|
Bambang Suharno (kanan) bersama Bob Sadino dan Wan Hasim |
Akhir tahun 1980an, ketika masih menempuh kuliah di Fakultas
Peternakan
Unsoed Purwokerto, saya selaku ketua Senat Mahasiswa, menghadiri
seminar nasional agribisnis dan agroindustri di UGM. Salah satu
pembicara paling menarik adalah Bob Sadino. Waktu itu nama Bob baru
mulai populer, sebagai pengusaha nyentrik yang kemanapun pergi pakai
celana pendek.
Tentu saja, peserta seminar dari berbagai perguruan tinggi terkejut
dan sekaligus tertarik dengan pengusaha yang hadir di forum resmi dengan
celana pendek. Topik bahasan pada sesi itu adalah deregulasi dan
debirokratisasi pertanian. Ketika ditanya dampak deregulasi pada
bisnisnya, Bob dengan gaya bicaranya yang tajam dan tanpa basa basi
berkata,” saya tidak tahu
binatang apa itu deregulasi. Bagi saya yang penting adalah bagaimana bisnis ini harus berkembang”.
Sejak itulah saya menjadi tertarik dengan sosok Bob yang cara
berpikirnya unik, di luar kebiasaan. Belakangan di berbagai forum ia
sering mengkritik sistem pendidikan Indonesia yang banyak memasukkan
sampah ke otak mahasiswa. Sebenarnya saya pun merasakan betapa banyak
pola pendidikan yang tidak efektif. Bayangkan, orang Indonesia harus
belajar Bahasa Inggris dari SMP sampai perguruan tinggi, tapi nyatanya
hanya sedikit yang benar-benar bisa Bahasa Inggris . Jadi seberapa
efektifkah belajar Bahasa Inggris di pendidikan formal?
Ketika saya lulus kuliah dan pergi ke Jakarta, saya bertemu dengan
sahabat dekat Bob yang bernama H Abdul Karim Mahanan, seorang pengusaha
obat hewan dan pendiri
Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI). Karena kedekatan ini, saya menjadi punya kesempatan beberapa kali
ketemu Bob. Suatu hari saya ke rumah Bob di Lebak Bulus. Dalam
perbincangan itu ia berkata, “Karim Mahanan itu sama dengan saya. Suka
ngerjain orang hehehe ”. Ya, saya pikir ada benarnya juga. Hampir setiap
ketemu orang, apalagi mahasiswa, Karim maupun Bob langsung menggertak
dengan kritik tajam. Tapi habis itu ia menjadi sangat akrab. Bedanya,
bob suka bicara “kalian goblok”, Karim berkata “You nggak ada gunanya
kalau cuman gitu”.
Suatu hari, ketika krisis tahun 1998, saya silaturahmi ke rumah Bob
di Lebak Bulus untuk wawancara bagaimana menghadapi krisis ekonomi. Bob
waktu itu menjawab,”orang lain menghadapi krisis, saya menerima
krisis!”.
“Dari cara berpikir saja saya sudah beda kan. Dan saya lebih santai,”
ujarnya dengan nada khas, santai , tegas dan sekali-kali diselingi
canda. Belakangan saya sadar, jelas saja ia menerima krisis, karena
nilai rupiah melemah, sementara Bob mengekspor sayuran dengan nilai
dollar. Tak terbayang betapa berlipat untung yang ia terima dari krisis
ekonomi yang mengubah US dollar dari Rp 2500 menjadi di atas Rp.
10.000. Benar-benar ia menerima krisis hehehe.
Suatu kali di tahun 2000an saya ikut sebagai panitia seminar bisnis
unggas dan saya mengundang Bob sebagai pembicara. Di situlah dua
sahabat, Bob dan Karim bertemu begitu akrab. Mungkin itulah pertemuan
terakhir dua sahabat yang sama-sama sebagai perintis
bisnis perunggasan
modern Indonesia. Bob dikenal sebagai salah satu perintis yang
mengenalkan telur ayam ras. Karim aktif di organisasi perunggasan yang
memperkenalkan cara-cara budidaya ayam yang modern. Karim yang usianya 2
tahun lebih tua dari Bob Sadino, berpulang tahun 2004 di usia 74
tahun.
Beberapa tahun lalu saya menghadiri seminar Andrie Wongso, dimana Bob
hadir sebagai peserta. Saya mengira ia menjadi pembicara tamu yang
diundang Andrie Wongso, ternyata tidak sama sekali. Andrie Wongso
sendiri heran. “Bob kok mau-maunya ikut seminar saya,” katanya. Jadinya
seminar ini bertambah heboh, karena Andrie Wongso mengajak Bob ke podium
di akhir sesi seminar, dan seperti biasanya, ia menggoblok-goblokan
orang kuliah.
Andrie Wongso sebagai motivator yang getol menanamkan pentingnya
pendidikan menanggapi omongan Bob dengan berbicara,” kita perlu
hati-hati mencerna saran om Bob. Beliau kan dari kecil sudah kaya, nggak
seperti saya yang dari keluarga miskin. Kalau sekolah nggak penting,
trus gimana kalau mau jadi dokter, mau jadi pilot, mau jadi ahli teknik.
Itu semua didapat dengan sekolah.”
Saya pikir, betul juga kata Andrie,”jangan menelan mentah-mentah
petuah om Bob”. Itulah terakhir kali saya bertemu dan berkomunikasi Bob
Sadino. Saat itu ia masih sempat mengenang Karim Mahanan sebagai sahabat
yang sama-sama merintis usaha perunggasan. Ia juga menyampaikan maaf
tidak hadir saat pemakaman alm Karim Mahanan, karena mendengar kabar
duka belakangan.
Sekilas Riwayat Bob Sadino
Bob Sadino lahir di Lampung, 9 Maret 1933. Pemilik jaringan usaha
Kemfood dan Kemchick ini lahir dari sebuah keluarga yang hidup
berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang
tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh
harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah
dianggap hidup mapan.
Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia.
Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang
lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam
dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu
dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.
Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa
serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual
untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang
lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di
Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia
memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.
Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan
adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi
sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang
mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk
memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya
ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan
hidup yang dialaminya.
Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam ras atau ayam
negeri untuk melawan depresi yang dialaminya. Teman yang dimaksud adalah
Sri Mulyono Herlambang, seorang pensiunan jenderal angkatan udara yang
menjadi salah satu perintis usaha ayam ras dan dikenal sebagai pendiri
dan pimpinan Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI). Waktu itu
ayam ras belum begitu populer dan Bob langsung tertarik. Ketika beternak
ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan
ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk
hidup, tentu manusia pun juga bisa.
Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa
kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya
memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih
berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta,
di mana terdapat banyak menetap orang asing.
Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, pembantu orang asing
sekalipun. Namun Bob dan istri cukup bersabar dan justru berkaca pada
diri sendiri, untuk memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi
pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama
kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market
(pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja
lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis,
khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi
orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan
para petani di beberapa daerah.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi
kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan
istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang
penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.
Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak
harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah
pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang,
terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera
melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.
Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia
langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob terampil dan
menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman,
mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan
profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan
bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang
melebihi orang lain.
Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran
dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati
pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan
akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha
melayani pelanggan sebaik-baiknya.
Bob Sadino meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI),
Jakarta Selatan. Senin 19 Januari 2015 pukul 17.30 WIB, pada usia 82
tahun. Masyarakat Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi
teladan dalam dunia bisnis dan kewirausahaan.
Selamat jalan Om Bob. Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat terbaik dan menerima semua amal ibadahmu. Aamiin ***
Dari berbagai sumber, disusun oleh Bambang Suharno, Pemred Majalah Infovet,