarau pun dianggap masih aman, karena masih bisa ditemukan beberapa spesies tanaman tahan kering seperti lamtoro, ada masih cukupnya suplai hijauan yang didatangkan dari daerah lumbung pakan. Sehingga lumrah, bila masyarakat masih enggan memproduksi silase terus-menerus sebagai kebutuhan, karena menambah biaya produksi mereka.

Berbeda dengan masyarakat peternak, justru industri peternakan ruminansia yang kerap memanfaatkan teknologi silase untuk efisiensi produksi pakan. Limbah industri pertanian kerap di-mix dengan berbagai bahan pakan sumber serat, untuk difermentasi menjadi silase komplit. Satu jenis ransum komplit tersebut lebih menjamin ketersediaan pakan sepanjang musim produksi, menjamin kestabilan kualitas pakan, serta efisiensi penggunaan tenaga kerja.

Pembuatan hijauan fermentasi secara sederhana.
(Foto: Dok. pribadi)
Tantangan Kerawanan Pakan Hijauan
Urgensi ketersediaan pakan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, bukan lagi hanya disebabkan karena semakin menurunnya jumlah lahan hijauan pakan yang tergerus cepatnya arus pembangunan pemukinan dan industri, namun juga karena faktor bencana alam. Betul, negara ini memang harus bersahabat dengan alam dan memahami bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah rawan bencana, seperti gempa bumi dan tanah longsor, serta banjir mampu meluluh-lantakkan lahan pertanian, demikian juga dengan letusan gunung merapi. Awal Mei kemarin, Yogyakarta dan sekitarnya kembali merasakan hujan abu akibat erupsi freatik Gunung Merapi. Abu yang di keluarkan gunung berapi terbang dan menyelimuti seluruh kehidupan, termasuk lahan pertanian. Kondisi ini mengingatkan pada erupsi Gunung Kelud dan Merapi beberapa tahun sebelumnya, yang terjadi hingga lebih dari tiga hari. Namun, pengaruh dari abu vulkanik yang menempel pada permukaan tanaman bertahan hingga sebulan lebih, yang menyebabkan gagal panen dan kelangkaan hijauan pakan. Peternak ruminansia mengeluhkan kondisi ini, di mana palatabilitas ternak terhadap hijauan pakan tercemar abu vulkanik menurun drastis. Saat itu, penggunaan konsentrat ditingkatkan untuk mengganti kehilangan nutrien hijauan yang tidak terkonsumsi. Akibatnya peningkatan biaya pakan menjadi tak terhindarkan.

Alasan kepemilikan rojo koyo seperti sapi, kerbau, kambing dan domba oleh peternak di pedesaan, lebih sebagai ternak tabungan, yang siap diuangkan bila mereka membutuhkan uang. Faktor hitung-hitungan produksi belum menjadi konsen pokok, apalagi efisiensi prosesnya. Sehingga wajar bila teknologi sederhana silase tidak tersentuh secara berkesinambungan. Namun, hampir di setiap daerah, para peternak menghimpun diri dalam kelompok peternak, yang memperhatikan struktur organisasi dan menjalankan unit usaha. Kelompok ini mampu menjembatani peternak dengan segala keterbatasan yang tidak bisa diraih bila dilakukan sendiri-sendiri, termasuk di dalam usaha mempertahankan ketahanan pakan sepanjang musim dengan biaya yang semakin efisien. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan dibentuknya unit usaha produksi hijauan fermentasi.

Beberapa konsep dapat diterapkan. Misal, peternak yang umumnya mempunyai lahan hijauan, meski terbatas, dapat menyetor kelebihan hijauan pada musim hijauan melimpah (misal saat penghujan) kepada unit usaha di kelompok. Kemudian, unit usaha tersebut memproduksi hijauan fermentasi dari bahan baku yang dibeli dari peternak, atau dapat kulakan dari daerah lumbung hijauan pakan. Peternak dapat kembali memanfaatkan hasil panen hijauan fermentasi yang diproduksi oleh kelompok mereka, setiap saat, terutama pada saat kesulitan mendapatkan hijauan segar seperti pada saat musim kemarau, bahkan saat terjadinya hujan abu vulkanik. Pembelian pun dapat dilakukan dengan cara kekeluargaan yang mengedepankan kebijakan masing-masing kelompok, seperti pembelian secara tunai, pembayaran dengan harga dipotong setoran bahan baku hijauan, atau pembayaran kredit yang dibayar berkala atau menggunakan pupuk kandang.

Konsep kerakyatan seperti ini perlu dikelola oleh pengurus yang mengerti aspek usaha, aspek teknologi yang digunakan, yang juga akan mendapatkan hasil dari unit usaha yang dikelolanya untuk kesejahteraan mereka. Sehingga, dapat tercipta kondisi saling membantu dalam rangka efisiensi produksi yang dilakukan secara komunal antara peternak dan pengurus kelompok, bukan lagi berjuang sendiri-sendiri.

Contoh Fakta Menarik di Indonesia
Sebagai contoh di D.I. Yogyakarta, jumlah ternak ruminansia tercatat pada 2013 (Dinas Pertanian DIY) di Kabupaten Gunungkidul mencapai 40% dari total ruminansia di DIY (Tabel. 1), jauh lebih tinggi dari Kabupaten Sleman yang hanya mencapai 18% dari total ruminansia di DIY. Keadaan ini berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian sawah yang notabene menyumbang hijauan dan sisa pertanian sebagai sumber pakan hijauan (Tabel. 2). Karena ironisnya, Kabupaten Gunungkidul hanya mempunyai luas lahan pertanian sawah 14% dari total sawah di DIY, sementara Sleman mempunyai sawah paling luas hingga mencakup 40%. Ditambah lagi bahwa sebagian besar sawah di Kabupaten Gunungkidul merupakan sawah tadah hujan, yang mengalami masa-masa bero. Hal ini mengindikasikan bahwa ada indikasi kerawanan pakan hijauan di Kabupaten Gunungkidul, dan wajar saja, bila lazim ditemui truk-truk pengangkut tebon (tanaman) jagung dan rumput raja datang ke kabupaten yang mempunyai kontur berbukit-bukit ini setiap harinya.

Faktanya, setiap musim kelangkaan pakan hijauan, hampir seluruh peternak di Kabupaten Gunungkidul tidak enggan untuk membeli hijauan yang didatangkan dari kabupaten tetangga, dengan harga 2-3 kali lipat lebih mahal dibanding jika mereka bisa menanam sendiri. Berdasarkan perhitungan penulis dan pengalaman pendampingan di lapangan, kelompok peternak yang mau memproduksi silase bagi kebutuhan anggota kelompoknya, mampu menekan biaya pakan hijauan hingga separuhnya, dibanding bila para anggota membeli hijauan segar secara eceran di pedagang hijauan. Hal ini karena, sub unit yang dimiliki kelompok dapat memotong jalur pemasaran hijauan pakan dengan membeli (kulakan) hijauan dari daerah lain dengan tonase yang lebih besar dan dapat dipergunakan anggota di setiap saat, sehingga meningkatkan nilai produk dari segi waktu pemanfaatan, dengan harga per kilogram menjadi lebih rendah.

Produksi hijauan fermentasi. (Foto: Dok. pribadi)
Silase (Masih) Sangat Berpotensi
Silase hijauan pakan bukan lagi komoditas internal kelompok peternak, namun kini merambah menjadi komoditas bisnis di hulu peternakan ruminansia. Para pengusaha penggemukan, stocking untuk pemotongan, serta kurban dan aqiqah service akan berpikir dua kali untuk menanam hijauan sendiri. Mereka lebih memilih membeli hijauan fermentasi (jika ada), bahkan dibanding dengan membeli hijauan segar yang mempunyai masa simpan hijauan terbatas (hanya 1-2 hari). Beberapa orang sudah menangkap peluang ini, seperti Kabupaten Magelang yang mempunyai sumber daya rumput luar biasa tinggi, yang mulai menjual hijauan silase ke D.I. Yogyakarta.

Kembali ke silase itu sendiri. Silase hijauan dianggap dapat menjawab tantangan kerawanan pakan hijauan. Membantu peternak menyediakan pakan hijauan berkualitas, berkesinambungan, sepanjang masa dan menjadi teknologi terapan yang mampu menjawab tantangan bencana alam, keterbatasan lahan hijauan dan tuntutan efisiensi sistem usaha peternakan. Jadi sudah tidak ada lagi cerita ketika turun hujan abu vulkanik, lalu sapi dan domba tidak makan, bukan? Jayalah peternak Indonesia.

Awistaros A. Sakti
Peneliti Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada






Lampiran Tabel

Tabel 1. Jumlah Ternak Ruminansia D.I. Yogyakarta Tahun 2013
Kabupaten/Kota
 Jumlah Ternak Ruminansia
D.I. Yogyakarta Tahun 2013** (ekor)
 Sapi Potong
Sapi Perah
Kerbau
Kambing
Domba
Total
Kab. Kulonprogo
45.595
    150
120
89.725
22.062
157.652
Kab. Bantul
50.552
    153
271
74.462
52.085
177.523
Kab. Gunungkidul
138.134
      35
45
171.530
10.918
320.662
Kab. Sleman
38.216
 3.954
 541
33.625
71.412
147.748
Kota Yogyakarta
297
     34
5
388
383
1.107
Total D.I. Yogyakarta
272.794
4.326
 982
369.730
156.860
804.692
**Dinas Pertanian D.I. Yogyakarta.


Tabel 2. Luas Lahan Pertanian D.I. Yogyakarta Tahun 2016
Kabupaten/Kota
Luas Lahan Pertanian
D. I. Yogyakarta Tahun 2016* (ha)
Sawah
Bukan Sawah
Kab. Kulonprogo
10.366
34.933
Kab. Bantul
15.150
12.923
Kab. Gunungkidul
7.875
117.332
Kab. Sleman
21.841
20.617
Kota Yogyakarta
60
16
Total D.I. Yogyakarta
55.292
185.821
*Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta

Sinkroniasi Pakan dan Imbuhannya

Pakan menjadi kebutuhan utama ternak yang dituntut
harus memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. (Foto: huffingtonpost.com)
Semua mahluk hidup butuh makan, termasuk hewan ternak. Pakan merupakan kebutuhan utama hewan ternak, pakan harus mengandung nilai gizi yang seimbang agar mampu menunjang performa ternak tetap prima. Dari sisi lain, dalam suatu formulasi pakan terdapat zat additif di dalamnya, bagaimanakah mereka bersinkronisasi menjadi pakan dengan kualitas terbaik?.

Biaya terbesar dari suatu usaha peternakan berasal dari pakan, apapun jenis peternakannya biaya pakan biasanya mencapai lebih dari 60% total keseluruhan harga produksi. Jika ditelisik lebih dalam, pakan ternak zaman old mungkin hanya berupa rumput (ruminansia dan kuda) serta jagung (unggas). Namun, ketika era industrialisasi peternakan dimulai, banyak bermunculan pabrik pakan yang memproduksi beragam pakan ternak dengan klaim produk terbaik.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan zaman, teknik dan formulasi pakan pun ikut berkembang. Jenis imbuhan pakan dewasa ini juga semakin beragam, namun imbuhan pakan secara garis besar digunakan untuk tujuan membantu meningkatkan pertumbuhan dan/atau produksi, mencegah serangan penyakit dan meningkatkan pemanfaatan pakan/nutrisi. Hingga titik ini, puluhan bahkan ratusan perusahaan baik produsen maupun distributor feed additive masih berlomba-lomba unjuk gigi dalam menyediakan berbagai jenis imbuhan pakan dengan keunggulan masing-masing.

Berbagai Macam Rupa dan Fungsi
Peternak mana yang tidak kenal imbuhan pakan? Sepertinya tidak ada. Setiap peternak kini sudah pasti tahu apa itu imbuhan pakan. Secara garis besar dalam ilmu nutrisi dan teknologi pakan, terdapat dua jenis imbuhan pakan, yakni feed additive dan feed suplement.

Feed additive merupakan zat tambahan yang belum terdapat dalam kandungan bahan baku ransum, biasanya feed additive bersifat non-nutritif (bukan termasuk zat nutrisi). Contohnya ialah antibiotik imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promoters/AGP), enzim, antioksidan, toxin binder dan lain-lain. Peran feed additive dalam pakan tergantung dari jenis kandungan zat additive-nya.

Sedangkan feed suplement adalah bahan pakan tambahan yang berupa zat-zat nutrisi yang sebenarnya sudah ada pada kandungan bahan baku ransum, feed supplement biasanya terdiri atas zat nutrisi mikro seperti vitamin, mineral atau asam amino. Penambahan feed supplement dalam pakan berfungsi untuk melengkapi atau meningkatkan ketersediaan zat nutrisi mikro yang seringkali kandungannya dalam pakan kurang atau tidak sesuai standar.

Menurut Prof Nahrowi dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, baik feed additive maupun feed supplement komposisinya di dalam ransum tidaklah banyak. “Mungkin dalam ransum terutama ayam komposisi imbuhan pakan hanya sekitar 1-3% saja, kalah jauh dibanding bahan baku lainnya,” tutur Nahrowi.

Namun begitu, walaupun sedikit jangan pula mengenyampingkan benefit yang diberikan oleh imbuhan pakan tersebut. “Misalnya AGP, paling berapa sih dosisnya? Sedikit sekali kan kandungannya dalam pakan, tapi bisa lihat dari fungsinya. Lalu kita lihat juga contoh lainnya misalnya enzim yang lagi hits, ẞ-mannanase atau xylanase, dosisnya sedikit kan? Tapi kembali lagi bahwa fungsinya vital mereka itu,” pungkasnya.

Terkait ragam dan fungsi dari imbuhan pakan, Nahrowi berujar, bahwa setiap formulator pasti memiliki “resep” yang berebeda-beda dalam memilih imbuhan pakan karena meracik formulasi ransum juga merupakan salah satu “seni” dalam industri peternakan.

Dalam memilih imbuhan pakan yang tepat banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh seorang formulator. Formulator dari PT Gold Coin Indonesia, Sahera Nofyangtri, punya beberapa kiat dalam memilih imbuhan pakan dalam formulasinya. Pertama ia menyebutkan yakni efisien, hal ini penting karena dalam sebuah Teknik formulasi pakan selain menghasilkan pakan dengan kualitas yang baik, harganya pun harus murah agar terjangkau oleh peternak.

“Maksudnya efisien bukan dari harga, tetapi dari value sebuah produk, jadi kalau harga murah namun si produk tadi tidak memiliki value-nya buat apa? Memang kita selalu berpacu dengan cost, tapi kualitas juga tidak bisa dianggap remeh,” kata Sahera.

Kedua ia selalu menyesuaikan imbuhan pakan yang digunakan dengan bahan baku. Contohnya, ketika harga bahan baku (terutama jagung dan kedelai) naik, jika penggunaannya dikurangi atau disubtitusi dengan bahan baku lain nilai gizinya akan berubah, maka hendaknya di sinilah penggunaan enzim seperti ẞ-mannanase digunakan. “Walaupun di zaman now memang enzim ini sudah dipakai, namun itu hanya sebagai contoh saja,” ucapnya.

Ketiga legal, teruji dan terbukti. “Ini mungkin aspek standar ya, tapi penting. Legalitas itu penting, bukti dan hasil uji juga penting. Jadi jangan nantinya cuma beli produk karena beli klaim terbaik-terbaik aja tapi pas dipakai hasilnya hancur-hancuran,” katanya.

Ia menegaskan, sebelum menggunakan suatu produk imbuhan pakan secara komersil, sebaiknya dilakukan trial terlebih dahulu agar bisa diketahui seberapa jauh imbuhan pakan berpengaruh dan baik potensinya... *** (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Juni 2018.

Pakan Pengobatan (Medicated Feed)

Oleh: Budi Tangendjaja

Pemerintah Indonesia sudah menetapkan Peraturan Menteri Pertanian yang melarang penggunaan Antibiotic Growth Promotor (AGP) di dalam pakan mulai awal tahun ini. Di samping itu, pemerintah memasukkan ionophore yang sedianya termasuk kedalam antiprotozoa untuk mencegah terjadinya penyakit koksi ke dalam kelompok antibiotika, sehingga hanya diperbolehkan pemakaiannya selama tujuh hari. Keputusan yang terakhir ini menimbulkan berbagai kendala baik dari segi teknis maupun pelaksanaannya di lapangan, termasuk pabrik pakan. Belajar dari pengalaman negara maju, maka ada baiknya jika Indonesia dapat menerapkan kebijakan untuk mengembangkan “Medicated Feed” atau pakan pengobatan.

Apa itu Pakan Pengobatan?
Pakan pengobatan merupakan pakan yang dibuat khusus untuk mengobati ketika terjadi penyakit yang ditemukan di kandang. Kandungan obat yang di masukkan dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi, baik karena bakteri maupun karena koksi. Oleh karena itu, pakan pengobatan hanya dapat dibuat setelah mendapat rekomendasi dari dokter hewan yang berwewenang. Penggunaan pakan pengobatan yang tidak sesuai dengan peruntukannya akan mengakibat tujuan untuk mengobati ternak yang sakit tidak tercapai dan terlebih dapat menimbulkan residu dalam produk ternak yang akan berisiko terhadap konsumen yang mengonsumsinya.

Beberapa negara menerapkan pakan pengobatan dalam rangka menangulangi penyakit koksi terutama pada ayam dara (pullet). Pakan pengobatan dibuat dengan memasukkan amprolium sebagai bahan aktif untuk mencegah penyakit koksi. Sifat amprolium yang tidak mematikan koksidia (coccidostat) diharapkan masih menyisakan koksidia dan pullet dapat mengembangkan kekebalan tubuhnya dalam persiapan ketika bertelur, kekebalan terhadap koksi sudah terjadi. Berbeda dengan broiler yang dipelihara dalam umur yang pendek (<40 hari) maka obat koksi yang digunakan bersifat untuk membunuh (coccidicide) agar penyakit koksi tidak berkembang sama sekali. Mengingat siklus emeria sebagai bibit penyakit koksi yang panjang dan juga sulit dihilangkan dalam kandang terutama lantai/litter, maka pemakaian antikoksi merupakan suatu keharusan di dalam pakan.


Penyakit koksi hanya terjadi pada unggas dan anti-koksi tidak pernah digunakan pada manusia, sehingga di luar negeri antikoksi masih diperbolehkan digunakan dalam pakan unggas. Antikoksi yang tersedia di lapangan dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan sifat kimianya, yaitu sintetik dan ionophore. Bahan yang disebut belakangan ini diperoleh dari fermentasi mikroba dan diklasifikasikan lagi ke dalam mono dan divalent. Contoh ionophore adalah Salinomisin, Monensin, Semduramisin, Lasalocid sedangkan yang sintetik kimia adalah Diclazuril, Robenidin, Nicarbazin, Halofuginine, Amprolium dan ClopidolMeskipun diberi anti-koksi dalam pakan, emeria masih mampu beradapatsi terhadap bahan tersebut dan menimbulkan kekebalan. Oleh karena itu, pabrik pakan broiler selalu menerapkan sistim rotasi untuk mengganti jenis anti-koksi secara berkala, baik jenis ionophore maupun sintetik kimia. Beberapa pabrik pakan di luar negeri ada yang menerapkan sistem “suttle”, yaitu dengan membedakan jenis antikoksi yang digunakan untuk periode starter dan grower/finisher. Tetapi di Indonesia, kebanyakan menggunakan sistem rotasi mengingat praktisnya dan umur panen yang lebih cepat (<35 hari).

Pencegahan terhadap penyakit koksi dapat juga dilakukan dengan vaksinasi, tetapi hal ini kebanyakan dilakukan pada breeder atau pullet yang membutuhkan pemeliharaan lama. Sedangkan untuk broiler, vaksinasi dilaporkan kurang efektif. Dengan peraturan yang diterapkan pemerintah saat ini, maka pembuatan pakan pengobatan merupakan jalan yang mungkin dapat ditempuh, agar dapat diterapkan di lapangan. Meskipun demikian, petunjuk pelaksanaan perlu dibuat, agar pembuatan, peredaran dan penggunaan di peternak dapat berjalan dengan baik... ***


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Juni 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer