Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ruminansia | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KERAKAS SAWIT SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA KECIL

Kerakas sawit yang sudah di parut. (Dok. pribadi)

Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia mempunyai luasan kebun sawit yang sangat besar. Dengan luasan kebun sawit, menghasilkan limbah kebun sawit atau kerakas sawit yang sangat banyak. Kerakas yang dimaksud adalah pelepah sawit beserta daunnya, yang memiliki potensi sebagai sumber serat kasar bagi ternak ruminansia, walau memiliki kandungan lignin yang tinggi yang bisa menyebabkan kecernaan menjadi rendah.

Kendati demikian, pemanfaatan kerakas sawit sudah banyak dilakukan dengan adanya program integrasi sapi-sawit. Tetapi pemanfaatan kerakas sawit untuk ternak ruminansia kecil masih belum banyak. Hal ini dikarenakan kapasitas rumen ternak ruminansia kecil lebih minim dan kadar serat kasar kerakas sawit yang tinggi (mencapai 46%), sehingga perlu perlakuan atau sentuhan teknologi sebelum memberikan kerakas sawit tersebut.

Dari penelitian sederhana yang pernah penulis lakukan, penulis mencoba membuat pakan komplit dengan sumber serat dari kerakas sawit yang sudah diparut. Kerakas sawit yang digunakan adalah kerakas sawit kering. Kerakas yang sudah di parut dicampur dengan konsentrat ruminansia dan selanjutnya difermentasikan menggunakan inokulan mikrobia selulolitik. Inokulan yang digunakan adalah Trichoderma harzianum. Proses fermentasi dilakukan  selama 14 hari secara anaerob, menggunakan kantong plastik besar untuk mendapatkan hasil yang baik.

Setelah 14 hari, pakan komplit telah terfermentasi dan berubah warnanya menjadi lebih cerah dengan bau harum khas fermentasi. Uji coba dilakukan pada kambing perah laktasi. Sebab, kambing memiliki karakter lebih suka pakan berupa rambanan atau daun-daunan daripada rumput, berbeda dengan domba yang menyukai kedua jenis pakan tersebut.

Ternyata adaptasi pakan komplit fermentasi berbasis kerakas sawit ini cukup lama. Kambing yang biasa diberi pakan daun-daunan memerlukan waktu lebih dari dua minggu untuk beradaptasi ketika diberikan pakan komplit fermentasi berbasis kerakas sawit. Adaptasi dilakukan dengan cara memberikan sedikit demi sedikit pada pakan  kambing yang terbiasa diberi daun-daunan. Adaptasi pakan harus dilakukan dengan sabar, kambing harus dipancing dengan dedak padi yang ditaburkan di atas pakan komplit fermentasi agar tertarik memakan pakan komplit fermentasi kerakas sawit tersebut.

Uji coba pakan komplit fermentasi ini diberikan pada kambing perah laktasi sejumlah enam ekor yang terbagi menjadi dua kelompok dengan rancangan simple cross over, dengan berat rata-rata kambingnya adalah 37,17 kg, umur rata-rata 3,03 tahun dan produksi susu 525 ml perhari. Pakan komplit fermentasi yang diberikan mempunyai kandungan kadar bahan kering  (BK) 91,02%, bahan organik (BO) 85,11%, protein kasar (PK) 12,42 %, lemak kasar (LK) 2,86 %, serat kasar (SK) 39,63 %, bahan ekstrak tanpa N (BETN) 30,2% dan TDN (Total Digestible Nutrient) 49,58%. 

Setelah melalui proses adaptasi pakan, kambing bisa diberikan pakan komplit fermentasi secara penuh. Dalam pengamatan penelitian, ternyata pemberian pakan komplit fermentasi  memberikan konsumsi bahan kering yang lebih tinggi dibanding kelompok yang diberi pakan hijauan berupa daun niponan, daun karet dan daun kelapa sawit segar. Pemberian pakan komplit fermentasi ini juga memberikan konsumsi protein kasar dan konsumsi serat kasar yang lebih tinggi dibanding yang diberi pakan hijauan, tetapi tidak memberikan hasil yang berbeda pada konsumsi bahan organik dan lemak kasar.

Produksi susu kambing juga tidak mengalami perbedaan signifikan antara kelompok yang diberi pakan komplit fermentasi dengan kelompok kambing yang diberi pakan hijauan, walaupun ada kecenderungan produksi susu pada kelompok yang diberi pakan komplit fermentasi memberikan produksi susu yang lebih tinggi. 

Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa pemanfaatan limbah kelapa sawit (bahkan yang sudah kering) sebagai pakan ternak ruminasia kecil sangat mungkin bisa dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan konsumsi bahan kering, protein kasar dan serat kasar untuk pakan komplit fermentasi, serta tidak adanya perbedaan terhadap produksi susu kambing perah laktasi yang digunakan dalam penelitian.

Kerakas sawit setelah menjadi pakan komplit fermentasi. (Dok. pribadi)

Proses fermentasi dengan menggunakan bakteri selulolitik akan menurunkan kadar  selulosa yang terkandung di dalam kerakas kelapa sawit. Dengan kandungan selulosa yang mencapai 46% di dalam pelepah sawit, merupakan potensi yang cukup besar sebagai sumber bahan pakan ruminansia. Bakteri selulolitik akan menghasilkan enzim selulase yang mampu menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik di dalam selulosa. Enzim selulase yang diproduksi oleh bakteri selulolitik biasanya merupakan enzim komplek dan bekerja sesuai fungsinya, sehingga mampu memecah selulosa menjadi produk akhir glukosa.

Bakteri selulolitik secara alami ada di dalam rumen ruminansia dan memang hanya ternak ruminansia yang mampu memanfaatkan selulosa secara efisien sebagai bahan pakan, karena keberadaan bakteri selulolitik tersebut. Bahan pakan yang tinggi kandungan selulosa, apalagi dengan kandungan  lignin yang juga tinggi, seperti kerakas sawit, akan susah dicerna oleh bakteri selulolitik di dalam rumen. Pemanfaatan teknologi fermentasi diharapkan mampu membantu kerja bakteri selulolitik di dalam rumen, sehingga kecernaan pakan berserat tinggi akan meningkat. Banyak penelitian membuktikan bahwa proses fermentasi bahan pakan berserat menghasilkan penurunan kadar serat kasarnya. 

Hal yang cukup menarik dari hasil penelitan ini adalah, dari hasil produksi susu yang tidak berbeda nyata, walaupun ada kecenderungan pemberian pakan komplit fermentasi lebih tinggi produksinya, ternyata terdapat perbedaan warna dari susu yang dihasilkan. Susu yang diproduksi dari kambing yang diberi pakan hijauan terlihat lebih kuning dibandingkan dengan susu yang dihasilkan dari kambing yang diberi pakan komplit fermentasi, yang susunya terlihat berwarna putih.

Produksi susu sangat ditentukan dari laju sel sekretori mengubah nutrien dari darah menjadi komponen susu. Hal ini sangat dipengaruhi nutrisi yang dikonsumsi ternak berkaitan dengan prekursor pembentuk susu dan ketersediaan energi. 

Perbedaan warna susu yang diproduksi oleh kelompok kambing percobaan diduga karena pakan komplit fermentasi yang berbasis limbah sawit, menggunakan limbah sawit yang sudah kering, sehingga kadar beta karotennya sudah sangat rendah dibanding pemberian pakan hijauan segar. Beta karoten terdapat dalam hijauan segar dan akan berubah menjadi vitamin A ketika di dalam tubuh. Kadar beta karoten akan sangat berkurang karena proses pengeringan dengan sinar matahari. Senyawa karotenoid ini yang memberikan warna kuning pada susu. Pada bahan pakan yang sudah kering, kandungan beta karotennya sudah rendah sehingga menyebabkan warna susu menjadi putih.

Dari penelitian ini, diharapkan bahwa pemanfaatan kerakas sawit yang sudah kering sebagai pakan ternak ruminansia bisa diaplikasikan untuk ruminansia kecil. Pemanfaatan limbah sawit untuk pakan ruminansia kecil selama ini terbatas pada daun sawit yang masih segar, tetapi dengan teknologi fermentasi dan dibuat menjadi pakan komplit ini bisa memanfaatkan pelepah dan daunnya (kerakas) yang sudah kering untuk pakan ruminansia kecil. Kelemahan terhadap produk susu akibat penggunaan pakan komplit fermentasi yang berbasis kerakas sawit kering bisa diantisipasi dengan suplementasi bahan pakan sumber vitamin A dalam ransumnya. ***

Dr Lilis Hartati, SPt
Penulis adalah pengajar di Jurusan Peternakan, 
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru

GANGGUAN REPRODUKSI MERECOKI PRODUKTIVITAS SAPI PERAH

Peternakan sapi perah. (Istimewa)

Akhir tahun 2018 kemarin, penulis berkesempatan kembali berkunjung ke salah satu peternak sapi perah binaan yang berada di Situ Udik, Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Setelah lebih dari dua tahun tidak ke sana, perjalanan menuju Kavling 43 menurut penulis banyak mengalami perubahan. Kavling-kavling yang semula penuh dengan sapi perah, kini terlihat lengang dan kosong. Lalu-lalang truk pengangkut rumput dan pengangkut susu ke koperasi juga terlihat kian sepi. Sebagian kandang dibiarkan kosong dan ditumbuhi rumput-rumput liar yang terlihat bersemak semak. Selain itu, kavling rumah anak kandang juga terlihat kosong. Terbesit pertanyaan di benak penulis, apa benar beternak sapi perah di sana sudah tidak menjanjikan lagi?

Melihat fenomena tersebut penulis berbincang dengan H. Burhan pemilik Kavling 43 yang kini masih bertahan dengan populasi 50 ekor sapi perah. Dari populasi tersebut 21 ekor laktasi fase medium dan late dengan days in milk lebih dari 150 hari, sebanyak tujuh ekor calon dara umur kurang dari 15 bulan serta populasi lainnya periode kering, pedet dan sapi jantan.

Burhan bercerita bahwa pada puncak laktasi sapinya dapat mencapai produksi 20 liter per hari. Beberapa sapi mengalami kendala reproduksi yaitu susah terjadi kebuntingan, sehingga produksi susu akan turun terus-menerus secara alami. Ia mengatakan, selain karena faktor pelayanan petugas reproduksi dari koperasi yang masih harus dioptimalkan, banyaknya fenomena pendarahan 1-2 hari setelah inseminasi buatan atau yang dikenal sebagai metestrus bleeding kerap ditemukan.

Produksi susu akan berada pada puncak laktasi pada days in milk 30-120 hari yaitu pada fase peak. Produksi dapat bertahan pada puncak 1-2 bulan kemudian dengan manajemen pemeliharaan dan nutrisi yang bagus. Secara umum pada fase medium atau late dengan days in milk lebih dari 150 hari akan terjadi penurunan secara alami. Sapi dengan perfoma reproduksi baik akan terjadi perkawinan dan kebuntingan pada days in milk 90 -120 hari, sehingga masa kering kandang akan dilakukan pada days in milk 300-330 hari (fase late).

Pada days in milk ini kering kandang dapat berjalan dengan baik dan produksi susu selama tujuh bulan proses kebuntingan juga masih menguntungkan. Sebaliknya, jika kebuntingan terjadi pada fase late (days in milk lebih dari 210 hari), maka pengeringan terjadi pada days in milk 420 hari. Jika hal ini terjadi maka peternak akan mengalami kerugian, karena pada fase late produksi susu sudah tidak mampu menutupi biaya produksi. Kondisi yang lebih parah lagi, jika hingga fase late induk tidak bunting produksi susu akan berhenti atau diberhentikan dalam kondisi tidak bunting (dry off).

Kesempatan berikutnya penulis melakukan observasi ke kandang sapi perah milik Burhan. Desain kandang yang digunakan sangat minim cahaya matahari yang menyebabkan deteksi birahi dengan melihat faktor eksternal tanda birahi menjadi sulit (abang, abuh, anget, dinaiki, menaiki dan keluranya lendir bening). Masalah lainya yang ditimbulkan karena minimnya cahaya matahari adalah kurangnya asupan...

Drh Joko Susilo, M.Sc.
Medik Veteriner Muda
Balai Veteriner Lampung

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Februari 2019.

Pembentukan Sapi Indonesian Commercial Cross Mulai Digagas

Direncanakan pengembangan sapi Indonesian Commercial Cross untuk akselarasi produksi daging dan susu nasional. (Sumber: Istimewa)

“Perlunya dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.”

Keresahan kaum intelektual di perguruan tinggi dan lembaga penelitian terhadap ketiadaan brand sapi komersial asli Indonesia, sedikit mulai menemukan jawaban. Pertemuan ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi peternakan ruminansia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digagas Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (Fapet UGM), yang dibuka oleh Prof Dr Ir Ali Agus, selaku Dekan Fapet UGM telah terlaksana dengan baik dan menghasilkan secercah harapan untuk masa depan sapi potong dan perah di Indonesia.

Bertempat di Ruang Sidang Besar, Gedung H-1, Fapet UGM Yogyakarta pada Jumat, (21/12), para akademisi dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta praktisi dan pengusaha ternak ruminansia berkumpul, untuk menyamakan persepsi terhadap tujuan, arah dan model kombinasi untuk mendapatkan bangsa sapi komersial Indonesia (beef dan dairy) yang mampu menjawab kebutuhan daging dan susu di Indonesia.

Peserta akademisi berasal dari Fapet UGM, Unpad Bandung, UNS Surakarta, Unlam Kalimantan Selatan, Udayana Bali dan Kanjuruhan Malang. Sedangkan peneliti yang dihadirkan berasal dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, BPTBA LIPI Yogyakarta, dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati. Turut hadir pula perwakilan dari Koperasi Susu Warga Mulya Sleman dan PT Widodo Makmur Perkasa Klaten.

FGD diawali dengan pemaparan oleh Prof Dr Ir Sumadi, tentang definisi dan karakter yang dibutuhkan dalam pembentukan sapi Indonesian Beef Commercial Cross (IBCC) dan sapi Indonesian Dairy Commercial Cross (IDCC), serta potensi dan output yang diharapkan.

“Indonesia defisit satu juta ekor sapi potong yang saat ini diwujudkan dalam bentuk impor sapi sebanyak 700 ribu ekor dan impor daging setara 300 ribu ekor. Sedangkan untuk sapi perah, kita defisit dua juta induk, jika mengacu pada kebutuhan susu sapi nasional. Kurang lebih 70% kebutuhan susu nasional, kita dapatkan dari impor,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu dibentuk bangsa sapi potong dan perah komersial asli Indonesia yang mempunyai produktivitas mumpuni, namun juga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap iklim tropis di Indonesia.

Bentuk Bangsa Sapi IBCC dan IDCC
Pembentukan bangsa sapi IBCC dan IDCC dapat ditempuh mulai dari nol (bisa mengacu pada pembentukan bangsa Kuda Pacu Indonesia), atau dengan cara pemetaan dari bangsa sapi yang ada saat ini.

Alternative crossing yang dapat dilakukan diantaranya dengan memaksimalkan heterosis (prestasi rata-rata anak di atas rata-rata induknya), grading up (mengubah bangsa satu ke bangsa yang lain), ataupun melalui pembentukan bangsa baru (komposit). Pemetaan bangsa sapi yang ada saat ini, menurut Prof Ir I Gede Suparta Budisatria, dapat mengacu pada hasil-hasil riset perguruan tinggi dan lembaga penelitian yang mengarah ke akselerasi produksi daging dan susu nasional. Hasil-hasil riset itu perlu disinkronisasikan, dirakit, hingga didapatkan komposit terbaik yang bisa diambil sebagai solusi untuk hasil yang lebih singkat, mengingat pekerjaan breeding beresiko menghabiskan waktu puluhan tahun hingga dihasilkan generasi sapi yang diharapkan.

Terkait dengan ketersediaan bangsa sapi lokal pure yang siap dijadikan sumber indukan, menurut Prof Dr Ir Sri Bandiati, telah tersedia bangsa sapi Pasundan hasil penelitian di Jawa Barat. Di lain pihak, Dr Syahruddin Said, menambahkan bahwa telah teridentifikasi genetik sebanyak 13 ekor sapi Sumba Ongole (SO) murni hasil kolaborasi dengan Puslit Bioteknologi LIPI di kandang milik PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) Bogor. Sapi SO tersebut telah tersertifikasi SNI dan siap digunakan sebagai sumber indukan.

Sementara, dosen jurusan peternakan UNS, Nuzul Widyas, ikut menegaskan perlu juga dipertimbangkan bahwa tidak serta-merta persilangan antara Bos indicus (bangsa sapi tropis) dengan Bos taurus (bangsa sapi subtropis) selalu menghasilkan keuntungan. Sebagai contoh pada bangsa sapi Belgian blue di Belgia yang merupakan hasil persilangan berbagai bangsa sapi hingga didapatkan sapi dengan double muscling, yang ternyata mempunyai kekurangan berupa mengecilnya saluran reproduksi akibat pertumbuhan otot yang super, sehingga diperlukan operasi sesar dalam setiap penanganan kelahirannya. Tentu ini menambah biaya dan tenaga.

Saat ini diketahui bahwa sapi-sapi yang dipelihara di Indonesia tidak mudah lagi untuk dideteksi berapa persen darah suatu bangsa ada dalam ternak tersebut. Lemahnya recording system di tingkat peternak menjadi salah satu faktor, di samping sosiokultural sebagian masyarakat yang semakin senang jika ternak mereka semakin berwarna “merah” (darah Bos taurus semakin tinggi), tanpa mereka sadari bahwa akan semakin tinggi pula biaya yang di keluarkan untuk pemenuhan nutrien pakan dan pemeliharaan jika diinginkan produktivitasnya optimal.

Sementara terkait dengan pembentukan IDCC, Prof Dr Ir Tridjoko Wisnu Murti, menegaskan bahwa akselerasi yang dibutuhkan saat ini bukan hanya dalam pemenuhan jumlah tonase susu yang dihasilkan, tetapi juga pada kualitas susu itu sendiri.
Saat ini di lapangan, dengan 600 ribu ekor sapi perah yang dimiliki Indonesia, hampir seluruhnya merupakan sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH) yang identik dengan warna hitam dan putih. Padahal, lanjut dia, terdapat sapi FH berwarna merah dan putih yang lebih adaptif terhadap kondisi tropis, serta bangsa sapi Jersey yang juga merupakan bangsa sapi perah dengan kemampuan adaptasi iklim tropis yang lebih baik, sehingga perlunya pemikiran untuk melakukan akselerasi dengan pendekatan breeding yang lebih terkonsep dengan baik.

Hal ini diamini oleh peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Susu Warga Mulya Sleman. Jenis sapi yang diinginkan peternak adalah sapi perah yang low cost, yaitu sapi yang dengan postur dan kemampuan produksi yang tidak superior, namun dapat dikelola sesuai dengan kemampuan peternak.

Sebab yang terjadi selama ini adalah, peternak “dipaksa” memelihara sapi perah FH/PFH dengan tuntutan biaya pakan tinggi, karena memang secara genetik sapi tersebut membutuhkan pakan dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Ketika hal ini tidak dapat dipenuhi secara kontinu, maka produksi susu akan turun jauh di bawah performa yang diharapkan, bahkan rentan terjadi metabolic diseases dengan ditemukannya sapi perah produksi tinggi yang ambruk.

Menutupi kekurangan margin usaha sapi perah, para peternak menyilangkan induk perah mereka dengan straw sapi potong seperti Limousin dan Simmental, yang akan menghasilkan anakan dengan harga jual lebih tinggi. Ini pasti menimbulkan masalah, baik pada reproduksi maupun untuk replacement stock. Oleh karena itu, keluhan peternak ini harus segera dicarikan solusinya. Bisa jadi IDCC sebagai salah satu solusinya.

Dengan adanya bangsa sapi perah yang lebih adaptif terhadap iklim tropis, akan memudahkan peternak dalam mengelola pakan tanpa kekhawatiran menimbulkan kekurangan nutrien, sehingga produksi susu secara optimal dapat diraih. Satu hal yang pasti, meskipun bukan jumlah produksi susu yang superior, namun biaya yang dikeluarkan masih terjangkau peternak.

Dari kegiatan FGD tersebut, diharapkan menjadi awal inisiasi pemikiran seluruh stakeholder bidang sapi potong dan perah, untuk turut serta mengatasi permasalahan industri persapian. Pertemuan selanjutnya akan dilakukan pada awal 2019 di Bogor, dengan agenda pembentukan konsorsium sapi potong dan perah komersial Indonesia, serta penentuan langkah teknis, hingga diharapkan launching IBCC dan IDCC bisa terwujud pada 2022 mendatang.

Pengembangan bangsa sapi komersial ini membutuhkan dukungan dan kerja-keras semua pihak, mulai dari pihak swasta, asosiasi/organisasi, pemerintah sebagai regulator, perguruan tinggi dan lembaga penelitian. ***


Awistaros Angger Sakti, M.Sc.
Peneliti di BPTBA LIPI Yogyakarta

Keunggulan Daging Sapi Bali yang Tersembunyi

Sapi Bali. (Sumber: Google)

Menurut pakar sapi Bali, Prof Dr Drh Ni Ketut Suwiti, bahwa daging sapi Bali mempunyai beberapa kelebihan tak banyak orang ketahui saat ini. Diantara keunggulannya itu adalah kandungan proteinnya jauh lebih tinggi, lemak di dalam serat daging relatif rendah, serat dagingnya lebih lembut dan nilai prosentase karkasnya sangat tinggi, serta aroma cita rasa sangat familiar dengan bangsa ini.

Selain itu, dalam hal daya simpan daging sapi Bali tahan lebih lama dibandingkan dengan daging sapi bangsa persilangan. Prof Suwiti menjelaskan, dari aspek medis, hieginis untuk konsumsi kebutuhan menu harian, jauh lebih aman karena berbagai keunggulannya itu.

“Artinya potensi ancaman penyakit jantung, hipertensi dan asam urat, serta penyakit metabolik yang lain pada orang yang mengonsumsi relatif lebih aman,” kata dia.

Lebih lanjut, Prof Suwiti yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pusat Kajian Sapi Bali Universitas Udayana (Unud) Denpasar, mengharapkan lebih banyak pihak, baik hotel dan restoran di Indonesia menggunakan daging sapi Bali dalam sajian menunya.

“Seharusnya hotel dan restoran di Indonesia diwajibkan menggunakan daging sapi Bali, walaupun tidak harus seratus persen,” ucapnya.

Sebab, saat ini nyaris seluruh kebutuhannya daging sapi berasal dari daging impor. Selain itu juga, penting adanya “good will” pemerintah yang memiliki kewenangan dan membuat regulasi tentang hal tersebut. Menurutnya, tanpa ada campur tangan yang kuat dalam hal regulasi, maka dikhawatirkan sapi Bali yang merupakan plasma nutfah Indonesia akan beranjak punah dan hanya menjadi catatan sejarah.

Peran penting yang lain, seperti ditunjukkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau komunitas KAHMI vet, yang concern menyelenggarakan seminar terkait sapi Bali. Menurut Ketua Panitia, Drh Dewi Fadhlulah, seminar tersebut digagas atas keprihatinan komunitas KAHMI vet melihat dan mengamati perkembangan sapi lokal di Indonesia, baik itu sapi Bali atau jenis sapi lokal yang lainnya.

Dari latar belakang tersebut, pihaknya berkesimpulan bahwa tingkat perhatian dan instrumen kebijakan pemerintah yang masih kurang greget terhadap masa depan sapi asli Indonesia.

“Untuk itu dibuatlah agenda seminar ini secara berkelanjutan. Agenda perdana yaitu pemeliharaan sapi Bali pada pertengahan 2018, dilanjutkan aktivitas seminar ini. Kemudian berikutnya akan kembali dilanjutkan agenda berupa workshop dan temu nasional para peminat, peneliti maupun pelaku usaha budidaya sapi potong, terutama perusahaan feedlot. Semoga berhasil dan membawa kemaslahatan bagi ummat,” katanya. (iyo)

Mengenal Gen Bovine Prion Protein (bPRNP) Sebagai Penyebab Penyakit Sapi Gila (Mad Cow) Secara Genetik

Ilustrasi ternak sapi. (Sumber: freestocks.org via Pexels)

Penyakit sapi gila (mad cow) pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 pada sapi perah di Inggris. Data dari Centers for Desease Control and Prevention (Amerika) melaporkan bahwa pada 2017 kemarin masih terdapat 50 kasus mad cow di negara bagian Alabama. Di Indonesia, penyakit sapi gila masih dinyatakan bebas hingga saat ini. Penyakit sapi gila dapat menyebabkan kematian pada ternak dan dapat menular ke manusia (zoonosis).

Tanda-tanda sapi yang terkena penyakit sapi gila antara lain: 1) Sapi sering melakukan gerakan-gerakan aneh, terkadang agresif. 2) Produksi susu menurun drastis. 3) Sapi mengalami kelumpuhan (ambruk). 4) Sapi mengeluarkan saliva dan berbusa (hipersalivasi). 5) Sapi mengalami gangguan keseimbangan dan kadang mengalami kekejangan (tremor).

Sindrom ini disebabkan karena kelainan protein prion (proteinaceous infectious particles). Protein prion yang normal umumnya memiliki bentuk α-helix dengan simbol PrPC. Namun, protein PrPC juga dapat membentuk serat-serat helix (amiloid) atau β-sheet dengan simbol PrPSc seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur protein prion pada sapi (Sumber: Prusiner, 2004)

Protein PrPSc memiliki sifat tahan terhadap enzim proteinase K, yaitu suatu enzim yang dapat mendegradasi protein. Di dalam tubuh mamalia, protein PrPSc akan terakumulasi (mengendap) di dalam lisosom sel otak. Lisosom yang terakumulasi protein PrPSc akan pecah dan menyebabkan kematian sel otak. Sel-sel otak yang telah mati menyebabkan lubang-lubang (vakuola) pada jaringan.

Penyakit sapi gila atau dalam bahasa medis disebut Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) merupakan salah satu kelompok penyakit Transmissible Spongiform Encepahlopathy (TSE) yaitu penyakit-penyakit yang disebabkan oleh prion. Contoh lain dari TSE diantaranya, Chronic Wasting Disease (CWD) pada rusa, scrapie pada domba/kambing, Feline Spongiform Encepahlopathy (FSE) pada kucing, Transmissible Mink Encephalopathy (mink) dan Exotic Myalate Encephalopathy pada kuda. Manusia yang tertular BSE mengakibatkan penyakit new variant Creutzfeldt Jacob Disease (nvCJD).

Perubahan patologi anatomi pada pemeriksaan post mortem sapi yang terkena BSE tidak terlihat secara spesifik. Pada pemeriksaan histopatologi terdapat perubahan khas penyakit BSE, yaitu degenerasi neuron berupa lesi spongious (Gambar 2) dan vakuola neuron perikaria (Jeffrey dan Gonzales, 2004), biasanya berbentuk bilateral dan simetris pada substansi abu-abu sistem saraf pusat (grey matter) (Barbuceanu et al. 2015). Perubahan histopatologis lain adalah akumulasi amiloid pada otak (cerebral amyloidosis) yang dikelilingi vakuola. Pada sekeliling akumulasi amiloid itu, prion ditemukan dalam jumlah banyak yang dapat dilihat dengan pewarnaan immunohistokimia (CPSFH 2016). Prion tidak hanya ditemukan di SSP, tetapi juga ditemukan di medulla spinalis, Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT) dengan sasaran infeksi macrophages and Follicular Dendritic Cells (FDC), serta teridentifikasi pada sistem saraf enterik (Hoffman et al. 2011).

Gambar 2. Jaringan otak pada sapi yang terkena penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) ditandai dengan adanya bintik/lubang hitam yang tersebar di jaringan otak. (Sumber: pictures.doccheck.com)

Penyakit BSE dapat disebabkan karena pemberian protein dalam pakan menggunakan bahan baku hewani seperti... ***

Oleh:
Widya Pintaka Bayu Putra, M.Sc
Drh Mukh Fajar Nasrulloh
Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi November 2018.

Bahaya Stress Panas (Heat Stress) pada Sapi dan Cara Mendeteksinya

Upaya jangka panjang mengatasi heat stress dapat dilakukan dengan seleksi ternak secara konvensional maupun tingkat DNA melalui kajian mendalam. (Sumber: noticiascalabozo.com)
Gejala stress panas (heat stress) dapat terjadi pada sapi akibat gangguan pada proses metabolisme tubuh karena cekaman panas yang tinggi. Stress panas pada sapi dapat menurunkan produktivitas pada ternak sehingga harus diatasi. Bangsa sapi Bos indicus memiliki daya tahan panas (heat tolerant) yang baik dibandingkan dengan sapi Bos taurus (Gantner et al., 2011). Hal itu disebabkan karena bangsa sapi Bos taurus tidak memiliki kemampuan homeostatis yang baik pada cuaca panas (Blackshaw dan Blackshaw, 1994).

Beberapa sapi lokal di Indonesia seperti sapi Bali, Madura dan Pasundan juga memiliki daya tahan panas yang baik (Atmadilaga, 1959; Putra et al., 2014). Zona aman untuk bangsa sapi Bos taurus adalah pada suhu 5-20oC (perah) dan 15-25oC (potong). Selain itu, zona aman untuk bangsa sapi Bos indicus pada suhu 16-27oC (Polsky dan von Keyserlingk, 2017). Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim panas, sehingga heat stress dapat terjadi pada beberapa bangsa sapi eksotik (Bos taurus) atau persilangannya yang dipelihara di Indonesia.

Gejala Heat Stress
Tanda-tanda gejala heat stress dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala yang terlihat (visible sign) dan gejala yang tidak terlihat (invisible sign).

Gejala yang terlihat pada sapi yang mengalami heat stress antara lain sebagai berikut:
a. Dalam kandang koloni, sapi cenderung saling merapat satu sama lain (bunching).
b. Sapi lebih sering berdiri dan terlihat gelisah.
c. Sapi sering menyerang dengan tiba-tiba (slobbering).
d. Sapi bernafas dengan cepat dan mulut terbuka (panting).
e. Daya keseimbangan sapi berkurang dan terlihat gemetar (trembling).
f. Sapi lebih banyak minum.
g. Konsumsi pakan dan proses ruminasi berkurang.
h. Sapi lebih sering mengeluarkan urine.

Gejala yang tidak terlihat pada sapi yang mengalami heat stress antara lain sebagai berikut:
a. Kadar PH di dalam rumen sapi rendah.
b. Motilitas mikroba di dalam rumen berkurang.
c. Pembuluh darah perifer membesar.
d. Mineral elektrolit (Ca, K, Na) dan senyawa bikarbonat (HCO3) di dalam tubuh berkurang.
e. Produksi hormon reproduksi terganggu.
f. Daya tahan terhadap penyakit parasit dan non-parasit berkurang.
g. Perkembangan sel telur dan sperma terganggu.

Monitoring Heat Stress
Salah satu cara untuk mendeteksi gejala heat stress pada sapi adalah dengan melihat tanda-tanda respirasinya. Tingkat respirasi pada sapi dapat dikelompokkan menjadi empat kategori seperti pada tabel.

Tabel Tingkat Respirasi pada Sapi
Score
Deskripsi
0
Respirasi normal (sekitar 60 sampai 90 kali per menit)
1
Respirasi mulai meningkat (sekitar 80 sampai 110 kali per menit)
2
Respirasi disertai dengan mulut sedikit terbuka dengan sedikit lendir saliva (sekitar 100 sampai 130 kali per menit)
3
Respirasi disertai dengan mulut yang terbuka lebar dengan lendir saliva yang banyak (sekitar 120 sampai 140 kali per menit)
4
Kondisi respirasi seperti pada score 3, tetapi disertai dengan lidah yang menjulur keluar (>140 kali per menit) dan kepala tertunduk ke bawah

Sumber: Marder et al., (2006).

Sapi dengan ciri score 2 perlu diwaspadai terjadi heat stress. Sapi yang mengalami heat stress dengan score 4 dapat menyebabkan kematian. Contoh sapi yang terkena gejala heat stress tersaji pada Gambar 1. Monitoring heat stress dalam suatu peternakan dapat dilakukan berdasarkan suhu udara (dry bulp temperature) dan kelembaban udara (relative humidity).

Nilai yang diperoleh dari kedua parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk mengetahui nilai Temperature Humidity Index (THI) seperti pada Gambar 2. Nilai THI terdiri dari lima kategori, yaitu normal (THI <75), aware (70-74), alert (75-78), danger (79-83) dan emergency (THI >83).

Sifat heat tolerant secara kuantitatif dapat diukur dengan menghitung nilai koefisien Benezra dan koefisien Rhoad dengan rumus persamaan menurut Soeharsono (2008), sebagai berikut:




Keterangan:
IA : Index Adaptability (koefisien Benezra)
HTC : Heat Tolerant Index (koefisien Rhoad)
RTI : Suhu tubuh siang hari
RTO : Suhu tubuh pagi hari 
NRI : Frekuensi respirasi siang hari
NRO : Frekuensi respirasi pagi hari

Seekor sapi yang memiliki nilai IA = 2,00 menunjukkan bahwa sapi tersebut memiliki sifat heat tolerant. Nilai IA yang lebih tinggi atau lebih rendah dari 2,00 menunjukkan bahwa sifat heat tolerant semakin rendah. Sementara itu, nilai HTC = 100 menunjukkan bahwa sapi memiliki sifat heat tolerant yang optimal. Semakin rendah nilai HTC maka sifat heat tolerant pada sapi semakin rendah.

Sapi Pasundan memiliki nilai IA sebesar 2,05-2,24 sedangkan nilai HTC sebesar 89,20-94,60 (Putra et al., 2016). Rata-rata nilai IA dan HTC pada sapi Bali masing-masing sebesar 2,20 dan 93,00 (Muin et al., 2013; Atmadilaga, 1959). Nilai HTC pada sapi tropis berkisar antara 64-95 (Huitema, 1986).

Cara Mengatasi Heat Stress 
Permasalahan heat stress pada sapi pernah diulas di majalah Infovet edisi 232-November 2013 dengan judul “Heat Stress Sapi Perah dan Cara Mengatasinya” yang ditulis oleh Drh Joko Susilo. Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa heat stress pada sapi dapat diatasi dengan beberapa cara antara lain:
a. Menyiasati pakan, feed additive dan obat.
b. Mengusahakan atap kandang agar tetap dingin.
c. Membuat saluran ventilasi melalui pipa bawah tanah (under ground pipe).
d. Menyediakan kolam untuk berendam (dipping).
e. Memasang exit lane sprinklers dan cooling fan pada kandang.

Upaya untuk mengatasi heat stress tersebut memerlukan modal yang besar dan hanya dapat diaplikasikan pada peternakan skala industri. Upaya jangka panjang untuk mengatasi heat stress dapat dilakukan dengan seleksi ternak secara konvensional maupun tingkat DNA (molekuler) melalui kajian yang lebih mendalam.

Sebab, sifat heat tolerant pada sapi bersifat heritable (dapat diwariskan), sehingga seleksi ternak dapat dilakukan berdasarkan nilai IA dan HTC pada masing-masing individu. Seleksi molekuler pada sifat heat tolerant dapat dilakukan melalui identifikasi genotip (genotyping) pada beberapa kandidat gen yang mempengaruhi sifat heat tolerant, antara lain gen Bovine Heat Shock Protein 70 (bHSP70) dan Bovine Na/K adenosin triphosphatase alpha 1 (bATP1A1).

Muin et al. (2013), melaporkan bahwa genotip AA pada gen HSP70 sapi Bali merupakan genotip yang paling banyak ditemukan (dominan) pada sapi Bali. Genotip AA pada gen HSP70 sapi Bali diduga merupakan gen yang mempengaruhi heat tolerant pada sapi Bali.

Gambar 1. Salah satu ciri sapi yang mengalami gejala stress panas dengan score 1 (A),
score 2 (B), score 3 (C) dan score 4 (E). (Sumber: ag.ndsu.edu)
Gambar 2. Temperature humidity index (THI) pada sapi. (Sumber: Reynolds, 2016)

Widya Pintaka Bayu Putra, S.Pt., M.Sc.
Peneliti Bidang Genetika dan Pemuliaan Ternak,
P2 Bioteknologi - LIPI
Email: widya.putra.lipi@gmail.co.id 

Rawan Hijauan Pakan, (Masihkah) Silase jadi Solusi

Bahan baku seperti rumput raja, dedak padi dan molasses. (Foto: Dok. pribadi)

((Ketahanan pakan bukan melulu soal sukses menyediakan, tetapi juga soal kemampuan bertahan menghadapi segala kemungkinan.))

Teknologi silase, terdengar bukan sebagai penemuan kekinian. Puluhan tahun yang lalu teknologi ini sudah diperkenalkan, khususnya di negara-negara subtropis dengan empat pola musim. Bagi mereka, silase hijauan pakan ruminansia adalah keniscayaan untuk ketahanan pakan pada musim dingin, di mana sulit ditemukan cadangan pakan hijauan di lahan yang tertutupi salju.

Hijauan Fermentasi di Indonesia
Di Indonesia, teknologi silase atau yang biasa disebut hijauan pakan fermentasi, didengungkan sebagai solusi mengatasi kerawanan hijauan di musim kemarau. Namun, realita di lapangan hingga kini, jarang ditemukan peternak dan kelompok peternak yang secara masif memproduksi silase sebagai kebutuhan pokok untuk mempertahankan ketahanan pakan. Berbagai penyuluhan yang diberikan kepada mereka, dari tahun ke tahun, tidak diimplementasikan secara berkesinambungan. Hal ini bisa jadi disebabkan karena kekayaan sumber daya alam Indonesia. Berbagai jenis hijauan pakan mudah ditemukan dan tumbuh subur. Bahkan beberapa daerah disebut sebagai lumbung pakan hijauan. Kondisi kekeringan di musim kemarau pun dianggap masih aman, karena masih bisa ditemukan beberapa spesies tanaman tahan kering seperti lamtoro, ada masih cukupnya suplai hijauan yang didatangkan dari daerah lumbung pakan. Sehingga lumrah, bila masyarakat masih enggan memproduksi silase terus-menerus sebagai kebutuhan, karena menambah biaya produksi mereka.

Berbeda dengan masyarakat peternak, justru industri peternakan ruminansia yang kerap memanfaatkan teknologi silase untuk efisiensi produksi pakan. Limbah industri pertanian kerap di-mix dengan berbagai bahan pakan sumber serat, untuk difermentasi menjadi silase komplit. Satu jenis ransum komplit tersebut lebih menjamin ketersediaan pakan sepanjang musim produksi, menjamin kestabilan kualitas pakan, serta efisiensi penggunaan tenaga kerja.

Pembuatan hijauan fermentasi secara sederhana.
(Foto: Dok. pribadi)
Tantangan Kerawanan Pakan Hijauan
Urgensi ketersediaan pakan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, bukan lagi hanya disebabkan karena semakin menurunnya jumlah lahan hijauan pakan yang tergerus cepatnya arus pembangunan pemukinan dan industri, namun juga karena faktor bencana alam. Betul, negara ini memang harus bersahabat dengan alam dan memahami bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah rawan bencana, seperti gempa bumi dan tanah longsor, serta banjir mampu meluluh-lantakkan lahan pertanian, demikian juga dengan letusan gunung merapi. Awal Mei kemarin, Yogyakarta dan sekitarnya kembali merasakan hujan abu akibat erupsi freatik Gunung Merapi. Abu yang di keluarkan gunung berapi terbang dan menyelimuti seluruh kehidupan, termasuk lahan pertanian. Kondisi ini mengingatkan pada erupsi Gunung Kelud dan Merapi beberapa tahun sebelumnya, yang terjadi hingga lebih dari tiga hari. Namun, pengaruh dari abu vulkanik yang menempel pada permukaan tanaman bertahan hingga sebulan lebih, yang menyebabkan gagal panen dan kelangkaan hijauan pakan. Peternak ruminansia mengeluhkan kondisi ini, di mana palatabilitas ternak terhadap hijauan pakan tercemar abu vulkanik menurun drastis. Saat itu, penggunaan konsentrat ditingkatkan untuk mengganti kehilangan nutrien hijauan yang tidak terkonsumsi. Akibatnya peningkatan biaya pakan menjadi tak terhindarkan.

Alasan kepemilikan rojo koyo seperti sapi, kerbau, kambing dan domba oleh peternak di pedesaan, lebih sebagai ternak tabungan, yang siap diuangkan bila mereka membutuhkan uang. Faktor hitung-hitungan produksi belum menjadi konsen pokok, apalagi efisiensi prosesnya. Sehingga wajar bila teknologi sederhana silase tidak tersentuh secara berkesinambungan. Namun, hampir di setiap daerah, para peternak menghimpun diri dalam kelompok peternak, yang memperhatikan struktur organisasi dan menjalankan unit usaha. Kelompok ini mampu menjembatani peternak dengan segala keterbatasan yang tidak bisa diraih bila dilakukan sendiri-sendiri, termasuk di dalam usaha mempertahankan ketahanan pakan sepanjang musim dengan biaya yang semakin efisien. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan dibentuknya unit usaha produksi hijauan fermentasi.

Beberapa konsep dapat diterapkan. Misal, peternak yang umumnya mempunyai lahan hijauan, meski terbatas, dapat menyetor kelebihan hijauan pada musim hijauan melimpah (misal saat penghujan) kepada unit usaha di kelompok. Kemudian, unit usaha tersebut memproduksi hijauan fermentasi dari bahan baku yang dibeli dari peternak, atau dapat kulakan dari daerah lumbung hijauan pakan. Peternak dapat kembali memanfaatkan hasil panen hijauan fermentasi yang diproduksi oleh kelompok mereka, setiap saat, terutama pada saat kesulitan mendapatkan hijauan segar seperti pada saat musim kemarau, bahkan saat terjadinya hujan abu vulkanik. Pembelian pun dapat dilakukan dengan cara kekeluargaan yang mengedepankan kebijakan masing-masing kelompok, seperti pembelian secara tunai, pembayaran dengan harga dipotong setoran bahan baku hijauan, atau pembayaran kredit yang dibayar berkala atau menggunakan pupuk kandang.

Konsep kerakyatan seperti ini perlu dikelola oleh pengurus yang mengerti aspek usaha, aspek teknologi yang digunakan, yang juga akan mendapatkan hasil dari unit usaha yang dikelolanya untuk kesejahteraan mereka. Sehingga, dapat tercipta kondisi saling membantu dalam rangka efisiensi produksi yang dilakukan secara komunal antara peternak dan pengurus kelompok, bukan lagi berjuang sendiri-sendiri.

Contoh Fakta Menarik di Indonesia
Sebagai contoh di D.I. Yogyakarta, jumlah ternak ruminansia tercatat pada 2013 (Dinas Pertanian DIY) di Kabupaten Gunungkidul mencapai 40% dari total ruminansia di DIY (Tabel. 1), jauh lebih tinggi dari Kabupaten Sleman yang hanya mencapai 18% dari total ruminansia di DIY. Keadaan ini berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian sawah yang notabene menyumbang hijauan dan sisa pertanian sebagai sumber pakan hijauan (Tabel. 2). Karena ironisnya, Kabupaten Gunungkidul hanya mempunyai luas lahan pertanian sawah 14% dari total sawah di DIY, sementara Sleman mempunyai sawah paling luas hingga mencakup 40%. Ditambah lagi bahwa sebagian besar sawah di Kabupaten Gunungkidul merupakan sawah tadah hujan, yang mengalami masa-masa bero. Hal ini mengindikasikan bahwa ada indikasi kerawanan pakan hijauan di Kabupaten Gunungkidul, dan wajar saja, bila lazim ditemui truk-truk pengangkut tebon (tanaman) jagung dan rumput raja datang ke kabupaten yang mempunyai kontur berbukit-bukit ini setiap harinya.

Faktanya, setiap musim kelangkaan pakan hijauan, hampir seluruh peternak di Kabupaten Gunungkidul tidak enggan untuk membeli hijauan yang didatangkan dari kabupaten tetangga, dengan harga 2-3 kali lipat lebih mahal dibanding jika mereka bisa menanam sendiri. Berdasarkan perhitungan penulis dan pengalaman pendampingan di lapangan, kelompok peternak yang mau memproduksi silase bagi kebutuhan anggota kelompoknya, mampu menekan biaya pakan hijauan hingga separuhnya, dibanding bila para anggota membeli hijauan segar secara eceran di pedagang hijauan. Hal ini karena, sub unit yang dimiliki kelompok dapat memotong jalur pemasaran hijauan pakan dengan membeli (kulakan) hijauan dari daerah lain dengan tonase yang lebih besar dan dapat dipergunakan anggota di setiap saat, sehingga meningkatkan nilai produk dari segi waktu pemanfaatan, dengan harga per kilogram menjadi lebih rendah.

Produksi hijauan fermentasi. (Foto: Dok. pribadi)
Silase (Masih) Sangat Berpotensi
Silase hijauan pakan bukan lagi komoditas internal kelompok peternak, namun kini merambah menjadi komoditas bisnis di hulu peternakan ruminansia. Para pengusaha penggemukan, stocking untuk pemotongan, serta kurban dan aqiqah service akan berpikir dua kali untuk menanam hijauan sendiri. Mereka lebih memilih membeli hijauan fermentasi (jika ada), bahkan dibanding dengan membeli hijauan segar yang mempunyai masa simpan hijauan terbatas (hanya 1-2 hari). Beberapa orang sudah menangkap peluang ini, seperti Kabupaten Magelang yang mempunyai sumber daya rumput luar biasa tinggi, yang mulai menjual hijauan silase ke D.I. Yogyakarta.

Kembali ke silase itu sendiri. Silase hijauan dianggap dapat menjawab tantangan kerawanan pakan hijauan. Membantu peternak menyediakan pakan hijauan berkualitas, berkesinambungan, sepanjang masa dan menjadi teknologi terapan yang mampu menjawab tantangan bencana alam, keterbatasan lahan hijauan dan tuntutan efisiensi sistem usaha peternakan. Jadi sudah tidak ada lagi cerita ketika turun hujan abu vulkanik, lalu sapi dan domba tidak makan, bukan? Jayalah peternak Indonesia.

Awistaros A. Sakti
Peneliti Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada






Lampiran Tabel

Tabel 1. Jumlah Ternak Ruminansia D.I. Yogyakarta Tahun 2013
Kabupaten/Kota
 Jumlah Ternak Ruminansia
D.I. Yogyakarta Tahun 2013** (ekor)
 Sapi Potong
Sapi Perah
Kerbau
Kambing
Domba
Total
Kab. Kulonprogo
45.595
    150
120
89.725
22.062
157.652
Kab. Bantul
50.552
    153
271
74.462
52.085
177.523
Kab. Gunungkidul
138.134
      35
45
171.530
10.918
320.662
Kab. Sleman
38.216
 3.954
 541
33.625
71.412
147.748
Kota Yogyakarta
297
     34
5
388
383
1.107
Total D.I. Yogyakarta
272.794
4.326
 982
369.730
156.860
804.692
**Dinas Pertanian D.I. Yogyakarta.


Tabel 2. Luas Lahan Pertanian D.I. Yogyakarta Tahun 2016
Kabupaten/Kota
Luas Lahan Pertanian
D. I. Yogyakarta Tahun 2016* (ha)
Sawah
Bukan Sawah
Kab. Kulonprogo
10.366
34.933
Kab. Bantul
15.150
12.923
Kab. Gunungkidul
7.875
117.332
Kab. Sleman
21.841
20.617
Kota Yogyakarta
60
16
Total D.I. Yogyakarta
55.292
185.821
*Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer