Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini penyakit | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KAKI KAPUR, APAKAH BERBAHAYA?

Ayam yang terserang scaly leg. (Sumber: Istimewa)

Berak kapur atau infeksi Salmonella pullorum nampaknya masih lebih “tenar” ketimbang penyakit kaki kapur. Namun begitu, kaki kapur walaupun dianggap remeh tetap mengancam produktivitas ternak.

Penyakit kaki kapur bisa jadi tidak terlalu populer dikalangan peternak ayam komersil. Namun bukan berarti penyakit ini harus diabaikan keberadaannya. Pada kenyataannya, kurangnya perhatian dari peternak juga menjadi penyebab utama mengapa penyakit ini kurang populer.

Sebab-musabab
Jika memelihara kambing, domba, anjing, kucing dan kelinci, mungkin pernah berurusan dengan penyakit skabies. Penyakit kaki kapur (scaly leg) kurang lebih mirip dengan skabies, penyebabnya pun sama, yakni infestasi tungau.

Prof Upik Kesumawati, guru besar FKH IPB bidang ektoparasit, mengatakan bahwa tungau yang menyebabkan kaki kapur pada ungags yakni dari spesies Knemidokoptes mutans dan Megninia sp.

“Mungkin jarang ditemukan dan bisa jadi karena peternak enggak memperhatikan ayamnya satu-per-satu, jadi jarang ada laporan kasus ini dari peternak,” tutur Upik.

Lebih lanjut ia menuturkan, bahwa yang harus waspada terhadap penyakit ini yakni peternak-peternak backyard farming atau yang memelihara ayam secara individual, bukan dalam skala komersil.

“Kalau pelihara ayam buat iseng-iseng biasanya akan ada tuh, kandangnya pun enggak diperhatikan, pokoknya hanya kasih pakan aja selesai, kandang kotor, lembab, bau, biasanya yang seperti itu prevalensi kejadiannya tinggi,” kata dia.

Bukan hanya ayam, unggas lainnya ternyata juga bisa diserang oleh tungau ini, seperti kalkun, itik, burung dara, bahkan angsa pernah dilaporkan terinfeksi kaki kapur. “Umumnya serangan terjadi pada ayam yang berusia tua, hal ini karena ayam tua sudah turun tingkat imunitasnya,” jelas Prof Upik. Oleh karenanya ayam broiler jarang sekali dilaporkan terinfeksi penyakit ini karena usianya yang singkat.

Awal infeksi terjadi ketika ayam melakukan kontak langsung dengan tungau, celakanya tungau merupakan sejenis arthropoda yang kasat mata dan terdapat secara alami di lingkungan. Ketika tungau hinggap di tubuh ayam, tungau akan... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Februari 2019.

El Nino & Pelarangan AGP, Ujian Berat Bagi Peternakan Indonesia

Usaha peternakan broiler yang masih menggunakan kandang tradisional. (Sumber: rri.co.id)

Tahun 2018 lalu menjadi salah satu ujian berat bagi sektor peternakan Indonesia. Selain karena cuaca yang tak menentu akibat El Nino, para peternak juga “diuji” ketahanannya dengan pakan tanpa AGP, bagaimana mereka menghadapinya?

“Untuk menjadi pelaut yang andal, harus mengetahui cuaca”. Kutipan tersebut juga berlaku di dunia peternakan. Karena untuk menjadi peternak yang andal, juga harus bisa bersahabat dengan alam. Selain faktor internal, kesuksesan dalam usaha peternakan juga didukung faktor eksternal, salah satunya iklim dan cuaca. Khususnya bagi peternak yang menerapkan sistem kandang terbuka, mereka benar-benar harus bisa bersahabat dengan alam agar performa ternaknya terjaga.

Fenomena El Nino
El Nino merupakan fenomena penurunan curah hujan di wilayah Indonesia terutama di selatan khatulistiwa. Penyebabnya adalah menghangatnya suhu muka laut di Samudra Pasifik area khatulistiwa, akibatnya musim kemarau lebih panjang daripada musim hujan. Fenomena ini juga melanda negara-negara lain di dunia. Lahan pertanian menjadi yang paling berisiko terdampak kekeringan akibat El Nino.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa Indonesia bakal mengalami El Nino pada akhir September hingga awal Oktober 2018. Prediksi tersebut ternyata benar adanya, peternak merasakan bahkan sampai bisa dibilang “merindukan” datangnya hujan.

Dampak dari musim kemarau yang panjang bagi sektor peternakan tentunya tidak main-main, suhu tinggi pada siang hari dapat menyebabkan ternak stres, yang juga lebih penting adalah ketersediaan bahan baku pakan misalnya jagung.

Musim kemarau panjang tentunya menyebabkan suhu tinggi pada siang hari, terkadang suhu naik sangat ekstrem, sehingga menyebabkan cekaman pada ternak. Menurut Prof Agik Suprayogi, guru besar Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB), iklim memegang peranan besar bagi produktivitas ternak dan kadang peternak sering acuh terhadap hal ini.

“Selain manajemen peternakan, jangan sekali-kali melupakan hal ini (iklim) apalagi ketika musim-musim yang sulit ditebak seperti itu, salah-salah nanti peforma ternak kita turun,” tutur Prof Agik.

Salah satu contoh iklim dapat memengaruhi maksud Prof Agik, yakni terhadap spesies hewan, misalnya sapi perah. “Sapi perah kan cocoknya di iklim dengan suhu sejuk dan dingin misalnya pegunungan, gimana coba kalau dipindahkan ke tengah kota? Produksinya turun toh,” ucapnya.

Ia melanjutkan, bahwa cekaman akibat suhu yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah, selain dapat menyebabkan stres dan penurunan performa ternak, juga merupakan pelanggaran terhadap animal welfare.

“Bebas dari rasa ketidaknyamanan juga masuk dalam five freedom of animal welfare, oleh karenanya kalau peternak santai-santai saja menghadapi iklim ekstrem dan ternaknya dirawat “biasa-biasa saja” ruginya dua kali, sudah performa turun, dosa pula,” pungkasnya sambil berkelakar.

Mengapa rasa tidak nyaman pada ternak dapat menurunkan performa?, menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamel (2016) pada ayam broiler, cekaman suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Sisi Lain dari Mycoplasma “Penyakit Menahun yang Selalu Ada”

Air sacculitis yang ditemukan pada DOC yang menggambarkan penyebaran vertikal dari induk. (Sumber: Istimewa)

Penyakit saluran pernafasan mendapat perhatian ekstra, baik pada ternak layer, breeder sampai broiler. Penanganan dan antisipasi di layer farm dan breeder farm bisa diantisipasi dengan vaksinasi menggunakan beberapa penyakit yang menyerang saluran pernafasan, baik vaksin live ataupun vaksin killed, namun di broiler vaksinasi tidak selengkap di layer farm karena siklusnya yang pendek.

Ada satu link yang saling berhubungan erat baik di layer, breeder dan broiler, dan hampir semua sepakat mengatakan pengobatannya sangat sulit, berulang dan cost-nya cukup tinggi hanya untuk membebaskan farm dari penyakit ini. Peternak biasanya menyebutnya dengan CRD atau Chronic Respiratory Diseases yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum (MG).

Mycoplasma gallisepticum akan ditransferkan dari induk ke anak (DOC), sehingga akan mengakibatkan penyebaran 100% di kandang yang diakibatkan oleh bawaan induk. Hal ini tidak mengenal pengecualian, baik di layer, breeder maupun broiler. Ditambah lagi dengan penyebaran yang terjadi pada ayam di bawah empat minggu, akan menghasilkan gejala klinis lebih berat dibanding dengan ayam di atas empat minggu. Apabila tidak ditangani dengan sempurna, infeksi sekunder akan lebih mudah masuk dari awal, baik viral maupun bakterial, maka penanganan MG ini ketika terserang diumur di atas empat minggu.

Tidak seperti bakteri pada umumnya yang bersifat ektraseluler, bakteri ini dapat menginfeksi makrofag dan sel darah putih, sehingga dikategorikan sebagai intraseluler patogen dan dengan sifat inilah yang menyebabkan pengobatan terhadap mycoplasma seakan-akan tidak efektif dan cenderung berulang-ulang, hampir mirip dengan Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC yang memerlukan pengobatan intensif, dan karena sifat menginfeksi makrofag inilah beberapa ahli ada yang mengatakan MG sebagai salah satu penyakit imunosupresi.

Banyak yang ingin membunuh bakteri ini baik dengan antibiotik atau dengan sistem kekebalan tubuh berupa makrofag, namun bakteri ini justru bisa bersembunyi di dalam makrofag. Sudah tentu dengan sifat bakteri seperti ini, opsi untuk membuat kandang bebas mycoplasma hanya ada dua, antara lain DOC harus benar-benar free mycoplasma ditambah single age farm atau culling semua flok yang positif mycoplasma seperti yang dilakukan di beberapa negara lain. Karena pilihan tersebut sulit dilakukan, maka yang bisa dilakukan adalah berdamai dengan mycoplasma lewat tiga pilihan, yakni vaksinasi, antibiotik rutin dan berkala, serta kombinasi antara vaksin dengan antibiotik.

Antibiotik terhadap mycoplasma umum diberikan terutama saat DOC, baik layer, breeder maupun broiler, apabila mencurigai ada vertikal transmisi dari induk dan mencegah gejala klinis yang berat di awal pertumbuhan. Untuk mengetahui hal ini...

Drh Agus Prastowo
Technical Manager PT Elanco

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Dibalik Pemeliharaan yang Tepat, Terbitlah Ayam yang Sehat

Pemeliharaan budidaya ternak yang baik menciptakan produktivitas ternak yang sehat. (Foto: Infovet/Ridwan)

Memiliki ternak dengan performa yang maksimal merupakan impian setiap peternak. Performa akan berbanding lurus dengan manajemen pemeliharaan yang tepat. Berikut ini redaksi Infovet merangkum berbagai tips dan trik dalam mewujudkan ayam yang sehat.

Bibit
Bagi seorang peternak khususnya peternak broiler, keberhasilan dalam beternak juga dipengaruhi oleh kualitas DOC (Day Old Chick). Menurut Sunarto, peternak asal Sragen, beberapa bulan ini selain sulit mendapatkan DOC, kualitasnya pun kurang memuaskan.

“Sekarang banyak yang kakinya kering sama kembung, lepas brooding susah gedenya itu ayam, sudah begitu harganya lumayan mahal,” ujar Sunarto.

Selain itu menurutnya, sekarang ini banyak aksi tipu-tipu, misalnya DOC grade A dioplos grade B. Atau yang lebih parah, DOC polosan (afkir) banyak disisipkan pada DOC dengan memiliki grade lebih tinggi. Oleh karenanya, Sunarto memiliki trik tersendiri dalam meminimalisir aksi tipu-tipu tersebut, diantaranya:
• Bisa berdiri serta lincah
• Pusar tidak basah
• Anggota badan lengkap serta normal
• Bulu tumbuh dengan sempurna, warna bulu sesuai dengan breed
• Warna kaki atau paruh tidak pucat
• Bobot antara 35-40 gram tergantung tipe
• Perut tidak kembung
• Tidak ada luka sedikitpun, walau hanya memar

Pakan
Biaya terbesar dari suatu usaha peternakan berasal dari pakan, apapun jenis peternakannya biaya pakan biasanya mencapai lebih dari 60% total keseluruhan harga produksi. Di dalam pakan terkandung berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh ayam dalam menunjang performa.

Setiap jenis ayam tentunya membutuhkan nilai nutrisi yang berbeda, begitu pula tiap fase hidupnya. Oleh karena itu pakan harus... (CR)


Selengkapnya baca Majalah infovet edisi November 2018.

Kunci Utama Ayam Sehat dan Produktif

Kontrol terhadap amonia. (Dok. Pribadi)

Di zaman now, kemunculan kasus penyakit dalam suatu lingkungan peternakan ayam tidaklah terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi secara bertahap, sesuai dengan interaksi antara agen penyakit yang ada dengan ayam yang dipelihara. Kunci mendapatkan ayam produktif adalah bagaimana membuat ayam tetap sehat walaupun dengan kondisi tantangan agen penyakit yang semakin tinggi.

Ibarat sebuah rumah yang memiliki pagar dan pintu rumah, dibudidaya ayam, pagar tersebut diibaratkan adalah sistem biosekuriti dan vaksinasi, sedangkan pintunya adalah sistem pernapasan bagian atas. Faktanya saat ini ayam broiler modern sangat rentan sekali terjadi ayam nyekrek di umur 15 hari ke atas dan kondisi tersebut dapat menjadi predisposisi agen penyakit masuk ke dalam sistem tubuh.

Melihat anatomis sistem pernafasan ayam, mengapa makhluk ini sangat rentan terhadap munculnya penyakit pernafasan dan sulit untuk disembuhkan?

• Sistem pernafasan ini merupakan saluran tertutup yang ujungnya di kantung hawa dan yang menyebar di seluruh rongga tubuh, sehingga memudahkan penyebaran bibit penyakitnya keseluruh organ tubuh penting lainnya.

• Kantung hawa sangat minim pembuluh darah, sehingga antibiotik akan sulit untuk mencapainya jika terjadi infeksi sekunder dan pengobatan sangat mustahil untuk menghilangkan 100% mikrobanya.

• Pada broiler modern, proporsi sistem pernafasan ini dari periode ke periode semakin mengecil dibandingkan berat tubuhnya akibat perkembangan genetik yang sangat progresif. Dengan kata lain sistem kekebalan di sistem pernafasan bagian atas makin kecil proposinya.

Untuk mengendalikan kasus pernafasan ini, langkah yang paling penting adalah menjaga integritas sistem pernafasannya dari gangguan berbagai faktor utama pemicunya. Hal ini dapat tercapai jika mampu menjaga sistem mukosiliaris dari saluran pernafasan tersebut. Sistem ini merupakan gabungan dari silia sel epitel pernafasan dan mukus, yang dihasilkan oleh sel mukus yang terdapat di sel epitel trakhea. Sistem mukosialiaris ini menjadi...

oleh: Drh Sumarno
Sr Mgr Animal Health
PT Sierad Produce, Tbk

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi November 2018.

Mengenal Gen Bovine Prion Protein (bPRNP) Sebagai Penyebab Penyakit Sapi Gila (Mad Cow) Secara Genetik

Ilustrasi ternak sapi. (Sumber: freestocks.org via Pexels)

Penyakit sapi gila (mad cow) pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 pada sapi perah di Inggris. Data dari Centers for Desease Control and Prevention (Amerika) melaporkan bahwa pada 2017 kemarin masih terdapat 50 kasus mad cow di negara bagian Alabama. Di Indonesia, penyakit sapi gila masih dinyatakan bebas hingga saat ini. Penyakit sapi gila dapat menyebabkan kematian pada ternak dan dapat menular ke manusia (zoonosis).

Tanda-tanda sapi yang terkena penyakit sapi gila antara lain: 1) Sapi sering melakukan gerakan-gerakan aneh, terkadang agresif. 2) Produksi susu menurun drastis. 3) Sapi mengalami kelumpuhan (ambruk). 4) Sapi mengeluarkan saliva dan berbusa (hipersalivasi). 5) Sapi mengalami gangguan keseimbangan dan kadang mengalami kekejangan (tremor).

Sindrom ini disebabkan karena kelainan protein prion (proteinaceous infectious particles). Protein prion yang normal umumnya memiliki bentuk α-helix dengan simbol PrPC. Namun, protein PrPC juga dapat membentuk serat-serat helix (amiloid) atau β-sheet dengan simbol PrPSc seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur protein prion pada sapi (Sumber: Prusiner, 2004)

Protein PrPSc memiliki sifat tahan terhadap enzim proteinase K, yaitu suatu enzim yang dapat mendegradasi protein. Di dalam tubuh mamalia, protein PrPSc akan terakumulasi (mengendap) di dalam lisosom sel otak. Lisosom yang terakumulasi protein PrPSc akan pecah dan menyebabkan kematian sel otak. Sel-sel otak yang telah mati menyebabkan lubang-lubang (vakuola) pada jaringan.

Penyakit sapi gila atau dalam bahasa medis disebut Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) merupakan salah satu kelompok penyakit Transmissible Spongiform Encepahlopathy (TSE) yaitu penyakit-penyakit yang disebabkan oleh prion. Contoh lain dari TSE diantaranya, Chronic Wasting Disease (CWD) pada rusa, scrapie pada domba/kambing, Feline Spongiform Encepahlopathy (FSE) pada kucing, Transmissible Mink Encephalopathy (mink) dan Exotic Myalate Encephalopathy pada kuda. Manusia yang tertular BSE mengakibatkan penyakit new variant Creutzfeldt Jacob Disease (nvCJD).

Perubahan patologi anatomi pada pemeriksaan post mortem sapi yang terkena BSE tidak terlihat secara spesifik. Pada pemeriksaan histopatologi terdapat perubahan khas penyakit BSE, yaitu degenerasi neuron berupa lesi spongious (Gambar 2) dan vakuola neuron perikaria (Jeffrey dan Gonzales, 2004), biasanya berbentuk bilateral dan simetris pada substansi abu-abu sistem saraf pusat (grey matter) (Barbuceanu et al. 2015). Perubahan histopatologis lain adalah akumulasi amiloid pada otak (cerebral amyloidosis) yang dikelilingi vakuola. Pada sekeliling akumulasi amiloid itu, prion ditemukan dalam jumlah banyak yang dapat dilihat dengan pewarnaan immunohistokimia (CPSFH 2016). Prion tidak hanya ditemukan di SSP, tetapi juga ditemukan di medulla spinalis, Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT) dengan sasaran infeksi macrophages and Follicular Dendritic Cells (FDC), serta teridentifikasi pada sistem saraf enterik (Hoffman et al. 2011).

Gambar 2. Jaringan otak pada sapi yang terkena penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) ditandai dengan adanya bintik/lubang hitam yang tersebar di jaringan otak. (Sumber: pictures.doccheck.com)

Penyakit BSE dapat disebabkan karena pemberian protein dalam pakan menggunakan bahan baku hewani seperti... ***

Oleh:
Widya Pintaka Bayu Putra, M.Sc
Drh Mukh Fajar Nasrulloh
Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi November 2018.

Waspadai Gangguan Reproduksi pada Ayam

Ayam petelur. (Foto: Infovet/Bams)

Ternak ayam adalah “pabrik telur dan anak ayam” dimana untuk memproduksinya harus melalui proses terpadu dalam tubuh ayam, mulai diproduksinya spermatozoa pada testis ayam jantan dan diproduksinya ovum (sel telur) pada ovarium ayam betina. Ovum ini akan terus bertumbuh kembang dalam organ reproduksi ayam betina dan melalui tahap-tahap proses seperti pada Tabel 1 berikut.


Proses pembentukan telur berlangsung selama 23-26 jam, yaitu dari proses pembentukan kuning telur (yolk) hingga terbentuknya telur yang siap di keluarkan dari tubuh. Telur yang tidak dibuahi melalui perkawinan (sexual intercourse) bersifat infertil (tidak dibuahi), sehingga tidak dapat ditetaskan menjadi anak ayam (DOC), tetapi telur yang dibuahi bisa bersifat fertil dan ini dapat dilihat melalui cara peneropongan (candling) dan telur dapat ditetaskan.

Perkawinan antara ayam pejantan dan induk betina akan menimbulkan fertilisasi, yaitu bertemunya spermatozoid (bibit jantan) dan ovum (bibit betina) hingga terjadi proses pembuahan. Proses ini dimulai dari perpindahan sperma ke dalam organ reproduksi ayam betina (vagina), lalu sperma bergerak menuju infundibulum (bagian atas saluran reproduksi), dimana dibutuhkan waktu 30 menit. Selanjutnya, 15 menit kemudian terjadi proses ovulasi (pelepasan ovum dari ovarium), dimana sperma bergerak menuju inti sel ovum (pronucleus) dan berakhir dengan terjadinya fertilisasi.

Komposisi Kimiawi Telur
Untuk mendapatkan telur ayam normal perlu mengetahui komposisi kimiawinya, agar dapat diberilkan perlakuan-perlakuan untuk memenuhi kebutuhan tubuh ayam untuk hidup pokok dan produksi telur.

Setelah di keluarkan dari tubuh ayam, telur ayam yang normal memiliki komposisi kimiawi seperti pada Tabel 2 berikut.


Berbagai Gangguan Reproduksi
Gangguan reproduksi bisa terjadi, baik dari dalam tubuh ayam (internal) maupun dari luar tubuh ayam itu sendiri (eksternal).
A. Gangguan internal, antara lain:

   1. Penyakit Egg Drop Syndrome ’76 yang merupakan penyakit infeksius organ reproduksi pada ayam di masa bertelur dengan ciri-ciri penurunan produksi telur, kegagalan mencapai puncak produksi, deformasi bentuk telur dan gangguan pigmentasi kerabang telur tanpa ayam menunjukkan gejala-gejala klinis.

   2. Penyakit Infectious Bronchitis (IB), yang mengakibatkan produksi telur yang rendah dalam jangka waktu lama, kualitas kerabang telur yang rendah, bentuk telur yang abnormal dan warna kerabang telur yang pucat serta tipis. Alat dan saluran reproduksi bisa mengalami rusak parah sehingga ayam petelur tidak mampu menghasilkan telur disebabkan terjadinya kerusakan permanen pada ovarium dan saluran telur lainnya akibat serangan IB semasa anak ayam berumur kurang dari dua minggu.

   3. Penyakit Newcastle Disease (ND), penyakit virus yang mengakibatkan produksi telur menurun drastis, kualitas telur menurun (kerabang telur kasar, tipis dan lembek, fertilitas dan daya tetas menurun).

   4. Bibit ayam, ayam yang berasal dari induk dan pejantan yang secara genetik kurang baik akan memiliki saluran reproduksi yang kurang baik pula sehingga produksi telur dan anak ayam yang dihasilkan akan rendah kualitas dan kualitasnya.

   5. Sex Error dan Sexing Error, kelainan seks atau kesalahan sexing baik pada jantan maupun betina akan mengakibatkan produksi telur, fertilitas dan daya tetas yang diharapkan tidak tercapai, oleh karena itu ayam yang cenderung memiliki sexing error harus segera diafkir dari kelompoknya.

   6. Umur ayam, ayam muda yang mengawali bertelur akan menghasilkan telur yang kecil dibawah standar, maka perlu seleksi telur sebelum melangkah ke tahap penetasan. Demikian pula ayam yang terlalu tua dan sudah saatnya “pensiun”, organ reproduksinya menurun fungsinya yang berakibat telur terlalu besar, fertilitas dan daya tetas menurun.

B. Gangguan eksternal, antara lain berupa:

   1. Stres lingkungan, berupa perubahan cuaca/iklim yang drastis dari suhu panas ke dingin atau sebaliknya, musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya yang mengakibatkan produksi telur, fertilitas dan daya tetas menurun. Solusi mengatasi hal ini salah satunya dengan pemberian obat anti-stres dan penggunaan kandang tertutup (closed house). Stres juga dapat terjadi karena penangkapan/pemindahan ayam yang kasar, perubahan kandang, pakan dan pendengaran yang mendadak seperti kebisingan. Perubahan penglihatan/warna peralatan/petugas kandang juga dapat mengundang stres ayam.

   2. Rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, dimana pakan sangat berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas produksi telur karena komposisi telur dibentuk dari zat gizi (nutrient) dari pakan yang dikonsumsi ayam. Standar komposisi pakan untuk tiap periode umur ayam (starter, grower, pre-layer, layer) sudah ditentukan sesuai dengan jenis, strain ayam petelur yang bersangkutan, disamping mempengaruhi proses reproduksi. Kelalaian pemberian pakan akan berdampak buruh dan panjang pada sistem reproduksi dan produksi.

   3. Kualitas dan kuantitas air minum, 80% dari tubuh ayam terdiri dari air dimana air berfungsi sebagai media transportasi zat makanan ke segenap sel-sel tubuh disamping media penetralisir suhu tubuh dan pembuang sisa makanan yang tidak dicerna, serta menetralisir zat beracun. Oleh karena itu, pemberian air minum yang terlambat, tidak mencukupi disertai kualitas yang rendah akan berdampak luas pada produksi telur dan reproduksi ayam.

   4. Pencahayaan (lighting), fungsi program pencahayaan pada pemeliharaan ayam petelur/bibit ialah untuk meningkatkan pertumbuhan, mengontrol sexual maturity (kedewasaan) dan mencapai bobot badan standar pada produksi telur 5%. Stimulasi lampu pada kandang open house (kandang terbuka) dimulai pada saat bobot badan ayam mencapai 1.250 gram dengan penambahan cahaya dua jam, kemudian ditingkatkan tiap ½ jam/minggu hingga 16 jam atau 16,5 jam dengan intesitas 40 lux. Hal ini bertujuan mencegah keterlambatan sexual maturity. Pada daerah beriklim panas dianjurkan pencahayaan pada pagi hari (subuh) yang sejuk untuk meningkatkan konsumsi pakan, tetapi penambahan cahaya tidak boleh sebelum produksi telur 5%, juga disarankan penambahan cahaya pada tengah malam selama dua jam untuk meningkatkan konsumsi pakan. Bila hal tersebut tidak dilakukan dengan serius, maka kemungkinan besar gangguan produksi dan reproduksi akan muncul.

   5. Ratio jantan dan induk betina, untuk memperoleh tingkat fertilitas dan daya tetas (hatchability) yang diharapkan, perbandingan pejantan dan induk betina perlu ideal yaitu delapan ekor pejantan unggul per-100 ekor induk betina, terutama untuk usaha pembibitan (breeding).

Demikianlah sekilas tentang gangguan reproduksi dan produksi yang perlu diwaspadai dalam mengelola usaha ayam petelur/bibit. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan. (SA)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer