Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini penyakit hewan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PB PDHI ADAKAN SEMINAR MITIGASI WABAH LSD

Ketum PDHI bersama para pembicara seminar

Lumpy Skin Disease (LSD) merupakan penyakit yang baru - baru ini mewabah di Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Atas kekhawatiran mewabahnya LSD PB PDHI menggelar seminar nasional terkait mitigasi wabah penyakit LSD secara luring di Hotel Grand Whiz Simatupang maupun daring mellaui aplikasi Zoom Meeting pada Jum'at (1/4) yang lalu. 

Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh menyatakan keprihatinannya atas datangnya kembali penyakit baru ke Indonesia. melalui webinar ini diharapkan nantinya PDHI dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait mitigasi wabah LSD. 

"Sebagai partner pemerintah kami ingin berbuat lebih, memberikan rekomendasi bagaimana sebaiknya wabah ini ditangani. Sapi dan daging sapi sudah menjadi bagian penting negara ini, dengan adanya LSD ini juga akan berpotensi mengganggu supply dan demand daging sapi. Nah makanya hal ini harus sgera ditangani supaya tidak seperti ASF kemarin," kata Munawaroh dalam sambutannya.

Hadir sebagai narasumber yakni Drh Arif Wicaksono (Kasubdit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan), Drh Tri Satya Putri Naipospos (Ketua Umum CIVAS), Prof Widya Asmara (Guru Besar FKH UGM), dan Didiek Purwanto (Ketua Umum GAPUSPINDO). 

Drh Arif Wicaksono yang menjadi narasumber pertama mengatakan bahwa hingga kini LSD yang mewabah di Riau telah menginfeksi 381 ekor sapi secara keseluruhan dan sapi yang mati akibat LSD tercatat sebanyak 3 ekor, dan yang dipotong secara terpaksa sebanyak 14 ekor. 

"Kabupaten Indragiri Hulu merupakan kabupaten yang terbanyak terinfeksi LSD, kami masih melakukan mitigasi, dan sudah melakukan vaksinasi kepada sapi - sapi yang masih belum terinfeksi. Pemerintah sendiri sudah menggelontorkan 450.000 dosis vaksin untuk melakukan vaksinasi di sana," tutur Arif.

Sementara itu Drh Tri Satya Putri Naiposos secara mendalam menjelaskan epidemiologi penyakit ini. Ia bialng bahwa LSD menyebar dari benua Afrika yang juga banyak menyerang ruminansia di sana. Penyebarannya paling banyak dikarenakan oleh kontak langsung dan juga melalui vektor serangga seperti nyamuk, lalat pengisap darah, dan caplak.

"Yang juga perlu kita cermati penyakit ini memang tidak begitu mematikan, namun tetap harus dicegah. Terlebih lagi ini merupakan penyakit eksostik di sini, makanya kita harus banyak belajar dari beberapa negara Afrika. Jangan lupakan satwa liar juga, karena satwa liar di sana (Afrika) secara serologis terdeteksi LSD, makanya kalau perlu satwa liar kita dilakukan itu uji serologis biar kita tahu juga keadaanya," tutur wanita yang akrab disapa Ibu Tata tersebut.

Sementara itu Prof Widya asmara menyatakan bahwa LSD bukanlah penyakit yang zoonotik. Ini juga sekaligus mengonfirmasi berita - berita hoax terkait LSD yang beredar di media sosial dan beberapa portal berita.

"Jadi enggak usah takut makan daging atau olahan daging, ini bukan penyakit yang zoonotik. Jadi jangan sampai masyarakat menerima berita - berita hoax mengenai LSD. Daging hewan yang terinfeksi LSD masih boleh dikonsumsi, hanya masalah etika saja," tutur Prof Widya.

Kesiapan pelaku usaha terkait wabah LSD juga dipaparkan oleh Didiek Purwanto. Menurutnya, pelaku usaha terutama feedlot sudah pasti siap dengan hal ini, namun ia menyatakan keraguannya bahwa akan kesiapan peternak mandiri.

"Saya kemarin ke Jawa Timur nanya ke peternak, mereka nggak tahu itu LSD. Di Riau sendiri bahkan saya tanya kalau peternak malah enggak takut LSD, soalnya enggak bikin sapi mati sekaligus banyak kaya penyakit Jembrana, nah ini harus dibenahi," tutur Didiek. (CR)


PROBLEM CORYZA PADA AYAM MODERN

Gejala khas ayam yang menderita infeksi Coryza adalah gangguan sistem pernapasan atas berupa peradangan yang bersifat kataral sampai mukoid pada rongga hidung dan sinus-sinus hidung, terutama sinus supra-orbitalis dan infra-orbitalis. (Sumber: Tony)

Ditulis oleh:
Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant-Jakarta)

Fenomena kasus penyakit Snot alias pilek ayam menular atau Coryza pada peternakan ayam modern ibarat bermain “petak umpet”. Menjengkelkan, bahkan kadang kala dapat membuat peternak kalap, sehingga dalam mengatasinya penggunaan vaksin dan preparat antibiotik kerap tidak rasional lagi. Beberapa informasi dalam tulisan berikut mungkin perlu disimak, agar kasus tidak merupakan langganan yang seolah sulit ditampik.

Sebenarnya ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab berulangnya kasus Coryza di lapangan, yaitu:

• Kelembapan relatif dalam kandang cukup tinggi, biasanya jika itu rata-rata di atas 80%, insiden terjadinya Coryza menjadi sangat besar. Kesalahan setting pada sistem kandang tertutup (closed house), misalnya merupakan suatu fenomena umum terkait kejadian Coryza di lapangan.

• Fluktuasi temperatur di dalam kandang sangat tinggi. Perbedaan temperatur rata-rata antara siang dan malam hari lebih dari 8° C, khususnya pada musim kemarau, akan menjadi faktor pencetus terjadinya Coryza.

• Tingginya kadar amonia, debu dan tantangan virus (ND, IB) atau kuman (Mikoplasma) yang ada di dalam kandang sangat mendukung terjadinya kasus Coryza. Infeksi Mikoplasma yang kronis jelas akan membuat peluang kasus Coryza lebih besar.

• Frekuensi program vaksinasi yang menggunakan vaksin aktif dengan target organ di saluran pernapasan atas yang tinggi, misalnya ND atau IB aktif juga dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya ledakan kasus Coryza.

• Tingginya faktor stres, misalnya kepadatan yang terlalu tinggi.

Untuk mengurangi ledakan kasus Coryza di lapangan, sangat dianjurkan untuk... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2021. (TOE)

SIAGA MENCEGAH WABAH PENYAKIT HEWAN BALITBANGTAN GELAR FGD

Pendekatan one health dibutuhkan dalam menyelesaikan penyakit hewan yang bersifat zoonotik

Selasa 3 Maret 2020 yang lalu, Badan Litbang Pertanian Kementan bersama dengan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) menggelar Focus Group Discussion bertajuk "Kesiapsiagaan Masuk dan Meyebarnya Penyakit Hewan Emerging dan Re-emerging di Indonesia". 

Tujuan dari acara tersebut yakni dalam rangka meningkatkan kewaspadaan semua pihak yang berkecimpung dalam upaya antisipasi, deteksi dini, dan merespon cepat dalam penanggulangan wabah penyakit hewan emerging dan re-emerging

Acara tersebut dihadiri oleh sekitar 115 orang peserta yang berasal dari berbagai instansi seperti Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Intelijen Negara, Perguruan tinggi, LSM, Organisasi Profesi, dan tentu saja Kementerian Pertanian.

Seperti kita ketahui bersama bahwa beberapa bulan belakangan Indonesia kembali dihantam dengan mewabahnya beberapa penyakit hewan menular berbahaya baik yang bersifat zoonotik dan non-zoonotik. Sebut saja African Swine Fever (ASF) yang meluluhlantahkan sektor peternakan babi di Sumut beberapa waktu yang lalu, Anthraks yang kembali mewabah di Jawa Tengah, leptospirosis yang bergejolak ketika bencana banjir melanda, dan tentu saja yang terbaru yakni infeksi virus Corona (Covid-19) yang baru-baru ini menghebohkan nusantara. 

Balitbangtan punya mandat dalam urusan riset di bidang veteriner dan menjadi laboratorium rujukan nasional dalam bidang penyakit hewan, tetapi kedepanya diharapkan terjadi sinergisme dari pihak lain yang juga berkecimpung, sehingga konsep one health yang sering digaungkan itu benar - benar diaplikasikan dengan baik.

Ditemui oleh Infovet pada saat acara berlangsung, Kepala BBALITVET Bogor, Drh NLP Indi Dharmayanti menuturkan bahwa beberapa penyakit hewan yang bersifat zoonotik sudah sejak lama menjadi penyakit strategis dan sulit sekali diberantas. Contohnya anthraks, menurutnya hingga kini anthraks walaupun kasusnya sedikit, namun masih kerap terjadi di Indonesia, dan beritanya selalu menghebohkan. 

Indi juga menyinggung wabah Covid-2019 yang baru - baru ini diumumkan oleh presiden RI beberapa waktu yang lalu. Ia mengatakan bahwa sangat penting mempelajari Covid-2019 lebih dalam karena virus ini berpotensi memiliki sifat zoonotik. 

"Yang kita ketahui sejauh ini kan virus corona memang ada pada beberapa jenis hewan seperti kelelawar, trenggiling, anjing, kucing, dan bahkan ikan paus. Sama - sama virus corona, cuma beda genus dan clade saja. Nah yang perlu kita ketahui kan apakah nanti Covid-19 ini berpotensi zoonotik melalui hewan peliharaan atau hewan ternak, oleh karenanya ini juga harus dipelajari lebih dalam," tukas Indi.

Indi juga berharap agar acara ini sedianya dapat menjadi ajang utuk saling tukar informasi dan bersinergi antar instansi dalam penanggulangan wabah. Selain itu kedepannya hasil dari FGD ini nantinya dapat menjadi saran dan masukan bagi pemerintah pusat dalam mengatasi permasalahan penyakit hewan di Indoensia. (CR)

BIOINFORMATIKA SEBAGAI METODE DETEKSI PENYAKIT HEWAN


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor kembali mengadakan pelatihan teknis dalam mendukung program - program pemerintah. Kegiatan tersebut digelar di Hotel Sahira Bogor, Senin 22 April 2019. Kali ini pelatihan teknis yang dilaksanakan mengenai Bioinformatika dalam dunia veteriner.

Bioinformatika sendiri didefinisikan sebagai ilmu yang yang mempelajari teknik komputasional untuk mengelola dan menganalisis informasi biologis suatu mahluk hidup. Bidang ini mencakup penerapan metode matematika, statistika, dan informatika untuk memecahkan masalah-masalah biologis, terutama dengan menggunakan sekuens DNA dan asam amino serta informasi yang berkaitan dengannya. Contoh topik utama bidang ini meliputi basis data untuk mengelola informasi biologis, penyejajaran sekuens (sequence alignment), prediksi struktur untuk meramalkan bentuk struktur protein maupun struktur sekunder RNA, analisis filogenetik, dan analisis ekspresi gen.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pendeteksian penyakit secara molekuler saat ini berkembang dengan pesat, hal ini karena teknik biomloekuler mampu digunakan untuk mendiganosis penyakit  dengan cepat dan spesifik. Selain itu, biomolekuler juga dapat digunakan untuk melakukan karakterisasi organisme secara umum maupun secara khusus untuk agen penyebab penyakit dan juga untuk melakukan rekayasa genetik. Karena keterkaitan inilah alasan mengapa ilmu bioinformatika dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam mendeteksi penyakit pada mahluk hidup, termasuk hewan.

Dalam acara tersebut, Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, Dr. Drh Ni Luh Putu Indi Dharmayanti M.Si. mengatakan bahwa pesatnya perkembangan teknologi termasuk dalam bidang medis semakin memudahkan manusia dalam mendeteksi serta memprediksi sifat dan karakteristik agen infeksius. “Melalui bioinformatika ini, selain dimanfaatkan untuk deteksi penyakit, bisa juga kita manfaatkan sebagai metode untuk memprediksi sifat dan mutasi genetik suatu mikroorganisme terutama pathogen,” tuturnya.

Para peserta berfoto bersama narasumber (Dokumentasi : CR)


Dengan adanya kegiatan ini peserta diharapkan mampu meningkatkan wawasan dan kemampuan bioinformatika, sehingga mampu melakukan analisis data molekuler, karakterisasi mikroorganisme pathogen dan rekayasa genetik, terutama dalam mendeteksi penyakit hewan maupun pengembangan teknologi vaksin

Kegiatan ini dilaksanakan selama 5 hari, yaitu tanggal 22-23 April 2019 untuk teori tentang bioinformatika dan tanggal 24-26 untuk praktek aplikasi bioinformatika yang akan dilakukan di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, yang diikuti oleh 120 peserta dari berbagai institusi baik dari lingkup maupun dari luar  Kementerian Pertanian.

Tidak tanggung – tanggung, pelatihan teknis ini menghadirkan narasumber dan ahli yang berkompeten dari dalam dan luar negeri, antara lain Dr. Lee McMichael (Queensland University, Australia), Dr. Stanly Pang (Murdoch University, Australia), Prof. drh. Widya Asmara SU Ph.D (Universitas Gadjah Mada), Dr. drh NLP Indi Dharmayanti, M.Si (Balai Besar Penelitian Veteriner), Dr. drh Silvia Triwidyaningtyas, M.Si ( Universitas Indonesia), dan Hidayat Trimarsanto, B.Sc (Lembaga Molekuler Eijkman). (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer