Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini PDHI | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

IFTAR BERSAMA PDHI

Suasana cair saat acara berlangsung


Momentum Ramadan nyatanya juga dimanfaatkan oleh PB PDHI dalam menjalin kebersamaan. Sebagaimana terlihat pada Minggu (2/5) yang lalu, ketika PB PDHI melaksanakan iftar atau berbuka puasa bersama para pengurus dan anggotanya di Menara 165, TB Simatupang, Jakarta Selatan.

Acara juga digelar secara online melalui daring Zoom Meeting, antusiasme anggota dalam mengikuti acara bisa dibilang tinggi, terlihat dari jumlah peserta yang hadi secara online pun mencapai lebih dari 60 orang.

Ketua Umum PDHI Drh M. Munawaroh dalam sambutannya berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas terselenggaranya acara tersebut. Ia juga mengatakan bahwa bulan ramadan identik dengan perjuangan melawan hawa nafsu, sehingga sangat penting dalam menjaga kebersihan hati agar total dalam beribadah di bulan ramadan.

"Nah untuk itu saya kira penting sekali bagi kita menjaga hati, bukan hanya di bulan ramadan saja, tetapi bulan lainnya juga. Maka dari itu saya di sini mengundang trainer dari ESQ yang akan memberikan wawasan baru bagi kita semua dalam menjaga hati kita," tutur Munawaroh.

Launching Produk Pakan

Acara tersebut juga diwarnai dengan launching produk pakan kucing oleh PT Nutricell Pacific. CEO PT Nutricell Pacific Suaedi Sunanto mengatakan bahwa kini PT Nutricell dengan bangga dapat mempersembahkan lini produk terbarunya di sektor pakan hewan kesayangan. Ia mengatakan bahwasanya produk pakan hewan kesayangan ini dapat terwujud berkat kerjasama yang apik antara Nutricell bersama komunitas dokter hewan terutama PB PDHI. 

"Kami hadir di sini dengan satu keyakinan bahwa kami tidak akan sukses jika tidak mendapat dukungan dari saudara sekalian. Kami sangat concern dengan lingkungan dan produk kami. Selain itu kami juga concern dalam social enterpreneurship, kami bersama sahabat dokter hewan bekerja sama dalam mengembangkan produk, ide, dan lainnya. Oleh karenanya kami sedang jajaki juga kerja sama dengan fakultas kedokteran hewan di seluruh Indonesia, agar juga dapat berkontribusi mengembangkan keilmuannya melalui produk kami," tutur Suaedi.

Tampilnya Nutricell dalam bisnis ini, tentunya akan menambah khazanah dan warna dalam kancah produk pakan hewan kesayangan di Indonesia. Sebagai informasi, kini Nutricell Pacific merupakan satu - satunya perusahaan lokal yang memiliki pabrik pengolahan pakan hewan kesayangan dalam bentuk basah di Indonesia. Selain itu, produk yang dihasilkan juga sudah memiliki sertifikat Nomor Kontrol Veteriner.

"Kenapa produk kami ber-NKV?, karena ini menunjukkan komitmen bahwa kami serius dalam semua produk kami. Jadi kalau memiliki NKV kan artinya kami sudah memenuhi standar higiene dan sanitasi di fasilitas produksi kami. Harapannya dengan terpenuhinya standar tersebut hewan yang mengonsumsi produk kami juga akan jauh dari penyakit terutama yang sifatnya zoonosis, sehingga hewan dan pemiliknya aman," tutur Drh Siska Aryana Registration Officer PT Nutricell Pacific.

Menikmati Training ESQ 

Nyatanya acara tersebut memang bukan hanya sekedar iftar biasa. Turut hadir pula coach Bram Wibisono ESQ NLP Director yang memberikan kuliah motivasi. Tema yang diusung oleh Coach Bram dalam kuliahnya yakni "Vaksin Hati Untuk Mendekatkan Diri Pada Ilahi".

Dalam kuliah yang berdurasi sekitar satu jam tersebut coach Bram mengajak peserta agar tidak terlalu memusingkan keadaan kini, dirinya mengajak para peserta untuk membuang semua kekhawatirannya dengan berbagai macam teknik dan motivasi yang jenaka.

"Kita ini penyakitnya cuma dua yakni depresi dan anxiety, terlalu khawatir dengan hal yang belum terjadi. Untuk itu kita harus persiapkan diri dan hati, yakin bahwa selalu akan ada jalan dalam segala keadaan, oleh karena itu kita harus mengubah kekhawatiran kita menjadi inovasi dan tindakan nyata, dan jangan lupa bersyukur atas yang diberikan oleh Tuhan hingga saat ini," tukasnya.

Tidak lupa coach Bram mengapresiasi kinerja dokter hewan di Indonesia. Menurutnya salah satu peran penting dari dokter hewan adalah teaching about compassion atau memberikan kasih sayang terhadap mahluk hidup lain selain manusia. (CR)

“HUT PDHI KE-68” MENGUPAS MAKNA SIMBOL DOKTER HEWAN INDONESIA

M. Chairul Arifin
Kado ulang tahun Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) tahun ini sangat berkesan sekali, yaitu bersamaan dengan peresmian Grha Dokter Hewan suatu tempat aktivitas dokter hewan Indonesia direncanakan, disiapkan, dilaksanakan dan dievaluasi.

Sebenarnya impian memiliki Grha Dokter Hewan ini sudah sejak lama, yaitu sejak 2005 dengan dibentuknya Pantya Persiapan Pembangunan Gedung Veterinary Center yg diketuai oleh  Drh A. Bolly A. Prabantara yang pembentukannya dilakukan dengan akte notaris dan disahkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 9 Maret 2006 dengan nama PT Sentra Veta Bhakti Mulia. Modal dasar saat itu Rp 500 juta dan dari para pendiri perorangan maupun saham dari para keluarga dokter hewan yang dihimpun melalui Yayasan Hemera Zoa sebesar Rp 125 juta.

Selanjutnya tanah seluas 800 m² di daerah Tajur Bogor yang berasal dari hibah Drs Mas'hud Wisnusaputra direncanakan menjadi gedung Veterinary Centre tersebut. Pada 26 Januari 2009, dirancang untuk acara penyerahan tanah wakaf dari Drs Mas'hud di Jl. Raya Tajur 170 Bogor kepada Yayasan Hemera Zoa yang sedianya bertindak atas nama organisasi. Tetapi kemudian Drs Mas'hud Wisnusaputra dipanggil Allah SWT pada 20 November 2008. Drs Mas'hud telah wafat mendahuluinya dan penyerahan tanah wakafnya tidak dapat terlaksana. Pada zaman tersebut PB PDHI baru menyelesaikan Kongres ke-15 yang memilih Drh Wiwiek Bagja selaku Ketua Umum masa bakti 2006-2010.

Estafet kepemimpinan PB PDHI yang terus terjadi hingga pada kepemimpinan Drh M. Munawaroh MM saat ini barulah terwujud rumah dokter hewan Indonesia di hari ulang tahun PDHI ke-68, pada 9 Januari 2021, sekaligus diresmikannya Grha Dokter Hewan dilengkapi motto dokter hewan yang terkenal “Manusya Mriga Satwa Sewaka” yang berarti Mengabdi Kemanusiaan Melalui Dunia Hewan.

Simbol Dokter Hewan Indonesia
Kalaulah Grha Dokter Hewan ini dianggap simbol eksistensi dan pengembangan organisasi profesi agar dapat lebih terfokus menghadapi tantangan global, regional dan nasional, serta memanfaatkan peluang dan menghindari hambatan dalam mengembangkan organisasi, maka ada lagi simbol yang jadi kebanggaan para dokter hewan Indonesia, yaitu yang berupa logo menarik yang menggambarkan lambang tentang kedokteran hewan.

Tentu setiap dokter hewan di Indonesia akan bangga menyematkan lambang tersebut pada setiap kesempatan untuk menunjukkan profesinya. Tetapi tahukah para dokter hewan bahwa lambang tersebut sebenarnya dari hasil kongres ke-6 yang diselenggarakan di Kota Pahlawan Surabaya, 22 September 1973. Jadi lambang tersebut telah berumur 48 tahun. Pada kesempatan kongres tersebut telah ditetapkan selain simbol/lambang tetapi juga tentang perbaikan sumpah dan kode etik dokter hewan.

Akan halnya simbol dokter hewan yang digambarkan sebagai “Aesculapius” yaitu sebagai (ular yang melingkar di tongkat) merupakan simbol universal para dokter manusia, dokter hewan, dokter gigi dan apoteker. Ular digambarkan untuk pengobatan, karena obat itu sebenarnya mirip dengan bisa ular yang beracun sehingga obat selain memiliki efek kuratif juga memiliki efek samping.

Dalam simbol PDHI, tongkat berarti eksistensi instrumen dokter hewan sebagai ahli dalam aspek preventif, kuratif, promotif dan rehabilatatif, serta ularnya melingkar pada tongkat yang bermahkota tiga. Mahkota pertama melambangkan pendidikan dokter hewan yang saat ini dihasilkan oleh 11 Fakultas Kedokteran Hewan. Mahkota kedua berarti dokter hewan dan organisasi profesinya dan mahkota ketiga menggambarkan dokter hewan yang selalu berkiprah di masyarakat sesuai dengan standar kompetensi yang dimilikinya.

Huruf “V” melambangkan kata Veteriner dengan latar belakang warna ungu yang merupakan simbol dari perguruan tinggi kedokteran hewan dunia atau dapat diartikan keagungan dan keluhuran profesi dokter hewan. Dokter hewan adalah profesi yang berpijak pada dua kaki. Kaki pertama berpijak pada aspek terkait produksi dan reproduksi (warna hijau) sedangkan kaki yang lain berhubungan dengan aspek kesehatan dan kesejahteraan (warna merah). Melalui dunia hewan, dokter hewan berkiprah untuk kesejahteraan umat manusia (Manusya Mriga Satwa Sewaka).

Tetapi semua simbol ini hendaknya dapat terealisasi. Saat ini profesi dokter hewan benar-benar diuji ketahanan kompetensinya di zaman pandemi COVID-19 yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Semua lini kekuatan dokter hewan dikerahkan, baik itu dokter hewan sebagai aparatur pemerintah, di kemiliteran dan sipil dosen, peneliti, dokter hewan swasta, hingga para praktisi. Karena sejatinya profesi ini tidak dapat diremehkan dan justru berperan sentral dalam setiap kejadian wabah penyakit menular. Selamat HUT PDHI ke-68. ***

Oleh: M. Chairul Arifin (Dari berbagai sumber)
Pegawai Kementan (1979-2006)
Staf Perencanaan (1983-2005)
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

LSP KESWAN DAN IPB TRAINING TANDATANGANI PERJANJIAN KERJASAMA


Penandatangan kerjasama antara LSP Keswan dan IPB Training

Jumat 13 November 2020 di Rumah Sakit Hewan Pendidikan IPB University, Bogor digelar acara penandatanganan perjanjian kerjasama antara IPB Training dengan Lembaga Sertifikasi Profesi Kesehatan Hewan (LSP Keswan).

Dalam sambutannya Prof Srihadi AgungPriyono selaku Dekan FKH IPB menyampaikan bahwa dirinya sangat mendukung kerjasama yang terjalin antara LSP Keswan dan IPB Training, mengingat profesi dokter hewan sangat membutuhkan pelatihan dan sertifikasi untuk mendukung kegiatan dalam beberapa bidang pekerjaannya. 

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh, dirinya menyampaikan bahwa saat ini PB PDHI melalui LP Keswan baru memiliki 3 skema sertifikasi diantaranya adalah bidang karantina, Hewan laboratorium, dan Juru sembelih halal. Ia melanjutkan, bahwa sebenarnya masih ada bidang lain yang membutuhkan skema sertifikasi dari LSP Keswan. 

"Kami berharap agar kerjasama ini  dapat membuka penyusunan skema sertifikasi baru mengingat FKH IPB University memiliki banyak pakar dan ahli di bidang kailmuan kedokteran hewan," tuturnya.

Munawaroh juga menyebut bahwa IPB Training memiliki banyak sumberdaya dalam hal publikasi melalui media masa digital maupun konvensional yang dapat menjangkau banyak orang sehingga informasi tentang pelatihan dan sertifikasi dapat disebarkan dengan luas dan massif. IPB training juga dapat menjadi wadah pelatihan bagi dokter hewan yang ingin mengikuti program sertifikasi dan LSP keswan-lah yang akan menjadi asesor dan mengeluarkan sertifikat sesuai kompetensinya masing masing.

‘’Diharapkan kedepannya FKH IPB dapat menjadi penunjang dalam menyediakan sarana dan prasarana terkait pelatihan yang dilakukan oleh IPB Training dan kerjasama seperti ini akan dilakukan dengan beberapa institusi pendidikan kedokteran hewan di Indonesia untuk menunjang kemajuan profesi keodokteran hewan’’ ujar direktur LSP Keswan Drh Mulyanto. (INF/CR)



PDHI GELAR DISKUSI VIRTUAL BAHAS TELEMEDICINE


Telemedicine : harus diperhatikan ketentuannya

Merebaknya wabah Covid-19 tentunya membawa dampak pada seluruh sektor barang dan jasa, tanpa terkecuali jasa pelayanan kesehatan hewan. Berdasarkan survey PDHI, terjadi penurunan kunjungan pasien ke dokter hewan sampai 40%. PDHI juga menyebut bahwa selama pandemi banyak klien yang bertanya bahkan melakukan konsultasi secara daring atau online melalui media sosial.

Menanggapi hal tersebut, PDHI mengadakan diskusi virtual melalui daring zoom yang khusus membahas telemedicine/telehealth. Acara tersebut berlangsung pada Sabtu (14/11). Diskusi dimulai dengan penjabaran terkait definisi telemedicine dan telehealth oleh Ketua III PDHI Drh Bonifasius Suli Teruli. Dirinya banyak menjabarkan mengenai telehealth dan telemedicine berdasarkan beberapa referensi baik nasional maupun internasional.

"Sebenarnya secara tidak disadari kita (dokter hewan) sering melakukannya antar kolega dokter hewan,. Contohnya dokter hewan di perunggasan, kadangkala ketika sedang away, ada kasus dan masih rancu. Biasanya akan saling berkirim gambar untuk sharing penanganan kasus, itu juga termasuk telemedicine," tutur Suli.

Namun begitu Suli mengatakan bahwa belum ada regulasi atau kode etik yang mengatur hal ini di Indonesia. Ia mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan suatu isu baru di dunia kedokteran hewan yang tak terhindarkan dan juga harus segera diurus kode etik dan regulasi resminya.

Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh yang juga hadir dalam diskusi tersebut setuju dan juga menilai bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari dan merupakan sebuah keniscayaan.

"Kita juga tidak bisa melawan derasnya arus teknologi, coba lihat itu ojek konvensional, akhirnya kalah juga kan dengan aplikasi digital?. Nah, dokter hewan ini juga mau tidak mau harus mengikuti teknologi dan harus melek teknologi," tuturnya.

Dalam diskusi, Munawaroh juga menerangkan bahwa kini aplikasi konsultasi milik dokter manusia, (halodoc), sudah memfasilitasi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter hewan di dalam aplikasinya. 

"Sebenarnya kami senang bahwa dokter hewan kini sudah dihargai dan benar - benar dianggap, namun begitu dengan adanya konsultasi kesehatan hewan melalui aplikasi ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru," tutur Munawaroh.

Oleh karena itu Munawaroh menghimbau kepada seluruh anggota PDHI, agar dalam melayani konsultasi kesehatan hewan via daring (telemedicine) hendaknya memperhatikan hal - hal tertentu. Misalnya saja, bahwa dokter hewan harus bisa membedakan antara telemedicine dan teleadvice.

Pada telemedicine, dokter hewan diperbolehkan mendiagnosis dan memberikan resep kepada pasien secara daring. Namun begitu, dokter hewan harus benar - benar pernah menangani secara langsung pasiennya, baru setelah itu boleh melakukan telemedicine.

Sedangkan dalam teleadvice, dokter hewan hanya boleh memberikan konsultasi yang sifatnya non-medis tetapi memberikan dampak baik bagi kesehatan pasiennya. Teleadvice juga melarang dokter hewan untuk memberikan resep dan mendiagnosis penyakit. Jikalau memang sudah dirasa darurat, dokter hewan hendaknya memberikan saran kepada klien untuk membawa hewannya ke dokter hewan terdekat. 

Selain membahas telemedicine, diskusi berlangsung sangat interaktif membahas berbagai masalah yang terjadi di dunia kedokteran hewan. Misalnya saja peredaran obat hewan ilegal, izin praktik, keorganisasian, dan lain sebagainya. 

Sebagai closing statement Munawaroh berpesan kepada seluruh dokter hewan Indonesia agar betul - betul memahami apa itu telemedicine, ia juga berpesan agar dokter hewan senantiasa melek teknologi. Tak kalah pentingnya Munawaroh juga kembali menegaskan bahwa PDHI akan selalu berada dalam koridor yang menaati peraturan. (CR)

MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN KOLIBASILOSIS DI PETERNAKAN KOMERSIAL MANDIRI

Ternak ayam broiler. (Foto: KRJogja.com)

Penyakit unggas dikenal dengan banyak ragam dan penyebabnya, mulai dari mikroba hingga makroorganisme yang dapat menimbulkan sakit pada ayam. Mengupas tuntas perihal penyakit ayam tidak akan pernah habis karena keberagaman penyebab dan cara mencegahnya, termasuk juga cara melakukan medikasi pada penyakit-penyakit tersebut.

PT Veteriner Indonesia Sejahtera (VIS) bersama Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyelenggarakan webinar Kolibasilosis pada broiler komersial mandiri yang diselenggarakan Sabtu (7/11/2020). Dua pembicara kondang dihadirkan dalam acara ini, yakni Drh Baskoro Tri Caroko/BTC (Poultry Technical Consultant) dan Dr Drh Widagdo Sri Nugroho (dosen FKH UGM).

Mengawali pemaparan materinya, Baskoro menyebut, “Banyak peneliti tentang penyakit unggas, tetapi sedikit yang tertarik meneliti bagaimana caranya agar unggas tidak sakit.”

Mengondisikan unggas broiler tidak sakit selama pemeliharaan, lanjut dia, bukanlah perkara mudah, sulit dilakukan mengingat “mereka” dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh dengan kompetitor (agen penyakit).

Lebih lanjut, kondisi riil rata-rata kandang  broiler komersial mandiri juga disebut sangat memprihatinkan. Padahal kandang sejatinya memberikan kenyamanan pada ayam dari awal hingga akhir pemeliharaannya.

“Dari banyak lokasi pemeliharaan yang saya kunjungi, beragam penemuan dapat disampaikan, misalnya kondisi kebersihan kandang yang kurang, jarak antar kandang yang tidak diperhatikan, onggokan feses yang menggunung di bawah lantai kandang, kondisi alas kandang yang basah, ini semua jelas memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan,” kata BTC.

BTC pun mengimbau peternak harus berempati ternak peliharaannya. Sebab, infeksi dapat saja terjadi saat peternak lengah dengan kondisi kandangnya.
"Sejatinya lingkungan kandang yang basah dan kotor dapat menjadi perantara, artinya penyakit tersebut berasal dari lingkungan bukan dari ayam ke ayam,” ucap dia.

Narasumber webinar, Baskro Tri Caroko (kiri) dan Widagdo Sri Nugroho.

Serangan Kolibasilosis
Penyakit yang identik dengan kondisi lingkungan kandang kotor adalah kolibasilosis. Ini merupakan penyakit infeksi bakterial pada unggas yang disebabkan Escherichia coli. Menurut BTC, dampak negatif kolibasilosis pada broiler selama periode pemeliharaan adalah pertumbuhan lambat karena sistem organ pernapasan dan pencernaan terganggu, konversi pakan tidak efisien ditandai dengan keseragaman pertumbuhan rendah, hingga tingginya angka kematian.

Berdasarkan data investigasinya di lapangan, rata-rata kolibasilosis dapat terjadi pada kondisi alas kandang atau sekam basah, menyebabkan kandang pengap karena ventilasi terbatas, akibatnya terjadi peningkatan produksi amonia yang berujung cekaman stres pada ayam.

Kejadian kolibasilosis pada ayam broiler biasanya di umur tiga minggu atau saat mendekati panen. Baskoro menyebut bahwa sebagian peternak komersial mandiri mengandalkan antibiotik untuk penyakit ini. Namun demikian, jika hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah pemborosan karena tidak efektif dan menguras biaya.

“Jangan gunakan antibiotik untuk mengendalikan kolibasilosis, pemborosan karena harganya mahal. Disamping itu beresiko terjadinya residu dan akan berpeluang terhadap kasus berulang atau re-emerging disease,” ungkapnya.

Sementara disampaikan Dr Widagdo, kolibasilosis pada dasarnya dapat menghambat tercapainya standar produk unggas yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), serta memperbesar kemungkinan residu antibiotik pada konsumen. Menurut Vello et al. (2020), jumlah kasus resistensi antibiotik dengan rata-rata prevalensi tertinggi dilaporkan pada penggunaan Cefazolin 86.8%, Fucidik Acid 84.6% dan Ampicillin 79.3%, sehingga perlu dilakukan pembenahan dan pengawasan penggunaan antibiotik terutama pada usaha broiler komersial mandiri.

"Ini telah dilakukan pemerintah kita, yakni diawal 2017, pembatasan penggunaan antibiotik sebagai pencegahan dan medikasi penyakit terutama pada ternak-ternak yang memproduksi bahan pangan,” tutur Widagdo.

Dilihat dari tren penyakit pada ayam ras pedaging pasca pelarangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan, kasus kolibasilosis menduduki peringkat kedua setelah kasus Chronic Respiratory Disease (CRD) pada 2017. Pada 2018 dan diperiode Januari-Oktober 2019, kasus kolibasilosis masing-masing menduduki peringkat kedua setelah CRD dan peringkat ketiga setelah CRD komplek. Hal ini menunjukkan bahwa kolibasilosis masih perlu diwaspadai keberadaannya di lokasi usaha peternakan unggas.

"Peternak harus memperhatikan hal ini, karena hampir disetiap tahun, ketiga jenis penyakit CRD, CRD komplek dan kolibasilosis merajai kasus-kasus penyakit pada ayam ras pedaging,” terang dia.

Namun bila melihat polanya, jelas Widagdo, kejadian kolibasilosis melandai dari Januari-Februari, lalu menurun disepanjang Maret dan naik perlahan di April-Mei. Selanjutnya terjadi penurunan kasus di Juni dan kembali naik di Juli-Agustus. Ia menyebut kerugian akibat kolibasilosis cukup besar mencapai Rp 14.2 triliun perperiode panen broiler dan Rp 13.4 triliun perperiode panen layer.

"Ini nilai kerugian yang sangat fantastik, harus dicarikan solusi agar nilai sebesar itu bisa diturunkan, bisa melalui kontrol kebersihan dengan penerapan biosekuriti maksimal di lokasi kandang,” ucapnya.

Pengendalian
Dalam pengendalian kolibasilosis, Baskoro menganjurkan untuk melibatkan berbagai disiplin ilmu yang memperhatikan interaksi semua komponen beserta lingkungannya, terutama yang terkait langsung dengan pengaruhnya terhadap kejadian dan cara penyebaran penyakit pada ayam broiler.

“Setidaknya ada keterlibatan manusia, ternak dan lingkungannya, semuanya saling memberikan pengaruh hingga penyakit itu muncul pada ayam ras pedaging yang dipelihara,” kata BTC.

Konsultan peternakan unggas inipun menyebut bahwa dalam pengendalian penyakit unggas, perlu menerapkan manajemen resiko dengan seni pengendalian yang menyertainya. Diantaranya adalah melakukan upgrade pada pelaksanaan disinfeksi dan biosekuriti dari masing-masing tipe kandang yang digunakan.

“Pada kandang postal terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan phenols air tergenang. Lalu pada kandang panggung terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan disinfeksi jenis formalin dan phenols. Sedangkan pada kandang postal tertutup, tata cara pembersihannya sama dengan kandang postal terbuka,” kata BTC. Pelaksanaan upgrade juga dilakukan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan DOC hingga panen, manajemen sumber daya manusia, prasarana kandang dan melakukan pencegahan terhadap sumber penularan penyakit.

Sementara itu, Widagdo turut menambahkan bahwa pengelolaan usaha peternakan unggas harus sangat diperhatikan, terutama menyangkut kondisi lingkungan, agen penyakit dan host-nya.

“Kita tetap memerlukan surveilens untuk mengumpulkan data-data yang ada, lalu dianalisis untuk mengetahui tingkat prevalensi dan insidensi penyakit, sehingga diketahui faktor penyebab atau resiko penyakit, disamping adanya rekomendasi dari hasil analisis untuk ditindaklanjuti oleh dokter hewan,” tutur Widagdo.

Dijelaskan, pendekatan one health untuk meredam penyakit dan memperbaiki pangan asal ternak yang sehat juga dapat dilakukan. Ia berharap meningkatnya peran peternak dan dokter hewan dalam pengendalian penyakit dan residu antibiotik dapat dilakukan melalui pemilihan bibit unggul, penerapan biosekuriti ketat, perbaikan sistem manajemen pemeliharaan dan bijak dalam menggunakan obat hewan. (Sadarman)

SUMBANG SARAN PB PDHI UNTUK DIRJEN BARU

OLEH: DRH M. MUNAWAROH MM

Kami, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi mitra pemerintah mengucapkan selamat atas terpilihnya nahkoda baru Direktur Jenderal Peternakan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Dr Ir Nasrullah MSc. Semoga dapat mengemban tugas dengan baik dan senantiasa memberi yang terbaik bagi perkembangan peternakan dan kesehatan hewan nasional. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pejabat sebelumnya Dr Drh I Ketut Diarmita MP atas karya dan darma baktinya. Sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah, melalui media ini kami menyampaikan sumbang saran untuk Dirjen PKH dengan harapan dapat dipakai sebagai salah satu referensi dalam mengambil kebijakan. Artikel ini merupakan rangkuman dari materi sumbangan pemikiran PB PDHI tentang peternakan dan kesehatan hewan yang telah disampaikan secara resmi ke Dirjen PKH.

Optimalkan Peran Dokter Hewan

Dalam pembangunan nasional saat ini PDHI berpandangan bahwa pemerintah belum mengoptimalkan peran dokter hewan di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Anggaran pemerintah baik APBD maupun APBN juga masih terfokus pada “kesehatan ternak” dan bukan “kesehatan hewan”. Ke depannya pemerintah hendaknya membangun “kesehatan hewan” secara komprehensif, mengingat kerugian ekonomi yang disebabkan Penyakit Hewan Menular (PHM) termasuk zoonosis amatlah besar. Dalam hal ini pemerintah perlu mengupayakan adanya “Anggaran Wabah” untuk PHM Zoonosis dan Non-Zoonosis.


Perihal masalah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), dimana produk-produk asal hewan harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), pemerintah perlu menghadirkan aparat semacam “Polisi Veteriner” yang bertanggung jawab terhadap struktur dan sistem keamanan pangan asal ternak di lapangan. Termasuk di dalamnya mengawasi rumah pemotongan hewan (RPH) ilegal atau yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV), serta beredarnya daging “liar” di pasaran. Keterbatasan tenaga veteriner di Badan Karantina Pertanian yang bertanggung jawab dalam hal struktur dan sistem pertahanan pangan asal ternak dan sistem penangkalan penyakit hewan dari luar negeri perlu menjadi perhatian pemerintah.

Penanganan Wabah

Ketentuan UU No. 18/2009 pada Pasal 46 yang mengatur respon Pemerintah Pusat dan Daerah kami nilai terlalu panjang dan berbelit-belit, hal ini tidak mencerminkan kebijakan yang tanggap terhadap suatu wabah. Selain itu, ketentuan kejadian wabah yang harus diumumkan ke publik menjadi beban psikis tersendiri bagi pimpinan dan jajaran Pejabat Tinggi di unit eselon I yang menangani peternakan dan kesehatan hewan.

PB PDHI siap membantu Dirjen PKH untuk merombak ketentuan Pasal 46 agar respon terhadap wabah dapat dilakukan secara cepat tanpa dibayangi beban psikis jabatan.

Kebijakan Zone Based dan Impor Sapi

Kami juga mengamati pemerintah dalam menerapkan UU No. 41/2014 terutama mengenai Pasal 36 B ayat 2. Menurut hemat kami seharusnya pasal ini bersifat lumintu (terus berkelanjutan), yakni bisa menerima berbagai kriteria sapi untuk kepentingan pengembangan sapi potong dan pemenuhan kebutuhan konsumen dalam negeri.

Terhadap kebijakan impor berbasis zona (zone based) menggantikan country based, kami menilai bahwa sistem ini bakal menyulitkan Ditjen PKH dalam mencegah dan mengendalikan PHM, antara lain PMK, BSE, ASF, COVID-19 dan lain-lain. Kebijakan zone based bisa diterapkan dengan baik sepanjang pemerintah melakukan tahapan sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko Independen (TARI). Faktanya sampai saat ini persyaratan yang diharuskan ada oleh tim TARI masih belum dipenuhi, tidak heran jika kemudian terjadi wabah ASF yang sangat mungkin akan diikuti wabah lainnya seperti PMK dan BSE (yang sampai saat ini Indonesia masih bebas).

Masalah lain juga ada di Pasal 36 B ayat 5 yang mewajibkan feedlot menggemukkan sapi paling cepat 4 bulan setelah pelepasan dari karantina. Akibat pasal ini, para pengusaha penggemukan sapi potong dapat mengalami kerugian, karena dengan teknologi saat ini penggemukan sapi dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 4 bulan. Artinya, putaran investasi akan memberikan dampak finansial dan ekonomi yang lebih luas dan cepat. Bukan sebaliknya, menjadi lambat dan kurang memberi manfaat bagi ekonomi pedesaan.

Impor daging sapi dan kerbau dari India juga menimbulkan masalah ekonomi. Disparitas harga daging impor dan lokal sangat tinggi dan dapat menyebabkan kerugian pada feedlot dan peternak. Malahan lebih menguntungkan bagi para “pencari cuan” ketimbang peternak dan pengusaha feedlot.

AGP dan Perunggasan

Permasalahan yang tidak kalah penting yakni mengenai Anti Microbial Ressistance (AMR). PDHI dalam hal ini mendukung regulasi pemerintah karena di lapangan penggunaan antibiotik tidak terawasi dengan baik (terutama dalam perunggasan), sehingga PDHI meminta pemerintah agar lebih aktif melakukan fungsi pengawasan. Saat ini PDHI juga sedang menyusun buku tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, semoga dalam waktu dekat buku ini akan terbit dan bisa digunakan sebagai dasar untuk pengobatan antibiotik di lapangan oleh para praktisi.

Hal yang juga krusial yakni masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal. PB PDHI menganggap penting perlunya struktur dan sistem hukum yang bertanggung jawab dalam hal penyidikan dan penindakan terhadap penyimpangan pengadaan maupun peredaran obat hewan. Kementerian Pertanian sampai saat ini, belum memiliki Bidang atau Direktorat Penyidikan dan Penindakan yang berhubungan dengan obat hewan ilegal. Dengan adanya dukungan perangkat lunak berupa landasan hukum yang kuat diharapkan dapat melindungi masyarakat, khususnya peternak kecil dalam mendapatkan obat hewan yang baik dan bermutu.

Dalam bidang perunggasan diharapkan Ditjen PKH dapat segera melakukan audit populasi dan pengurangan produksi parent stock (PS) dan/atau final stock (FS), sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Permentan Nomor 32/Permentan/PK.230/9/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, agar kelebihan produksi dapat diselesaikan.

Selain itu pemerintah belum melakukan pembelian ternak ayam sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) Permendag No. 7/2020, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pembelian apabila harga di tingkat peternak di bawah harga acuan yang telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp 19.000/kg.

Pemerintah juga seharusnya lebih mendorong integrator untuk ekspor, agar peternak lebih banyak mendapat porsi pasar lokal. Koordinasi antar kementerian agar ditingkatkan dalam penyelesaian masalah perunggasan yang terus berbelit.

Memperkuat Produksi dan Ekspor

Perlu diingat bahwa Indonesia adalah salah satu “hot spot” penyakit infeksius baru (Emerging Infectious Diseases/EID) di dunia. Situasi ini menjadikan kondisi Indonesia sebagai “ancaman” bagi masyarakat karena kemungkinan menjadi sumber munculnya penyakit infeksi baru yang dapat berakibat fatal bagi manusia.

Zoonosis seperti Antraks, Rabies, Leptospirosis, Bruselosis dan lainnya selalu muncul setiap tahun. Kejadian Rabies setiap tahun mengakibatkan kematian manusia cukup banyak. Permasalahan ini yang dihadapi dunia kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat di Indonesia dan sudah seharusnya dapat ditangani secara lebih baik oleh tenaga ahli dari dalam negeri.

Kemampuan penyidikan penyakit hewan di dalam negeri sudah semakin baik. Staf penyidikan yang semakin terdidik dan terlatih secara profesional mendukung tugas mereka dalam menyidik dan menanggulangi terjadinya penyakit di lapangan. Kehandalan para penyidik veteriner ini juga terlihat saat mulai merebaknya kasus African Swine Fever (ASF) di Indonesia pertengahan 2019.

Kemampuan diagnosis petugas Balai Veteriner sudah sangat baik, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia di bidang veteriner tidak kalah dari luar negeri. Penelitian penyakit zoonotik juga telah banyak dilakukan oleh peneliti andal dari putra-putri bangsa sendiri. Agen-agen etiologi dari isolat lokal juga telah banyak dikoleksi dari hasil penelitian yang dilakukan.

Lembaga penelitian nasional juga sudah ada yang memiliki fasilitas memadai untuk melakukan penelitian terhadap agen penyakit zoonotik dan non-zooonotik. Hal tersebut merupakan aset bangsa yang sangat berharga, yang bukan hanya memberikan kontribusi dalam rangka penyidikan penyakit, namun dapat dikembangkan pada hal-hal yang lebih produktif dan memberikan keuntungan ekonomi bagi bangsa.

Pengendalian zoonosis dan penyakit hewan non-zoonotik di Indonesia masih sangat tergantung pada importasi alat diagnostik maupun vaksin dari luar negeri. Contoh kasus, saat mencukupi kebutuhan vaksin Rabies dalam pengendalian penyakit ini di Bali beberapa tahun lalu hingga saat ini, Indonesia masih sangat tergantung dari vaksin impor. Di sisi lain, isolat virus Rabies nasional sangat banyak dan dapat dikembangkan menjadi vaksin dan alat diagnostik sekaligus, hal ini juga didukung peneliti/pakar Rabies/virus di Indonesia yang memiliki kapabilitas menghasilkan vaksin maupun alat diagnostik.

Fasilitas untuk melakukan riset inovasi vaksin dan alat diagnosis Rabies dalam negeri juga sudah layak. Indikasi terhadap hal-hal ini dapat dilihat dari hasil riset yang dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional. Kelemahan yang muncul adalah tidak ada dukungan pemerintah khususnya untuk menindaklanjuti aktivitas riset tersebut hingga berhasil dihilirisasi menjadi produk yang dapat dipasarkan.

Kementerian Pertanian juga telah memiliki Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) sebagai unit produksi vaksin maupun alat diagnostik veteriner yang mampu menghilirisasi produk penelitian yang ada. Bercermin dari pandemi COVID-19, Kementerian Pertanian dapat mengambil pelajaran dengan memberikan dukungan semaksimal mungkin kepada bidang veteriner, sehingga dapat menghasilkan produk biologi yang dapat memenuhi kebutuhan nasional, bahkan dapat menjadi produk ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian posisi Indonesia sebagai “hot spot” EID justru memberikan keuntungan bagi bangsa dalam mengendalikan zoonosis maupun non-zoonosis yang ada di dalam negeri, sekaligus mencegah muncul dan menyebarnya penyakit infeksi baru. ***

PDHI AUDIENSI BERSAMA DIRJEN PETERNAKAN DAN KESWAN

Delegasi PDHI menyerahkan sumbangan pemikiran untuk Dirjen PKH


Sebagai salah satu organisasi profesi yang berdedikasi dan profesional, PDHI terus konsisten berperan dalam dunia peternakan dan kesehatan hewan Indonesia. Salah satu sumbangsih PDHI dalam membangun bangsa di bidang peternakan dan kesehatan hewan yakni konsisten memberikan ide dan pemikirannya kepada pemerintah dalam menghadapi permasalahan yang ada.

Seperti yang terjadi pada Rabu (9/9) yang lalu ketika beberapa orang delegasi PDHI menyambangi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan di kantornya. Pertemuan tersebut selain sebagai ajang silaturahmi antara PDHI dan pemerintah juga menjadi momen brainstorming dan saling berbagi ide dalam menghadapi permasalahan di bidang peternakan  dan kesehatan hewan.

Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh mengatakan bahwa dirinya beserta segenap pengurus PDHI memang selalu mengagendakan pertemuan tersebut sejak lama, namun karena beberapa hal termasuk kesibukan Dirjen sendiri maka beberapa kali pertemuan itu harus ditunda. 

Ia sendiri mengakui bahwa PDHI selalu siap untuk dipanggil, dimintai ide, bahkan dimintai bantuan langsung oleh pemerintah dalam mengatasi problema di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

"Kami ingin profesi ini dapat membangun bangsa dan menjadi mitra pemerintah, sebagai organisasi yang netral dan profesional, kami siap membantu siapapun yang memiliki tujuan mulia di bidang ini," tutur Munawaroh.

Infovet sendiri cukup beruntung dapat ikut secara eksklusif mengikuti pertemuan tersebut. Dalam pertemuan yang berjalan sekitar dua jam tersebut PDHI memberikan sumbangan pemikirannya terkait permasalahan yang ada. 

Dimulai dari masalah regulasi dan peraturan perundangan, penanganan wabah baik zoonosis maupun non zoonosis, perunggasan, persapian, Anti Microbial Ressistance (AMR), peredaran obat hewan ilegal, keprofesian, dan bahkan peluang bisnis bagi Indonesia di tengah cekaman beberapa pandemi pun dibahas dalam pertemuan tersebut.

Ketua Umum PDHI sendiri menitikberatkan pembahasan kepada peraturan perundangan yang ada, utamanya pada UU No. 18 tahun 2009 dan UU No. 41 tahun 2014 yang masih butuh beberapa perbaikan di beberapa pasal. 

"Ada beberapa pasal yang perlu direvisi, bahkan bila perlu diganti. Hal ini terkait masalah keprfoesian dan keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Menurut hemat kami, jika peraturan induknya (UU) dibuat sebaik mungkin dan dijalankan sebaik mungkin, peraturan turunannya pun juga akan berjalan baik dan minim permasalahan, masalah yang ada sekarang juga ada keterkatiannya dengan undang - undangnya," tutur Munawaroh.

Beberapa usulan dan sumbangan pemikiran yang diberikan oleh PDHI diapresiasi oleh Dirjen PKH Nasrullah. Ia juga mengucapkan banyak terima kasih atas sumbangan pemikiran yang diberikan oleh PDHI.

"Sungguh pertemuan yang menyenangkan dan diskusi yang berkualitas. Saya sangat berterima kasih kepada PDHI yang sudah ikut berpartisipasi dalam hal ini, semoga PDHI terus dapat menjadi mitra pemerintah dan berkontribusi dalam membangun bangsa," tukas Nasrullah.

Ia pun meminta kepada jajarannya agar segera membentuk tim kecil bersama PDHI untuk menindaklanjuti usulan yang telah diberikan oleh PDHI agar dapat segera diekeskusi. Semoga saja ini menjadi sinyalemen baik di bidang peternakan dan kesehatan hewan Indonesia (CR).

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer