-->

WABAH JEMBRANA DI SULTRA, KEMENTAN TEGASKAN PERKETAT LALU LINTAS TERNAK

Vaksinasi adalah metode pengendalian paling efektif untuk mengatasi penyakit Jembrana. (Foto: Istimewa)

Menyusul kali pertama terjadinya wabah penyakit Jembrana yang menyerang sapi Bali di Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kementerian Pertanian (Kementan) mengimbau agar setiap daerah memperketat upaya pencegahan dengan meningkatkan pengawasan terhadap lalu lintas ternak.

Langkah tersebut diharapkan dapat mencegah penyebaran penyakit yang telah menginfeksi ratusan sapi di beberapa kabupaten di Sultra.

Kementan melalui Balai Besar Veteriner Maros telah mengonfirmasi tujuh sampel positif Jembrana dari 55 sampel yang diuji pada 11 Oktober 2024. Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Sultra yang diperoleh melalui iSIKHNAS, terdapat 422 ekor sapi yang terlapor terjangkit, tersebar di enam kabupaten yakni Bombana, Kolaka, Kolaka Timur, Konawe, Konawe Selatan, dan Konawe Utara.

Meskipun angka kematian ternak kini mulai melandai berkat langkah biosekuriti dan pengobatan, Kementan tetap memperingatkan pentingnya pengawasan dan pengendalian penyakit.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan, Agung Suganda, menyatakan bahwa vaksinasi adalah metode pengendalian paling efektif untuk mengatasi penyakit Jembrana, di samping pemberian vitamin, obat-obatan, dan disinfektan di area peternakan.

“Kami telah mengirimkan pasokan obat-obatan, vitamin, dan disinfektan ke Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Provinsi Sultra pada 24 Oktober 2024 lalu,” ungkapnya.

Agung menekankan pentingnya pelaksanaan Permentan No. 17/2023 tentang Tata Cara Pengawasan Lalu Lintas Hewan, Produk Hewan, dan Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya di Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Peraturan ini adalah tulang punggung ketahanan sistem kesehatan hewan di Indonesia. Kita harus belajar dari pengalaman wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada 2022. Upaya pencegahan akan selalu lebih efektif dibandingkan penanganan setelah wabah terjadi,” ujarnya.

Ia juga menambahkan, aturan terkait pengawasan lalu lintas ternak telah dirancang berbasis digital untuk memudahkan implementasi dan menjadi standar nasional dalam upaya pengendalian risiko. Pemerintah Provinsi Sultra juga telah mengambil langkah pencegahan dengan mengimbau peternak untuk mengandangkan ternak mereka, memisahkan hewan yang sakit dari yang sehat, serta menerapkan biosekuriti seperti sanitasi, pembersihan, dan disinfeksi kandang.

Pemerintah Provinsi Sultra juga telah mengalokasikan 15.000 dosis vaksin Jembrana untuk 2025. Diharapkan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) dapat menjalankan pelayanan kesehatan hewan yang andal dan profesional demi memastikan penanganan kesehatan ternak yang lebih baik. (INF)

BAHAYA PENYAKIT JEMBRANA PADA SAPI BALI

Sapi Bali bisa mati dalam kondisi gemuk tanpa gejala klinis (kiri) atau mati dengan blood sweating/keringat darah yang tampak muncul dari kulit (kanan).

Sapi Bali (Bos sundaicus) merupakan plasma nutfah asli Indonesia. Mudah dipelihara, tak memilih jenis pakan atau rerumputan. Sapi Bali telah berkembang biak dengan baik di luar Pulau Bali, seperti di NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Sumatra dan Kalimantan.

Namun demikian, bahaya masih mengintai dalam pemeliharaan sapi Bali, salah satunya penyakit Jembrana yang disebabkan oleh Lentivirus yang spesifik hanya menyerang sapi Bali. Penyakit yang pertama kali ditemukan pada sapi Bali di Kabupaten Jembrana, Bali, ini telah menyebar ke berbagai pulau yang menjadi penyebaran sapi Bali. Pertama kali wabah terjadi di Lampung, dikenal dengan penyakit Rama Dewa. Kemudian penyakit menyebar ke wilayah Sumatra lainnya seiring dengan penyebaran sapi Bali di wilayah tersebut.

Keberadaan penyakit Jembrana juga ada di Kalimantan, mencakup  Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur serta Kalimantan Tengah. Adapun masuknya penyakit Jembrana di juga terjadi di Sulawesi, yakni Sulawesi Barat yang bisa berimbas menyebarnya penyakit ke Sulawesi Selatan melalui perdagangan sapi antar provinsi. Sulawesi Selatan merupakan Provinsi sumber ternak sapi Bali.

Gejala Klinis
Gejala klnis hanya ditemukan pada sapi Bali, meliputi demam tinggi, cermin hidung tampak mengering, sapi mengalami diare bau menyengat, tinja berwarna kehitaman bercampur darah, terlihat jelas adanya pembengkakan pada limfoglandula prefemoralis dan prescapularis. Sapi terduduk lesu dan pada tahap akhir tampak adanya perdarahan pada kulit/keringat darah atau blood sweating. Munculnya blood sweating merupakan manifestasi penurunan drastis jumlah keping pembeku darah, trombosit. Sapi mengalami kondisi tromositopenia. Adanya gigitan lalat pengisap darah pada kulit yang tidak terjangkau oleh kibasan ekor menyebabkan keluarnya darah dari bekas gigitan pada kulit sapi dan darah tidak mampu membeku.

Namun tidak semua kasus penyakit Jembrana disertai gejala klinis blood sweating karena kasus terjadi akut-perakut. Sapi Bali ditemukan mati medadak dalam kondisi... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022.

Ditulis oleh:
Sulaxono Hadi
Medik Veteriner Ahli Madya
Balai Veteriner Banjarbaru

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer