Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Opini | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

REVOLUSI MENTAL PETERNAK SIGI

Prof Muladno. (Foto: Infovet/Ridwan)

Tepatnya pada 6 Maret 2021, Komunitas Sosio Bisnis (KSB) LEMBU KARTINI SEJAHTERA yang bermarkas di Kota Kediri, Jawa Timur, bermitra dengan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) IPB ANUTAPURA yang bermarkas di Desa Bulubete, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kemitraan yang dilakukan adalah usaha penggemukan sapi selama 4-5 bulan dengan total nilai mencapai Rp 200 juta. Hadir dalam penandatanganan kemitraan tersebut dari beberapa unsur yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Sigi, LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB), LPPM Universitas Tadulako (Untad), SASPRI-N (Solidaritas Alumni SPR Indonesia-Nasional), camat dan kepala desa setempat, jasa asuransi, serta tamu undangan. Surat perjanjian kerja sama ditandatangani oleh Ketua KSB, Ir Saptowo Salimo dan Ketua Dewan Perwakilan Pemilik Ternak SPR, Arfan.

Bagi LPPM-IPB, SPR merupakan yang pertama di Sulawesi Tengah dan didirikan sekitar akhir 2018 lalu setelah ditandatangani kerja sama antara Bupati Sigi dan Rektor IPB. Komunitas peternak rakyat di sini berasal dari suku-bangsa Kaili dan merupakan suku bangsa kelima yang ikut SPR. Komunitas peternak lain yang bergabung di SPR berasal dari suku-bangsa Jawa, Sunda, Batak dan Ende. Budaya dan kebiasaan sehari-hari menjadi faktor penting dalam melaksanakan pembelajaran partisipatif dan pendampingan di SPR-IPB selama ini. Masing-masing memiliki karakter yang khas dengan logat yang juga berbeda. Sangat menarik dan ini merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa.

Isu penting yang ingin diangkat dalam tulisan ini adalah adanya kerja sama investasi antara dua komunitas berbeda yang lokasinya berjauhan, suku bangsa dan adat kebiasaan berbeda, tidak kenal satu sama lain secara individu dan tidak adanya jaminan dalam bentuk apapun untuk melakukan kemitraan tersebut. Ini semua dimungkinkan dan akhirnya dapat terjadi karena adanya program SPR dengan spirit kebersamaan dan berjamaah.

SPR hanya dapat didirikan di kawasan sentra peternakan sehingga beternak sudah merupakan kebiasaan sehari-hari bagi warga masyarakat. SPR mulai dapat dilaksanakan setelah ada perjanjian kerja sama dengan Bupati Sigi dan Rektor IPB, sehingga dua pemimpin ini mengetahui betul apa yang telah, sedang dan akan terjadi di komunitas peternak melalui program SPR tersebut. Dua pemimpin tersebut yang sebenarnya dapat mempertemukan komunitas akademisi IPB dan komunitas peternak rakyat Sigi. Bersatu-padunya dua komunitas yang masing-masing bersandar pada dua pemimpin tersebut membuat komunitas sosio-bisnis percaya dan tidak punya keraguan sedikitpun dalam menginvestasikan uangnya.

Melalui interaksi intens antara akademisi dan peternak yang difasilitasi oleh seorang manajer muda baru lulus sarjana, banyak perubahan terjadi pada komunitas peternak SPR ANUTAPURA. Beberapa perubahan mencolok yang dapat dilihat adalah kandang baru mulai dibangun dan kandang lama diperbaiki sehingga membuat sapi lebih nyaman; lahan tidur tak produktif diolah menjadi lahan rumput pakan sapi, pencacahan rumput sebelum diberikan ke ternak sapi dan penggunaan mesin pencacah rumput (chopper), kemudian adanya penimbangan ternak secara berkala untuk mengetahui tumbuh kembang sapi dari waktu ke waktu, perubahan orientasi beternak untuk bisnis sudah berjalan dan pikiran untuk maju dan mandiri-berdaulat dengan kekuatan berjamaah makin berkembang, serta perubahan wawasan yang tercermin dari substansi diskusinya.

Perubahan tersebut masih terjadi di sekitar tokoh peternak penggerak SPR yang berada dalam DPPT tadi dan saat ini “virus kebaikan” terus merebak ke peternak lainnya. Para peternak bergotong-royong dalam kegiatan yang berorientasi bisnis melalui SPR. Setidaknya lebih dari 3 hektare lahan sudah terolah atas jerih payah mereka sendiri. Rumput gajah telah ditanam dan telah pula dipanen. Gerakan tanam pakan dimulai dengan kesadaran sendiri karena di depannya ada harapan besar. Sapi yang dari dulu dikelola secara asal-asalan dan dipercayakan kepada alam saja, kini telah disadari sebagai mesin pencetak uang mulai mendapat perhatian lebih serius.

Adanya perubahan besar tersebut diakui oleh semua unsur yang hadir dalam acara penandatanganan kerja sama tersebut di atas, termasuk para akademisi Universitas Tadulako yang delegasinya dipimpin Wakil Kepala LPPM, Dr Ramlan. Pengakuan tersebut telah dibuktikan dengan penandatanganan kerja sama tridharma perguruan tinggi antara Rektor IPB dan Rektor Untad. Melalui kerja sama ini, maka pengembangan SPR di Sulawesi Tengah selanjutnya lebih baik ditangani oleh Untad. Dengan demikian upaya memberdayakan dan mencerdaskan komunitas peternak rakyat di sana menjadi lebih efisien, efektif dan produktif.

Diperlukan waktu minimal 2-3 tahun untuk dapat mengubah banyak hal di komunitas peternak rakyat yang salah satunya dicontohkan di Kabupaten Sigi melalui program SPR-IPB. Ini merupakan pekerjaan membuat fondasi mental dan karakter komunitas peternak. Fondasi selalu berada di bawah permukaan tanah, tidak terlihat, bahkan ketika bangunan di atasnya telah berdiri megah, fondasi tersebut tetap tak terlihat. Terbukti bagus fondasinya apabila bangunan tersebut tidak roboh dihantam tsunami atau digoyang gempa bumi berkekuatan besar sekalipun. Senada, fondasi mental dan karakter yang dibangun melalui SPR tercermin dalam sikap dan prinsip yang kuat serta tak tergoyahkan oleh kekuatan pengaruh luar dari manapun asalnya. Kita tunggu bukti kokohnya fondasi mental dan karakter mereka setelah lulus SPR nanti.

Saat ini LPPM IPB sedang dan telah membangun fondasi 52 SPR di seluruh Indonesia. Sebanyak 17 diantaranya telah dinyatakan lulus. Mereka yang sudah diwisuda bergabung ke Perkumpulan Solidaritas Alumni SPR Indonesia (SASPRI) yang akan didampingi lebih lanjut agar para peternak alumni SPR ini menjadi lebih mandiri, berdaya saing tinggi dan berdaulat. ***

Ditulis oleh: Prof Muladno
Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-IPB,
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

DARURAT SAPI PEDAGING


Presiden Joko Widodo mengingatkan para pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian terkait munculnya ancaman krisis pangan di tengah pandemi COVID-19. Mungkin ini akan menjadi kenyataan jika pemerintah tidak segera menanganinya dengan baik.

Protokol kesehatan di era pandemi ternyata telah berdampak terhadap kegiatan lalu lintas barang dan komoditas antar negara. Akibatnya tentu berdampak pula pada penyediaan pangan, terutama pada komoditas yang masih banyak di impor, diantaranya komoditas pangan strategis dan hasil peternakan, seperti daging sapi, susu, beras, kedelai, bawang putih, jagung, gandum dan lainnya.

Bencana di Australia
Australia sebagai Negara pengekspor sapi terbesar bagi Indonesia, dalam dua tahun terakhir dilanda banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan di 2020. Dua peristiwa bencana alam tersebut telah memorak-porandakan kegiatan industri peternakan di Negeri Kanguru itu.

Penurunan populasi sapi yang sangat signifan (24,1%) telah terjadi dari populasi sapi sebesar 27,8 Juta ekor di 2002, kini hanya tinggal 21,1 juta ekor. Semua kondisi ini telah mengakibatkan meningkatnya harga sapi impor di Indonesia, karena kelangkaan pasokan dari Australia.

Dalam sejarah importasi sapi Australia di awal 1990-an, baru kali ini terjadi harga sapi impor sekitar Rp 56 ribuan/kg berat hidup (landed cost) lebih mahal daripada harga sapi lokal (sekitar Rp 47 ribuan/kg berat hidup). Kondisi ini membuat para pengusaha feedlot tidak mungkin lagi menggunakan sapi bakalan impor. Bagi perusahaan feedlot yang masih bertahan, mereka mulai beralih dalam penyediaan sapi bakalannya dengan memanfaatkan sapi-sapi lokal. Akibat dari kondisi ini, dikhawatirkan akan terjadi dampak yang serius dan merugikan bagi pengembangan peternakan sapi dalam negeri. Pasalnya, permintaan akan daging sapi selalu lebih tinggi ketimbang kemampuan pasokannya. Sementara itu, pemerintah melalui program yang ada (SIKOMANDAN dan SIWAB) masih memanfaatkan kemampuan penyediaan sapi kepada peternakan rakyat secara konvensioanal. Program ini selama puluhan tahun masih belum mampu membuktikan bahwa peningkatan pasokan akan melebihi dari permintaannya.

Depopulasi
Kondisi saat ini mengingatkan kita pada 2012-2013 lalu, pasca dilakukannya pendataan sapi potong dan kerbau (PSPK) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kala itu, kebijakan pemerintah menurunkan importasi dari 53% ke 17,5%. Lantaran, hasil PSPK menunjukan bahwa populasi sapi telah memenuhi kondisi swasembada berdasarkan blue print. Namun realita sebaliknya, yaitu terjadi kelangkaan pasokan sapi di pasar yang menyebabkan harga melangit dan berakibat terhadap depopulasi sapi perah mencapai sekitar 30%. Hingga kini, ketergantungan industri persusuan terhadap impor meningkat menjadi sekitar 80%, padahal sebelum krisis ekonomi lalu kontribusi produksi susu dalam negeri pernah mencapai 50%. Jika tidak segera ditangani, diduga akan terjadi kembali depopulasi terhadap sapi di dalam negeri (pedaging maupun perah). Hal ini karena kondisi usaha sapi perah yang faktanya masih belum mampu memberikan kesejahteraan bagi peternak. Sehingga peternak merasa lebih menguntungkan jika sapinya dijual sebagai sapi pedaging, daripada dipelihara sebagai sapi perah.

Darurat Sapi
Keadaan bisnis sapi pedaging, pada dua-tiga tahun ke depan dihadapkan pada kondisi titik nadir, yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini disebabkan, Australia masih membenahi industrinya untuk meningkatkan populasi ternak sapinya. Idealnya populasi ternak sapi di Australia sekitar 25 juta ekor untuk mampu melakukan ekspor ke Indonesia. Semantara itu impor dari Negara lain seperti Brasil masih belum siap infrastrukturnya. Jika saja dalam dua-tiga tahun ke depan (2021-2023), pemerintah melalui Kementerian Pertanian tidak mengubah strategi mendasarnya dalam pembangunan peternakan sapi, dipastikan akan terjadi pengurasan sapi di dalam negeri dan untuk selamanya negeri ini akan tergantung impor komoditas daging sapi. Pantasnya, kondisi dua-tiga tahun ke depan kita sebut “sebagai darurat sapi pedaging.”

Ubah Strategi 
Perubahan strategi yang dimaksud adalah Pertama, mengubah mindset bahwa untuk meningkatkan permintaan daging sapi dengan mengintroduksi sapi-sapi premium (Belgian Blue/BB dan Glacian Blond/GB) dan importasi daging kerbau yang menyita biaya sangat besar dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Kebijakan tersebut segera dialihkan dengan mengoptimalkan peningkatan produktivitas sapi-sapi lokal, melalui intensifikasi pola breeding dan pemanfaatan lahan-lahan terluang.

Kedua, mengubah sentra produksi sapi yang selama ini ditujukan ke wilayah-wilayah konvensional seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan, beralih ke sentra-sentra perkebunan besar di Sumatra, Kalimantan dan Papua, serta lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan, juga ke pulau-pulau kosong di wilayah Timur.

Sentra-sentra perkebunan ini menghasilkan limbah atau hasil ikutan industri perkebunan sebagai pakan ternak yang murah harganya. Lahan-lahan perkebunan (sawit, karet dan sebagainya), serta lahan bekas tambang yang luasnya ribuan mungkin juga jutaan hektar, selama ini dibiarkan tidak termanfaatkan secara optimal. Banyak pelajaran yang telah dan tengah dilakukan oleh para pihak, terutama swasta yang melakukan upaya ini, namun minim proteksi dan insentif pemerintah terhadap upaya tersebut. Terutama mengenai berbagai kebijakan kontra produktif bagi pengembangan usaha ternak sapi selama ini. Misalnya, kebijakan importasi daging kerbau, introduksi sapi BB/GB, kebijakan ekspor bungkil sawit ataupun insentif permodalan yang tidak merangsang  terhadap pengembangan peternakan sapi dalam negeri.

Kiranya kebijakan pemerintah menjadikan negeri ini sebagai lumbung ternak Asia di 2045 mendatang tidak akan dapat terwujud, jika tidak melakukan perubahan mendasar kebijakan importasi daging dan intervensi sapi premium, serta pemanfaatan lahan-lahan terluang dan integrasinya dengan perkebunan. ***

Oleh: Rochadi Tawaf
Dewan Pakar PB ISPI dan Komite Pendayagunaan Petani

“HUT PDHI KE-68” MENGUPAS MAKNA SIMBOL DOKTER HEWAN INDONESIA

M. Chairul Arifin
Kado ulang tahun Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) tahun ini sangat berkesan sekali, yaitu bersamaan dengan peresmian Grha Dokter Hewan suatu tempat aktivitas dokter hewan Indonesia direncanakan, disiapkan, dilaksanakan dan dievaluasi.

Sebenarnya impian memiliki Grha Dokter Hewan ini sudah sejak lama, yaitu sejak 2005 dengan dibentuknya Pantya Persiapan Pembangunan Gedung Veterinary Center yg diketuai oleh  Drh A. Bolly A. Prabantara yang pembentukannya dilakukan dengan akte notaris dan disahkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 9 Maret 2006 dengan nama PT Sentra Veta Bhakti Mulia. Modal dasar saat itu Rp 500 juta dan dari para pendiri perorangan maupun saham dari para keluarga dokter hewan yang dihimpun melalui Yayasan Hemera Zoa sebesar Rp 125 juta.

Selanjutnya tanah seluas 800 m² di daerah Tajur Bogor yang berasal dari hibah Drs Mas'hud Wisnusaputra direncanakan menjadi gedung Veterinary Centre tersebut. Pada 26 Januari 2009, dirancang untuk acara penyerahan tanah wakaf dari Drs Mas'hud di Jl. Raya Tajur 170 Bogor kepada Yayasan Hemera Zoa yang sedianya bertindak atas nama organisasi. Tetapi kemudian Drs Mas'hud Wisnusaputra dipanggil Allah SWT pada 20 November 2008. Drs Mas'hud telah wafat mendahuluinya dan penyerahan tanah wakafnya tidak dapat terlaksana. Pada zaman tersebut PB PDHI baru menyelesaikan Kongres ke-15 yang memilih Drh Wiwiek Bagja selaku Ketua Umum masa bakti 2006-2010.

Estafet kepemimpinan PB PDHI yang terus terjadi hingga pada kepemimpinan Drh M. Munawaroh MM saat ini barulah terwujud rumah dokter hewan Indonesia di hari ulang tahun PDHI ke-68, pada 9 Januari 2021, sekaligus diresmikannya Grha Dokter Hewan dilengkapi motto dokter hewan yang terkenal “Manusya Mriga Satwa Sewaka” yang berarti Mengabdi Kemanusiaan Melalui Dunia Hewan.

Simbol Dokter Hewan Indonesia
Kalaulah Grha Dokter Hewan ini dianggap simbol eksistensi dan pengembangan organisasi profesi agar dapat lebih terfokus menghadapi tantangan global, regional dan nasional, serta memanfaatkan peluang dan menghindari hambatan dalam mengembangkan organisasi, maka ada lagi simbol yang jadi kebanggaan para dokter hewan Indonesia, yaitu yang berupa logo menarik yang menggambarkan lambang tentang kedokteran hewan.

Tentu setiap dokter hewan di Indonesia akan bangga menyematkan lambang tersebut pada setiap kesempatan untuk menunjukkan profesinya. Tetapi tahukah para dokter hewan bahwa lambang tersebut sebenarnya dari hasil kongres ke-6 yang diselenggarakan di Kota Pahlawan Surabaya, 22 September 1973. Jadi lambang tersebut telah berumur 48 tahun. Pada kesempatan kongres tersebut telah ditetapkan selain simbol/lambang tetapi juga tentang perbaikan sumpah dan kode etik dokter hewan.

Akan halnya simbol dokter hewan yang digambarkan sebagai “Aesculapius” yaitu sebagai (ular yang melingkar di tongkat) merupakan simbol universal para dokter manusia, dokter hewan, dokter gigi dan apoteker. Ular digambarkan untuk pengobatan, karena obat itu sebenarnya mirip dengan bisa ular yang beracun sehingga obat selain memiliki efek kuratif juga memiliki efek samping.

Dalam simbol PDHI, tongkat berarti eksistensi instrumen dokter hewan sebagai ahli dalam aspek preventif, kuratif, promotif dan rehabilatatif, serta ularnya melingkar pada tongkat yang bermahkota tiga. Mahkota pertama melambangkan pendidikan dokter hewan yang saat ini dihasilkan oleh 11 Fakultas Kedokteran Hewan. Mahkota kedua berarti dokter hewan dan organisasi profesinya dan mahkota ketiga menggambarkan dokter hewan yang selalu berkiprah di masyarakat sesuai dengan standar kompetensi yang dimilikinya.

Huruf “V” melambangkan kata Veteriner dengan latar belakang warna ungu yang merupakan simbol dari perguruan tinggi kedokteran hewan dunia atau dapat diartikan keagungan dan keluhuran profesi dokter hewan. Dokter hewan adalah profesi yang berpijak pada dua kaki. Kaki pertama berpijak pada aspek terkait produksi dan reproduksi (warna hijau) sedangkan kaki yang lain berhubungan dengan aspek kesehatan dan kesejahteraan (warna merah). Melalui dunia hewan, dokter hewan berkiprah untuk kesejahteraan umat manusia (Manusya Mriga Satwa Sewaka).

Tetapi semua simbol ini hendaknya dapat terealisasi. Saat ini profesi dokter hewan benar-benar diuji ketahanan kompetensinya di zaman pandemi COVID-19 yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Semua lini kekuatan dokter hewan dikerahkan, baik itu dokter hewan sebagai aparatur pemerintah, di kemiliteran dan sipil dosen, peneliti, dokter hewan swasta, hingga para praktisi. Karena sejatinya profesi ini tidak dapat diremehkan dan justru berperan sentral dalam setiap kejadian wabah penyakit menular. Selamat HUT PDHI ke-68. ***

Oleh: M. Chairul Arifin (Dari berbagai sumber)
Pegawai Kementan (1979-2006)
Staf Perencanaan (1983-2005)
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

PERUNGGASAN PASCA PANDEMI

Ternak unggas. (Sumber: Agrarindo.com)

Dunia sedang menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 1 juta orang di dunia. Sampai saat ini semua orang disarankan untuk tetap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker lantaran vaksin belum ditemukan. Konon, ketiga hal itu akan terus dilakukan meskipun vaksin sudah ditemukan. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa, makhluk yang tak kelihatan ini juga telah memporak-porandakan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kira-kira pertanyaan banyak orang sama, apa dan bagaimana setelah pandemi ini berakhir khususnya di sub sektor perunggasan?

Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal terutama di sektor peternakan, khususnya perunggasan. Hari ini banyak orang lebih waspada dalam mengonsumsi makanan. Apalagi ada rumor bahwa COVID-19 bisa menular lewat makanan. Di sisi lain, ada tantangan dalam teknis perunggasan yaitu produksi, kekebalan dan kesehatan pada ternak unggas. Ketiga hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang berkelanjutan. Lantas kita bertanya bagaimana para pelaku usaha menyikapi dampak pandemi ini dan bagaimana itu jika dikaitkan dengan kepastian keamanan pangan bagi konsumen? Muara dari semua produksi peternakan adalah pangan.

Kita harus akui bahwa masih banyak kelemahan terkait soal kesehatan ternak atau pengendalian penyakit yang terjadi, baik itu dalam kandang hingga kualitas daging pada makanan yang tersedia di meja makan. Dalam banyak praktik di kandang, tak sedikit pelaku usaha masih tetap menggunakan antibiotik dalam melancarkan pembesaran ternak unggas. Masih banyak pula rumah pemotongan ayam (RPA) yang belum menerapkan standar pemotongan yang memenuhi syarat higienis dan sanitasi untuk menjamin kualitas daging. Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi momentum bagi industri peternakan di Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan asal hewan.

Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibotik pada pakan unggas masih menjadi diskusi yang berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun antibiotic growth promoter (AGP) pada pakan sudah dilarang di Indonesia, tapi penggunaannya masih dilakukan oleh sejumlah praktisi peternakan khususnya pada ternak broiler. Dilema dari AGP adalah satu sisi mendorong pertumbuhan bagi ternak, di sisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Resisten antibiotik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat secara global baik langsung maupun tidak langsung.

Resisten antibiotik dapat menular ke manusia secara langsung adalah dengan mengonsumi unggas, sedangkan yang tidak langsung bisa terjadi lewat kotoran unggas yang mencemari lingkungan (air dan tanah). Diperlukan upaya secara cepat dan berkelanjutan dalam menemukan alternatif antibiotik misalnya prebiotik, probiotik dan senyawa antimikroba. Bahan kimia nabati menunjukkan bahwa dalam suplementasi pakan asam kaprilat, rantai asam lemak secara konsisten mengurangi kolonisasi Campylobacter pada ayam broiler (Solis de los Santos, dkk., 2008; 2009; 2010). Kemampuan in vitro dari thymol dan carvacrol untuk menghambat Campylobacter jejuni dan Salmonella Enteritidis dalam isi sekal ayam (Kollanoor Johny, dkk., 2010). Probiotik dan prebiotik dalam studi Arsi et al. (2015 b) menunjukkan bahwa prebiotik tidak secara konsisten mengurangi Campylobacter. Namun, prebiotik secara signifikan menurunkan beban Campylobacter bila digunakan dalam kombinasi dengan probiotik spp. (Arsi dkk., 2015).

Keamanan Pangan
Bahan pangan asal ternak nomor dua paling besar dikonsumsi di dunia adalah unggas, setelah daging babi. Tapi konsumsi daging nomor wahid di Indonesia adalah daging unggas. Oleh sebab itu, perhatian semua pihak pada unggas tak boleh disepelekan. Namun berapa banyak rumah potong atau tempat pemotongan hewan unggas yang ada telah memenuhi syarat higiene dan sanitasi? Dengan mudah kita menemukan tempat pemotongan yang tidak layak di pasar atau di sekitar rumah.

Tempat pemotongan yang tidak layak ini ditandai dengan ciri-ciri kotor, sistem penangan limbah yang tidak memadai, darah atau limbah berceceran di tanah, bangunan yang terbuat dari kayu, kandang penampungan ayam hanya berjarak 2-5 meter, pekerja yang tidak mengenakan perlengkapan yang standar (tidak bersih) dan sebagainya. Kondisi tempat pemotongan seperti ini amat berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena kontaminasi bakteri patogen.

Penyakit yang ditimbulkan jika produk pangan terkontaminasi bakteri patogen adalah infeksi dan keracunan. Infeksi yang dimaksud akibat tertelannya mikroba dan berkembang biak di dalam alat pencernaan. Gejala yang timbul dari sini diketahui adalah sakit perut, pusing, muntah dan diare (Bruckle, dkk., 1987). Sekitar 60-70% penyakit diare disebabkan makanan yang mengandung mikroba patogen (Winarno, 2004). Sedangkan keracunan agak berbeda dengan infeksi, yaitu mikroba terlebih dahulu bertumbuh dalam bahan pangan kemudian tertelan oleh manusia. WHO mendata secara global bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit akibat keracunan makanan dan 420.000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan.

Dalam upaya menjaga agar produk pangan asal hewan terjamin higien dan sanitasinya, pemerintah telah membuat peraturan yang cukup jelas. Bahwa untuk produk mentah pangan (karkas) yang dikomersialkan wajib memiliki sertifikat kontrol veteriner. Tapi sayangnya, hal ini masih langka di Indonesia. Kita dengan mudah menemukan tempat pemotongan yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Beberapa waktu lalu, salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkapkan hanya sedikit sekali RPA di Indonesia yang memiliki NKV. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 60 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner…”

Tantangan COVID-19 terhadap Unggas
Meskipun kesamaan dalam susunan genetik manusia dan ayam adalah sekitar 60%, sistem kekebalan manusia dan spesies unggas sangat berbeda, sehingga protokol, jenis dan aplikasi vaksinasi berbeda (Hafez dan Attia, 2020). Beberapa studi terbaru tampaknya menujukkan COVID-19 tidak menular pada ternak unggas. Kendati demikian, penerapan biosekuriti yang ketat di lokasi kandang harus dipertahankan untuk membatasi penyebaran COVID-19 ke peternakan. Karena kemungkinan terjadinya mutasi bisa terjadi (Montse dan Bender, 2020).

Meskipun saat ini belum ada bukti bahwa makanan dapat menyebarkan COVID-19, masyarakat global dihadapkan pada pertimbangan dalam pembelian makanan. Bakteri dan virus bisa tumbuh di suhu 5-60° C. Sebaiknya jika masyarakat hendak memesan daging unggas bawalah kotak pendingin dan es untuk menjaga makanan pada suhu yang dingin selama diperjalanan. Jangan biarkan daging unggas berada pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam. Setelah sampai di rumah, daging unggas dimasukkan ke dalam kulkas atau freezer untuk penyimpanan yang aman.

Pandemi ini sebetulnya momentum yang tepat dalam rangka membenahi kualitas produk perunggasan nasional. Ini merupakan tanggung jawab bersama baik dari pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menindak tegas pelaku usaha yang tidak memiliki NKV, karena ini berkaitan dengan nyawa manusia. Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam memilih produk unggas yang sudah terjamin mutunya. Bagi pelaku usaha, sudah saatnya lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat, tidak semata-mata mengejar profit belaka (People, Planet, Profit). Perguruan tinggi menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat dan juga dalam melakukan riset/inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Usaha perunggasan Indonesia semakin maju. ***

Oleh: Febroni Purba (Praktisi Peternakan Unggas Lokal)

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI DAGING SAPI NASIONAL



Oleh: Ir Wignyo Sadwoko, MM 
(Perencana Ahli Madya)
Sapi potong merupakan salah satu ternak sumber protein hewani yang sudah lama dipelihara masyarakat dengan rata-rata pemeliharaan 2-3 ekor per rumah tangga yang dikelola secara bersama-sama dengan usaha tani lainnya. Model pemeliharaan ini sangat banyak di masyarakat kita, sehingga menjadikan tingkat produktivitas hasil dan efisiensi usaha sangat rendah. 

Disisi lain, peningkatan permintaan daging sapi sejalan dengan pertambahan penduduk ternyata lebih cepat dari pertumbuhan populasi dan produktivitas sapi dalam negeri. Penyediaan daging nasional saat ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri karena pertumbuhan populasi dan produktivitas sapi dalam negeri masih belum optimal. Pada tahun 2019, permintaan daging sapi nasional mencapai 686.270 ton, dengan rata-rata konsumsi per kapita sebesar 2,56 kilogram dengan penyediaan daging sapi dalam negeri sebesar 490.420,8 ton atau baru mampu menyediakan 71,46 % dari kebutuhan daging nasional.


Permintaan terhadap daging sapi diyakini akan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, tingginya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan bergizi tinggi dan berkembangnya industri kuliner yang menyajikan bahan baku berbasis daging sapi. yang merupakan kebutuhan dasar manusia, pemenuhannya merupakan bagian hak asasi yang dijamin oleh negara. Sebagaimana diamanatkan pada Undang Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi seimbang, secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. 

Oleh karenanya pemenuhan konsumsi pangan harus didasarkan atas produksi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya dan kearifan lokal secara optimal. Terkait dengan daging sapi, pemerintah pernah mencanangkan Program Swasembada Daging Sapi pada awal tahun 2000 yang dilanjutkan dengan upaya peningkatan kelahiran melalui kegiatan Gertak Birahi dan Inseminasi Buatan (GBIB) pada tahun 2015 – 2016  dan melalui Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) pada tahun 2017 – 2019. Kegiatan Upsus Siwab  bertujuan untuk mendorong percepatan pertambahan populasi sapi di dalam negeri dilaksanakan melalui kegiatan optimalisasi reproduksi pada sapi dengan perkawinan buatan (IB) dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas anakan yang dihasilkan, disamping juga untuk memperbaiki kualitas genetik ternak lokal yang ada. 

Memasuki tahun 2020 kegiatan Upsus SIWAB dikembangkan lebih luas cakupannya, tidak hanya sekedar pertambahan populasi sapi namun sudah diarahkan sampai dengan penyediaan produksi daging melalui kegiatan SIKOMANDAN (Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri) yang di-launching oleh Menteri Pertanian pada bulan Pebruari 2020 di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

SAPI DAN KERBAU KOMODITAS ANDALAN NEGERI (SIKOMANDAN)

Kegiatan SIKOMANDAN sebagaimana yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17 Tahun 2020 pada dasarnya adalah kegiatan peningkatan produksi yang merupakan penjabaran dari berbagai fungsi Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan yang dikemas dalam kegiatan yang terintegrasi dan berkelanjutan dari hulu sampai hilir dalam rangka penyediaan daging sapi. 

Peningkatan produksi merupakan out come dari kegiatan SIKOMANDAN dilaksanakan secara terintegrasi dan saling menunjang menjadi satu kesatuan kegiatan yang meliputi (a)  peningkatan kelahiran; (b) peningkatan produktivitas; (c) pengendalian penyakit dan gangguan reproduksi; (d) penjaminan keamanan dan mutu pangan; dan (e) distribusi dan pemasaran.  Selanjutnya serangkaian kegiatan tersebut dirangkai dalam Proses Bisnis SIKOMANDAN meliputi 4 (empat) proses yang dimulai dengan (1) Peningkatan Kelahiran dalam rangka mendorong pertumbuhan populasi; (2)  Peningkatan Produktivitas dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi dan kerbau dalam menghasilkan daging; (3) Peningkatan Keamanan dan Mutu Pangan melalui proses pemotongan/penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH); dan (4) Kegiatan Distribusi dan Pemasaran dalam rangka penyediaan daging bagi masyarakat di seluruh wilayah secara cukup.  

Secara skematis bentuk keterkaitan antar proses bisnis tersebut digambarkan sebagai berikut:    

Sinergitas Kegiatan SIKOMANDAN
 

IMPLEMENTASI SIKOMANDAN

Melihat siklus bisnis dari SIKOMANDAN, keempat proses bisnis harus bersinergi antar kegiatan (proses bisnis) menjadi kunci dalam meningkatkan populasi dan penyediaan daging sapi untuk masyarakat. Dimana keluaran (output) dari proses awal akan menjadi masukan (input) untuk kegiatan berikutnya.  

Implementasi kegiatan SIKOMANDAN  dimulai dengan pengaturan dan pelayanan reproduksi, baik dalam aspek perkawinan maupun kesehatan reproduksinya sehingga akan dihasilkan kelahiran dari anak sapi yang sehat dengan kualitas yang baik. 

Anakan sapi yang sudah terdata pada iSIKHNAS selanjutnya dipelihara dan  anak sapi betina dipelihara untuk replacement dan penambahan populasi sementara yang jantan untuk produksi daging. Mengingat bahwa pada umumnya pemotongan sapi  dilakukan pada berat belum mencapai berat optimal (Survey IPB, 20112) maka diperlukan upaya peningkatan produktivitas melalui kegiatan tunda potong (penggemukan) dengan pemberian pakan yang baik sehingga diperoleh berat optimal.

Selanjutnya sapi jantan yang telah  mencapai  berat optimal tersebut dapat dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) untuk memenuhi kebutuhan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat di seluruh wilayah melalui pengaturan distribusi dan pemasaran, baik dalam bentuk sapi hidup maupun daging. 

Namun dengan mekanisme perencanaan dan pengalokasian anggaran yang bertumpu pada unit kerja eselon II yang sekaligus merupakan perwujudan tugas dan fungsinya, maka sinergisme atau keterpaduan dari setiap kegiatan yang tergambarkan  dalam proses bisnis SIKOMANDAN masih sulit diwujudkan. 

Solusi untuk menghindari hal tersebut, pelaksanaan SIKOMANDAN harus dikemas dengan pendekatan pembangunan melalui pengembangan kawasan atau dengan membangun cluster-cluster produksi dengan manajemen usaha dalam bentuk korporasi.

Melalui pendekatan pengembangan kawasan (cluster) korporasi peternak, akan menjadi langkah awal menuju industrialisasi peternakan sapi potong berbasis sumberdaya lokal. Dalam pelaksanaannya, pengembangan kawasan/cluster sapi potong dibangun dalam satu kesistiman agribisnis diharapkan mampu memicu terjadinya kombinasi kegiatan strategis berskala ekonomi, baik pada tataran on farm maupun off farm sebagaimana siklus bisnis SIKOMANDAN. 

Pelaksanaan SIKOMANDAN dengan pendekatan pengembangan kawasan/cluster dan pengelolaan secara korporasi akan memudahkan dalam mewujudkan sinergitas antar kegiatan (proses bisnis) dalam meningkatkan populasi  dan menghasilkan produksi daging.

PENGEMBANGBIAKAN SAPI BX BUKAN DARI HARTA “GHANIMAH”

(Foto: pataka.or.id)

Oleh: Rochadi Tawaf (Dewan Pakar PB ISPI)

Program pembiakan sapi BX yang selama ini dintroduksikan adalah sebagai berikut, 1) Pembiakan dengan pola integrasi sapi sawit. 2) Pembiakan dengan pola penggembalaan di padang rumput. 3) Pembiakan dengan pola pemeliharaan intensif dikandangkan. 4) Pola pengembangan semi breedlot, yaitu pembiakan yang dilakukan oleh para pengusaha feedlot. Program ini dilakukan oleh Indonesia Australia Comercial Cattle Breeding (IACCB) sejak 2016 silam.

Pola pembiakan sapi BX yang dilakukan bersama dengan peternakan rakyat, telah dilaksanakan di Koperasi Petani Ternak Maju Sejahtera (Lampung Selatan), Koperasi Karya Baru Mandiri (Kotawaringin Barat Kalimantan Selatan) dan Sentra Peternakan Rakyat Mega Jaya (Bojonegoro). Program ini telah menghasilkan efisiensi teknis sosial dan ekonomis usaha ternak pembiakan di wilayah tersebut.

Pada 2015, 2016 dan 2018, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), memiliki program untuk meningkatkan populasi ternak dan produksi daging sapi melalui importasi sapi potong betina produktif dari Australia. Data dari Ditjen PKH menyatakan bahwa impor sapi potong betina produktif pada 2018 sebanyak 2.652 ekor sapi Brahman Cross dan telah didistribusikan ke kelompok ternak dan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah).
 
Pada akhir Juni 2019, Konsultan PT Mitra Asia Lestari (MAL) melakukan pemantauan perkembangan ternak sapi BX betina produktif yang telah didistribusikan ke beberapa kelompok dan UPTD di sembilan provinsi. Pemantauan difokuskan pada kondisi ternak, seperti tingkat kematian, nilai Body Condition Score (BCS), serta kondisi ketersediaan pakan di 41 kelompok dan empat UPTD (Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Laporan hasil pemantauan menyatakan bahwa dari jumlah tersebut ditemukan sebanyak 54 ekor ternak mati, 252 ekor ternak dalam kondisi yang sangat kurus dengan BCS 1 dan 352 ekor dengan BCS 2. Kesimpulan kajian tersebut, bahwa permasalahan utama adalah karena kurangnya ketersediaan pakan dan air bersih.

Berdasarkan data dan informasi di atas, PB ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) terpanggil untuk berkontribusi membantu kelompok peternak mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut, sehingga tujuan pengembangbiakan sapi BX dapat terealisasi dengan baik. PB ISPI bekerjasama dengan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) mengusulkan kegiatan yang dinamakan “Program Perbaikan Sapi Betina Produktif” atau “Improvement Program for Productive Female Cattle” yaitu program untuk memperbaiki kondisi sapi BX betina produktif yang sangat kurus atau kurus dengan cara meningkatkan BCS, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat kematian ternak di kelompok.

Peradaban Baru Sapi BX
Di Jawa Barat, program ini diawali dengan melakukan rapid appraisal terhadap 24 kelompok peternak penerima sapi indukan. Hasilnya, ternyata sebagian peternak menyatakan bahwa selama setahun sejak sapi tersebut diterima, terdapat sapi yang bunting bawaan hanya 12,47% dan bunting hasil IB hanya 8,03%. Hal ini terutama disebabkan defisiensi pakan. Dampak selanjutnya sapi-sapi tersebut menjadi sulit bunting dan BCS di bawah angka dua sekitar 23%.

Berdasarkan hasil rapid appraisal, tim pendamping menargetkan bahwa sapi-sapi pada tiga kelompok fokus yang ditetapkan sebagai KPI-nya untuk angka kebuntingan minimal 70%, kematian maksimum 4% dan BCS di atas nilai 2,5.

Selanjutnya tim pembina melakukan pembinaan terhadap peternak dengan melakukan bimbingan teknis, melalui kerja sama dengan Balai Latihan Ketahanan Pangan dan Peternakan. Materi bimbingan merupakan pengetahuan praktis dalam mengatasi tiga permasalahan tersebut, yaitu kebuntingan, kematian dan BCS. Materi yang diberikan adalah bioteknologi pakan, reproduksi, manajemen kelompok dan analisis ekonomi bisnis usaha pembiakan.

Dari hasil pembinaan intensif yang dilakukan terhadap tiga kelompok fokus tersebut selama enam bulan, diakhir kegiatan kelompok binaan mampu melampaui target KPI yang ditetapkan, yaitu kebuntingan mencapai 66,6-73,3 %, kematian 0% dan BCS di atas nilai tiga (evaluasi 15 Juni 2020). Sesungguhnya, pada kasus ini telah terjadi “peradaban baru” bagi sapi-sapi BX yang semula dipelihara secara ekstensif di padang gembala, kini dipelihara secara intensif di kandang peternak rakyat yang ternyata mampu berproduksi seperti di tempat asalnya.

Breedlot pada Kelompok Peternak
Secara teknis kelompok peternak sejatinya telah mampu menunjukan keterampilannya melakukan kegiatan usaha pemeliharaan sapi indukan BX. Keberhasilan teknis yang dilakukan kelompok peternak rakyat tersebut sangat bermanfaat bagi Jawa Barat sebagai sentra konsumen yang berpotensi untuk melakukan pengembangbiakan sapi BX dengan pola “breedlot kelompok”.

Konsep breedlot kelompok adalah pola usaha pembiakan sapi BX yang diintegrasikan antara usaha pembiakan dengan usaha penggemukan. Namun, seberapa besar rasio antara kedua usaha tersebut yang ideal untuk direkomendasikan, ternyata belum terungkap dari hasil program ini. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan mendalam mengenai itu.

Keberhasilan kelompok fokus melampaui target yang ditetapkan sebelumnya, terutama disebabkan oleh tiga fakyor utama. Pertama, motivasi integritas peternak yang ditetapkan melalui pernyataan sikap untuk merealisasikan target yang dibuatnya. Kedua, intensifnya tim pembina lapangan (insemintor, tenaga penyuluh dan tenaga kesehatan hewan) dalam membimbing peternak kelompok. Ketiga, sikap pemerintah dalam hal ini adalah pimpinan dinas peternakan di tingkat kabupaten. Kekompakan tiga lembaga ini turut memberikan andil besar dalam proses inovasi teknologi pemeliharaan sapi indukan BX.

Bukan Harta “Ghanimah”
Keberhasilan kelompok dalam meraih target yang ditetapkan adalah akibat terjadinya hubungan yang harmonis antara tenaga lapangan (inseminator, penyuluh dan petugas kesehatan hewan) dan dinas peternakan dalam memainkan perannya dengan peternak rakyat. Pada dasarnya bagaimana agar intervensi teknologi beternak dapat diadopsi peternak dengan baik.

Pada kasus ini, peran pendamping peternak menjadi strategis dalam penyampaian inovasi. Di sinilah pentingnya peran tenaga pendamping dalam menyukseskan program-program besar seperti peningkatan populasi ternak dan lainnya. Namun demikian, peran ini menjadi tidak ada artinya tatkala sarana pendukungya tidak tersedia. Seperti sarana IB (semen beku) dan kesehatan hewan (obat-obatan dan vitamin/hormon).

Satu hal yang juga sebagai pendukung keberhasilan program perbantuan adalah, bahwa peternak harus punya “rasa memiliki” dari program tersebut. Bahwa ternak bantuan pemerintah bertujuan untuk pengembangan usaha, bukannya sebagai bantuan yang habis pakai. Hal ini terjadi karena di masyarakat telah berkembang sikap bahwa bantuan pemerintah adalah ibarat “harta pampasan perang (ghanimah)”. Jadi boleh dihabiskan tanpa pertanggung jawaban, karena tanpa pengawasan dan pembinaan.

Oleh karena itu, sebagai langkah awal yang perlu ditanamkan dalam pengembangan ternak bantuan pemerintah adalah dana yang digunakan berasal dari pajak rakyat yang dititipkan kepada mereka untuk dikembangkan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Semoga tulisan ini menginspirasi para penyuluh dan pembina peternak di lapangan. ***

SUMBANG SARAN PB PDHI UNTUK DIRJEN BARU

OLEH: DRH M. MUNAWAROH MM

Kami, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebagai organisasi profesi mitra pemerintah mengucapkan selamat atas terpilihnya nahkoda baru Direktur Jenderal Peternakan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Dr Ir Nasrullah MSc. Semoga dapat mengemban tugas dengan baik dan senantiasa memberi yang terbaik bagi perkembangan peternakan dan kesehatan hewan nasional. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pejabat sebelumnya Dr Drh I Ketut Diarmita MP atas karya dan darma baktinya. Sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah, melalui media ini kami menyampaikan sumbang saran untuk Dirjen PKH dengan harapan dapat dipakai sebagai salah satu referensi dalam mengambil kebijakan. Artikel ini merupakan rangkuman dari materi sumbangan pemikiran PB PDHI tentang peternakan dan kesehatan hewan yang telah disampaikan secara resmi ke Dirjen PKH.

Optimalkan Peran Dokter Hewan

Dalam pembangunan nasional saat ini PDHI berpandangan bahwa pemerintah belum mengoptimalkan peran dokter hewan di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Anggaran pemerintah baik APBD maupun APBN juga masih terfokus pada “kesehatan ternak” dan bukan “kesehatan hewan”. Ke depannya pemerintah hendaknya membangun “kesehatan hewan” secara komprehensif, mengingat kerugian ekonomi yang disebabkan Penyakit Hewan Menular (PHM) termasuk zoonosis amatlah besar. Dalam hal ini pemerintah perlu mengupayakan adanya “Anggaran Wabah” untuk PHM Zoonosis dan Non-Zoonosis.


Perihal masalah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), dimana produk-produk asal hewan harus Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), pemerintah perlu menghadirkan aparat semacam “Polisi Veteriner” yang bertanggung jawab terhadap struktur dan sistem keamanan pangan asal ternak di lapangan. Termasuk di dalamnya mengawasi rumah pemotongan hewan (RPH) ilegal atau yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV), serta beredarnya daging “liar” di pasaran. Keterbatasan tenaga veteriner di Badan Karantina Pertanian yang bertanggung jawab dalam hal struktur dan sistem pertahanan pangan asal ternak dan sistem penangkalan penyakit hewan dari luar negeri perlu menjadi perhatian pemerintah.

Penanganan Wabah

Ketentuan UU No. 18/2009 pada Pasal 46 yang mengatur respon Pemerintah Pusat dan Daerah kami nilai terlalu panjang dan berbelit-belit, hal ini tidak mencerminkan kebijakan yang tanggap terhadap suatu wabah. Selain itu, ketentuan kejadian wabah yang harus diumumkan ke publik menjadi beban psikis tersendiri bagi pimpinan dan jajaran Pejabat Tinggi di unit eselon I yang menangani peternakan dan kesehatan hewan.

PB PDHI siap membantu Dirjen PKH untuk merombak ketentuan Pasal 46 agar respon terhadap wabah dapat dilakukan secara cepat tanpa dibayangi beban psikis jabatan.

Kebijakan Zone Based dan Impor Sapi

Kami juga mengamati pemerintah dalam menerapkan UU No. 41/2014 terutama mengenai Pasal 36 B ayat 2. Menurut hemat kami seharusnya pasal ini bersifat lumintu (terus berkelanjutan), yakni bisa menerima berbagai kriteria sapi untuk kepentingan pengembangan sapi potong dan pemenuhan kebutuhan konsumen dalam negeri.

Terhadap kebijakan impor berbasis zona (zone based) menggantikan country based, kami menilai bahwa sistem ini bakal menyulitkan Ditjen PKH dalam mencegah dan mengendalikan PHM, antara lain PMK, BSE, ASF, COVID-19 dan lain-lain. Kebijakan zone based bisa diterapkan dengan baik sepanjang pemerintah melakukan tahapan sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko Independen (TARI). Faktanya sampai saat ini persyaratan yang diharuskan ada oleh tim TARI masih belum dipenuhi, tidak heran jika kemudian terjadi wabah ASF yang sangat mungkin akan diikuti wabah lainnya seperti PMK dan BSE (yang sampai saat ini Indonesia masih bebas).

Masalah lain juga ada di Pasal 36 B ayat 5 yang mewajibkan feedlot menggemukkan sapi paling cepat 4 bulan setelah pelepasan dari karantina. Akibat pasal ini, para pengusaha penggemukan sapi potong dapat mengalami kerugian, karena dengan teknologi saat ini penggemukan sapi dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 4 bulan. Artinya, putaran investasi akan memberikan dampak finansial dan ekonomi yang lebih luas dan cepat. Bukan sebaliknya, menjadi lambat dan kurang memberi manfaat bagi ekonomi pedesaan.

Impor daging sapi dan kerbau dari India juga menimbulkan masalah ekonomi. Disparitas harga daging impor dan lokal sangat tinggi dan dapat menyebabkan kerugian pada feedlot dan peternak. Malahan lebih menguntungkan bagi para “pencari cuan” ketimbang peternak dan pengusaha feedlot.

AGP dan Perunggasan

Permasalahan yang tidak kalah penting yakni mengenai Anti Microbial Ressistance (AMR). PDHI dalam hal ini mendukung regulasi pemerintah karena di lapangan penggunaan antibiotik tidak terawasi dengan baik (terutama dalam perunggasan), sehingga PDHI meminta pemerintah agar lebih aktif melakukan fungsi pengawasan. Saat ini PDHI juga sedang menyusun buku tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, semoga dalam waktu dekat buku ini akan terbit dan bisa digunakan sebagai dasar untuk pengobatan antibiotik di lapangan oleh para praktisi.

Hal yang juga krusial yakni masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal. PB PDHI menganggap penting perlunya struktur dan sistem hukum yang bertanggung jawab dalam hal penyidikan dan penindakan terhadap penyimpangan pengadaan maupun peredaran obat hewan. Kementerian Pertanian sampai saat ini, belum memiliki Bidang atau Direktorat Penyidikan dan Penindakan yang berhubungan dengan obat hewan ilegal. Dengan adanya dukungan perangkat lunak berupa landasan hukum yang kuat diharapkan dapat melindungi masyarakat, khususnya peternak kecil dalam mendapatkan obat hewan yang baik dan bermutu.

Dalam bidang perunggasan diharapkan Ditjen PKH dapat segera melakukan audit populasi dan pengurangan produksi parent stock (PS) dan/atau final stock (FS), sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Permentan Nomor 32/Permentan/PK.230/9/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi, agar kelebihan produksi dapat diselesaikan.

Selain itu pemerintah belum melakukan pembelian ternak ayam sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (1) Permendag No. 7/2020, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pembelian apabila harga di tingkat peternak di bawah harga acuan yang telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp 19.000/kg.

Pemerintah juga seharusnya lebih mendorong integrator untuk ekspor, agar peternak lebih banyak mendapat porsi pasar lokal. Koordinasi antar kementerian agar ditingkatkan dalam penyelesaian masalah perunggasan yang terus berbelit.

Memperkuat Produksi dan Ekspor

Perlu diingat bahwa Indonesia adalah salah satu “hot spot” penyakit infeksius baru (Emerging Infectious Diseases/EID) di dunia. Situasi ini menjadikan kondisi Indonesia sebagai “ancaman” bagi masyarakat karena kemungkinan menjadi sumber munculnya penyakit infeksi baru yang dapat berakibat fatal bagi manusia.

Zoonosis seperti Antraks, Rabies, Leptospirosis, Bruselosis dan lainnya selalu muncul setiap tahun. Kejadian Rabies setiap tahun mengakibatkan kematian manusia cukup banyak. Permasalahan ini yang dihadapi dunia kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat di Indonesia dan sudah seharusnya dapat ditangani secara lebih baik oleh tenaga ahli dari dalam negeri.

Kemampuan penyidikan penyakit hewan di dalam negeri sudah semakin baik. Staf penyidikan yang semakin terdidik dan terlatih secara profesional mendukung tugas mereka dalam menyidik dan menanggulangi terjadinya penyakit di lapangan. Kehandalan para penyidik veteriner ini juga terlihat saat mulai merebaknya kasus African Swine Fever (ASF) di Indonesia pertengahan 2019.

Kemampuan diagnosis petugas Balai Veteriner sudah sangat baik, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia di bidang veteriner tidak kalah dari luar negeri. Penelitian penyakit zoonotik juga telah banyak dilakukan oleh peneliti andal dari putra-putri bangsa sendiri. Agen-agen etiologi dari isolat lokal juga telah banyak dikoleksi dari hasil penelitian yang dilakukan.

Lembaga penelitian nasional juga sudah ada yang memiliki fasilitas memadai untuk melakukan penelitian terhadap agen penyakit zoonotik dan non-zooonotik. Hal tersebut merupakan aset bangsa yang sangat berharga, yang bukan hanya memberikan kontribusi dalam rangka penyidikan penyakit, namun dapat dikembangkan pada hal-hal yang lebih produktif dan memberikan keuntungan ekonomi bagi bangsa.

Pengendalian zoonosis dan penyakit hewan non-zoonotik di Indonesia masih sangat tergantung pada importasi alat diagnostik maupun vaksin dari luar negeri. Contoh kasus, saat mencukupi kebutuhan vaksin Rabies dalam pengendalian penyakit ini di Bali beberapa tahun lalu hingga saat ini, Indonesia masih sangat tergantung dari vaksin impor. Di sisi lain, isolat virus Rabies nasional sangat banyak dan dapat dikembangkan menjadi vaksin dan alat diagnostik sekaligus, hal ini juga didukung peneliti/pakar Rabies/virus di Indonesia yang memiliki kapabilitas menghasilkan vaksin maupun alat diagnostik.

Fasilitas untuk melakukan riset inovasi vaksin dan alat diagnosis Rabies dalam negeri juga sudah layak. Indikasi terhadap hal-hal ini dapat dilihat dari hasil riset yang dipublikasikan di jurnal nasional maupun internasional. Kelemahan yang muncul adalah tidak ada dukungan pemerintah khususnya untuk menindaklanjuti aktivitas riset tersebut hingga berhasil dihilirisasi menjadi produk yang dapat dipasarkan.

Kementerian Pertanian juga telah memiliki Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) sebagai unit produksi vaksin maupun alat diagnostik veteriner yang mampu menghilirisasi produk penelitian yang ada. Bercermin dari pandemi COVID-19, Kementerian Pertanian dapat mengambil pelajaran dengan memberikan dukungan semaksimal mungkin kepada bidang veteriner, sehingga dapat menghasilkan produk biologi yang dapat memenuhi kebutuhan nasional, bahkan dapat menjadi produk ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. Dengan demikian posisi Indonesia sebagai “hot spot” EID justru memberikan keuntungan bagi bangsa dalam mengendalikan zoonosis maupun non-zoonosis yang ada di dalam negeri, sekaligus mencegah muncul dan menyebarnya penyakit infeksi baru. ***

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer