Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Antibiotic Growth Promoter | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TERNAK YANG SEHAT DIMULAI DARI USUS YANG SEHAT

Pemberian pakan pada ternak broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Berdasarkan survei yang dilakukan Kementrian Pertanian bersama FAO Indonesia pada 2017 di beberapa wilayah sentra produksi unggas, penggunaan antimikroba pada sektor peternakan masih sangat tinggi. Dari hasil survei diketahui bahwa peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan sebesar 81,4%, untuk pengobatan sebanyak 30,2% dan masih ada peternak yang menggunakan antibiotik untuk pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter/AGP) sebanyak 0,3%.

Maraknya penggunaan antibiotik di industri perunggasan ini disertai kekhawatiran timbulnya resistensi antibiotik (AMR) yang menjadi alasan pemerintah menetapkan larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Peraturan tersebut disahkan dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2017.

Setelah adanya penerapan peraturan tersebut, beberapa testimoni melaporkan bahwa pencabutan AGP mempengaruhi performa ayam broiler, antara lain pertambahan bobot berat badan, Feed Conversion Ratio (FCR), masa panen dan penurunan kualitas kesehatan ternak, terutama kesehatan saluran cerna. Demikian pula pada ayam layer terjadi penurunan produktivitas yaitu produksi, bobot dan penurunan sistem imun.

Dalam menyikapi permasalahan tersebut perlu dilakukan perbaikan dalam berbagai hal, seperti manajemen pemeliharaan kesehatan, manajemen pakan dan biosekuriti. Selain itu, untuk menggantikan peran AGP, bahan alternatif yang bisa digunakan sebagai imbuhan pakan antara lain adalah mineral, enzim, asam organik, probiotik, prebiotik dan minyak esensial.

Probiotik sebagai salah satu alternatif pengganti AGP merupakan mikroba atau bakteri hidup yang digunakan untuk membantu memperbaiki kesehatan, terutama sistem pencernaan dengan tujuan meningkatkan keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan dan mengurangi mikroba patogen seperti Eschericia coli, Salmonella dan Clostridium.

Kelebihan lain dari probiotik adalah sebagai bioregulator mikroflora dalam usus dan menguatkan kekebalan alami tubuh, sebagai kompetitor tempat kolonisasi pada membran mukosa usus sehingga mikroorganisme patogen terhalang untuk menghuni saluran pencernaan (kompetisi nutrisi). Memproduksi senyawa tertentu untuk menyerang bakteri patogen seperti bakteriosin, asam organik dan hidrogen peroksida. Selain itu, probiotik dapat merangsang sistem imun dengan cara menciptakan kondisi usus yang fungsional dan menghambat perkembangan bakteri merugikan.

Sebagai pengganti AGP, probiotik dapat dibuat dari monokultur atau konsorsium beberapa mikroorganisme probiotik. Mikroorganisme yang biasa digunakan untuk probiotik dari golongan bakteri adalah strain Bifidobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Bacillus, Pediococcus dan Streptococcus, selain bakteri beberapa probiotik juga mengandung ragi dan jamur (Yirga H 2015, The Use of Probiotics in Animal Nutrition. J. Prob. Health 3 132).

Sedangkan prebiotik merupakan bahan makanan terhadap mikroba-mikroba yang menguntungkan dan menekan mikroba yang merugikan dalam pencernaan. Prebiotik tidak selalu merupakan mikroba hidup seperti halnya probiotik. Beberapa hasil fermentasi seperti yeast culture atau Aspergillus sp. dilaporkan dapat dipakai sebagai prebiotik. Prebiotik digunakan sebagai ramuan yang tidak dapat dicerna yang menghasilkan pengaruh menguntungkan terhadap inang dengan cara merangsang secara selektif pertumbuhan satu atau lebih sejumlah mikroba terbatas pada saluran pencernaan, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Prebiotik juga memiliki kelebihan dalam membantu meningkatkan kinerja dari probiotik, sumber energi probiotik, serta meningkatkan sistem imun tubuh. 

Suatu bahan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik harus memiliki syarat, antara lain tidak terhidrolisis asam lambung dan tidak diserap usus, menginduksi efek luminal inang, serta hanya mempengaruhi pertumbuhan bakteri baik di dalam usus. Selain itu, prebiotik yang baik harus memiliki sifat tidak dapat dimanfaatkan oleh bakteri patogen sebagai sumber nutrisi. Contoh prebiotik adalah Inulin, Laktulosa, Frukto oligosakarida (FOS) dan Galakto oligosakarida yang ditemukan pada beberapa jenis tumbuhan.

Sementara sinbiotik merupakan kombinasi antara probiotik dan prebiotik. Penambahan mikroorganisme hidup (probiotik) dan substrat (prebiotik) untuk pertumbuhan bakteri misalnya FOS dengan Bifidobacterium atau Lactitol dengan Lactobacillus. Kombinasi ini akan meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena substrat yang spesifik telah tersedia untuk fermentasi, sehingga tubuh mendapatkan manfaat yang lebih sempurna. Dipastikan bakteri tetap hidup bekerja dalam saluran pencernaan dan melekat dalam mukosa usus, karena terdapat substrat atau makanannya (prebiotik).

Bahan imbuhan pakan sebagai alternatif AGP akan terus dikembangkan seiring dengan kebutuhan industri peternakan di Indonesia. Bagi industri pakan ternak masih terbuka peluang bisnis cukup besar dengan menciptakan produk-produk zat aditif baru dengan nilai ekonomis tinggi. Sedangkan tantangan bagi peternak, bagaimana mempertahankan performa di era bebas AGP ini dengan pemanfaatan bermacam alternatif pemacu pertumbuhan bagi ternak. ***

Ditulis oleh divisi Veterinary Section
PT Meiji Indonesian Pharmaceutical Industries

ZOETIS ANTIBIOTIC STEWARDSHIP SEMINAR

Foto bersama seluruh peserta dan panitia seminar Zoetis di Senayan, Jakarta. (Foto: Infovet/Ridwan)

Antimicrobial Resistance (AMR) atau resistensi antimikroba telah muncul sebagai salah satu tantangan kesehatan terbesar di berbagai belahan dunia. Persoalan tersebut terus menjadi isu hangat yang dibicarakan dan semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan maupun industri yang bidang peternakan di seluruh dunia.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri,  virus, jamur dan parasit mengalami perubahan, sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan menjadi tidak efektif. Contoh dari resistensi antimikroba adalah penggunan antibiotika yang tidak bijak, di peternakan khususnya industri perunggasan salah satunya penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) yang saat ini sudah dilarang pemerintah awal 2018 kemarin.

PT Zoetis Animalhealth Indonesia yang merupakan perusahaan kesehatan hewan global, terus berkontribusi memberikan edukasi dan informasi terbaru dalam rangka meminimalisir adanya AMR di Indonesia dengan menggelar “Zoetis Responsible Use of Antibiotics Stewardship Seminar” secara maraton pada 17-18 Juli 2019.

“Topik AMR terus berkembang dan menjadi pembicaraan di berbagai tempat di dunia. Di Indonesia aturan mengenai AMR sudah diatur pemerintah awal 2018 kemarin, kita tentunya berusaha untuk mengimplementasikan peraturan tersebut,” ujar General Manager Zoetis Indonesia, Drh Ulrich Eriki Ginting, saat menyambut peserta seminar, Kamis (18/7/2019), di Mulia Hotel, Senayan, Jakarta.

Ia mengatakan, pihaknya terus memberikan komitmennya dalam membantu sektor perunggasan yang bijak dalam menggunakan antibiotik. “Zoetis berkomitmen untuk memberikan informasi baru yang relevan terkait AMR, sehingga efektivitas atau produktivitas di industri peternakan bisa dicapai. Kami juga terus berdiskusi bersama pemangku kebijakan, sebab komunikasi menjadi hal penting untuk membawa perubahan  yang lebih baik,” katanya.

Pada seminar tersebut menghadirkan tiga pembicara yang ahli dibidangnya, diantaranya Ben Santoso (Senior Analyst - Animal Protein Raboresearch Food & Agribusiness), Dr Jeffrey L. Watts, PhD (Research Director External Innovation - Anti-Infectives Zoetis Inc) dan Dr Choew Kong Mah DVM (Director International COE Outcomes Research Zoetis Inc), serta dimoderatori Prof Wayan T. Wibawan (Guru Besar FKH IPB).

Sehari sebelumnya, pada Rabu (17/7/2019), Zoetis Indonesia juga melaksanakan agenda serupa dengan mengundang instansi pemerintah yang bergerak di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Seminar digelar di Aston Hotel TB Simatupang. (RBS)

SIASAT PAMUNGKAS PASCA NON-AGP (BAG. I: GUT INTEGRITY)

Pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam. (Sumber: Istimewa)

Oleh:
Tony Unandar (Konsultan Perunggasan & Anggota Dewan Pakar ASOHI)

“Semua penyakit dimulai dari usus” demikian postulat cemerlang yang dicanangkan oleh Hippocrates, bapa kedokteran universal dalam kurun waktu 400 tahun sebelum Masehi.  Mencermati gegap gembita situasi lapangan pasca non-AGP dan tingginya tuntutan pada proses pencernaan pakan yang cepat serta efisien dalam saluran cerna ayam modern, tampaknya kolega praktisi lapangan mesti melakukan refleksi mendalam atas postulat tersebut. Tulisan ini juga merupakan “oleh-oleh” dari IHSIG Symposium 6 di Roma awal April silam dan dilengkapi dengan beberapa data terkait hasil penelusuran jurnal ilmiah. Semoga membawa secercah pencerahan ataupun harapan buat kolega lapangan bagaimana membentuk dan merawat kesehatan saluran cerna suatu flok ayam modern, agar fungsi fisiologisnya prima dan ekspresi fenotifnya signifikan.

Kesehatan Saluran Cerna (Usus)
Pasca non AGP (antibiotic growth promoter), para ahli perunggasan global tidak bisa secara utuh memberikan definisi yang komprehensif dengan apa yang dimaksud “kesehatan saluran cerna”, khususnya usus. Terminologi “sehat” tidak selalu dimaknai dengan absennya penyakit, baik yang disebabkan oleh agen infeksius ataupun non infeksius, tetapi lebih merupakan suatu interaksi yang kompleks dan terintegral antara kondisi saluran cerna dengan mileu yang sangat dinamis dari isi lumen saluran cerna itu sendiri sehingga terjadi kondisi homeostasis yang dapat memberikan dampak produktivitas yang optimal sesuai dengan potensi genetik ayam yang ada. Disamping sebagai tempat proses pencernaan pakan, saluran cerna juga bertanggungjawab untuk penyerapan unsur-unsur nutrisi serta menjadi barrier selektif bagi patogen ataupun toksin yang mungkin dapat masuk ke dalam jaringan tubuh induk semang via usus (Dibner JJ et al., 2004).

Terkait kesehatan saluran cerna, keberadaan mikroba dalam saluran cerna ayam (microbiome) juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Selain lingkungan hidup ayam umumnya “kaya” dengan mikroba (litter, udara, air minum bahkan pakan), juga karakter ayam yang “doyan” mengkonsumsi kotoran alias fesesnya sendiri (coprophagic animals) menjadi penyebab kenapa kandungan mikroba saluran cerna ayam sangat tinggi dan dinamis (Apajalahti J et al., 2004). Perubahan kondisi fisiologis ayam akibat adanya faktor stres internal ataupun eksternal, selain mempengaruhi kondisi umum (sistem imunitas) ayam juga akan mengubah pola interaksi antara ayam dan mikroba (microbiome) yang ada dalam lumen usus (Oakley B dan Kogut MH, 2014). Tegasnya, dalam konteks diskusi kesehatan saluran cerna berarti meliputi sejumlah dinamika proses fisiologis, mikrobiologis dan fisik yang secara bersama-sama menjaga homeostasis saluran cerna secara berkesinambungan agar proses pencernaan dan penyerapan unsur nutrisi dapat berlangsung optimal (Dibner JJ et al., 2004; Polansky O et al., 2016). Cermati gambar 1 dan 2.


Oleh sebab itu, kondisi homeostasis alias optimal tidaknya fungsi saluran cerna (gut health = kesehatan saluran cerna) ditentukan oleh tiga komponen penting yang saling tergantung satu sama lainnya (inter-dependent), yaitu: (1) sistem imunitas lokal saluran cerna, khususnya pada tataran lapisan lendir dan sel-sel epitelium; (2) kondisi mikrobiota (microbiome) dalam lumen saluran cerna, khususnya usus; dan (3) asupan nutrisi (nutrient intake), yang selanjutnya akan mempengaruhi fisiologi dan metabolisme induk semang (ayam) secara keseluruhan. Mengingat keterbatasan halaman yang tersedia, maka tulisan pertama ini hanya akan membahas sekitar poin (1) saja, sedangkan poin (2) dan (3) akan dibahas pada tulisan berikutnya.


Sistem Imunitas Lokal Saluran Cerna
Terdiri dari dua buah komponen yang saling ada ketergantungan, yaitu lapisan lendir (mukus) dan sel-sel epitelium.

Suatu lapisan lendir (mucin; tepatnya mucin-2 atau MUC2) yang dihasilkan oleh sel-sel mangkok (Goblet cells) merupakan lapisan terdepan dari sistem imunitas lokal saluran cerna (first line of defence). Tujuannya adalah melindungi sel-sel epitelium usus dari material isi lumen yang tidak diharapkan seperti bahan-bahan yang bersifat iritan atau toksik, perlekatan (attachment) dan atau invasi suatu patogen yang merugikan induk semang (Kim J dan Khan W, 2013). Selain lendir, sel-sel mangkok juga menghasilkan senyawa terlarut protein sinyal (signaling protein) berupa Trefoil Factor (TFF) dan Resistin-Like Molecule-β (RELM-β) yang mempunyai peran penting dalam innate immune response (Sharma et al., 2010).

Sebenarnya, menurut Johansson dkk. (2011) komponen lendir pada permukaan saluran cerna, khususnya usus, terdiri atas dua buah lapisan, yaitu: (lihat juga gambar 3 dan 4)


(a) Lapisan lendir luar (outer mucous layer) dimana terdapat kolonisasi probiont (bakteri baik/good bacteria), Imunoglobulin-A (IgA), ion-ion tertentu seperti Cu+2, dan antimicrobial peptides (AMPs) yaitu sejenis peptida terlarut yang dihasilkan oleh sel-sel Paneth, sel-sel enterosit (enterocytes) dan beberapa jenis probiont (bakteri baik). Pada tingkat lumen usus, beberapa AMPs bersama dengan ion-ion tertentu (Cu+2) dapat membatasi replikasi patogen (patobiont) dalam lapisan lendir (bacteriocin effect), sehingga peluang sel-sel epitelium usus terserang patogen jauh lebih kecil dan reaksi radang pun sangat minim (Kim J dan Khan W, 2013).

(b) Lapisan lendir dalam (inner mucous layer) merupakan lapisan yang menempel langsung pada bagian apikal sel-sel epitelium dan selain lebih steril dibandingkan dengan lapisan lendir luar, juga lebih “kaya” akan AMPs, signaling proteins dan IgA. Pada kondisi tertentu, misalnya stres yang subkronis sampai kronis dimana sekresi lendir oleh sel mangkok sangat menurun, maka keberadaan mucus-associated microbiota (probiont) menjadi tumpuan untuk melindungi sel-sel epitelium agar terjaga integritasnya (Johansson MEV et al., 2008).


Selain lapisan lendir, sistem imunitas lokal saluran cerna juga ditentukan oleh adanya lapisan deretan sel-sel epitelium yang tebalnya kurang lebih 20 μm. Lapisan epitelium inilah yang menjadi barrier atau pembatas penting yang sifatnya masif tapi selektif antara isi lumen usus dengan jaringan tubuh induk semang dibawahnya yaitu jaringan ikat sub-epitelium (Ismail dan Hooper, 2005). Umumnya, sel-sel epitelium saluran cerna (usus) mempunyai dua kutub utama yaitu bagian apikal yang biasanya mempunyai mikrovilli dan berhadapan langsung dengan isi lumen usus serta bagian basolateral yang bersinggungan dengan sel tetangganya dan jaringan lain dibawahnya yaitu lamina propria dimana terdapat jaringan ikat, pembuluh darah dan sel-sel imunitas (kembali cermati gambar 3 dan 4).

Karena perannya sebagai barrier kompleks yang selektif, maka lapisan epitelium saluran cerna tidak hanya terdiri dari sel-sel epitelium usus (enterocytes), tetapi juga ada beberapa sel lain yang mempunyai tanggung jawab khusus misalnya sel-sel mangkok (Goblet cells) seperti yang sudah diterangkan diatas, sel-sel Paneth serta sel-sel M (Flier LG dan Clevers H, 2009).

Sel-sel Paneth umumnya banyak ditemukan pada usus halus dan bentuknya mirip seperti sebuah piramida. Dalam kripta usus halus, sel-sel Paneth merupakan bagian dari sistem pertahanan sel (innate immune system). Di dalam sitoplasma selnya banyak ditemukan granul-granul yang kaya akan enzim lisosim, alfa-defensin, dan “antimicrobial peptides” (AMPs). Senyawa AMPs inilah sangat penting dalam mempertahankan homeostasis sepanjang usus yakni untuk mengurangi reaksi peradangan akibat induksi pelbagai molekul ataupun mikroba yang ada dalam lumen usus. Disamping itu, sel-sel Paneth juga mampu menghasilkan beberapa sitokin (signaling proteins) yang sangat penting dalam komunikasi antara lapisan epitelium dan perangkat sistem imunitas yang ada di bawahnya, yaitu innate immune system yang selanjutnya dapat juga menggertak adaptive immune system (Porter EM et al., 2002).

Selain sel Paneth, juga sel-sel M bisa ditemukan diantara sel-sel epitelium usus (enterocytes), baik pada lapisan epitelium usus halus maupun usus besar. Keberadaannya biasanya tepat di atas dari jaringan GALT (gut-associated lymphoid tissues), terutama Peyer’s Patches. Secara histomorfologis, sel-sel M sebenarnya bagian dari GALT.  Bentuknya seperti kantung kecil yang kaya akan sel-sel limfosit di dalamnya.  Beberapa literatur menyebut sel M sebagai “intra-epitelial lymphocytes”. Material yang bersifat antigenik (misalnya: MAMPs = microbe-associated molecular patterns) yang ada di dalam lumen usus difasilitasi oleh sel M menuju sel-sel imunitas seperti makrofag dan atau sel dendritik yang berlokasi dalam jaringan sub-epitelial usus yang selanjutnya akan menginduksi sel limfosit-B untuk memproduksi IgA. Itulah sebabnya fungsi sel M sangat krusial bagi komunikasi antara keadaan dalam lumen usus dengan sistem imunitas lokal di tingkat jaringan usus (Kindt TJ et al., 2007; Miller H et al., 2007). Dalam satu dekade terakhir, penelitian produk-produk yang bersifat imunomodulator, selain melibatkan sel makrofag atau sel dendritik, juga mulai “dilirik” peran sel M dalam konteks “innate immune response” usus.

Selanjutnya, karena lapisan epitelium usus disamping fungsinya sebagai barrier yang selektif tetapi juga berperanan dalam absorpsi bahan-bahan nutrisi, maka peranan lapisan epitelium usus selain ditentukan oleh kualitas sel-sel epitelium itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh adanya protein hubungan khusus yang kompleks (selanjutnya disebut junctional complex atau JC) antar sel epitelium yang bersebelahan dalam rupa tight junction, adherens junction, desmosome dan gap junction (gambar 5). Jadi tegasnya, sel epitelium beserta kinerja kombinasi protein-protein hubungan khusus yang kompleks (junctional complex) tersebut, khususnya yang terpenting adalah “tight junction” inilah yang menentukan peran lapisan sel-sel epitelium sebagai barrier sekaligus juga peran absorpsi bagi unsur-unsur gizi dari dalam lumen usus (Dabrowski S et al.,2015).


Jika hubungan khusus yang kompleks ini terganggu, maka fungsi terutamanya sebagai barrier yang selektif pun mengalami kemunduran alias terjadi kebocoran (leakage). Kondisi inilah yang disebut gangguan integritas usus (gut integrity problem). Jika terjadi kebocoran, maka semua material dalam bentuk molekul terlarut ataupun cairan yang ada dalam lumen usus (patogen/patobiont, toksin ataupun iritan) dapat bebas masuk ke dalam jaringan dinding usus yang selanjutnya dapat terjadi secara sistemik via sistem sirkulasi darah.  Sebaliknya, dalam kondisi bocor semua komponen penting yang ada dalam jaringan dinding usus (cairan tubuh, bahan nutrisi, ion-ion tertentu) bisa keluar kembali ke dalam lumen usus (Tellez G Jr et al., 2017).

Karena keberadaan lendir sangat krusial dalam melindungi sel-sel epitelium dan keberadaan lapisan sel-sel epitelium itu sendiri selain sebagai barrier selektif juga peran absorpsi nutrisi pada permukaan saluran usus, maka ada beberapa tindakan lapangan yang bisa dilakukan agar secara imuno-fisiologis saluran cerna ayam tetap optimal, yaitu: 

1) Yang utama dan pertama adalah pastikan pertumbuhan awal yaitu pertumbuhan hiperplasia sel-sel dari sistem pencernaan ayam optimal (khususnya sampai dengan minggu kedua), karena sangat menentukan pertumbuhan anatomis saluran cerna, termasuk jumlah dan kualitas sel-sel epitelium maupun sel-sel mangkok, sel Paneth serta sel M sepanjang saluran cerna. Disamping itu, banyak penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa pemberian preparat probiotika tertentu (Abudabos AM et al., 2015; Salehimanesh A et al., 2015) ataupun prebiotika tertentu (Benites V et al., 2008; Shao et al., 2013) sejak awal DOC dapat meningkatkan pertumbuhan awal saluran cerna, baik itu dari aspek kuantitas (jumlah sel) maupun dari aspek kualitas (ukuran sel).

2) Yakinkan ayam selalu mendapatkan asupan nutrisi yang cukup, tidak hanya makronutrisi (sebagai sumber energi), tetapi juga mikronutrisi untuk menjaga integritas permukaan saluran cerna ayam agar tetap prima seperti vitamin tertentu (terutama vitamin A dan E) serta beberapa trace element tertentu misalnya Zn, Cu, Mn, Se dan Fe untuk mengurangi dampak stres oksidatif akibat proses pencernaan yang cepat dan “hidden heat-stress“ (Surai P et al., 2012; Panda AK dan Cherian G, 2014).

3) Minimkan faktor-faktor stres eksternal akibat lingkungan ayam yang tidak nyaman ataupun perlakuan yang tidak “lege artis”. Pada kondisi stres akut, maka sekresi lendir oleh sel mangkok akan berlebihan, sehingga pertumbuhan “mucolytic bacteria” seperti Clostridium perfringens akan meningkat tajam dan kasus NE (necrotic enteritis) pun mudah merebak. Sebaliknya pada kondisi stres subkronis sampai kronis, maka sekresi lendir oleh sel-sel mangkok akan menurun, dampaknya adalah kesehatan saluran cerna (gut integrity) akan terancam (Atuma C et el., 2001; Johansson MEV et al., 2008).

4) Karena protein tight junction sangat berperanan dalam menentukan permeabilitas lapisan epitelium usus, maka kualitas dan kinerjanya harus tetap prima. Secara in-vitro, kualitas dan kinerja protein tight junction dapat uji dengan “trans-epithelial electrical resistance”. Di lapangan, beberapa produk suplementasi seperti probiotika, asam lemah (acidifier), essential oils tertentu atau bahkan mineral dan trace elements (Ca+2, P dan Zn+2) dapat menjaga atau merawat kualitas serta kinerja tight junction (Menningen R et al., 2009; Amar J et al., 2011; Shen L et al., 2011; Su Li et al., 2011).

Kesimpulan
Keberadaan sel-sel epitelium permukaan saluran cerna beserta sel-sel pelengkap lainnya (sel Goblet, sel Paneth dan sel M), baik dari sudut kuantitas maupun kualitas, sangatlah menentukan kesehatan saluran cerna (usus) alias integritasnya prima. Jika integritas saluran cerna prima, maka perannya disamping sebagai barrier yang masif tapi selektif dan perannya dalam absorpsi unsur-unsur gizi akan berlangsung secara optimal. Lapisan lendir dan asesorinya serta tanggap kebal sistem imunitas lokal saluran cerna sangat ditentukan oleh kinerja dan produk yang dihasilkan sel-sel pada lapisan epitelium tersebut.

Pada faktanya, tergantung kondisi teknis yang ada di lapangan serta “kerelaan” peternak dalam merogoh kocek, pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam modern agar performans akhir tetap “tokcer”. (toe)

Bahan Baku Pakan Berkualitas, Produktivitas Ternak Optimal Bag. II (Habis)

Maggot atau Black Soldier Fly (BSF). (Sumber: Istimewa)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada “Bahan Baku Pakan Berkualitas, Produktivitas Ternak Optimal Bag. I”, bahwa produksi ternak optimal harus sejalan dengan ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas. Bicara soal kecukupan pakan, sudah dimaklumi bersama bahwa ada perbedaan pemberian pakan berdasarkan umur pemeliharaan ternak per ekor per hari. Hal ini berarti bahwa pemberian pakan harus didasarkan pada kondisi fisiologi ternak yang disesuaikan dengan umurnya masing-masing.

Pakan juga tidak hanya dimaknai dengan cukup jumlahnya saja, namun kualitas pakan juga harus diperhatikan. Sangat penting dalam memberikan pakan yang cukup jumlah dan bagus kualitasnya.

Eksplorasi Bahan Pakan Baru
Saat ini bahan baku pakan sendiri sangat banyak dan beragam, umumnya peternak menggunakan bahan baku jagung atau biji-bijian. Padahal banyak bahan baku pakan lain yang bisa digunakan dan mungkin memiliki kandungan protein dan nutrisi yang lebih baik.

Perlunya eksplorasi mencari sesuatu yang baru untuk dijadikan sebagai bahan baku pakan ternak. Hal ini diperlukan mengingat keterbatasan sumber bahan baku pakan konvensional, serta tingkat kompetisi dengan kebutuhan pangan manusia, sehingga mulai sulit didapatkan di lapangan. Kesulitan dalam memperoleh bahan baku pakan disebut sudah tidak sesuai lagi dengan persyaratan suatu bahan dijadikan sebagai bahan pakan ternak.

“Bahan pakan ternak itu harus mudah didapat, artinya tersedia disepanjang masa pemeliharaan ternak,” ujar Ketua Asosiasi Ahli Nutrisi Indonesia (AINI), Prof Ir Nahrowi. Menurutnya, bahwa kegiatan untuk mengeksplorasi bahan-bahan yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan baku pakan ternak ke depannya sangat diperlukan, agar didapatkan sumber daya bahan pakan baru untuk ternak.

Diantara bahan baku pakan yang mulai dilirik untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak adalah Bungkil Inti Sawit (BIS) yang dari waktu ke waktu terus dikaji akan nilai guna dan nilai ekonomisnya sebagai bahan baku pakan ternak. “BIS sangat menarik dikaji karena banyak hal yang dapat dijumpai di bahan pakan tersebut, bahkan industri pun sudah mulai melirik dan memaksimalkan pemanfaatan BIS sebagai sumber protein lokal untuk ternak,” kata Prof Nahrowi.

Ia menyebut, BIS sangat layak dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein nabati masa depan. Hal ini mengingat kandungan protein BIS sekitar 15% dan energi kasar sekitar 4.230 Kkal/kg (Ketaren, 1986), dianggap dapat memenuhi kebutuhan protein ruminansia. Tidak hanya BIS, bagian dari produk samping kelapa sawit yang juga potensial dijadikan sebagai bahan pakan masa depan adalah serat perasan buah, tandan buah kosong (tangkos), solid dan pelepah daun sawit yang dapat diolah menjadi konsentrat hijau atau green consentrate.

Tidak hanya sawit, sumber daya bahan pakan lainnya yang juga potensial dikaji untuk bahan pakan masa depan adalah aren, jambu mete, ampas sagu, ampas kecap, ampas tahu, produk samping pengolahan ubi kayu, produk samping pengolahan udang, kakao pod, batang pisang, daun rami, maggot dan lainnya.

Menurut Dr Roni Ridwan, aren dan jambu mete, dua bahan pakan ini perlu dieksplorasi secara totalitas, barangkali ada bagian yang masih dapat dimanfaatkan. “Persyaratannya hanya dikandungan nutriennya, lalu disukai atau tidak, dan yang terpenting adalah tidak toksik bagi ternak yang mengonsumsinya, jika terpenuhi maka layak dijadikan sebagai bahan pakan,” kata Dr Roni, peneliti bidang pakan ternak dan mikrobiologi LIPI Cibinong.

Maggot, Pakan Ternak Masa Depan
Maggot (Hermetia illucens) atau Black Soldier Fly (BSF) atau belatung mulai dikaji penggunaannya sebagai alternatif pakan sumber protein bagi ternak. Protein yang bersumber dari BSF lebih ekonomis, bersifat ramah lingkungan dan mempunyai peran penting secara alamiah. Maggot dilaporkan memiliki efisiensi dalam mengonversi pakan yang sangat baik dan dapat dipelihara, serta diproduksi secara massal.

Menurut Prof Nahrowi, maggot dapat dijadikan sebagai bahan baku pakan, khususnya untuk pakan unggas masa depan, mengingat banyak hal yang dapat dieksplorasi dari maggot, sehingga layak dijadikan sebagai bahan pakan ternak. “Kita bisa ambil protein, lemak, kitin dan peptide, serta zat lain yang masih terus dikaji dari maggot ini,” kata dia.

Prof Nahrowi juga menyebut, bahwa dari masing-masing kandungan maggot dapat dimanfaatkan semuanya, baik untuk industri pakan ternak maupun untuk yang lainnya. Saat ini, kata dia, industri membutuhkan kitin yang dulunya diproduksi dengan memanfaatkan produk samping perikanan, seperti kulit udang dan cangkang kepiting dengan kandungan kitin 65-70%. Sumber bahan baku kitosan lainnya adalah kalajengking, jamur, cumi, gurita, laba-laba, ulat sutera insekta dengan kandungan kitin 5-45%. Maggot merupakan salah satu insekta yang dapat diambil kitinnya.

Kitin merupakan jenis polisakarida terbanyak kedua di bumi setelah selulosa. Senyawa ini dapat ditemukan pada eksoskeleton-invertebrata dan beberapa fungi pada dinding selnya. Selanjutnya, senyawa-senyawa polimer alam turunan kitin disebut kitosan. Kitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri atas monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin (GlcN). Kitosan memiliki bentuk yang unik dan memiliki manfaat yang banyak bagi pangan, agrikultur dan medis (Shahidi et al. 1999 dan Campbell et al. 2002).

Di samping kitin, lemak maggot juga dapat dimanfaatkan, selain untuk kebutuhan ternak, lemak maggot juga dilirik oleh industri untuk memproduksi sabun. Hal yang sama untuk protein maggot yang dapat dimanfaatkan untuk ternak dan kebutuhan industri terkait lainnya. Sementara itu, peptide maggot diduga mampu menggantikan peran Antibiotic Growth Promoter (AGP). Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilaporkan Spranghers et al. (2018), yakni pemanfaatan tepung maggot utuh sebagai Antibiacterial Peptides (ABPs) mampu memperbaiki konversi pakan dan morfologi saluran pencernaan dengan tingginya pembentukan villi usus halus pada ternak babi.

Pemeliharaan maggot untuk sumber daya pakan ternak masa depan disebut mampu mengurangi limbah organik yang dapat mencemari lingkungan. Namun di samping itu, banyak kajian yang menyebutkan bahwa sumber protein berbasis maggot dan insekta lainnya, untuk saat ini tidak berkompetisi dengan pangan manusia, sehingga sangat sesuai untuk digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, terutama unggas yang membutuhkan nutrien tinggi untuk memproduksi daging dan telurnya.

Harapannya, upaya eksplorasi tersebut menghasilkan sesuatu, dikaji dengan intens, baik secara in vitro maupun in vivo, bahan-bahan pakan hasil eksplorasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan ternak, ke depannya dapat mengurangi keterbatasan importasi bahan pakan ternak, sehingga dapat menghemat pembelanjaan negara untuk kebutuhan ternak pada umumnya, dan warga negarapun dapat tersejahterahkan. (Sadarman)

Tantangan Self-mixing Farms Berkaitan dengan Pakan Terapi

Tidak mungkin membuat pakan terapi dengan alat timbangan seperti di dalam gambar di atas. (Sumber: Istimewa)

Oleh: Prof Budi Tangendjaja

Keputusan pemerintah untuk melarang penggunaan Antibiotik Pemacu Pertumbuhan atau AGP (Antibiotic Growth Promoter) pada awal tahun (Permentan No. 14, 2017) dan dilanjutkan dengan pemberian ijin untuk membuat Pakan Terapi (Medicated Feed) (Petunjuk Teknis Ditjen PKH, 10 September 2018) memerlukan perhatian lebih lanjut pada peternak yang mencampur pakan sendiri (self-mixing).

Petunjuk teknis pakan terapi memberi peluang kepada peternak self-mixing untuk menambahkan obat yang diperlukan untuk memperbaiki kesehatan hewan yang dipeliharanya. Sebelum peraturan di keluarkan, peternak self-mixing sudah melakukan pencampuran imbuhan pakan ke dalam ransum yang dibuat.

Sering kali pencampuran imbuhan pakan seperti AGP, obat, enzim, toxin binder dan sebagainya dilakukan sendiri oleh peternak tanpa pengawasan dari ahlinya. Dengan diberlakukan Permentan dan petunjuk teknis Ditjen PKH, maka saatnya peternak self-mixing untuk membenahi sistem dan prosedur dalam menggunakan imbuhan pakan, terutama antibiotik, untuk membuat pakan terapi agar memperoleh hasil yang optimal tanpa menyalahi peraturan yang berlaku.

Pemakaian Obat dalam Pakan
Sudah umum dilakukan baik oleh pabrik pakan maupun peternak self-mixing untuk menambahkan imbuhan pakan dalam rangka meningkatkan daya guna pakan dan memperbaiki kesehatan ternak. Berbagai imbuhan pakan seperti anti jamur, toxin binder, enzim dimasukkan ke dalam pakan dan juga obat-obatan baik untuk mencegah timbulnya penyakit seperti anti-koksi maupun antibiotika yang dipakai untuk mencegah penyakit pencernaan seperti Necrotic Enteritis. Obat-obatan umumnya ditambahkan dalam jumlah kecil (<0,5 kg per ton) sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh pabrik yang menghasilkan obat-obatan tersebut.

Anti-koksi umumnya dimasukkan dalam ransum broiler dan juga ransum ayam dara muda untuk mencegah terjadinya penyakit koksi, tetapi ketika terjadi wabah koksi, dapat juga menambahkan obat koksi ke dalam pakan. Berbagai obat koksi yang dijual di pasaran adalah monensin, salinomisin, maduramisin, lasalosid dan juga bahan kimia seperti diclazuril, zoalene, narasin dan sebagainya. Jumlah yang dipakai umumnya kurang dari 0,5 kg per ton. Untuk antibiotik sebagai bahan pengendali penyakit pencernaan terutama Necrotic Eneritis dan Colibacilosis, maka beberapa antibiotik disarankan untuk digunakan seperti virginiamisin, basitrasin, flavomisin, bambarmisin, avilamisin, enramisin dan sebagainya. Dengan pelarangan penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan, maka antibiotika jenis ini hanya boleh digunakan sebagai terapi. Jumlah pemakaiannya kebanyakan kurang dari 1 kg, kecuali ada penjual yang mengencerkan bahan aktifnya sehingga jumlah yang dimasukkan dalam pakan >1 kg.

Kemampuan Teknis Produksi Pakan
Penambahan obat-obatan dalam jumlah kecil dalam ransum bukan menjadi masalah pada pabrik pakan besar, karena mereka mempunyai mixer yang mampu mengaduk bahan jumlah kecil secara merata. Mereka umumnya menggunakan mixer horizontal dan dibuktikan dengan uji homogenitas bahwa mixer yang digunakan mampu menghasilkan koefisien variasi <10% bahkan sampai <5%. Masalah akan timbul ketika pakan diproduksi oleh self-mixing farm. Kemampuan mixer yang digunakan untuk mengaduk bahan dalam jumlah kecil (<0.5 kg per ton) masih dipertanyakan.

Kebanyakan peternak menggunakan mixer vertical yang dipakai untuk mencampur konsentrat, jagung giling dan dedak padi dengan proporsi 35, 45-50 dan 15-20%. Cara kerja mixer vertical sangat berbeda dengan mixer horizontal, sehingga kemampuan untuk mencampur bahan dalam jumlah kecil diragukan. Meskipun beberapa peternak mencoba membuat premik (pre-mixing), yaitu campuran imbuhan pakan dalam jumlah kecil menjadi campuran yang lebih besar (misalnya 50 kg per ton), untuk kemudian dimasukkan dalam mixer utama. Tetapi kemampuan mengaduk secara merata dari vertical mixer yang berkapasitas 1-2 ton jarang diuji, sehingga tidak diketahui apakah ransum yang dibuat sudah homogen. 

Pengujian Mixer
Setiap mixer harus diuji kemampuannya untuk mengaduk ransum secara homogen. Pengujian mixer umumnya dilakukan dengan menggunakan indikator dari bahan yang ada dalam pakan seperti kadar garam. Sebanyak 10 contoh ransum yang diambil secara acak dalam satu kali pengadukan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis kadar garamnya. Rataan kandungan garam dalam 10 contoh dan standar deviasinya digunakan untuk menghitung koefisen variasi yang dinyatakan dalam persen. Sebagai contoh, jika rataan kandungan garam dalam ransum sebesar 0.300% dengan standar deviasi 0.027%, maka koefisien variasi atau juga diistilahkan dengan homogenitas adalah 0.027/0.300 dikalikan 100%, sehingga nilainya adalah 9%. Sudah banyak dilaporkan bahwa mixer yang baik harus mempunyai nilai homogenitas <10%, bahkan mixer modern saat ini mempunyai kemampuan untuk mencapai nilai homogenitas sebesar <5%. Memang kadar garam yang umum digunakan sebagai indikator karena kandungan garam (penambahan garam) dalam ransum relatif kecil dan analisis kandungan garam mudah dilakukan.

Di samping garam, beberapa indikator juga digunakan seperti “micro tracers” yang partikel besinya berwarna, yang sengaja dimasukkan ke dalam pakan dan dihitung jumlah warnanya. Bagi peternak yang mencampur pakan sendiri dan juga bagi pabrik pakan, analisis kandungan obat yang dimasukkan dapat dipakai sebagai indikator apakah mixer yang digunakan mampu mengaduk secara merata (homogen). Analisis dapat dilakukan oleh produsen obat tersebut sebagai suatu servis bagi pelanggan.

Apabila setelah diuji, mixer tidak memenuhi persyaratan atau kemampuan untuk mengaduk belum secara merata, maka mixer harus diperbaiki sedemikian rupa sampai akhirnya mampu mengaduk secara homogen. Perbaikan mixer dapat dilakukan dengan mengatur jumlah putaran per menit (rpm) atau memeriksa apakah ribbon atau uliran dalam mixer berjalan sebagaimana mestinya. Atau mixer tidak dapat mengaduk secara homogen akibat kelebihan bahan yang akan diaduk atau melebihi kapasitasnya.

Apabila setelah dilakukan perbaikan ternyata mixer masih belum mampu mengaduk secara homogen, maka sebaiknya mixer tersebut tidak digunakan atau sebagai mixer cacat produksi ketika dibuat. Kemampuan dari mixer untuk mengaduk ransum juga dapat dilihat dari penampakan bagaimana ransum bergerak dalam mixer.

Sudah barang tentu, mixer harus mempunyai pintu atau tutup yang dapat dibuka untuk pemeriksaan. Banyak sekali peternak self-mixing yang tidak pernah mengecek mixer-nya dengan membuka tutupnya. Ketika dibuka, sering ditemukan gulungan tali plastik atau karung dalam as mixer atau screw atau penuh kotoran yang menempel pada ribbon atau screw. Sudah dibuktikan dalam penelitian bahwa mixer yang kotor, tidak mampu mengaduk pakan secara homogen.

Prof Budi Tangendjaja
Terbitnya peraturan pakan terapi (Medicated Feed), maka peternak self-mixing harus mulai memperhatikan mixer-nya dan mengujinya.

Resiko Kesalahan Membuat Pakan Terapi
Pemasukan obat-obatan termasuk antibiotika dan/atau anti-koksi ke dalam ransum dapat memberikan pengaruh negatif jika mixer yang digunakan tidak baik. Apabila obat yang dimasukkan tidak merata maka ransum yang mengandung obat dalam jumlah yang tidak cukup akan kurang atau tidak bermanfaat bagi ternaknya. Sebaliknya, jika ada bagian ransum yang kelebihan obat, maka ternak dapat keracunan atau memberikan efek negatif.

Dalam membuat ransum terapi, perlu juga diperhatikan akan terjadinya “carry over”, artinya adanya residu obat pada pakan berikutnya yang dibuat. Kontaminasi obat dapat memberikan implikasi negatif, tidak hanya terhadap kesehatan ternak tetapi juga terjadinya residu pada hasil ternak yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap konsumen yang mengonsumsinya.

Perlunya GMP (Good Manufacturing Practice) atau CPPB
Permasalahan dalam membuat pakan sendiri oleh peternak self-mixing tidak hanya dalam kemampuan untuk mengaduk obat dengan baik dan benar, tetapi juga harus memperhatikan kondisi pabrik dan pekerjanya. Peternak harus memperhatikan obat-obatan yang digunakan, bagaimana menyimpannya, bagaimana pencatatan dalam pemakaian, bagaimana dengan pengetahuan pegawai yang menangani obat-obatan tersebut, bagaimana dengan kebersihan pabrik pakan, bagaimana dengan pencegahan masuknya pest, seperti tikus, serangga dan sebagainya. Semuanya ini merupakan hal penting untuk diperhatikan dan ini tercakup dalam patokan GMP. Kelihatannya peternak self-mixing perlu dibina agar dapat menerapkan prinsip-prinsip Cara Pembuatan Pakan yang Baik (CPPB), bahkan jika memungkinkan semua fasilitas pembuatan pakan harus tersertifikasi GMP.

Hal penting (focal point) dalam GMP adalah untuk keamanan pemakaian obat-obatan dan imbuhan pakan, pencemaran bahan yang tidak dikehendaki (misalnya pestisida) dan kebersihan (hygiene) dan keamaman. Prinsip dalam GMP mencakup bangunan/lokasi, bahan pakan, proses produksi, pengirimam, quality control, dokumentasi dan pembinaan manusianya. Hal ini tidak akan diuraikan dalam tulisan ini.

Saran Kebijakan
• Pemerintah
Sebagai kelanjutan dari peraturan dan petunjuk pelaksanaan mengenai pakan terapi, pemerintah sebaiknya melakukan pembinaan terhadap peternak self-mixing agar mereka mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam membuat pakan terapi. Apabila pembinaan telah dilakukan ke seluruh peternak self-mixing, maka pemerintah dapat mulai melakukan pengawasan dengan melakukan audit mengenai pembuatan pakan yang baik. Hal ini dapat dilakukan setahun sekali. Akan tetapi untuk pengawasan pakan terapi, pemerintah dapat secara berkala mengambil contoh pakan terapi dan menganalisis kandungan obat-obatan yang digunakan. Apabila ditemukan hasil analisis yang tidak sesuai, pemerintah dapat membantu peternak tersebut untuk memperbaikinya sebelum memberikan hukuman.

Sudah barang tentu untuk menganalisis kandungan obat pakan terapi, pemerintah harus menyediakan laboratorium yang mampu menganalisisnya. Kerjasama dengan perusahaan yang memproduksi obat hewan dapat dilakukan, sehingga hasil analisis dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi ketepatan dan ketelitian.

• Peternak
Peternak yang membuat pakan terapi (juga pabrik pakan) harus terus-menerus mengikuti pelatihan atau seminar yang dapat meningkatkan pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat melakukan pembuatan pakan terapi secara baik dan benar. Peternak juga harus memperhatikan kemungkinan terjadinya residu dalam telur atau daging yang mereka hasilkan. Perlu diingat bahwa Indonesia tidak menghendaki anak-anak mengonsumsi produk ternak yang tercemar dengan obat-obatan.

Peternak harus mampu menerapkan prinsip-prinsip cara pembuatan pakan yang baik. Jikalau perlu, mereka semua harus mendapatkan sertifikat GMP atau bisa berkembang menjadi HACCP.

• Perusahaan Obat
Perusahaan obat dan juga distributornya harus ikut serta membantu peternak self-mixing agar mampu membuat pakan terapi dengan benar. Distributor obat tidak cukup hanya menjual barang kepada peternak, tetapi juga membantu bagaimana menggunakan obat secara tepat dan benar. Perusahaan obat memberikan servis untuk menganalisis apakah obat yang dimasukkan dalam ransum telah dikerjakan dengan benar.

Ketiganya, baik pemerintah, peternak dan perusahaan obat harus bekerjasama dalam menghasilkan produk unggas yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) dan mampu menyediakan protein hewani yang mampu dijangkau oleh masyarakat. ***

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer