 |
Drh Ni Made Ria Ria Isriyanthi PhD berpose di papan poster hasil riset penggunaan antibiotik (Foto: Istimewa) |
Kongres One Health yang berlangsung di Saskatoon, Kanada
pada 22 - 25 Juni 2018, Food and Agricultural Organization (FAO) Emergency
Centre for Transboundary Animal Disease (ECTAD) serta Direktorat Kesehatan
Hewan Kementerian Pertanian membawa isu resistensi antimikroba dan One Health dalam
bentuk poster.
Kepala Sub Direktorat Pengawasan Obat Hewan Kementan RI, Drh
Ni Made Ria Isriyanthi PhD yang mewakili Indonesia dalam kongres ini mengatakan
poster yang dibawa dalam kongres ini berupa hasil riset penggunaan antibiotik
di peternakan broiler skala kecil dan menengah di Jawa Timur, Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan sebagai pusat produksi peternakan ayam broiler di Indonesia.
 |
Ni Made Ria Isriyanthi (kanan) bercengkrama dengan peserta kongres |
Implementasi rencana aksi nasional pengendalian resistensi
antimikroba 2017- 2019 kerja sama dengan FAO melibatkan lintas kementerian
yakni Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kemenristekdikti, Kementerian
Pertahanan, BPOM, WHO, dan FAO.
Dalam rencana aksi ini meliputi peningkatan kesadaran dan
pemahaman resistensi antimikroba, meningkatkan pengetahuan melalui surveilance
dan penelitian, mengoptimalkan penggunakan antimikroba secara bijak pada manusia
dan hewan, serta meningkatkan investasi temuan obat alat diagnostik dan vaksin
baru untuk menurunkan penggunaan antimikroba.
Pemerintah Indonesia, kata Ni Made, telah melarang
penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan berlaku efektif mulai 1
Januari 2018. Kementerian Pertanian memperketat pengawasan terhadap peternak
dan menyiapkan sanksi bagi yang melanggar.
Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan
terdapat dalam Pasal 16 Permentan Nomor 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan.
Pasal 17 menjelaskan percampuran obat hewan dalam pakan untuk terapi sesuai
dengan petunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan. Larangan tersebut mengacu
pada UU No 41/2014 Jo. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.
Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang
digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini
menjadi tidak efektif. Satu di antara contoh dari resistensi antimikroba adalah
dalam penggunaan antibiotika.
Bahaya lain resistensi antimikroba juga mengancam kemampuan
tubuh dalam mengobati penyakit sehingga menyebabkan kecacatan bahkan kematian.
Jika tubuh kebal terhadap antimikroba, maka prosedur medis seperti
transplantasi organ, kemoterapi, pengobatan diabetes, dan operasi besar menjadi
sangat berisiko.
Dokter Hewan Pebi Purwo Suseno dari Direktorat Kesehatan
Hewan mengatakan, poster untuk One Health dalam kongres ini menyampaikan
berbagai program yang telah dilakukan Indonesia. Menurutnya, Indonesia
merupakan satu di antara negara terbaik dalam implementasi pendekatan ini. Untuk
skala Asia Tenggara, Pebi berani menyatakan Indonesia adalah yang terbaik.
“Karena implementasi One Health kita hingga tingkat lapangan
sudah baik. Negara lain masih sekadar konsep, kita sudah
mengimplementasikannya,” katanya.
Isu Global
Isu resistensi antimikroba atau antimicrobial agents and resistance (AMR), menurut Chief Technical
Advisor FAO ECTAD, Luuk Schoonman menjadi persoalan global yang dibahas dalam
Kongres One Health tahun ini. AMR dibahas dalam sesi khusus di Kanada yang
melibatkan para akademisi kampus.
 |
The 5th International One Health Congress |
Sesi khusus tersebut di antaranya membicarakan tentang
penggunaan agen antimikroba, penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan,
makanan dan pertanian, serta hubungan antara AMR dan dampak lingkungan. Satu di
antaranya adalah Jaap Wagenaar dari Universitas Utrecth Belanda. Jaap Wagenaar
mengenal baik Indonesia karena pernah menjadi konsultan tentang vaksinasi dan
AMR.
Semua anggota PBB, termasuk Indonesia, punya komitmen
mengurangi bakteri antimikroba. AMR menjadi penting karena berhubungan dengan
pemenuhan produksi daging oleh binatang dan konsumsi manusia. “Menjadi
persoalan di Indonesia adalah penggunaan antibiotik yang berlebih,” terang
Luuk.
FAO menekankan semua negara menggunakan perannya untuk
mengatasi resistesi antimikroba, misalnya mendorong peternak menerapkan
biosekuriti untuk melawan berbagai serangan penyakit pada hewan dan vaksinasi.
Ketika terjadi AMR, maka produksi pangan terganggu dan
membahayakan manusia. Penggunaan antibiotik berlebihan pada ternak seperti ayam
broiler dan petelur membahayakan tubuh manusia. One Health menggunakan pendekatan kesehatan hewan,
kesehatan manusia, dan lingkungan.
FAO dan WHO sebagai bagian dari PBB berkolaborasi melalui
One Health untuk mengatasi AMR. Fokus FAO adalah memastikan ketersediaan pangan
dan kesehatan hewan ternak. Pada kesehatan hewan ternak, misalnya,
mengantisipasi penyakit. “Keamanan produksi pangan dan konsumsi yang sehat
harus dijamin sepenuhnya,” tegas Luuk. (Tempo/NDV)