-->

Aksi Solidaritas untuk Dokter Hewan Indhira

Aksi solidaritas "Client Awareness" digelar untuk mendukung drh Indhira (Foto: Istimewa)


Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) menggelar aksi solidaritas untuk memperjuangkan penegakan keadilan dan membela hak profesi dokter hewan di Indonesia.

"Kehadiran Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PDHI, Dr drh Heru Setijanto, PAVet, bersama 50 dokter hewan perwakilan dari beberapa cabang di Pengadilan Tangerang menunjukkan dukungan moril PDHI.” Demikian pernyataan tertulis PB PDHI yang diterima Infovet, Selasa (18/9/2018).

Aksi solidaritas yang disebut "Client Awareness" ini dilakukan terkait kasus hukum yang menimpa salah satu anggotanya, yakni drh Indhira yang harus menjalani persidangan seorang diri di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.

Kronologis kejadian sehingga drh Indhira akhirnya tersandung kasus hukum bermula pada peristiwa pada tanggal 28 Mei 2018, di mana seorang warga yang setelah seekor anak anjingnya mati karena kecacingan parah. Pada malam hari tanggal 28 Mei itu anak anjing lain yang sekelahiran baru dibawa periksa ke dokter hewan yang hampir tutup jadwal praktiknya.

Pemilik memaksa untuk diperiksa. Padahal sang dokter sudah lelah dan sakit flu. Dengan penuh tanggung jawab drh Indhira memberikan penanganan pertama dan menyarankan agar terapi dilanjutkan keesokan harinya di rumah pemilik.

Keesokan harinya dengan alasan sulit dihubungi,  pemilik membawa anak anjing tersebut ke dokter hewan praktik yang lain. Tragisnya, anak anjing itu mati di sana, dan drh Indhira sudah meminta maaf dan minta untuk  dimaklumi, karena kondisinya yang sakit pada saat itu.

Hubungan klien-dokter sempat membaik, tetapi belakangan pemilik menuntut ganti rugi. Awalnya Rp 500 juta, berkembang menjadi gugatan Rp 250 juta untuk ganti rugi kematian anjing, dan Rp 1,3 miliar untuk kerugian imaterial dan penyitaan seluruh aset milik dokter hewan.

Meskipun peristiwa kematian anak anjing tersebut terjadi di luar penanganannya, namun pada tanggal 17 September 2018, drh Indhira ini harus menjalani persidangan seorang diri di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten.

Apakah pantas drh Indhira dituntut? Jika menuntut, mestinya digunakan alur logika. Ditegaskan bahwa dokter hewan adalah profesi penyembuh, tetapi tidak serta merta dapat menyembuhkan semua jenis penyakit.

Pernyataan PDHI, jika penyakitnya sudah parah, sebagaimana terjadi pada anak anjing yang sekelahiran tersebut pasti tidak dapat tertolong. Salah satu penyebabnya adalah tindakan pergi ke dokter hewan sudah terlambat. Dalam konteks ini tentu dokter hewan tidak bisa disalahkan, apalagi matinya tidak pada saat dirawat oleh dokter hewan tersebut.

Di sini lah, kata PDHI, diperlukan kesadaran bagaimana menjadi pemilik hewan yang baik ataupun menjadi "client" yang baik. Kasus ini tidak mungkin terjadi jika terbangun adanya kesadaran klien. Karena itu aksi PDHI sebagai aksi solidaritas "Client Awareness" untuk kasus hukum drh Indhira.

PDHI berkewajiban membantu semua anggotanya. Untuk itu, PDHI turut hadir untuk memberikan dukungan kepada drh Indhira, baik secara teknis berupa bantuan hukum maupun bersifat non-teknis berupa dukungan moril

Dukungan PB PDHI beserta pengurus cabangnya yang tersebar di 52 daerah pada aksi solidaritas adalah untuk memperjuangkan penegakan keadilan dan membela hak hak profesi dokter hewan serta penegakan kode etik dokter hewan.

Ketua umum PB PDHI, Heru Setijanto menjelaskan bahwa pihaknya menunjuk kuasa hukum untuk membantu dokter Indhira menghadapi kasusnya di persidangan sebagai bentuk bantuan hukum

Ia menambahkan, Organisasi Pengacara Perempuan Indonesia (OPPI) tergerak hatinya mengajukan diri sebagai kuasa hukum PDHI untuk mendampingi dokter Indhira di pengadilan. (Rilis PDHI)


Gubernur Aher Resmikan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Unpad

Momen peresmian Rumah Sakit Hewan Pendidikan di Unpad

Gubernur Jawa Barat Dr Ahmad Heryawan atau Aher meresmikan awal pembangunan Rumah Sakit Hewan Pendidikan di Universitas Padjadjaran (Unpad) Kampus Jatinangor, Sabtu (9/6/2018). Peresmian ini ditandai dengan peletakan batu pertama bersama Rektor Unpad, Tri Hanggono Achmad.

Aher menyampaikan sejarah kelahiran Program Studi Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Unpad. Pada Idul Adha 2015, kata dia, ditemukan cacing di dalam hati sapi kurban. Saat itu juga Aher mengerahkan dokter hewan dan dinas terkait untuk memeriksa semua hewan kurban.

"Saat itu saya melihat betapa penting peran dokter hewan. Jumlah dokter hewan di kita ternyata sedikit. Di situ saya menilai harus memperbanyak jumlah dokter hewan dengan membuka Jurusan Kedokteran Hewan," ungkapnya Aher.

Kata Aher, di Indonesia waktu itu hanya terdapat tujuh Jurusan Kedokteran Hewan dan hanya bisa menghasilkan 400 dokter hewan per tahun. Menurutnya, kebutuhan dokter hewan di Indonesia 1.200 dokter per tahun.

Oleh karenanya, tahun 2016 Program Studi Kedokteran Hewan pun dibuka di Universitas Padjadjaran yang berlokasi di Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Dalam waktu yang bersamaan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga membuka rumah sakit hewan di Lembang dan akhirnya menjadi rumah sakit hewan pertama di Indonesia.

“Kesehatan hewan peliharaan dan hewan ternak harus dijamin kesehatannya demi kesehatan manusia,” tegasnya.

Penghargaan dari PDHI  

Komitmen dan perhatiannya dalam mendukung peningkatan dokter hewan di Jawa Barat dan Indonesia, Aher menerima penghargaan “Manusya Mriga Satwa Sewaka” dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Pemberian anugerah diberikan langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar PDHI, Dr drh Heru Setijanto.

Ketua PDHI (kiri) memberi penghargaan untuk Aher
Aher tercatat telah mempelopori Jurusan Kedokteran Hewan di Unpad, mendirikan Rumah Sakit Hewan di Lembang yang merupakan yang pertama di Indonesia, dan mendirikan Rumah Ssakit Hewan Pendidikan di Unpad.

Dia menuturkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengucurkan dana Rp 20 miliar untuk pembangunan tahap awal RSHP Unpad.

Lanjutnya, tidak hanya untuk menjamin kesehatan hewan ternak, tenaga kesehatan hewan pun dibutuhkan untuk menjamin kesehatan hewan peliharaan bahkan hewan liar. Provinsi Jawa Barat, ujarnya, harus mencegah penularan TBC dan rabies dari anjing atau monyet ke manusia.

Sementara itu, Rektor Unpad menyatakan apresiasinya kepada Aher yang menaruh perhatian begitu besar pada bidang pendidikan serta kesehatan.

"Unpad pun tengah berupaya untuk meratakan persebaran dokter di Jawa Barat dengan program beasiswa," pungkasnya. (Antara/Unpad)

PP Otoritas Veteriner, Angin Segar Bagi Dokter Hewan



Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner yang ditandatangani Presiden Jokowi 20 Januari 2017, menjadi angin segar bagi dokter hewan profesional dalam memiliki kewenangan penuh menetapkan kebijakan tentang kesehatan hewan. Benarkah?
Kendati demikian, kebijakan tersebut belum diimplementasikan dalam struktur dan teknis operasional yang jelas.

“Sebenarnya statusnya masih menunggu diterbitkannya petunjuk teknis dan kami berharap cepat diimplementasikan,” ungkap Dr drh Heru Setijanto, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), dijumpai Infovet di kawasan Serpong beberapa waktu lalu.

PP tentang Otoritas Veteriner, kata Heru merupakan amanat dari Undang-Undang No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Ketua PDHI, Dr drh Heru Setijanto
Berbincang-bincang dengan Infovet, Heru menjelaskan peran dokter hewan di era globalisasi tidak hanya dituntut untuk menangani masalah kesehatan hewan semata. Dokter hewan juga bertanggung-jawab menjaga kesehatan kesehatan masyarakat melalui pembangunan di bidag ketahanan pangan, jaminan keamanan pangan, dan sebagai penyangga daya saing bangsa.

Selain itu, faktor lingkungan juga menjadi tanggung-jawab seorang dokter hewan, terutama dalam perlindungan plasma nutfah dan pelestarian lingkungan yang bermuara dalam pencegahan dampak pemanasan global.

Sementara otoritas veteriner mempunyai peran dalam beberapa bidang yang terkait dengan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, penanganan zoonosis, kesehatan satwa/konservasi, kesehatan ikan, dan kaitannya dengan pertahananan keamanan serta perdagangan.

Terpapar pada pasal 1 PP Nomor 3 Tahun 2017, bahwa otoritas veteriner adalah kelembagaan pemerintah atau pemerintah daerah yang bertanggung-jawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan.

Selain itu juga disebutkan Sistem Kesehatan Hewan Nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan Kesehatan Hewan yang ditetapkan oleh pemerintah dan diselenggarakan oleh otoritas veteriner dengan melibatkan seluruh penyelenggara kesehatan hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu. Lingkup kerjanya diantaranya adalah kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, karantina hewan, dan kesejahteraan hewan.

Selanjutnya, tercantum pada pasal 2 bahwa otoritas veteriner bertugas menyiapkan rumusan serta melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. 

Pada Bab II Kelembagaan Otoritas Veteriner pasal 7 bahwa otoritas veteriner nasional dipimpin oleh pejabat otoritas veteriner nasional yang diangkat dan diberhentikan oleh menteri. Syarat untuk diangkat sebagai pejabat dimaksud diantaranya telah ditetapkan oleh menteri sebagai dokter hewan berwenang, memiliki keahlian dan pengalaman dan menduduki jabatan paling rendah pimpinan tinggi pratama di bidang kesehatan hewan, kesmavet, atau karantina hewan.

Otoritas veteriner pada pasal 5 PP Nomor 3 Tahun 2017 dijelaskan otoritas veteriner terdiri atas otoritas veteriner nasional, otoritas veteriner kementerian, otoritas veteriner provinsi, dan otoritas veteriner kabupaten/kota.

“Langkah pertama yang harus ditempuh dalam mewujudkan tegaknya otoritas veteriner, percepatan implementasi PP Nomor 3 Tahun 2017 tentang otoritas veteriner dengan penerbitan permentan yang diamanatkan,” terang dosen tetap Fakultas Kedokteran Hewan, IPB ini.

Diharapkan hadirnya PP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner dapat mengakomodasi kewenangan dokter hewan, lanjut Heru.  

Seiring berjalannya waktu, perubahan-perubahan terus dilakukan oleh pemerintah terhadap lembaga yang bersinggungan langsung dengan kesehatan hewan. Panjangnya proses tersebut terjadi karena peran dokter hewan yang kompleks.

Menurut Heru,  dokter hewan tidak hanya bertindak dalam mengobati hewan peliharaan/hewan kesayangan yang sakit, namun juga bertanggung-jawab pada hewan/ternak produksi yang sakit. Artinya, jika seekor hewan merupakan ternak produksi dan terserang penyakit, maka produk ternak yang dihasilkan pun merupakan tanggung-jawab dokter hewan.

Saat ada hewan sakit yang berpotensi untuk menyebarkan penyakit sehingga mengganggu kesehatan manusia (zoonosis), dokter hewan pun mempunyai peran sebagai agen preventif dan eradikatif penyakit tersebut.

“Oleh karena itu, dokter hewan mempunyai peran multi-stakeholder sehingga diperlukan sebuah otoritas veteriner di lingkup pemerintah demi menunjang perannya secara optimal,” tandas Heru. *** (NDV)

Selengkapnya, baca Majalah Infovet edisi 284 Maret 2018.



ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer