-->

FESTIVAL AYAM DAN TELUR 2019, SEDIAKAN PANGAN SEHAT UNTUK KELUARGA

Simbolis konsumsi daging dan telur ayam oleh para pemangku kebijakan dan stakeholder peternakan pada FAT 2019 yang dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat, Minggu (4/8/2019). (Foto: Infovet/Sadarman)

Secara kualitatif ataupun kuantitatif, konsumsi daging ayam dan telur masyarakat Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara lain di Asia. Kondisi ini disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi daging ayam dan telur yang sejatinya disebut sebagai sumber bahan pangan kaya protein hewani. Hal ini jelas berdampak pada tingkat kecerdasan generasi muda Indonesia ke depannya, sehingga untuk meminimalkan dampak tersebut, maka diperlukan sosialisasi terkait pentingnya mengonsumsi daging ayam dan telur. 

Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IKA FKH IPB) bersama Pemerintah Kota Bogor dan Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) kembali menyelenggarakan kegiatan Festival Ayam dan Telur (FAT), yang digelar di Lapangan Sempur Kota Bogor, Minggu (4/8/2019). Acara dihadiri Wali Kota Bogor Dr Bima Arya, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Fini murfiani, Ketua FMPI Don P. Utoyo, asosiasi bidang peternakan, lembaga maupun akademisi, dinas/instansi terkait, duta ayam dan telur, serta dr Rizal Alaydrus yang merupakan host acara Dr OZ Indonesia.

Acara bertajuk “Ayam dan Telur Meningkatkan Gizi dan Prestasi Anak Bangsa” diawali dengan senam pagi bersama. Alunan musik senam yang dibumbui jargon-jargon ayam dan telur menambah semarak festival tahunan ini.

Ketua Pelaksana FAT, Suhadi Purnomo, dalam sambutannya mengatakan konsumsi daging ayam dan telur merupakan kewajiban bagi masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat kedua jenis bahan pangan tersebut sarat dengan zat gizi yang tinggi, salah satunya protein yang sangat dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan anak maupun untuk mengganti sel-sel tubuh yang rusak.

“Setidaknya dua sampai tiga hari dalam seminggu keluarga harus disajikan menu berbahan dasar daging dan telur ayam. Harga kedua bahan pangan tersebut pun murah dan terjangkau, lebih murah dari sebungkus rokok,” kata Suhadi.

Hal senada juga diungkapkan Bima Arya. Menurutnya, anak-anak merupakan aset bangsa, sehingga mereka harus dibekali pangan yang sehat dan bergizi agar tumbuh sempurna, baik dari fisik maupun otaknya. “Jika kita menginginkan anak-anak kita tumbuh dan berkembang menjadi generasi cerdas, maka mulai hari ini kita harus bertekad memberikan makanan yang sehat dan bergizi. Makanan tersebut sejatinya bersumber dari ayam, yakni daging dan telurnya,” tutur Bima Arya.

Pada kesempatan yang sama, Fini Murfiani, mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, mengemukakan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, konsumsi daging ayam dan telur di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan Malaysia, yaitu sekitar 11,5 kg daging ayam dan 7 Kg telur pertahun. “Kita perlu untuk lebih peduli pada gizi keluarga agar konsumsi daging ayam dan telur kita meningkat, sehingga ketakutan kita terhadap kehilangan generasi muda atau lost generation di masa mendatang dapat dihilangkan,” ucap Fini.

Sosialisasi konsumsi daging dan telur ayam pun terus dilakukan dengan beragam cara. Ketua FMPI Don P. Utoyo menyebut, pihak asosiasi terus berupaya mengedukasi masyarakat agar membuka mata terhadap gizi keluarga. “FMPI telah melakukan berbagai hal, termasuk menjalin kerjasama dengan pihak lain, sosialisasi para kepala dan ibu rumah tangga untuk peduli pada gizi anak,” ucap pria yang akrab disapa Pak Don.

Ia menambahkan, peduli gizi itu tidak harus memberikan bahan pangan yang mahal, karena tidak semua yang mahal identik dengan bahan pangan kaya gizi. Ia pun mengimbau, mengonsumsi satu butir telur saja merupakan sebuah kepedulian terhadap gizi. Karena dalam satu butir telur mengandung 6 gram protein dan 0,6 gr karbohidrat (Soeparno).

Interaksi Penunjung
Rizal Alaydrus ditemani Ketua Bidang (Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmaveti) Drh Ira Firgorita, bersama Duta Ayam dan Telur Offie Dwi Natalia, mengajak pengunjung berinteraksi mengenai fakta atau mitos terkait daging dan telur ayam.

Menurut Rizal, masih ada anggapan bahwa mengonsumsi telur mentah aman dan menyehatkan bagi tubuh. Kendati demikian, lanjut dokter nutrisi ini, mengonsumsi telur mentah memang bagian dari kebiasaan masyarakat, terutama lelaki, yang dipercaya mempunyai khasiat tinggi.

Kendati begitu jika ditinjau dari sisi nutrisinya, telur mentah memang kaya vitamin namun bukan untuk tujuan mendapatkan proteinnya. Telur yang kaya protein adalah telur yang dikonsumsi dalam kondisi matang (direbus atau digoreng).

“Daging dan telur ayam atau jenis bahan pangan apa saja yang menjadi pilihan untuk diolah dan dimasak kemudian disajikan untuk menu keluarga, yang terpenting adalah bahan pangan yang kaya nutrisi, aman, sehat, utuh dan halal (ASUH),” tukasnya.

Selain interaksi edukatif dengan pengunjung, acara FAT juga dimeriahi vocal grup dari Sekolah Menengah Pertama Bhakti Taruna I Kota Bogor. Mereka tampil membawakan lagu-lagu perjuangan yang senada dengan momen bersejarah, yakni Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 tahun. (Sadarman)

JANGAN TAKUT KONSUMSI DAGING AYAM

Daging ayam. (Istimewa)

((Masih saja ada oknum dokter yang menganjurkan pasiennya untuk tidak mengonsumsi daging ayam broiler. Jika dibiarkan, akan makin banyak masyarakat yang takut konsumsi protein hewani ini.))

Dalam perbincangan antara Infovet dan Ketua Umum Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), Drh Irawati Fari, awal Maret lalu di Sekretariat ASOHI di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ada hal yang manarik untuk disimak. Ternyata, kekhawatiran sebagian masyarakat mengonsumsi daging ayam broiler karena takut mengandung kolesterol bukan saja disebabkan oleh informasi yang bersumber dari “katanya”.

Ketakutan sebagian masyarakat mengonsumsi daging ayam negeri juga ada yang disebabkan oleh anjuran para oknum dokter kepada pasiennya. Menurut Ketua Umum ASOHI ini, masih ada dokter yang menganjurkan pasiennya untuk tidak mengonsumsi ayam broiler, karena mengandung hormon, ayam disuntik obat tertentu dan info menakutkan lainnya.

“Anjuran macam ini jelas tidak tepat disampaikan ke pasien. Biasanya oknum dokter yang begini karena dia belum tahu bagaimana proses produksi ayam broiler yang sebenarnya,” ungkap Irawati. Karena itu, sangat disayangkan jika masih ada tenaga medis yang masih memberikan anjuran keliru kepada pasiennya, sementara dia sendiri tidak tahu persis proses produksinya.

Kekhawatiran sebagian masyarakat mengonsumsi daging ayam broiler bukanlah perkara baru. Fenomena ini sudah terjadi sejak lama. Ketidakmengertian dan mendapatkan informasi dari sumber yang keliru menjadi penyebab utama mereka tak mau mengonsumsi daging ayam broiler.

Beberapa informasi keliru yang hingga kini masih beradar di tengah masyarakat antara lain, ayam broiler cepat besar karena disuntik hormon, diberi obat-obatan khusus dan mengandung kolesterol tinggi. Yang lebih memprihatinkan, tak sedikit media online yang menyuguhkan berita tentang bahaya mengonsumsi ayam broiler, tanpa didasari literatur dan sumber yang jelas. Hanya mengutip sebagian informasi dari media asing, lalu diterjemahkan secara bebas.

Jika dilihat di media online, dalam rubrik kesehatan, seringkali tersaji berita yang menyebutkan banyak peternak ayam yang menggunakan zat kimia dan antibiotik dalam memelihara ayam broiler. Ada juga media online yang menyebutkan bahwa tidak semua orang cocok makan ayam broiler, karena cenderung rendah nutrisi. Di samping itu, ayam tersebut juga telah terpapar zat kimia yang bisa membahayakan tubuh. “Karenanya, Anda harus berhenti makan daging ayam itu, apalagi kalau diolah dengan cara digoreng,” begitu kutip salah satu media online mainstream di dalam negeri tanpa menyebutkan narasumber yang jelas.

Bagi masyarakat yang sudah paham dengan kandungan protein hewani pada daging ayam, berita macam ini akan dianggap angin lalu. Tapi bagaimana jika pembacanya tidak paham soal nustrisi protein hewani? Informasi macam ini sangat membingungkan, bahkan cenderung menyesatkan. Bisa-bisa pembaca jadi ragu atau malah berhenti sama sekali untuk mengonsumsi daging ayam.

Harus Dilawan
Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Gadjahmada (UGM) Yogyakarta, Yuny Erwanto, berpendapat, ketakutan sebagian masyarakat untuk mengonsumsi daging ayam broiler memang masih terjadi hingga sekarang. Penyebabnya, bisa karena mendapat informasi yang salah tentang cara beternak ayam negeri atau karena ada anjuran dari orang lain agar tak mengonsumsi daging ayam broiler.

Menurut ahli gizi ini, fenomena tersebut harus dilawan dengan menggencarkan kampanye konsumsi daging ayam dan telur. Kampanye ini menjadi sangat penting agar publik lebih paham tentang proses sebenarnya beternak ayam broiler, mulai dari awal hingga panen.

Banyak cara kampanye yang bisa dilakukan, misalnya dengan mengajak sarapan ayam dan telur bersama anak-anak sekolah, atau melalui demo atau lomba masak di kalangan ibu-ibu rumah tangga dengan bahan baku daging ayam broiler dan telur. Melalui demo atau lomba masak, dapat dijadikan ajang untuk menggugah masyarakat Indonesia untuk lebih gemar mengonsumi daging ayam.

Langkah ini penting mengingat tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia hingga saat ini masih tergolong rendah. Erwanto menyebut, saat ini konsumsi daging masyarakat Indonesia tak lebih dari 10 kg per kapita per tahun. Sedangkan Malaysia sudah sekitar 50 kg dan negara maju sekitar 100 kg per kapita per tahun. “Secara karakter, makanan yang lebih bercita rasa akan dihargai lebih tinggi, karena manusia membutuhkan lebih dibanding yang kurang bercita rasa,” ujar Erwanto. 

Faktor lain penyebab masih rendahnya konsumsi daging di dalam negeri, lanjut Erwanto, adalah faktor ketersediaan dan distribusi. Namun itu pengaruhnya kecil. Faktor ini hanya dialami di beberapa wilayah yang memiliki tingkat pendapatan tinggi, namun ketersediaan daging masih kurang, karena belum banyak peternakan di wilayah tersebut atau alasan perusahaan tidak ekonomis mendirikan usaha di tempat tersebut.

Erwanto kembali menjelaskan, informasi gizi terkait daging ayam sebenarnya sederhana saja. Daging ayam memiliki kandungan protein tinggi, asam amino yang dibutuhkan tubuh manusia terpenuhi dan lengkap, serta mengandung mineral yang juga bermanfaat bagi tubuh.

“Mungkin salah satu faktor yang menyebabkan masih rendahnya konsumsi daging ayam adalah kekhawatiran kandungan antibiotik dan obat-obatan pada ayam broiler yang tinggi, padahal sebenarnya tidak separah yang dikhawatirkan,” ujarnya. Erwanto memberikan solusi, bagi masyarakat yang khawatir mengonsumsi daging ayam broiler dapat menggantinya dengan daging ayam kampung.

Kebutuhan Per Kapita
Tingginya kandungan gizi pada daging ayam semestinya menjadi rangsangan bagi masyarakat untuk lebih sering mengonsumsinya. Memang tak harus setiap hari, tapi setidaknya beberapa kali dalam sepekan dengan takaran yang memadai.

Erwanto menyarankan, konsumsi daging ayam dalam sepekan dapat diasumsikan, jika kebutuhan protein manusia setiap hari di rata-rata 60 gram dan sekitar 10 gram berasal dari daging ayam, maka dapat dihitung bahwa 10 gram itu berasal dari 50 gram daging ayam segar. Daging ayam segar kadar proteinnya mencapai 20%. Jadi dalam satu hari, minimal konsumsi daging ayam adalah 50 gram atau setara 350 gram setiap pekan atau sekitar 1,4 kg setiap bulan per kapita. Jika ini bisa diterapkan, maka setiap tahun minimal adalah 16,8 kg per kapita.

“Dengan asumsi tersebut, maka jika negara akan terus berkembang dan kesejahteraan terus meningkat, otomatis konsumsi meningkat dan dapat melebihi angka minimal tersebut seperti negara lain,” ungkapnya.

Jika konsumsi daging meningkat (termasuk daging ayam), maka keseimbangan gizi akan tercapai dan fisiologis tubuh akan lebih sehat. Dengan tubuh yang sehat, diharapkan produktivitas masyarakat juga meningkat dan akan berdampak pada peningkatan ekonomi. (Abdul Kholis)

Jangan Takut Konsumsi Daging Kelinci

Rica-rica daging kelinci yang menggugah selera. (Sumber: Istimewa)

Selain memiliki tekstur daging yang lembut, kandungan gizinya luar biasa. Daging ini hampir bebas kolesterol, namun kandungan kalsium dan fosfornya lebih banyak dibandingkan dengan daging hewan lainnya. Cobalah kalau tak percaya.

Pernah menikmati olahan daging kelinci? Kalau belum, sekali-kali bisa dicoba. Menurut yang sudah merasakan olahan daging hewan yang memiliki nama latin Oryctolagus cuniculus ini, nikmatnya bukan main. Teksturnya empuk dan sulit diungkapkan dengan kata-kata soal gurihnya. Jika Anda tinggal di Bogor, Jawa Barat, di sana cukup banyak warung sate yang menyediakan sate kelinci.

Salah satunya warung Sate Kelinci Kang Ibing. Lokasinya di jalan Veteran, Panaragan, Pasir Kuda. Warung sate ini cukup terkenal di seputaran wilayah Bogor. Selain menyajikan menu sate kelinci, di warung Kang Ibing juga menyediakan sate kambing, ayam, sop kelinci dan sop kambing. Ada juga Saung Indira yang lokasinya di Jalan Raya Sindang Barang, Bogor Barat. Warung yang satu ini mempunyai menu andalan antara lain sate kelinci, bakso kelinci dan nugget kelinci.

Pamor sate kelinci memang tak setenar sate kambing. Di Indonesia, menu olahan ini masih belum familiar. Wajar jika ada yang tidak “berani” menikmati sate kelinci. Buka lantaran rasanya, namun ada rasa tak “tega” menyantap mengingat kelinci merupakan hewan yang imut dan menggemaskan.

“Kalau kambing kan memang untuk dipotong, tapi kelinci itu umumnya dipelihara karena lucu,” ujar Windu Safitri, warga Depok, Jawa Barat yang mengaku tak berani menikmati olahan daging kelinci.

Wanita yang sehari-hari bekerja di toko digital printing ini mengaku sama sekali belum pernah mencicipi olahan daging kelinci. Dia juga mengaku sudah tahu bahwa daging hewan ini memiliki kandungan gizi luar biasa dari membaca artikel kuliner maupun kesehatan. “Tapi ya itu, belum berani nyobain,” katanya lagi sambil tersenyum.

Banyak macam olahan daging kelinci yang disajikan di warung-warung penyedia menu daging kelinci, mulai dari sate, gulai, dendeng, abon, hingga diolah menjadi nugget. Harga seporsi sate kelinci masih sebanding dengan harga seporsi sate kambing. Kisarannya antara Rp 20.000-30.000, berisi 10 tusuk sate.

Daging kelinci sebenarnya bisa menjadi alternatif sumber protein hewani, khususnya jika harga-harga daging ternak lainnya meningkat atau sulit didapat. Prof Dr Husmy Yurmiati, guru besar Fakultas Peternakan Unpad, menyebutkan dari segi kesehatan daging kelinci memiliki banyak manfaat. Tekstur daging kelinci hampir sama dengan daging ayam, bertekstur halus dan berwarna putih.

Daging kelinci memiliki kadar protein yang sama dengan daging ayam namun memiliki kadar kolesterol yang rendah, sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita darah tinggi, jantung dan kolesterol. Daging ini juga bisa diolah menjadi penganan apa saja, seperti sate, bakso, burger, nugget, tongseng, bakso tahu, hingga abon. “Daging kelinci memiliki rasa yang enak. Setiap jenis kelinci pedaging memiliki cita rasa tersendiri dan membutuhkan resep pembuatan yang khas,” ungkapnya.

Kelinci juga bisa menjadi alternatif bagi pemenuhan kebutuhan daging di Indonesia. Ahli gizi ini pernah melakukan penelitian tentang hewan ini. Ada lima potensi yang bisa dihasilkan dari seekor kelinci, yakni food (makanan), fur (kulit bulu), fancy (binatang hias), fertilizer (pupuk), dan laboratory (penelitian), seperti dilansir unpad.ac.id

Kandungan Gizinya
Kenikmatan olahan daging kelinci juga setara dengan kandungan gizi pada daging ini. Laman kesehatan Rise and Shine Rabbitry menyebutkan, kelinci memiliki daging putih dengan nutrisi terbaik dibandingkan dengan hewan lain yang memiliki daging putih. Daging kelinci mengandung lebih banyak protein yang mudah dicerna tubuh. Dibandingkan dengan daging hewan lainnya, daging kelinci mengandung lemak yang lebih sedikit.

Daging kelinci juga mengandung lebih sedikit kalori dibandingkan dengan daging lain. Info kesehatan ini bahkan menyebutkan, daging kelinci hampir bebas kolesterol, karena itu akan sangat baik untuk dikonsumsi tanpa khawatir daging tersebut akan berbahaya untuk jantung penikmatnya. Dibandingkan dengan daging hewan lain, daging kelinci mengandung kadar garam atau sodium yang lebih sedikit. Namun, kandungan kalsium dan fosfornya lebih banyak dibandingkan dengan daging hewan lainnya.

Secara fisik, jika mempertimbangkan rasio tulang dan daging, kelinci memiliki lebih banyak daging yang bisa dimakan jika dibandingkan dengan ayam. Daging kelinci memiliki rasa yang enak dan aroma yang tak terlalu kuat seperti daging kambing atau sapi. Dalam hal ini, daging kelinci sering dibandingkan dengan daging ayam.

Jadi, selain memiliki banyak kelebihan di atas, daging kelinci juga bermanfaat untuk kesehatan. Daging kelinci cukup sehat untuk dikonsumsi karena mengandung lebih sedikit lemak, kolesterol dan garam.

Penampakan sate kelinci. (Sumber: Istimewa)

Menarik untuk Usaha 

Dibalik nikmatnya olahan daging kelinci, usaha kuliner berbahan daging yang satu ini juga memiliki prospek usaha cukup bagus. Tak percaya? Hal ini sudah dibuktikan oleh Sri Astuti, yang menggeluti usaha kuliner berbahan baku daging kelinci. Pengusaha ini mengaku mampu meraup untung hingga puluhan juta rupiah per bulan. Warga Desa Ngariboyo Kecamatan Ngariboyo, Magetan, Jawa Timur, ini telah menggeluti bisnis kuliner berbahan daging kelinci sejak 2016 lalu.

Harga hasil olahannya pun cukup tinggi. Sekilo abon daging kelinci dijual Sri Rp 280 ribu. Dari pembuatan abon saja, dia mengaku mampu menghabiskan 30-50 kg per bulan. “Kalau ada acara bisa sampai 70 kg daging kelinci yang saya olah. Kalau penghasilan masih di bawah Rp 50 juta,” ujarnya merendah.

Kisah sukses usaha Sri Astuti ini bermula dari keluhan peternak kelinci yang merasa harga kelinci hasil panen mereka yang tidak pernah stabil. Pada saat itu, kelinci hanya dimanfaatkan dagingnya untuk pembuatan sate. Di Magetan, sate kelinci sudah menjadi kuliner khas daerah yang banyak dijajakan di sepanjang jalan. Ia pun berinisiatif mengolahnya menjadi abon. Hasilnya, selain memberi nilai lebih pada produk olahan daging kelinci, juga  membuat harga jual kelinci menjadi lebih stabil karena harga abon dari daging kelinci juga stabil.

Tak berhenti hanya mengembangkan daging kelinci menjadi abon, wanita kreatif ini juga mengembangkan inovasi daging kelinci yang rendah kolesterol dan tinggi protein tersebut menjadi olahan kuliner lainnya, seperti nugget dan rica-rica kelinci. Produk rica-rica daging kelinci juga dikemas dalam bentuk kemasan beku. Dengan harga Rp 15.000 dalam kemasan 200 gram, produk ini cukup laku di pasaran. (Abdul Kholis)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer