Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini ASF | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENGENAL PENYAKIT AFRICAN SWINE FEVER

Virus ASF sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian 100% pada babi. (Foto: GETTY IMAGES)

Virus African Swine Fever (ASF) adalah virus DNA beruntai ganda termasuk dalam familie Asfarviridae sebagai agen penyakit ASF. Virus ini menyebabkan demam berdarah dengan tingkat kematian tinggi. Beberapa isolat dapat menyebabkan kematian hewan satu minggu setelah infeksi. Virus ini menginfeksi inang alami seperti babi hutan melalui vektor kutu dari genus Ornithodoros tanpa disertai gejala penyakit.

Selain itu, virus ASF juga ditularkan melalui kontak langsung dengan babi yang tertular, daging dan produk daging babi, sisa-sisa makanan (swilling feeding), peralatan, sepatu, hingga pakaian yang digunakan para pekerja atau pengunjung di peternakan babi yang tertular penyakit ASF.

Namun virus ASF bisa mati pada pemanasan suhu 56 derajat selama 70 menit atau suhu 60 derajat selama 20 menit. Kendati demikian, virus ASF bisa bertahan hidup pada sisa makanan dalam sampah yang terinfeksi virus ASF selama 3-6 bulan dan dalam keadaan frozen selama tiga tahun.

Gambar 1: Bentuk virus ASF secara fisik seperti model virus pada umumnya, tetapi sangat  jauh berbeda  secara molekular.

Penyakit ini tidak menyebabkan penyakit pada manusia atau tidak bersifat zoonosis. Virus ASF merupakan penyakit endemik di Afrika sub-Sahara dan menyebar ke Eropa melalui babi atau produknya yang dibawa oleh imigran maupun wisatawan Eropa. Virus ASF memiliki genom DNA beruntai ganda dan dapat menjangkau 190 kilobase, serta yang mengesankan karena mengkode hampir 170 protein, jauh lebih besar dari virus lain, seperti Ebola (beberapa strain hanya memiliki 7 protein).

Virus ASF memiliki kesamaan dengan virus DNA besar lainnya, misalnya poxvirus, iridovirus dan mimivirus. Virus ASF ini menyebabkan demam hemoragik, dimana sel targetnya terutama untuk bereplikasi terdapat pada makrofag sel monosit. Masuknya virus ke dalam sel inang dimediasi oleh reseptor, tetapi mekanisme endositosis yang tepat sampai saat ini belum jelas. Sel makrofag pada tahap awal diinfeksi oleh virus ASF, perakitan kapsid icosahedral terjadi pada membran retikulum endoplasma. Poliprotein diproses secara proteolitik membentuk kulit inti antara membran internal dan inti nukleoprotein. Membran sel plasma bagian luar sebagai inti partikel dari membran plasma. Protein virus mengkode protein yang menghambat jalur pensinyalan pada makrofag yang terinfeksi dan dengan demikian memodulasi aktivasi transkripsi gen respons imun. Selain itu, virus mengkode protein yang menghambat apoptosis sel yang terinfeksi untuk memfasilitasi produksi virion keturunannya. Protein membran virus dengan kemiripan protein adhesi seluler memodulasi interaksi sel yang terinfeksi virus dan viri ekstraseluler dengan komponen inang.

Hewan yang peka pada ASF ini adalah babi hutan, babi liar dan babi domestik. Babi yang terinfeksi dapat menunjukkan satu atau beberapa tanda-tanda klinis, seperti berwarna ungu kebiruan dan perdarahan (seperti bintik atau memanjang) di telinga, perut dan/atau kaki belakang, kemudian mata dan hidung keluar cairan, lalu terdapat merah pada kulit dada, perut, perineum, ekor dan kaki,  dan juga terjadi sembelit atau diare yang dapat berkembang dari mukoid menjadi berdarah (melena), muntah, induk babi yang bunting mengalami aborsi pada semua tahap kebuntingan, darah dan busa dari hidung/mulut dan mata, serta kotoran berdarah di sekitar ekor. Gejala klinis dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Gejala klinis pada penyakit African Swine Fever.

Oleh karena sifat virus yang sangat rumit dan memiliki genom besar, maka untuk menemukan obat misalnya vaksin saja juga sulit. Sampai saat ini peneliti belum mampu menemukan vaksin ASF, meskipun berbagai metoda pembuatan vaksin telah dilakukan. Metoda pembuatan vaksin ASF yaitu dimulai dari vaksin konvensional, vaksin DNA, rekombinan protein dan vaksin dari senyawa alami, sintetis dan obat.

Dengan alasan tersebut, maka virus ini sangat berbahaya apabila terjangkit wabah ASF, karena dapat menyebabkan kematian (mortalitas) 100%. Seluruh babi dalam suatu kandang atau wilayah akan mati secara keseluruhan. Selain kematian yang sangat tinggi juga akan kehilangan sumber protein dan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak dan masyarakat.

Berdasarkan kompleksitas susunan DNA dan protein virus ASF, sifat penyakitnya menyebabkan kematian sangat tinggi (mortalitas 100%), belum ditemukannya obat (vaksin) yang efektif dan aman, maka pemerintah harus menjaga secara ketat masuknya penyakit ini ke dalam wilayah Indonesia. Penting untuk diperhatikan bahwa penularan penyakit ini tidak bisa dicegah, karena hal tersebut menyebabkan tidak ada negara yang kebal terhadap penyakit ASF. Negara maju pun seperti Amerika dan negara-negara lain di Eropa dapat tertular penyakit ini walaupun telah melakukan biosekuriti. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia dan Asia pada umumnya, dimana peternaknya belum disiplin dalam menerapkan biosekuriti. Satu-satunya cara untuk mengeliminasi virus ASF melalui depopulasi dengan cara penguburan dan desinfeksi kandang serta peralatannya. ***

Oleh: Dr med vet Drh Abdul Rahman
Medik Veteriner Ahli Madya di P3H Direktorat Kesehatan Hewan

MENJAGA RANTAI DINGIN AGAR KUALITAS VAKSIN TERJAMIN

Penyimpanan dan handling, serta yang meng-handle vaksin dapat meningkatkan keberhasilan vaksinasi. (Sumber: Istimewa)

Vaksinasi merupakan tindakan yang biasa dilakukan untuk mencegah penularan penyakit infeksius. Dalam suatu vaksinasi, banyak faktor yang menentukan keberhasilannya, salah satunya kualitas vaksin. Bagaimana hendaknya menjaga kualitas vaksin agar tetap baik?

Meledaknya wabah African Swine Fever (ASF) beberapa waktu lalu membuat kebakaran jenggot seluruh industri peternakan. Selain berpotensi memusnahkan 100% populasi ternak babi, penyakit yang disebabkan oleh virus ASF belum ada vaksinnya, sehingga belum dapat dicegah. Namun begitu, data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa tidak 100% babi yang mati disebabkan oleh ASF, ada juga yang disebabkan oleh Hog Cholera.

Berbeda dengan ASF, Hog Cholera sudah memiliki vaksin. Kendati demikian, bagaimana Hog Cholera juga bisa ikut meledak? Tentunya selain manajemen beternak, manajemen vaksinasinya patut dipertanyakan. Oleh karenanya dalam mencegah penyakit dan menentukan kualitas vaksin yang digunakan, wajar rasanya apabila diperbaiki teknik dan manajemen vaksinasi yang dimiliki, sehingga vaksin tidak menjadi mubazir.

Kualitas Vaksin Harus Dijaga
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menyatakan bahwa untuk mencapai tingkat perlindungan populasi yang memadai terhadap penyakit infeksius, maka vaksin yang digunakan untuk vaksinasi harus berkualitas baik. Secara umum, vaksin dikatakan memiliki kualitas baik jika segelnya masih utuh atau etiket produknya masih terpasang dengan baik, vaksin belum kadaluarsa (belum melewati expired date/tanggal kadaluarsa), serta bentuk fisiknya tidak berubah.

Tidak hanya itu, vaksin yang digunakan pun sebaiknya merupakan jenis vaksin yang homolog dengan virus di lapangan. Semakin tinggi homologi vaksin akan memberikan perlindungan lebih sempurna, sehingga ternak tidak mudah terinfeksi, penurunan produksi tidak terjadi dan shedding virus dari feses atau pernapasan terminimalisir.

Menurut Factory Manager PT Sanbio Laboratories, Drh Arini Nurhandayani, di lapangan sendiri vaksin dengan kualitas baik ternyata masih belum menjamin akan berhasil membentuk kekebalan protektif. “Kalau homologi sudah oke, tinggal handling vaksinasinya saja yang harus baik, oleh karenanya kualitas vaksin jangan dikesampingkan, kalau tidak pasti akan bermasalah,” tutur Arini.

Kualitas vaksin tidak boleh diremehkan, karena kualitas vaksin berkaitan erat dengan hasil vaksinasi. Terkait dengan kualitas fisik vaksin ini, ada sejumlah faktor risiko yang mengancam terutama selama proses pendistribusian vaksin.

Seperti diketahui bersama bahwa semua jenis vaksin tidak stabil pada… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi April 2020) (CR)

KEMENTAN PETAKAN KEMATIAN BABI DI NTT GUNA CEGAH PENYEBARAN



Tercatat angka kematian babi akibat ASF di NTT capai 4888 ekor (Foto: Dok. Kementan)

Dalam rangka mengoptimalkan implementasi pengendalian kasus kematian babi yang diakibatkan  penyakit African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika (DBA) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kementan melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bersama Pemda NTT tengah menyusun peta kasus dan profiling daerah tertular dan bebas.

"Peta dan profiling tersebut sebagai dasar dalam menyusun strategi spesifik untuk pengendalian di daerah tertular dan pencegahan penyebaran ke daerah bebas," kata Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, di Jakarta, (20/3).

Menurut Fadjar, Ditjen PKH dan Pemda NTT telah menyepakati rencana aksi pengendalian kasus ASF di Pulau Timor. Hal tersebut telah dibahas dalam rapat koordinasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan terkait di Kupang pada tanggal Kamis (12/3) yang lalu. "Rencana aksi penting lain adalah pelibatan tokoh masyarakat dan agama dalam mendukung pengendalian ASF, dengan menggiatkan KIE kepada peternak dan pedagang," tambahnya.

Hal tersebut dianggapnya penting mengingat berdasarkan data terakhir, tercatat angka kematian Babi akibat ASF di Pulau Timor, NTT mencapai 4888 ekor di 6 kabupaten/kota yakni Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Belu, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, dan Malaka. "Langkah ini kita ambil agar kasus dapat di tahan di Pulau Timor saja, dan tidak menyebar ke wilayah pulau-pulau lain di NTT," harapnya.

Di dalam Pulau Timor sendiri jelas Fadjar, akan dibuat batas jelas antara daerah tertular dan daerah bebas. Pembatasan ini juga akan dilengkapi dengan posko pengawas lalu lintas ternak babi dan produknya.

"Jadi di dalam Pulau Timor sendiri, nanti masih ada daerah bebas yang punya peluang mensuplai daging atau babi ke daerah lain. Ini kita lakukan untuk menjamin kesehatan hewan sekaligus mendukung berputarnya roda ekonomi peternak," imbuhnya.

Fadjar juga menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam menerapkan prinsip-prinsip biosekuriti yang baik. Ia menjelaskan pentingnya pemetaan dan penandaan dalam penerapan biosekuriti tersebut. Ke depan tambahnya, pedagang yang biasa berkeliling membeli babi hanya bisa membeli babi dari daerah bebas dan tidak masuk daerah tertular.

Ia juga berpesan agar pedagang babi turut menerapkan prinsip biosekuriti dengan menjaga kendaraan, keranjang, dan peralatannya tetap steril dari virus pada saat mendatangi kandang-kandang peternak.

Hal itu dapat dilakukan dengan disinfeksi secara rutin. Fadjar kemudian menerangkan bahwa khusus untul peternak terdampak, pemerintah akan memfasilitasi dalam hal biaya penguburan dan mendampingi mereka agar dapat mengakses fasilitas KUR untuk permodalan.

"Apabila kita dapat mengendalikan dan menekan kasusnya di Pulau Timor, maka kita dapat mengurangi kerugian peternak di Pulau Timor sekaligus melindungi peternak di pulau lain," katanya. (Rilis Kementan)

GRATIS E-book Tentang African Swine Fever dan Biosekuriti

Majalah Infovet pada bulan Maret ini menerbitan ulasan khusus mengenai African Swine Fever (ASF) dan Biosekuriti. Ulasan ini diterbitkan atas saran dari berbagai kalangan peternakan dan kesehatan hewan baik pelaku usaha maupun pemerintah dan stakeholder lainnya. Ulasan tentang ASF dibuat dalam sebuah edisi sisipan/suplemen yang diterbitkan bersamaan dengan majalah Infovet edisi Maret 2020.

Adapun sajian edisi sisipan ini meliputi antara lain :
  1. Mengenal Penyakit African Swine fever oleh Dr. Drh. Abdul Rahman , seorang medik veteriner ahli madya di Direktorat Kesehatan Hewan.
  2. Wabah ASF di Indonesia (redaksi)
  3. Pengendalian ASF dengan Biosekuriti, oleh Drh Ida Lestari dan Drh Yunita Widayati (Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan)
  4. Pencegahan dan Pengendalian ASF (redaksi)
  5. Wabah ASF; Biosecurity Awaraness dan Pendampingan Stakeholder  (redaksi)
  6. Antisipasi Penyebaran ASF (redaksi)
Agar informasi penting ini dapat diketahui oleh masyarakat luas khususnya di bidang peternakan dan kesehatan hewan, maka redaksi sepakat untuk menerbitkan juga dalam bentuk edisi elektronik (e-book).

Bagi Anda yang sudah pernah mengisi form "Gratis UU Peternakan dan Kesehatan Hewan" di halaman utama web majalahinfovet,com, otomatis akan mendapat kiriman ebook tersebut. 

Untuk Anda yang belum pernah mengisi form, silakan isi form di bawah ini, dan sering cek email agar dapat mendownload ebook tersebut.


Nama Lengkap
Perusahaan/Lembaga
Kota/Kabupaten
Nomor Ponsel
Alamat E-Mail








KEMENTAN AJAK TOKOH MASYARAKAT BALI DAN NTT BANTU KENDALIKAN PENYAKIT BABI

Foto bersama Dirjen PKH dan para tokoh masyarakat. (Foto: Dok. Kementan)

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) memandang penting peran tokoh masyarakat, agama, dan adat dalam memberikan dukungan untuk program pengendalian penyakit hewan. Hal tersebut disampaikan Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat berdiskusi dengan para tokoh yang hadir dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Penyakit Babi Wilayah Bali dan NTT, Jumat (06/3).

Menurutnya, selama ini pengendalian penyakit hewan lebih banyak mengandalkan aspek teknis saja, padahal aspek lain seperti sosial budaya dan dukungan politis tidak kalah pentingnya. Ketut kemudian mengambil contoh pentingnya pelibatan tokoh yang dipercaya oleh masyarakat dalam pengendalian penyakit hewan.

"Saya berharap para tokoh masyarakat, agama, dan adat yang hadir khususnya dari Bali dan NTT dapat mendukung upaya pencegahan dan pengendalian penyakit yang saat ini mengakibatkan kematian babi di Bali dan NTT," ungkapnya.

Ketut kemudian menjelaskan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, Ditjen PKH terus fokus dalam penanganan penyakit yang mengakibatkan kematian pada Babi. Kejadian tersebut berawal di Sumatera Utara pada akhir 2019, yang kemudian dinyatakan secara resmi sebagai wabah African Swine Fever (ASF).

ASF merupakan penyakit yang sudah lama ada, diawali di Afrika pada tahun 1920-an, penyakit ini menyebar ke Eropa dan akhirnya dalam beberapa tahun terakhir masuk ke dan menyebar di Asia.

"Penyakit ASF ini sangat menular, dan sampai saat ini belum ada obat atau vaksinnya. Sekali ASF masuk ke suatu wilayah, sulit untuk diberantasnya. Oleh karenanya, sejak China dinyatakan wabah pada akhir tahun 2018, sebenarnya Indonesia sudah mempersiapkan diri menghadapi masuknya penyakit ini," ujar Ketut.

Langkah-langkah yang telah dilakukan dari sejak wabah ASF terjadi di China, yakni membuat Surat Edaran kewaspadaan penyakit ASF, memberikan Bimtek dan Simulasi Penyakit ASF kepada petugas, melakukan sosialisasi secara langsung kepada petugas dan peternak, serta memberikan bahan sosialiasasi terkait ASF kepada dinas PKH di daerah.

"Kita juga telah siapkan bantuan desinfektan, sprayer, alat pelindung diri dan bahan pendukung lainnya, serta dana tambahan untuk pencegahan dan pengendalian ASF," tambah Ketut.

Ditjen PKH juga telah berkoordinasi dan meminta Karantina Pertanian untuk terus meningkatkan pengawasan terhadap barang bawaan penumpang pesawat atau kapal laut dari luar negeri yang membawa produk segar dan olahan babi, serta meminta stakeholder lain melakukan pengawasan penggunaan sisa-sisa makanan sebagai pakan babi (swill feed).

Selain pengendalian penyakit, pemerintah juga memikirkan jalan untuk pemulihan ekonomi bagi peternak dan pekerja di peternakan tersebut.

Bagi peternak terdampak, telah diberikan bantuan penguburan atau pembakaran bangkai. Ketut juga memberikan alternatif bagi pekerja yang terdampak kemungkinan fasilitasi pemberian bantuan ternak selain babi sebagai sumber penghidupan.

"Saat ini kita akan coba fasilitasi dengan pihak bank agar ada kebijakan yang meringankan peternak terkait kredit, pemberian kredit dengan bunga murah bagi peternak yang mau memulai usaha kembali, dan fasilitasi asuransinya," ucapnya.

Perkembangan Kasus Kematian Babi

Ketut kemudian menyampaikan update tentang data kematian babi akibat ASF di Sumut yang saat ini mencapai 47.534 di 21 kabupaten/kota. Ia menegaskan bahwa tanpa adanya pengetatan dan pengawasan lalu lintas hewan yang baik serta penerapan biosekuriti, sangat sulit membendung penyakit ASF ini.

"Belajar dari Sumut, dimana partisipasi masyarakat dalam program itu sangat penting, kita harapkan peran dan sumbangsih para tokoh masyarakat, agama, dan adat untuk dapat membantu memberikan pemahaman pada masyarakat terkait hal ini," harapnya.

Lebih lanjut, Ketut juga menjelaskan tentang data kematian babi di NTT yang saat ini mencapai 3.299 di 6 kabupaten/kota. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang menunjukan hasil positif ASF di Kabupaten Belu, Ia menduga bahwa kasus kematian babi di kabupaten/kota lain di NTT juga disebabkan oleh penyakit yang sama.

Sementara itu di Bali angka kematian babi akibat penyakit yang disebut peternak sebagai Grubug Babi yang dinyatakan pemerintah sebagai suspek ASF telah mencapai 2.804 di 8 kabupaten/kota.

"Ke depan, kita coba tingkatkan terus upaya-upaya pengendalian yang kita lakukan. Dengan adanya dukungan para tokoh, harapannya kerja kita nantinya bisa lebih efektif menekan kasus," pungkasnya. (Rilis Kementan)

CEGAH ASF MELUAS, LALU LINTAS BABI DIPERKETAT

Pengawasan lalu lintas babi makin diperketat untuk mencegah penyebaran dan meluasnya ASF. (Foto: Humas PKH)

Kementerian Pertanian (Kementan) meminta daerah sentra produksi babi agar terus meningkatkan kewaspadaannya terhadap kemungkinan masuk dan menyebarnya penyakit African Swine Fever (ASF) dengan memperketat dan memperkuat pengawasan lalu lintas babi antar wilayah. 

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita, mengatakan bahwa pemerintah memberikan perhatian khusus untuk pengendalian dan penanggulangan ASF, mengingat berdampak besar bagi masyarakat peternak babi. 

I Ketut Diarmita

"Kami sangat serius menangani ini. Namun masyarakat juga harus terus mendukung pemerintah, misalnya melaporkan bila ada babi sakit. Jangan menjual apalagi membuang bangkai babi ke lingkungan," kata Ketut. 

Ia menegaskan, pentingnya kewaspadaan bagi daerah sentra produksi babi, mengingat ASF belum ada vaksin dan obatnya. Jadi satu-satunya cara adalah dengan memperketat pengawasan lalu lintas dan disiplin dalam menegakkan aturan biosekuriti, sehingga kasus tidak masuk dan menyebar.

"Peran petugas dinas dan karantina sangat penting dalam mengidentifikasi faktor risiko dan melakukan tindakan teknis guna mencegah ASF," ucapnya. 

Menurut Ketut, semua pihak harus saling membantu, mengingat penyebaran penyakit ini bisa dicegah melalui biosekuriti. Otoritas veteriner di masing-masing wilayah juga diminta memberi perhatian khusus. 

"Tidak mudah memang mengendalikan lalu lintas manusia, hewan dan barang dari daerah tertular ke bebas. Kami himbau masyarakat bersama pemerintah pusat dan daerah bisa mencegah ASF menyebar," tukasnya. 

Sebagai informasi, hingga 24 Februari 2020, jumlah daerah tertular ASF di Sumatra Utara mencapai 21 kabupaten/kota, dengan angka kematian sebanyak 47.330 ekor. Begitu juga di Bali,  kasus kematian akibat suspek ASF mencapai 1.735 ekor yang tersebar di 7 kabupaten/kota. (Rilis PKH/INF)

PEMDA BALI DAN KEMENTAN TANGANI KASUS KEMATIAN BABI DI BALI

Penerapan biosekuriti pada kandang ternak babi (Foto: Dok. Kementan)

Kasus kematian babi dalam satu bulan terakhir telah ditemukan pada beberapa lokasi peternakan di wilayah Kabupaten/Kota Denpasar, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Sampai saat ini tercatat jumlah kematian babi total sebanyak 888 ekor.

Ida Bagus Wisnuardhana, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, menyebutkan peningkatan kasus kematian ini kemungkinan akibat masuknya agen penyakit baru dan didukung faktor lingkungan kandang yang kurang bersih/sehat.

"Penularan dapat terjadi melalui kontak antara babi sakit dengan babi sehat atau sumber lainnya seperti pakan, peralatan kandang, dan sarana lainnya," jelasnya pada acara Kampanye Daging Babi Aman Dikonsumsi, di Denpasar, Jumat (7/2/2020)

Wisnuardhana menduga kasus kematian babi di beberapa kabupaten/kota ini disebabkan oleh virus, dan hal ini telah menimbulkan kerugian ekonomi akibat bertambahnya kematian dan membuat peternak menjual babi secara tergesa-gesa dengan harga murah.

Berdasarkan hasil penelusuran ke lokasi kasus, babi yang mati menunjukkan tanda klinis seperti demam tinggi, kulit kemerahan terutama pada daun telinga, inkordinasi, dan pneumonia. Menurutnya ini merupakan kasus suspek ASF. Indikasi ini juga didukung hasil pengujian laboratorium BBVet Denpasar, namun untuk konfirmasi masih memerlukan pengujian dan diagnosa di laboratorium rujukan yg saat ini sedang dalam proses.

"Walaupun belum ada diagnosa definitif, namun langkah-langkah penanganan penyakit tetap dilakukan sesuai dengan standar. Semua ini dilakukan dengan dukungan dan koordinasi yang intensif bersama Kementan," tegasnya.

Adapun langkah-langkah strategis Pemda Bali dan Kementan untuk mencegah penyebaran penyakit adalah melalui pembentukan jejaring informasi dan respon cepat penanganan kasus, investigasi terhadap sumber penularan, pengambilan sampel babi untuk pemeriksaan laboratorium.

"Melalui komunikasi, informasi dan edukasi yang melibatkan desa adat, asosiasi peternak babi dan masyarakat peternak, kita ajak mereka untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan penyakit pada babi dengan menerapkan biosekuriti pada kandang," tambah Wisnuardhana. Ia juga menyampaikan bahwa telah dilakukan pengawasan terhadap tempat–tempat pemotongan babi, untuk memastikan kesesuaian tata cara pemotongan ternak dengan standar oprasional prosedur.

Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyambut gembira bahwa saat ini kasus kematian babi di daerah tertular sudah tidak ada lagi. Penurunan kasus kematian babi tersebut merupakan indikator keberhasilan strategi yang dilakukan. Hal tersebut dapat dicapai dengan dukungan peternak yang memberikan kontribusi besar dalam penerapan biosekuriti pada kandang ternaknya.

"Selain peternak, saya juga harapkan komitmen dan peran serta pedagang dalam menjaga biosekuriti pada saat pengambilan dan pengiriman ternak babi dari satu kandang ke kandang lainnya, sampai ke pasar dan/atau RPH Babi," tambahnya.

Dalam rangka mendukung pengendalian penyakit babi ini, Ditjen PKH telah memberikan bantuan berupa desinfektan sebanyak 20 kg dan 90 liter, alat pelindung diri (APD/PPE) sebanyak 50 unit, dan sprayer sebanyak 15 unit.

Lebih lanjut Fadjar menjelaskan bahwa dalam rangka memulihkan kepercayaan peternak dalam melakukan usahanya, serta memberikan kenyamanan dan ketentraman bathin masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi, Pemerintah menjamin keamanan pangan konsumsi daging babi yang sehat, dan mendukung kegiatan kampanye serupa di wilayah lainnya. (Rilis Kementan)


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer