Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Masa Awal Penentu Kesuksesan Ternak Layer

Masa awal ternak layer menjadi penentu kesuksesan produksi, agar tercapai keuntungan yang diharapkan.
Karena itu diperlukan kewaspadaan, ketelitian dan perhatian dari peternak itu sendiri.
Seringkali mendengar keluhan para peternak ayam petelur atau layer disebabkan produksi telurnya tidak mencapai target yang diharapkan, sehingga profit (keuntungan) yang diperoleh tidak maksimal. Padahal, peternak layer yang bersangkutan sudah memberi pakan berkualitas dan jumlah yang cukup, menerapakan biosekuriti ketat, serta manajemen pemeliharaan yang baik.

Hal tersebut bisa terjadi disebabkan kelalaian peternak sendiri yang mengabaikan atau tidak memberikan perhatian penuh masa awal ayam, yakni masa starter (DOC) dan grower (remaja), sehingga berdampak pada masa produksi. Sebaiknya peternak bisa memperhatikan hal-hal tersebut.

Periode Starter (0-5 Minggu)                                                                         
Tujuan dan target pada periode starter adalah mencapai kerangka dan struktur bobot tubuh yang sesuai standar, serta memperoleh bobot badan 380 gram pada umur lima minggu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Temperatur dan Kepadatan, karena DOC bulum memiliki bulu yang sempurna untuk melindungi dirinya dari cuaca dingin dan perlu leluasa mengkonsumsi pakan setiap saat (lihat Tabel 1).
2. Pemberian Pakan, sebaiknya bentuk pakan crumble diberikan sejak umur 0-35 hari sedikit demi sedikit sesering mungkin dan diprediksi membutuhkan pakan 900 gram.
3. Pemberian air minum, pada dua hari pertama sebaiknya diberikan air hangat dengan suhu 20-25oC, larutkan 50 gram gula merah dan 2 gram vitamin C per liter air minum dan harus diberikan tiga kali sehari, setelah itu air dibersihkan dua hari sekali.
4. Patong paruh (debeaking), bertujuan untuk mencegah kanibalisme (saling patuk antara ayam) dan menghindari pemborosan pakan. Yang perlu diperhatikan: 
a. Sebelum potong paruh. Periksa DOC berada dalam kondisi sehat, jangan lakukan potong paruh ketika DOC menunjukkan reaksi vaksinasi, tambahkan vitamin K dan C ke dalam air minum untuk mencegah hemoraghi dan kontrol panas pisau potong debeaker pada suhu yang ideal untuk mencegah hemoraghi.
b. Potong paruh umur 8-10 hari. Pegang ayam dalam satu tangan dengan ibu jari di belakang kepala, memegang kepala dengan erat dalam posisi istirahat di atas ibu jari, pilih diameter lubang debeaker yang benar yaitu ± 2 mm dari lubang hidung DOC, lakukan pemotongan paruh bagian atas lebih panjang dari bagian bawah dengan kemiringan 15 derajat.
c. Sesudah potong paruh. Kontrol apakah DOC mengalami pendarahan (blooding) dan apakah DOC dapat minum dengan bebas, setiap hari tempat pakan diisi lebih tebal sehingga DOC dapat makan dengan aman setelah potong paruh.

Tabel 1: Temperatur dan Kepadatan Ideal untuk Ayam Layer
Umur ayam (hari)
Temperatur kandang
Temperatur kandang (oC)
Kelembaban relatif (%)
Kepadatan (ekor/m2) **)
Di pinggir brooder (oC)
2/3 m dari brooder (oC)
0-3
35
29-30
33-31
55-60
60
4-7
34
28
32-31
55-60
40
8-14
32
27
30-28
55-60
30
15-21
29
26-25
28-26
55-60
20
22-24
-
25-23
25-23
55-65
10
25-28
-
23-21
23-21
55-65
-
29-35
-
21-19
21-19
60-70
-
sesudah 35
-
19-17
19-17
60-70
-
Sumber: Manual Manajemen Layer-CPI (2010).

Periode Grower (6-16 Minggu)
Tujuan dan target pada periode grower, ialah mencapai standar bobot badan dan keseragaman (uniformity), serta mengembangkan sistem pencernaan pullet agar dapat meningkatkan konsumsi pakan pada saat awal periode layer.

Hal-hal yang perlu dilakukan diantaranya, kosongkan tempat pakan di tengah hari dan pemberian cahaya di tengah malam (midnight lighting) pada musim panas, berikan air minum yang cukup, peralatan harus cukup dan distribusikan pakan secara merata, mulai umur lima minggu timbang berat ayam setiap minggu, hingga ayam berumur 35 hari dengan target bobot badan 10 minggu (830-870 gram), 13 minggu (1.100-1.140 gram) dan 15 minggu (1.270-1.320 gram), usahakan keseragaman 85%, kemudian selalu kontrol kesehatan dari gangguan internal dan eksternal parasit secara priodik, lakukan grading dan pengelompokan bobot badan bila keseragaman di bawah 85% dan program pemberian pakan harus lebih intensif, lakukan transfer dari kandang postal ke kandang baterai pada umur 13-16 hari, dua hari setelah transfer berikan cahaya 24 jam untuk meminimalisasi bobot badan yang hilang akibat stress. Ada berbagai penyebab pertumbuhan pullet (ayam remaja) lambat dan bobot badan tidak tercapai, seperti pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2: Berbagai Penyebab Pertumbuhan Lambat Grower dan Koreksinya
No.
Penyebab
Koreksi
1
Tempat pakan kurang
Brooding: Min. 12 baki feeder/600 DOC
Growing: Min. 5 tube feeder/100 ekor
2
Tempat air minum kurang
Brooding: 6-8 gallon/600 DOC
Growing: 2 PS-Mark II/100 ekor
3
Brooding temperatur salah
Segera dikoreksi sesuai temperatur standar
4
Waktu dan manajemen
Berikan pakan sedikit demi sedikit sesering mungkin
5
Gangguan parasit internal dan eksternal
Berikan obat-obatan anti-parasit
6
Gangguan ventilasi
Usahakan penambahan kipas angin dan lakukan manajemen litter yang baik
7
Penyakit
Sanitasi/biosekuriti dan program vaksinasi
8
Kesalahan monitoring berat badan
Penimbangan ayam setiap minggu
9
Bentuk dan kualitas pakan
Gunakan bentuk crumble atau pellet berkualitas tinggi
10
Gangguan kompetisi antara ayam
Lakukan grading dan pengelompokan ayam berdasarkan bobot badan yang sama
Sumber: Manual Manajemen Layer-CPI (2010).

Periode Layer (17-24 Minggu)
Ayam petelur yang baik akan mulai berproduksi umur 17-18 minggu, bila masa starter dan grower-nya mendapat perhatian sesuai persyaratan tersebut di atas. Namun perlakuan itu harus dilanjutkan dengan perhatian dan perlakuan teknis lain di masa layer (produksi), agar target yang diharapkan tercapai.

Tujuan  pada periode layer ialah untuk tetap memperhatikan bobot badan selama pertumbuhan, peningkatan pertumbuhan selama transfer dari kandang postal ke baterai sampai umur 24 minggu dan melakukan perubahan konsumsi pakan sesuai kebutuhan hidup pokok dan produksi telur.

Diantara yang perlu dilakukan ialah pemberian pakan, berikan pakan dengan ukuran/tekstur yang disukai ayam, pengosongan tempat pakan di tengah hari saat suhu lingkungan meningkat (akan menaikkan konsumsi pakan/feed intake), berikan pakan dua kali per hari yaitu 1/3 dari jatah pakan pada pagi hari dan 2/3 jatah pakan pada sore hari. Kemudian pencahayaan, di mana 15 jam pencahayaan saat produksi HD 50% akan menambah nafsu makan, lakukan perubahan/penambahan pencahayaan 1,5-2 jam pada tengah malam pada awal produksi (umur 17-18 minggu).

Ayam petelur atau layer sangat sensitif terhadap perubahan cahaya dan sangat berpengaruh pada umur kematangan seksual, hal ini disebabkan cahaya memberi stimulus melalui mata yang akan dikirimkan ke sistem hormonal dan syaraf (neuro hormona system) yang memicu perkembangan organ reproduksi ayam betina, sehingga cepat dewasa kelamin (sexual maturity). Pada Tabel 3 berikut disajikan program pencahayaan pada layer.

Tabel 3: Program Pencahayaan pada Ayam Petelur
Umur ayam (hari)
Lama pencahayaan (jam)
Intensitas cahaya (lux)
1-3
23-24
40
4-7
22
40
8-14
20
40
15-21
19
40
22-35
18,5
40
36-49
17
40
50-63
16
40
64-77
15
40
78-91
14
40
92-98
13
40
99-105
13
40
106-112
pencahayaan alami
40
113-126
pencahayaan alami
40
sesudah 127
pencahayaan alami
40
5% HD produksi
14 (+2)
40
sesudah 35% HD produksi
15 (+2)
40
sesudah 60% HD produksi
16 (+2)
40
Sumber: Manual Manajemen Layer-CPI (2010).

Catatan: Penambahan dua jam diberikan saat tengah malam untuk meningkatkan konsumsi pakan. Untuk penerangan/pencahayaan dapat digunakan lampu pijar 5 Watt.

Demikianlah sekilas tentang pentingnya masa awal penanganan ternak layer untuk mencapai sukses produksi telur, sehingga target profit secara ekonomi yang diharapkan tercapai. Jadi diperlukan kewaspadaan, ketelitian dan perhatian dari para peternak layer. (SA)

Jangan Heboh dan Panik Sikapi Kasus AI (H9N2)

Lakukan investigasi mendalam soal penurunan produksi
yang terjadi pada unggas.
((Sejak merebak di Indonesia pada 2003 lalu, virus Avian Influenza (AI) menjadi momok nomor satu di dunia perunggasan Indonesia. Celakanya, AI yang sekarang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, sehingga semakin merepotkan dunia perunggasan di zaman now, benarkah begitu?))

Selalu membuat heboh dan kepanikan massal. Beberapa tahun belakangan jika diperhatikan pemberitaan media massa terkait AI pastinya semua pihak akan geger. Pergerakan cepat langsung dilakukan dan segala usaha dikerahkan untuk menanggulanginya. Walaupun jarang dilaporkan, AI selalu menjadi topik seksi yang tidak pernah ada habisnya untuk dibahas.

Tahun 2017, virus AI baru ditengarai menjadi faktor utama penurunan produksi telur pada layer di Sulawesi Selatan. Saat itu peternak dikejutkan dengan turunnya nilai hen day dari 90% menjadi 40%. Tanpa sebab yang jelas tiba-tiba virus AI H9N2 langsung dituduh menjadi penyebabnya.

Menegakkan Diagnosis
Sebagai upaya mencari penyebab utama dari penurunan produksi telur yang sangat fantastis tersebut, para ahli di bidang perunggasan melakukan investigasi demi mencari kebenaran akan hal tersebut. Tanpa terkecuali dengan yang dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof I Wayan Teguh Wibawan, kepada awak Infovet ia berbagi pengalaman, data dan fakta yang ia dapatkan di lapangan.

Fakta Pertama yang ia beberkan adalah mengenai keberadan material genetik dari virus H9N2 yang telah terdeteksi pada ternak komersil dan breeding farm yang ada di beberapa daerah di Indonesia. “Memang sudah ada dan terdeteksi, kemarin kita lakukan bersama antara pemerintah dan industri vaksin,” kata Prof Wayan.

Kedua ia juga membeberkan bahwa virus AI H9N2 tersebut juga berhasil diisolasi dan propagasi dari ayam yang mengalami penurunan nilai hen day. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata ditemukan adanya titer antibodi spesifik pada kelompok ayam yang tidak divaksin H9N2. “Nah, kalau dari segi ilmu imunologis kan artinya virus tersebut ada di lingkungan kandang atau dari luar kandang, sehingga menginduksi antibodi spesifik,” ungkapnya.

Fakta Ketiga yakni melihat gejala klinis pada bedah bangkai yang hasilnya menunjukkan adanya kelainan berupa perdarahan organ dan jaringan (seperti kasus H5N1), peradangan pada organ pernafasan (tracheitis, bronchitis, baik ringan maupun berat yang disertai perkejuan), serta peradangan pada folikel dan saluran telur. “Para ahli yakin ini bukan hanya H9N2, karena LPAI tidak sekompleks itu seharusnya. Pasti ini juga ada infeksi campuran dari penyakit lainnya,” kata dia.

Temuan yang dilaporkan oleh Prof Wayan dan para ahli lainnya dilaporkan kepada pemerintah dan kemudian ditindaklanjuti. Dengan menggunakan Uji Postulat Koch ditemukan hasil sebagaimana berikut:

1. Pada infeksi isolat murni dari virus H9N2 tidak ditemukan adanya gejala PA yang berarti, ayam petelur yang digunakan dalam pengujian (SPF) juga tampak sehat.
2. Infeksi isolat virus murni H9N2 dapat menurunkan tingkat produksi telur sekitar 80% sampai jatuh ke level produksi 20%.
3. Penelitian tersebut tadi masih bersifat terbatas. (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018.

Badai IBH, Apa Bedanya dengan Serangan IBD?

Virus IBH
Masih hangat dalam ingatan, dalam waktu 3-4 bulan terakhir muncul kejadian penyakit “aneh” terutama di ayam pedaging (broiler), meskipun juga terjadi sebagian di ayam petelur (layer). Terutama terasa sekali di ayam pedaging, kondisi tersebut yang akhirnya “diduga” menjadi langkanya ayam berukuran besar ukuran 1,6-1,8 kg ke atas, sehingga harga ayam besar menjadi lebih tinggi dan bertahan cukup lama. Kejadian ini marak baik pada peternakan ayam pedaging konvensional (open house) maupun pada kandangan closed house. Dampak keparahan dari kasus ini sangat bervariasi. Peternak dengan tatalaksana pemeliharaan yang baik serta tingkat biosekuriti yang ketat tidak begitu menggerus performa produksinya. Namun sebaliknya, pada saat wabah ini menyerang akan terasa berat pada pemeliharaan ayam dengan tatalaksana dan penerapan biosekuriti yang lemah.

Tidak hanya sampai di sini, ratapan kemalangan terjadi dengan adanya kasus IBH (Inclusion Body Hepatitis), yakni penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang ayam pedaging saat masa akhir pemeliharaan (umur 18-26 hari) dengan tingkat kematian variatif 5-65%. Hal yang menciri dari penyakit ini adalah dengan gejala yang mirip dengan IBD (Infectious Bursal Desease) atau Gumboro. Beberapa peternak menyebut penyakit ini sebagai “Gumboro Tua”. Sehingga sebagian besar peternak yang menganggap pola serangan penyakit ini sebagai Gumboro dan mereka cenderung menunda untuk panen dengan harapan setelah puncak kematian 3-4 hari paska serangan awal, kematian akan turun dan kembali normal. Hal tersebut sepintas wajar, mengingat gejalanya yang memang mirip dengan IBD/Gumboro. Namun ternyata kasus IBH ini berbeda, kematian tidak kunjung turun bahkan paska 6-8 hari dari serangan awal. Justru tidak hanya kematian yang meningkat, adanya perlambatan pertambahan berat badan harian (ADG/Avarage Daily Gain) dan munculnya infeksi sekunder, inilah yang menjadi performa produksi ayam semakin terpuruk.

Bagaimana membedakan antara IBH dengan IBD? IBH ini termasuk penyakit yang disebabkan oleh virus dalam kelompok Adenoviridae, mempunyai rangka DNA ganda dengan ukuran virus yang lebih besar dibandingkan dengan virus lain pada umumnya. Karena ukurannya besar dalam hal imunologi, virus ini akan menggertak kekebalan yang bersifat seluler (Celluler Mediated Immunity), sehingga porsi terbentuknya kekebalan tersebut akan lebih dominan dibandingkan dengan kekebalan humoral (yang terlarut dalam zat kebal). Karena hal tersebutlah yang menyebabkan kekebalan asal induk tidak sepenuhnya bisa ditransfer dengan baik kepada anak ayam (DOC) sebagaimana kekebalan yang berasal dari virus lain (IBD, AI, IB, ND, dan sebagainya).

Selain ukurannya besar, virus ini termasuk virus yang tidak beramplop, di mana sebagian besar virus yang tidak beramplop, mempunyai katahanan yang lebih kuat dibandingkan dengan virus yang beramplop. Virus ini tahan di lingkungan lebih lama (bahkan sampai lebih dari sembilan bulan di lingkungan dan tahan terhadap panas, ditergen, zat asam, bahkan mampu menginfeksi saluran cerna dan tahan terhadap situasi asam di sepanjang saluran digesti. Dalam jumlah tertentu, virus ini normal ada pada kalkun, unggas air (bebek, angsa, dan lain lain), bahkan burung liar. Virus ini mampu bertahan hidup pada suhu 60-70oC lebih dari satu jam. Resisten terhadap sebagian besar disinfektan, meskipun dilaporkan formaldehid dan glutaraldehid mampu menumpas dengan daya bunuh yang lebih baik. Apabila dibandingkan dengan IBD yang mampu menggertak kekebalan humoral dengan porsi yang lebih banyak diturunkan ke DOC dibanding IBH, dan virus ini masih relatif sensitif terhadap beberapa jenis disinfektan (phenol, iodin, formalin, dan sebagainya). ***

Drh Eko Prasetio,
Broiler Commercial Poultry Consultant
Tinggal di Bekasi, Jawa Barat


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018.

Animo Tinggi, ASOHI Kembali Adakan Pelatihan PJTOH

Ketua Panitia, Drh Forlin Tinora, saat memberikan sambutan
pembukaan PPJTOH angkatan ke-15.
Antusiasme Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PPJTOH) terlihat dari padatnya peserta yang memenuhi ruangan Lengkong I-III, Hotel Santika Teras Kota BSD City, Tangerang. Acara yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), 13-15 Februari 2018 ini, bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Menurut Ketua Panitia, Drh Forlin Tinora, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH). “Selama pelatihan ini kita sajikan banyak materi, diantaranya soal perundang-undangan, kajian teknis obat hewan dan pemahaman organisasi, serta etika profesi sebagai PJTOH,” ujar Forlin saat menyambut peserta pelatihan PJTOH Angkatan ke-15, Selasa (13/2).

Ia mengatakan, agar peserta memperoleh pemahaman yang mendalam, pihaknya sengaja menghadirkan pembicara yang kompeten di bidangnya. Diantaranya dari Direktorat Kesehatan Hewan, Pengawasan Obat Hewan; Direktorat Pakan; Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH); Komisi Obat Hewan (KOH); tim CPOHB (Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik dan Benar); PDHI; Pusat Karantina Hewan; PPNS (Pendidik Pegawai Negeri Sipil); Ketua ASOHI beserta Dewan Pakar dan Dewan Kode Etik ASOHI. “Selama pelaksanaan pelatihan ini ada 18 materi yang akan dipresentasikan oleh 15 narasumber,” jelasnya.

Ruangan penuh, antusiame peserta PPJTOH sangat tinggi.
Selain pemberian materi, kegiatan ini juga dilengkapi dengan kunjungan ke laboratorium BBPMSOH. “Tujuannya agar peserta dapat melihat lebih jauh mengenai kegiatan penelitian yang dilakukan di sana. Ini merupakan kesempatan yang langka,” katanya.

Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, menambahkan, pelatihan ini menjadi sangat penting karena tugas bagi seorang dokter hewan atau apoteker sebagai penanggung jawab teknis di perusahaan obat hewan sudah diatur oleh pemerintah. “Salah satu tugasnya yakni memastikan perusahaan obat hewan (tempatnya bekerja) menjalankan usaha sesuai aturan, memastikan produk obat hewan yang dijual adalah legal (teregister) dan wajib menolak peredaran obat hewan ilegal,” kata Ira.

Sedangkan untuk di pabrik pakan, sebagai PJTOH wajib menolak penggunaan bahan baku atau obat hewan yang dilarang dicampur dalam pakan. “Seperti kita ketahui AGP yang sudah dilarang. Ini wajib dilakukan sesuai aturan,” ucapnya.

Ia pun berharap, lewat pelatihan ini semoga peserta yang hadir dari perusahaan obat hewan, perusahaan pakan maupun peternak, dapat memahami tugas dan tanggung jawabnya, serta mendapat pengetahuan yang memadai.

Sementara, apresiasi datang dari Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Drh Ni Made Ria Isriyanti. Mewakili Direktur Kesehatan Hewan, ia menyatakan, pelatihan ini menjadi kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu. “Pelatihan ini lah yang kami harapkan. Sebab antusiasme mengenai peraturan obat hewan jadi semakin tinggi dan semakin aware,” ucapnya.

“Kami pun pemerintah juga terus berupaya memberikan pembinaan terhadap industri obat hewan, agar bisa memberikan solusi yang terbaik, asal usaha obat hewan tersebut mau mengikuti aturan,” tukasnya seraya membuka resmi PPJTOH.

Usai sambutan-sambutan, hari pertama pelatihan langsung memasuki inti acara. Kasubdit POH langsung memaparkan materi mengenai sistem kesehatan hewan nasional dan peraturan obat hewan, dilanjutkan oleh Direktur Pakan, Ir Sri Widayati tentang Permentan No. 22/2017 (Pendaftaran dan Peredaran Pakan), kemudian pembahasan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait bidang obat hewan oleh Drh Zulfikli (Biro Hukum), peran PPNS penanganan obat hewan ilegal oleh Drh Widiarto (Koordinator PPNS) dan materi peran ASOHI dan Kode Etik ASOHI oleh Drh Irawati dan Drh Lukas.

Peserta PPJTOH saat mengunjungi lab. BBPMSOH.
Di hari kedua, ditampilakan pemateri Prof Budi Tangendjaja soal sediaan feed additive dan feed suplement, Dr Drh Agus Wiyono (tim KOH) mengenai sediaan farmasetik dan obat alami, Dr Drh Heru Setijanto (Ketua PDHI) tentang kode etik profesi dokter hewan, Drh Bambang Haryanto pembahasan tindakan karantina obat hewan, serta M. Zahid (BBPMSOH) mengenai pengujian mutu obat hewan dan rantai dingin pengiriman obat hewan. Dihari terakhir, pelatihan ditutup dengan kunjungan peserta ke laboratorium BBPMSOH di Bogor, Jawa Barat. (RBS)

Analisa Lapangan IBD vs IBH: Menelisik Gambaran Hasil Nekropsi (Tony Unandar)


Kasus-kasus infeksius dalam industri perunggasan seolah terus berpacu bermunculan (emerging diseases) seiring dengan perkembangan industri perunggasan itu sendiri. Tidak hanya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas. Contoh yang paling anyar dalam setahun terakhir adalah kasus penyakit Hepatitis Syndrome alias Inclusion Body Hepatitis (IBH). Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan situasi gamang di lapangan, baik bagi peternak maupun praktisi perunggasan. Paparan tulisan ini mencoba membantu peternak maupun kolega praktisi lapangan untuk menentukan diagnosa yang akurat berdasarkan nekropsi dalam membedakan kasus IBD (Infectious Bursal Disease) dengan IBH yang sekilas serupa, tapi tak sama.

Pengamatan Jaringan Limfoid 
Pada ayam, dari DOC (Day Old Chick/ayam umur sehari) sampai dengan umur sekitar empat minggu, proses pendewasaan sel-sel limfosit yang bertanggung jawab bagi sistem imunitas ayam terjadi baik di dalam bursa Fabricius (sel limfosit-B) maupun timus (sel limfosit-T). Itulah sebabnya kedua organ itu disebut Organ Limfoid Primer (OLP) dan ketergantungan respon imunitas ayam umur di bawah empat minggu pada kedua organ tersebut sangatlah besar. Demikian juga jika terjadi kerusakan kedua organ tersebut, baik oleh agen infeksius maupun non-infeksius, efek imunosupresi yang ditimbulkannya akan jauh lebih signifikan dibanding dengan kejadian serupa untuk ayam berumur di atas empat minggu. Hal ini bisa terjadi karena proses pendewasaan sel-sel limfosit (baik B maupun T) pada ayam umur di atas empat minggu tidak hanya tergantung pada OLP, akan tetapi dapat juga terjadi dalam Organ Limfoid Sekunder (OLS) seperti limpa, sumsum tulang, HALT (Head Associated Lymphoid Tissue), BALT (Bronchiol Associated Lymphoid Tissue), maupun GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue).

Terhadap jaringan limfoid, patogenesis (proses perjalanan agen infeksius dalam membuat kerusakan jaringan atau organ tubuh induk semang) pada infeksi virus IBD sangatlah berbeda dengan pada IBH (Fowl Adenovirus grup I atau Aviadenovirus). Virus IBD mempunyai tropisma (sel atau jaringan kesukaan/target) terutama sel-sel jaringan bursa Fabricius, sedangkan virus IBH mempunyai tropisma terutama sel-sel epitelium dan sel-sel limfosit, baik sel limfosit muda maupun sel limfosit yang sudah dewasa. Itulah sebabnya, secara kasat mata, dari sudut pandang patologi-anatomis, pada kasus IBD lesio-lesio hanya ditemukan pada organ limfoid bursa Fabricius saja, sedangkan pada kasus IBH lesio-lesio dapat dijumpai pada hampir semua organ limfoid, baik OLP maupun OLS. Kondisi inilah yang bisa menjelaskan mengapa efek imunosupresi pada kasus IBH lebih hebat dibanding IBD, baik itu humoral immunity maupun cell-mediated immunity. Inilah perbedaan Pertama gambaran patologi-anatomis pada nekropsi antara IBD dan IBH.

Pada pengamatan secara histologis, serangan virus IBD terhadap sel-sel jaringan bursa Fabricius dapat mengakibatkan kematian sel-sel jaringan bursa, kerusakan dan regresi folikel-folikel di dalam plika bursa (termasuk sel limfosit muda), serta kerusakan sistem vaskularisasi pada jaringan bursa. Itulah sebabnya, secara kasat mata atau secara patologi-anatomis, pada kasus IBD ada manifestasi reaksi peradangan yang hebat dari organ bursa Fabricius (tampak baik secara internal maupun secara eksternal), adanya regresi dari beberapa plika (bursal plicae) dengan derajat keparahan yang bervariatif, serta tampak adanya perdarahan-perdarahan yang sifatnya sporadik sampai difus (merata). Pada kasus IBD, imunosupresi yang ditimbulkan terutama terhadap humoral immunity (kekebalan dengan perantaraan antibodi) dan bersifat temporer, karena pada ayam di atas empat minggu proses pendewasaan sel limfosit B tidak lagi tergantung pada bursa Fabricius.

Di lain pihak, pada kasus IBH, manifestasi fase dini biasanya ada pembengkakan ringan semua organ limfoid yang kadangkala disertai perdarahan ringan yang cenderung difus dan adanya regresinya organ limfoid tersebut (karena kematian sel-sel limfosit) pada fase lanjut yang derajat keparahannya belum tentu sama antar organ limfoid. Itulah sebabnya, secara patologi-anatomis, relatif lebih sulit untuk membedakan kelainan bursa pada kasus akibat IBD dengan IBH kalau berhenti hanya mencermati organ bursa Fabricius saja. Yang jelas, pada IBH umumnya perdarahan maupun regresi pada plika terjadi relatif bersamaan karena yang diinfeksi adalah sel-sel limfosit, sedangkan pada IBD tidak, tergantung aktivitas virus pada masing-masing jaringan plika.  Inilah perbedaan Kedua gambaran patologi-anatomis pada nekropsi antara IBD dan IBH (Lihat foto 1). ***

Tony Unandar
(Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018...

Inovasi Takesi Dukung Program UPSUS SIWAB

Kepala BBLITVET Dr drh NLP Indi Dharmayanti MSi bersama Kepala Balitbangtan Dr Ir Muhammad Syakir MS ketika me-launching aplikasi Takesi.

Bogor - INFOVET. Takesi, selintas mengingatkan kita pada nama salah satu aktor kebangsaan Jepang, namun bukan. Ini Takesi yang merupakan aplikasi kesehatan sapi yang dikembangkan Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui unit kerja Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLITVET).

Aplikasi Takesi dapat diunduh secara gratis melalui Appstore. Aplikasi ini memiliki empat menu utama antara lain penyakit dan gangguan reproduksi pada sapi indukan, penyakit dan gangguan pada anak sapi, manajemen kesehatan, dan kontak ahli.

Berdasarkan jenis penyakitnya, aplikasi ini dibagi menjadi penyakit infeksius dan noninfeksius. Takesi dikemas menggunakan bahasa yang sederhana, singkat, dan jelas, termasuk memasukkan beberapa bahasa daerah popular terkait nama-nama penyakit tertentu pada ternak ruminansia, yakni sapi.

Kepala Balitbangtan Dr Ir Muhammad Syakir MS mengemukakan teknologi dan inovasi yang dihasilkan para peneliti di BBLITVET sejalan dengan yang disampaikan Presiden Joko Widodo bahwa pertanian dapat maju dengan inovasi dan teknologi.

"Karena itu, semua program strategis nasional yang dimiliki Kementerian Pertanian berbasis riset dan teknologi," kata Dr Ir Muhammad Syakir MS di BBLITVET Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/2/2018).

Kepala BBLITVET Dr drh NLP Indi Dharmayanti MSi mengatakan, Takesi adalah satu dari sejumlah inovasi yang diluncurkan untuk mendukung program strategis Kementerian Pertanian dalam mewujudkan swasembada daging melalui UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting).

"BBLITVET memiliki inovasi lengkap mulai dari tahap pertama proses pemeriksaan hewan sampai tahap akhir pengembangbiakkan dan menghasilkan sapi indukan yang berkualitas," katanya.

Imbuhnya, saat ini sudah ada 1.700 orang yang mengunduh aplikasi tersebut sejak disosialisasikan November 2017. Sosialisasi masih terbatas di sejumlah wilayah yang menjadi sentra peternakan sapi, seperti Jawa Tengah, Sulawesi, dan NTB.

Sekitar 30 dokter hewan tergabung dalam aplikasi Takesi sebagai ahli, yang bersiap membantu peternak dalam menjawab berbagai pertanyaan dan persoalan yang dihadapi oleh peternak.

Takesi dilengkapi dengan galeri foto dan video tentang penyakit-penyakit sapi di Indonesia. Selain itu, aplikasi ini memiliki mesin pencari jenis penyakit berbasis gejala. Misalnya pengguna dapat memasukkan kata kunci "lumpuh" (sesuai dengan gejala klinis yang dilihat pada sapinya), maka dengan menyentuh tombol "cari", layar ponsel pintar akan menyajikan beberapa alternatif kemungkinan penyakit yang menyerang ternaknya.

Menurut salah satu peneliti BBLITVET, April Hari Wardhana SKH MSi PhD, Takesi dirancang sebagai bentuk pengabdian para dokter hewan, konsultasi kesehatan hewan melalui aplikasi ini tidak dipungut biaya.

“Kecuali ada tindakan yang mengharuskan dokter turun ke lokasi dan harus dilakukan pengobatan, atau pemberian vaksin kemungkinan ada biaya yang dikenakan," pungkasnya. (ndv)

Delegasi Alumni Fapet Unsoed Kunjungi Timor Leste


Delegasi Alumni Fapet Unsoed saat bertemu dengan
Mentri Petroleum Timor Leste, 
Hernanio C. Da Silva (paling kanan).
2-4 Februari 2018, empat alumni Fakultas Peternakan (Fapet), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, yakni Ir. Agus Kadarisman, Ir. Ign. Hariyanta Nugraha, Ir. Eri Sasmita dan Ir. Teguh Sudaryanto, melakukan perjalanan ke Dili, Timor Leste.

Kunjungan tersebut, menurut Agus Kadarisman, bertujuan untuk melihat kondisi Timor Leste setelah kurang lebih 19 tahun memisahkan diri dari Indonesia, sekaligus bersilaturahmi dengan sesama alumni Unsoed yang saat ini menjadi Menteri Petrolium Timor Lese, Hernanio C. Da Silva, yang pada tahun sebelumnya menjabat sebagai Mentri Luar Negeri Timor Leste periode 2015-2017.

“Sesampainya di Bandar Udara Internasional Presiden Nicolau Lobato, rombongan langsung disambut hangat oleh Icha salah satu staf Ministry of Petroleum Timor Leste untuk check-in penginapan di Dili, bersamaan dengan jadwal kunjungan yang disusun langsung oleh Menteri Petrolium,” kata Agus.

Sebelum bertatap muka langsung, keempatnya diajak mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Kota Dili, diantaranya Palacio do Governo yang merupakan gedung pusat pemerintahan, kemudian Palacio Lahane yang merupakan salah satu situs sejarah di mana dulunya adalah kediaman Gubernur Portugis, Taman Makam Pahlawan Seroja yang merupakan tempat pejuang-pejuang Indonesia gugur selama kurun waktu tahun 1975-1999 saat Timor Leste masih menjadi  bagian dari Indonesia, kemudian mengunjungi Patung J. Paulus VI dan Tais Market, pasar yang menyediakan kerajianan khas Timor Leste.

Pertemuan pun dilakukan di restoran “Katuas”, yang terletak di pinggir pantai dekat dengan tempat bersejarah Patung Cristo Rei yang dibangun oleh Presiden Suharto. “Di restoran ini kami bertemu dengan beliau dan dua orang teman yang dulu sama-sama sekolah di Magelang, yaitu Valentino Varella dan Manuel Justino. Valentino pernah menjabat sebagai Menteri Muda Veteriner dan saat ini aktif di Partai CNRT yang didirikan oleh Xanana Gusmao (2008). Sementara, Manuel Justino adalah pelukis profesional yang karyanya banyak dikoleksi oleh presiden dari negara-negara di Amerika Latin,” cerita Agus Kadarisman.

Dalam perbincangannya bersama Hernanio, ia terlihat sangat bahagia bertemu teman lama sembari mengingat-ingat pengalaman manisnya selama menuntut ilmu di Magelang dan Purwokerto. Ia pun juga menggambarkan kondisi Timor Leste saat ini.

“Sejak 19 tahun memisahkan diri dari Indonesia merupakan era yang berat, khususnya bagi kesejahteraan rakyatnya. Masih banyaknya pengangguran, pendapatan perkapita yang rendah, pasokan kebutuhan barang konsumsi dan produksi yang masih bergantung dari negara lain, itu mengindikasi bahwa negara ini masih harus bekerja keras agar sejajar dengan negara lain di Asean,” jelas Hernanio seperti dikatakan Agus.

Lebih lanjut seperti yang disampaikan Hernanio, “Peluang lain yang bisa digarap yakni sub-sektor peternakan yang mulai tahun ini sudah mengimpor sarana produksi peternakan dari Jawa Timur. Hernanio berharap, perusahaan-perusahaan peternakan di Indonesia bisa berinvestasi ke negaranya dan beliau bersedia untuk membantu dalam hal perijinan,” tukasnya. (AK/INF)

Seluk-Beluk Metodologi Penelitian Logistik Peternakan

Bergambar bersama pada kegiatan Pelatihan Logistik Peternakan Indonesia.
Fakultas Peternakan (Fapet), Institut Pertanian Bogor (IPB), bekerjasama dengan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI), menyelenggarakan Pelatihan Logistik Peternakan Indonesia, di Ruang Sidang Fapet IPB, Kampus Dramaga, Bogor, Kamis (8/2). Kegiatan yang mengusung tema “Metodologi Penelitian Logistik Peternakan” ini juga didukung oleh Animal Logistics (ALIN), Nuffic dan The Maastricht School of Management (MSM).

Dekan Fapet IPB, Dr. Moh. Yamin, mengatakan, kegiatan ini bertujuan membekali para dosen, mahasiswa dan peneliti IPB dan luar IPB yang berminat pada bidang logistik peternakan. “Sekaligus dalam rangka meningkatkan kapasitas dosen, mahasiswa, serta peneliti sebagai upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas penelitian dalam bidang logistik peternakan,” ujar Yamin.

Ia mengungkapkan, logistik peternakan merupakan bidang multidisiplin dalam ilmu pertanian dan veteriner yang bertemu dengan logistik pengolahan teknologi rantai pendingin, ekonomi dan distribusi. Bidang-bidang yang konteksnya lebih luas, seperti kesejahteraan hewan, keamanan pangan, kualitas pangan, daya saing dan kesehatan masyarakat, memerlukan pengetahuan dari domain ilmu-ilmu tersebut.

“Fapet IPB telah memulai program pendidikan dalam logistik peternakan, antara lain dibuka Peminatan Logistik Peternakan pada Program Pascasarjana IPTP dan program Sarjana Plus Logistik Peternakan pada T.A. 2017/2018,” ungkapnya.

Namun, mengingat pentingnya program logistik ini, lanjut dia, akhirnya diangkat ke tingkat IPB, sehingga ke depan akan dibuka Program Studi Pascasarjana Logistik Peternakan. “Ini dalam rangka pengembangan dan memelihara kompetensi yang berorientasi program pendidikan tersebut, maka diperlukan upaya untuk menghubungkan para dosen dan mahasiswa dengan hal-hal yang bersifat praktis melalui penelitian yang dapat memberikan kontribusi dan pengembangan sektor ini,” jelas Yamin.

Sementara, Ketua FLPI, Prof. Dr. Luki Abdullah, menyampaikan, forum yang dipimpinnya ini akan menjadi wadah menjalin kerjasama antara akademisi, pemerintah, bisnis dan komunitas peternak dalam bidang logistik peternakan. “IPB menganggap penting metodologi penelitian logistik peternakan untuk dikembangkan lebih luas, karena ilmu ini relatif baru dalam konteks peternakan,” terang dia.

Prof. Luki berharap para peserta pelatihan ini nantinya mampu mengimplementasikan keahlian di bidang logistik peternakan, mengaplikasikan ilmu pengetahuan, teknologi dan sains di bidang logistik peternakan, serta mengelola dan bekerja dalam tim untuk menerapkan keputusan strategis di bidang logistik peternakan.

Pelatihan ini diikuti oleh dosen, mahasiswa, peneliti perguruan tinggi dan instansi pemerintah di seluruh Indonesia ini juga turut menghadirkan narasumber diantaranya, Dosen Bidang Sistem Produksi, Logistik dan Supply Chain Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Dr. Senator Nur Bahagia, Dosen Wageningen University Netherland Dr. Renzo Akkerman, serta Dosen Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP) Fapet IPB, Dr. Despal. (AS)

Mengenal Ceva Lebih Dekat melalui Ceva Media Gathering

Suasana CEVA Media Gathering.
Ceva Media Gathering, tajuk acara yang di helat pada 31 Januari 2018 lalu di Gubug Makan Mang Engking, kompleks The Breeze BSD City Tangerang, Banten. Drh Edy Purwoko, Country Manager Ceva Animal Health Indonesia mengatakan dalam sambutannya, bahwa tujuan Ceva Media Gathering ini untuk menjaga silaturahmi antara Ceva dan para media, selain itu juga untuk mengenal Ceva lebih dekat.

Edy juga memperkenalkan kepada media dikalangan bisnis peternakan, bahwa perusahaan asal Perancis itu murni 100% merupakan perusahaan yang hanya bergerak di bisnis obat hewan. Memiliki subsidary di 45 negara termasuk Indonesia, produk-produknya telah terdistribusi lebih dari 110 negara di dunia.

Ceva Sante Animale yang berdiri sejak tahun 1999 telah mengalami perkembangan bisnis yang pesat, bahkan data rilis menunjukkan jika dikalkukasi sejak tahun 2000 hingga kini Ceva telah mengalami perkembangan usaha hingga lebih tujuh kali lipat. “Pada 2017 lalu secara global Ceva penjualannya mencatat pertumbuhan hingga 30%. Umumnya industri obat hewan di dunia dan di indonesia khususnya pertumbuhan sales-nya rata-rata mencapai dua digit, hal ini dimungkinkan karena adanya pertambahan permintaan dan populasi ternak yang membutuhkan obat hewan,” jelas Edy.

Sementara pada kesempatan yang sama, Drh Ayatullah, Technical & Marketing Manager, dan Drh Wintolo Layer and Breeder Business Developement Manager, dari Ceva Animal Health Indonesia secara bergiliran memberikan pandangan mengenaibeberapa materi terkait diferensiasi dan keunggulan produk-produk Ceva. Sebagaimana data yang ditampilkan, Ceva Indonesia yang berdiri sejak 2005 memiliki 85% bisnisnya adalah produk-produk vaksin untuk unggas, selain ada juga produk obat-obatan untuk hewan. “Di Indonesia, kami menjadi leader dalam penjualan dan distribusi produk-produk vaksin unggas, khususnya di hatchery vaccines,” ungkap Ayatullah.

Sedangkan Wintolo, menambahkan, bahwa Ceva Indonesia produknya juga telah eksis dengan pelayanan yang sangat baik di peternakan ayam layer dan breeder. “Kami banyak memiliki produk-produk unggulan yang sangat dikenal peternak di lapangan seperti, Cevac IBird, Cevac MG-F, Cevac Corymune, Cevac ND range untuk layer komersial dan juga Circomune, Poximune AR, Reomune, Cevac MG-F dan lain-lain,” papar Wintolo.

Ia menambahkan, untuk menjaga kualitas dan hasil dari treatment produk-produknya, maka Ceva juga memiliki program pelayanan yang sangat khas, yaitu C.H.I.C.K Program untuk program kontrol dan monitoring Hatchery, dan EGGS Program untuk program di breeder dan layer. 

Adhysta Prahaswari, Marketing Executive turut menambahkan bahwa nya Ceva yang memiliki salah satu value perusahaan yaitu Innovation juga turut memberikan innovasi baik dari segi vaksin maupun equipmen seperti Hatchery Automation oleh Ecat.ID yang merupakan sister company dari Ceva.

Acara kemudian ditutup dengan makan bersama dan lanjut bermain bowling. (DS)

Prediksi Pasar Domba dan Kambing

Momen Idul Adha menjadi penting bagi peternak dan pedagang ternak (domba dan kambing) untuk memaksimalkan laba.


((Momen Idul Adha menjadi penting bagi peternak dan pedagang ternak qurban untuk memaksimalkan laba, namun tampaknya perlu strategi khusus bagi keduanya untuk Idul Adha tahun depan.))

Hampir dipastikan setiap tahunnya, selalu ada cerita peternak menjerit karena rendahnya harga pasar domba dan kambing mereka. Realita ini sulit dijelaskan bilamana tidak “mengutak-atik” mekanisme pasar. Namun, setidaknya penurunan harga pasar ini ditentukan pula oleh momen krusial di masyarakat yang mempengaruhi supply-demand domba dan kambing hidup. Ya, dikatakan ternak hidup karena berdasarkan pengalaman penulis, hanya harga ternak hidup yang sering naik-turun, berbeda dengan harga produk hilirnya seperti daging dan karkas yang cenderung stabil, didukung pula oleh kenyataan bahwa domba dan kambing tidak dijadikan objek politik, berbeda dengan sapi.

Momen Idul Adha Sebagai Anugerah
Tingginya jumlah populasi manusia Indonesia dengan kategori kekuatan ekonomi negara berkembang, mempunyai dampak berupa lenturnya mekanisme pasar yang disebabkan oleh perihal sosial budaya, terutama di daerah pedesaan sebagai lumbung ternak, walau dengan jumlah kepemilikan terbatas (kurang dari lima ekor per peternak). Survei di Jawa Tengah menunjukkan bahwa ternak lebih condong digunakan sebagai tabungan dibanding penghasil cash money (Budisatria et al., 2007). Jika membutuhkan dana mendesak, alternatif utama yang akan diambil adalah dengan menjual ternak tabungan mereka. Hal ini menjadi catatan penting, bahwa motivasi menjual adalah karena kebutuhan uang mendesak, bukan karena murni kegiatan usaha. Motivasi seperti ini mempunyai kelemahan, yaitu mempunyai nilai tawar yang rendah, atau sangat tergantung pada kondisi sosial setempat. Jika kejadian ini dilakukan berjamaah, misal karena peternak sama-sama menghadapi pergantian tahun ajaran baru anak-anak mereka (sekolah), mau pun kebutuhan mendesak jelang hari raya, maka dipastikan akan menurunkan harga jual, karena membeludaknya jumlah ternak di pasaran.

Hari raya keagamaan umat Islam, salah satunya Idul Adha, merupakan musim yang menyita perhatian pedagang sekitar sebulan pra dan pasca hari raya ini merupakan puncak tingginya permintaan ternak qurban, baik domba, kambing, ataupun sapi. Harga jual ternak ke konsumen pada musim ini meningkat bervariasi dari 10-50% dibanding hari biasa dengan harga normal. Sesuai mekanisme pasar, harga akan otomatis terkatrol seiring meningkatnya permintaan ternak qurban. Sehingga pedagang akan beramai-ramai menyetok ternak jelang musim tersebut. Musim qurban (2017), berdasarkan hasil survei dan pengalaman penulis sebagai pedagang ternak qurban khusus domba dan kambing sejak 2008, terjadi peningkatan permintaan ternak ruminansia kecil (kambing dan domba) hingga 30%, bahkan beberapa rekan pengusaha mengaku meningkat hingga 50%.


Perlu olah strategi bagi peternak dan pedagang ternak untuk berperan
membentuk sistem pasar yang diharapkan
dan saling menguntungkan.
Preferensi konsumen di musim qurban (2017) di D.I. Yogyakarta, masih didominasi domba dibanding kambing, meskipun ada kecenderungan peningkatan penjualan kambing dibanding domba. Hal ini bertolak belakang dengan preferensi konsumen di jalur utara Jawa Tengah (Pantura) dengan kambing masih sangat mendominasi penjualan hingga 90%. Range harga domba dan kambing di D.I. Yogyakarta masih lebih ramai di segmen harga Rp 2-3 juta, atau tepat di bawah harga iuran sapi qurban (Rp 2,7-3,1 juta per orang untuk tujuh orang sohibul). Dan yang lebih menarik adalah, terjadi peningkatan yang signifikan disegmen domba dan kambing kelas tinggi (harga di atas Rp 3 juta, di atas harga iuran sapi), dimana konsumen mulai tertarik memperhatikan kualitas domba dan kambing dari segi penampilan fisik, kebersihan bulu, jenis ternak unggul (domba Garut dan kambing Peranakan Etawa), dan kelengkapan spesifikasi (timbangan digital, potret gigi seri, riwayat obat, dll).

Olah Strategi Masing-masing Sektor
Idul Adha 2017 kemarin jatuh tepat pada Jumat, 1 September 2017, atau sekitar dua bulan pasca pergantian tahun ajaran sekolah. Pengusaha ternak qurban merasakan adanya penurunan harga kulak domba dan kambing di D.I. Yogyakarta, disebabkan momen pergantian tahun ajaran tersebut. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hal ini dipicu tingginya angka penjualan ternak “tabungan” oleh peternak. Jika dicermati, maka tanggal jatuhnya hari raya qurban pada 2018 akan lebih awal dibanding tahun sebelumnya, di mana pola ini diyakini akan terjadi lagi. Perlu dicatat bahwa dua bulan sebelum hari raya Idul Adha merupakan hari raya Idul Fitri. Artinya akan ada tiga momen besar di sini yang mempengaruhi harga ternak, yaitu Idul Fitri, pergantian tahun ajaran sekolah dan Idul Adha. Karena itu, perlu olah strategi bagi peternak dan pedagang di masing-masing sektor untuk mengamankan asetnya.


Grafik: Ilustrasi prediksi pergerakan harga domba kelas medium (20-25 kg).
Acuan prediksi dari data Domba Sakti Farm, Yogyakarta.

Peternak diyakini akan menahan domba dan kambing mereka sejak Oktober 2017-April 2018, yang didukung oleh melimpahnya pakan hijauan di musim penghujan. Harga pada tujuh bulan di musim penghujan ini dikategorikan normal, meskipun biasanya terjadi gejolak penurunan harga di beberapa daerah dengan pakan hijauan terlalu melimpah. Disepanjang musim ini, diyakini pasar domba dan kambing lebih banyak ke arah bakalan jantan dan domba betina potong untuk mensuplai rumah makan dan Aqiqah. Ada pendapat bahwa awal tahun hingga April 2018, adalah saat yang tepat bagi peternak untuk menjual ternaknya dengan harga normal. Jika terlambat, maka mereka harus dihadapkan pada mekanisme pasar di bulan Mei-Juli 2018, di mana diprediksi harga akan turun seiring berlomba-lombanya pengusaha mencari ternak dagangan, berkorelasi dengan meningkatnya penjualan ternak “wajib” oleh peternak. Atau pun jika peternak masih mempunyai talangan dana menghadapi tiga momen tersebut, maka disarankan menjual ternaknya tepat di musim qurban langsung ke konsumen qurban. Hal ini tidak mustahil dilakukan peternak dengan kepemilikan kecil, tanpa perlu membuka lapak dan mendeklarasikan diri sebagai penjual ternak qurban. Cukup memanfaatkan media sosial dan kemajuan teknologi informasi lainnya. Sederhana dengan metode tahan jual atau ikhlaskan jual.


Bagaimana dengan para pengusaha? Tentunya ada beragam cara. Yang terpenting adalah terjalinnya hubungan mutualistik antara pengusaha domba dan kambing dengan peternak kecil. Karena tidak dipungkiri bahwa sebesar apapun skala usaha pengusaha domba dan kambing, selalu tidak lepas dari peran peternak kecil, sebab sama-sama berperan membentuk sistem pasar yang diharapkan akan saling menguntungkan, membangun peternakan dengan kekuatan sosial (Sakti, 2016), demi kesejahteraan bersama pelaku ekonomi peternakan di Indonesia. ***





Awistaros A. Sakti
Peneliti Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada.
Email: awistaros.a@mail.ugm.ac.id
awistaros@gmail.com
awis001@lipi.go.id

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer