Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini obat hewan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

ASOHI BERI MOTIVASI PELAKU USAHA OBAT HEWAN UNTUK EKSPOR

Sharing Bisnis ASOHI bertajuk “Ekspor Obat Hewan dan Bagaimana Strateginya?”. (Foto: Dok. Infovet)

Kamis, 1 Oktober 2020, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) menggelar Webinar Sharing Bisnis ASOHI bertajuk “Ekspor Obat Hewan dan Bagaimana Strateginya?”, yang diharapkan mampu memotivasi para pelaku bisnis di bidang obat hewan.

“Saya harapkan acara ini dapat memotivasi kita semua para pelaku bisnis obat hewan untuk memulai meningkatkan ekspor yang sejalan dengan program pemerintah yakni Gratieks (Gerakan Tiga Kali Ekspor),” ujar Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, dalam sambutannya.

Hal itupun langsung disambut baik oleh Kasubdit POH, Drh Ni Made Ria Isriyanthi, yang hadir mewakili Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, dengan menjabarkan gambaran usaha obat hewan yang tiap tahun meningkat.

Dari data BPS yang diolah Pusdatin Kementan (2019), ditampilkan Ria bahwa ekspor obat hewan pada 2018 mencapai 739.208 kg dengan nilai sekitar Rp 195 miliar, meningkat pada 2019 menjadi 832.896 kg dengan angka Rp 204 miliar.

“Sedangkan pada 2020 (Januari-Agustus) ekspor obat hewan kuantitinya baru mencapai 661.627 kg dengan nilai Rp 149 miliar,” ujar Ria. Adapun negara tujuan ekspor disampaikan Ria, mencapai 95 negara. Diantaranya Asia (35 negara), Eropa (32 negara), Afrika (15 negara), Amerika (11 negara) dan Australia (2 negara).

“Produk kita mampu bersaing di kancah internasional. Rencana ke depan kita akan memperluas peluang pasar di wilayah Asia Tengah dan Afrika. Untuk itu kami pemerintah selalu memutakhirkan aturan-aturan terkait ekspor,” kata Ria.

Webinar yang dihadiri sebanyak 115 orang peserta ini turut menghadirkan narasumber Ketua Sub Bidang Eksportir ASOHI, Peter Yan, yang membahas seluk-beluk ekspor obat hewan ke berbagai negara.

 “Pentingnya ekspor obat hewan ini mendukung peningkatan devisa dan ekonomi negara, sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan. Bagi perusahaan, pentingnya ekspor ini bisa meningkatkan branding product and company, pengembangan perusahaan dan pasar, hingga pemanfaatan kapasitas produksi,” ujar Peter.

Lebih lanjut dijelaskan, ekspor obat hewan ini menjadi sangat penting karena kondisi pasar dalam negeri yang cenderung sudah jenuh. “Kita coba keluar dari zona nyaman agar potensi perusahaan obat hewan kita semakin berkembang dan semakin tumbuh, salah satunya melalui ekspor ini,” tukasnya. (RBS)

WAW!!... TELAH 95 NEGARA TUJUAN EKSPOR OBAT HEWAN INDONESIA

Kamis, 1 Oktober 2020, Seminar via Zoom bertema “Ekspor Obat Hewan dan Bagaimana Strateginya” diselenggarakan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI). Menghadirkan narasumber tunggal Peter Yan dari PT Medion Farma Jaya yang memaparkan pengalaman Peter Yan tentang ekspor produk obat hewan dari Medion, mulai dari pra ekspor produk, administrasi hingga pelaksanaan pengiriman produk ke negara tujuan.

Ketua Umum ASOHI, Irawati mengantar acara webinar sebagai sharing pengalaman dari salah satu anggota untuk anggota. Webinar yang dibuka oleh Ni Made Ria Isriyanti, Kasubdit POH yang mewakili Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan RI berdurasi sejak pukul 14.00-16.00 WIB.

Ria menyampaikan bahwa data ekspor produk obat hewan Indonesia dari BPS yang diolah Pusdatin telah sampai ke 95 negara.

Peserta webinar yang sempat menyentuh angka 109 peserta itu, selain dari internal anggota ASOHI baik di Pusat maupun dari ASOHI Daerah seluruh Indonesia, juga dihadiri dari unsur pemerintahan, selain Dit Keswan juga Dit PPHNak, Ditjen PKH.

Pemaparan pemgalaman Peter Yan dilajutkan dengan diskusi dengan para peserta yang dimoderatori oleh Forlin Tinora, Wakil Sekjen ASOHI. Sedangkan Bambang Suharno, Sekertaris Eksekutif ASOHI bertindak sebagai Pemandu Acara.****(DARMA)

BAGAIMANA TREN BISNIS OBAT HEWAN SAAT INI?

Bisnis obat hewan di Indonesia masih didominasi hewan ternak


Dalam industri peternakan aspek kesehatan hewan tidak akan pernah luput di dalamnya. Oleh karenanya perkembangan industri obat hewan juga menjadi salah satu pendukung dalam sektor kesehatan hewan. Layaknya industri lain, dengan mewabahnya Covid-19 di Indonesia, tentunya akan berdampak pula kepada industri obat hewan. 

Dalam rangka mengetahui tren perkembangan industri obat hewan utamanya dikala pandemi Covid-19, majalah TROBOS LIVESTOCK menggelar webinar yang bertajuk "Mimbar Trobos : Tren Industri Obat Hewan". Webinar tersebut dilaksanakan pada Kamis (24/9) melalui daring Zoom yang diikuti kurang lebih 250-an peserta.

Pemateri pertama yakni Drh Ni Made Ria Isriyanthi yang mewakili Direktur Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa. Dalam presentasinya dirinya menuturkan beberapa kebijakan - kebijakan pemerintah terkait obat hewan terkini. Utamanya mengenai upaya pemerintah mengurangi dan mengendalikan dampak dari Anti Microbial Ressitance (AMR).

"Kebijakan ini memang dinilai tidak populer, terutama bagi pelaku usaha obat hewan, karena ini bisa dibilang membatasi omzet mereka, tetapi kita perlu berlakukan ini karena negara - negara lain sudah mengaplikasikannya dan mau tidak mau kita pun harus melakukannya," kata Ria.

Ia juga memaparkan beberapa data terutama neraca ekspor - impor obat hewan. Dimana obat hewan merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia dari sektor peternakan. Meskipun memang hingga saat ini ekspor obat hewan Indonesia turun ketimbang tahun lalu.

"Sampai Juli 2020 nilai ekspor obat hewan kita masih 9,36 Juta USD sedangkan nilai impor obat hewan kita mencapai 34,6 juta USD. Memang dampak pandemi juga mempengaruhi, dan terlebih lagi sediaan substituen AGP memang masih banyak yang berasal dari luar," tukas Ria.

Oleh karenanya pemerintah menurut Ria, kemungkinan akan memberi insentif bagi produsen obat hewan yang mampu membuat sediaan pengganti AGP terutama yang berbasis herbal, sehingga Indonesia tidak banyak mengimpor.

Pemateri kedua yakni Drh Ahmad Harris Priyadi, Sekretaris Jenderal ASOHI. Menurutnya ada beberapa hal yang mempengaruhi tren bisnis obat hewan yakni tuntunan pasar, kebijakan pemerintah, situasi ekonomi, kondisi ternak dan sumber daya alam.

Lebih jauh ia menjelaskan mengenai kondisi sektor peternakan di Indonesia kala pandemi Covid-19. Berdasarkan data yang ia dapatkan sebagai negara yang peternakannya didominasi dengan unggas, kini kondisi permintaan untuk broiler menyusut karena daya beli menurun, namun permintaan akan telur stabil.

"Masyarakat kini mengalihkan protein hewani mereka ke telur, yang paling murah kan ya telur. Jadi di sektor petelur produksinya lebih stabil dan obat hewan yang digunakan pun permintaannya stabil ketimbang di broiler yang kondisinya mangkrak," tukasnya.

Ia juga menuturkan bahwa sejatinya bisnis obat hewan masih tetap eksis, wabah Covid-19 sejatinya hanya disrupsi sesaat yang menurunkan permintaan.

"Ketika nanti sudah bisa dikendalikan, bisnis ini akan tetap berjalan normal dan bahkan bisa terus berkembang. Toh kita hanya jenuh, permintaan turun, dan belum menemukan pasar yang baru. Padahal ada satu sektor yang sejatinya bisa digarap untuk mengakali kejenuhan ini," tuturnya.

Sektor yang dimaksud oleh Haris yakni pet animal dimana rerata para dokter hewan di Indonesia masih banyak menggunakan obat - obatan manusia untuk mengobati pet animal. Menurutnya jika produsen dan distributor obat hewan di Indonesia bisa menggarap segmen ini, niscaya bisnis akan tetap lancar meskipun pandemi belum berakhir.

Senada dengan Harris, Country Manager Ceva Animal Health Indonesia Drh Eddy Purwoko juga mengatakan hal yang sama. Berdasarkan data yang ia jabarkan, sejatinya pasar terbesar di dunia obat hewan ada di pet animal. Secara global pet animal berpotensi menghasilkan cuan hingga 12,5 milyar USD dengan market share tertinggi diangka 37,3%.

"Ini yang sebenarnya harus didalami, Indonesia sendiri memang masih banyak kolega dokter hewan yang menggunakan obat manusia, jadi ya, saya rasa produsen lokal bisa mulai melakukan improvisasinya, karena segmen ini sangat menjanjikan sebenarnya," tutur Eddy.

Selain itu Eddy juga memaparkan teknologi terkini di bidang perunggasan, khususnya vaksinasi. Dimana kini teknologi vaksinasi in ovo marak digunakan dan efisien sehingga menekan cost produksi yang memang menjadi suatu keniscayaan.

Terkait efisiensi di sektor obat hewan, juga disampaikan oleh Peter Yan, Corporate Communication & Marketing Distribution Director PT Medion. Dirinya setuju bahwa efisiensi harus diutamakan dan merupakan kunci keberhasilan agar bisa bertahan dan tetap eksis.

Selain itu juga yang harus diterapkan adalah inovasi dan pembukaan pasar baru. Oleh karenanya Medion selalu berusaha untuk membuka pasar di luar negeri agar memiliki kesempatan yang lebih banyak. 

"Kami sangat getol mengeksplor pasar di luar Indonesia, selain faktor keuntungan, setidaknya ada kebanggan bagi kami dan kami juga ikut membantu pemerintah mengharumkan nama bangsa di luar negeri sebagai pemain di bisnis ini," tutur Peter.

Dirinya pun mengatakan bahwa pasar obat hewan di Indonesia masih akan terus meingkat seiring dengan banyaknya inovasi dan teknologi baru di bidang ini. Namun begitu ia juga tidak menampik bahwa pemerintah juga sedianya harus mengambil kebijakan yang juga mendukung kehidupan industri ini, tutup Peter. (CR)


PROTAS: SOSIALISASI PERMENTAN NO. 45/2019 DAN SIMPOL

PROTAS sosialisasi Permentan No. 45/2019, aplikasi SIMPOL dan kebijakan baru lainnya. (Foto: Dok. Infovet)

Rabu, 19 Agustus 2020, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali menggelar Program Temu Anggota ASOHI (PROTAS) melalui aplikasi zoom. Kegiatan kali ini fokus pada sosialisasi Permentan No. 45/2019 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Pertanian, aplikasi SIMPOL (Sistem Informasi Pendaftaran Online) obat hewan dan aturan baru lainnya.

“Di situasi COVID-19 ini pemerintah tetap produktif terkait banyaknya kebijakan baru. Tapi kami rasa perlu ada kejelasan kembali dari pemerintah khususnya pada Permentan 45, karena ini menjadi hot issue di kalangan industri obat hewan. Saya harap lewat PROTAS kali ini kita bisa berdiskusi untuk mencari solusi sesuai harapan kita bersama,” ujar Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari.

Hal senada juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal ASOHI, Drh Forlin Tinora, yang menjadi moderator. “Banyak aturan pemerintah yang bagi anggota ASOHI masih perlu di-review kembali, salah satunya Permentan 45 ini.”

Sebelumnya ASOHI melalui surat resminya telah memberikan masukan kepada Direktorat Kesehatan Hewan (Ditkeswan), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, terkait Permentan No. 45/2019 pada Pasal 77 ayat 1 bagian f nomor 4: menyebutkan mencantumkan persyaratan sertifikat Good Manufacturing Practice (GMP) untuk pemenuhan komitmen pendaftaran obat hewan jadi dan Pasal 96 ayat 1 bagian a nomor 9: mencantumkan persyaratan untuk sertifikat GMP untuk pemenuhan komitmen pemasukan bahan baku obat hewan.

Berdasarkan informasi dari anggota ASOHI, bahwa anggota yang melakukan pendaftaran obat sediaan feed additive, biologik dan biologik kit, serta bahan baku teregistrasi ditolak pada tahap proses verifikasi karena tidak melampirkan sertifikat GMP. Setelah dilakukan pendataan, di beberapa negara seperti USA, Eropa, Korea, China dan lain-lain, tidak menggunakan sertifikat GMP, melainkan Fami-QS atau FCA (Feed Chain Alliance) untuk feed additive dan bahan baku, serta sertifikat ISO untuk biologik kit. Untuk itu diajukan permohonan kepada pemerintah agar meninjau ulang Permentan dan menambahkan bahwa sertifikat Fami-QS, FCA untuk feed additive dan bahan baku, serta ISO untuk biologik kit dapat diterima sebagai alternatif yang setara dengan GMP.

Hal itupun langsung ditanggapi Ditkeswan melalui surat resminya kepada ASOHI. Berdasarkan pertimbangan bahwa FAMI-QS, FCA maupun ISO diterbitkan oleh pihak ketiga yang merupakan lembaga sertifikasi non-pemerintah di negara asal, maka pemenuhan persyaratan GMP harus dipenuhi dengan melampirkan surat pernyataan dari otoritas negara asal yang memuat informasi bahwa produsen tersebut telah menerapkan GMP berdasarkan sertifikasi yang telah diperoleh produsen (FAMI-QS, FCA atau ISO) dan melampirkan FAMI-QS, FCA atau ISO yang dimiliki produsen yang masih berlaku.  

Pemenuhan persyaratan GMP sebagaimana persyaratan di atas juga berlaku untuk pemasukan obat hewan sesuai Permentan No. 45/2019 Pasal 96, terutama untuk pemasukan feed additive, bahan baku obat hewan yang negara asalnya memberlakukan FAMI-QS, FCA dan untuk negara asal yang memberlakukan ISO untuk produk biologik kit.

“Pemerintah terus berupaya menjamin mutu dan kualitas obat hewan agar aman bagi ternak dan manusia, juga agar dapat berdaya saing di pasar internasional. Kita harapkan sinergi dan dukungan ASOHI untuk terus memberi masukan agar pelayanan kami tetap berkualitas dan tetap menjadi mitra yang baik,” ujar Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Drh Maidaswar, yang turut hadir dalam PROTAS.

Kegiatan yang dihadiri sebanyak 236 peserta ini turut menampilkan pembicara Kasubdit POH, Drh Ni Made Ria Isriyanthi yang membahas kebijakan di bidang obat hewan dan Ketua Umum ASOHI yang menampilkan dinamika dan proyeksi industri obat hewan di tengah pendemi COVID-19. (RBS)

TINGKATKAN KEMAMPUAN DAN KETERAMPILAN, ASOHI KEMBALI ADAKAN PPJTOH

Foto bersama dalam kegiatan PPJTOH angkatan XIX 2020 di Santika TMII, Jakarta. (Foto: Dok. Infovet)

Dalam rangka meningkatkan kemampuan dan keterampilan bagi Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH), Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) bekerja sama dengan Direktorat Kesehatan Hewan (Ditkeswan) secara berkesinambungan kembali melaksanakan Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PPJTOH) angkatan XIX 2020 yang berlangsung 3-5 Maret 2020.

“Pada pelatihan kali ini materi yang disampaikan meliputi tiga bagian, yaitu materi tentang perundang-undangan, materi kajian teknis (biologik, farmasetik, feed additive, feed supplement dan obat alami), serta materi tentang pemahaman organisasi dan etika profesi,” ujar ketua panitia pelaksana, Drh Forlin Tinora dalam sambutannya.

Pada kesempatan kali ini, ASOHI turut menghadirkan pihak-pihak kompeten untuk menjadi narasumber, diantaranya Direktorat Kesehatan Hewan beserta Subdit Pengawasan Obat Hewan (POH), Direktorat Pakan, BBPMSOH (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Komisi Obat Hewan (KOH), Tim CPOHB (Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik), PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia), Pusat Karantina Hewan, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dan Ketua Umum ASOHI, beserta Dewan Pakar dan Dewan Kode Etik ASOHI.

Oleh karena itu kegiatan inipun dipandang sangat penting bagi para dokter hewan maupun apoteker yang bekerja sebagai PJTOH. “ASOHI hampir tiap tahun mengadakan pelatihan ini. Sejak berlakunya pelarangan AGP pada 2018, tampaknya kesadaran para dokter hewan dan apoteker terhadap pentingnya pelatihan PJTOH semakin meningkat, sehingga pada 2018 lalu mencapai tiga angkatan, dan pada tahun ini kemungkinan hanya dua angkatan, karena ada beberapa calon peserta yang tidak diikutkan dan kapasitas ruangan tidak memungkinkan ditambah,” kata Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari.

Kendati demikian, lanjut dia, selain pelatihan PJTOH tingkat dasar seperti yang sekarang ini berlangsung, ASOHI merencanakan akan menyelenggarakan PPJTOH tingkat lanjutan (advance).

“Pelatihan PJTOH tingkat lanjutan ini akan membahas topik-topik yang lebih mendalam, sehingga ilmu yang diperoleh dari pelatihan tingkat dasar akan terus berkembang dan bermanfaat sesuai perkembangan zaman,” tandas Irawati. (INF)

KINERJA EKSPOR OBAT HEWAN DIPACU MELALUI PROGRAM GRATIEKS

Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat memberikan pengarahan. 

Subdit Pengawasan Obat Hewan (POH), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan menyelenggarakan Pertemuan Produsen Obat Hewan, Rabu (8/1/2020) di Gedung C Kantor Kementan, Jakarta. Acara ini menjadi ajang sosialisasi program Kementan terkini yaitu Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks).

Hadir Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dr Drh I Ketut Diarmita MP yang memberikan pengarahan didampingi Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ir Fini Murfiani MSi dan Kasubdit POH Drh Ni Made Ria Istriyanthi PhD

Kasubdit POH dalam presentasinya menjelaskan peran obat hewan dalam peningkatan ekspor subsektor peternakan.

“Perlu dilakukan upaya bersama dalam meningkatkan kinerja ekspor obat hewan antara pemerintah dan pelaku usaha obat hewan,” kata Ria.

Para produsen obat hewan yang hadir di Gedung C, Kantor Kementan.

Dalam upaya tersebut, Ria menegaskan Kementan melalui Subdit POH, Direktorat Kesehatan Hewan memfasilitasi pelaku usaha hewan dalam penerapan CPOHB serta percepatan proses pendaftaran obat hewan khusus ekspor.

“Kami juga akan mendampingi semasa proses joint inspection auditor dari negara pengimpor, termasuk akses market dan harmonisasi peraturan terkait eksportasi maupun registrasi obat hewan di negara tujuan ekspor,” terangnya.

Selain itu bentuk upaya peningkatan ekspor obat hewan akan dilakukan pengembangan produk pengganti AGP seperti obat alami dan premiks yang berkualitas.

Sementara, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan mengemukakan Gratieks merupakan ajakan Mentan, Syahrul Yasin Limpo kepada seluruh stakeholder agribisnis untuk melakukan gerakan bersama meningkatkan ekspor pertanian tiga kali lipat. (NDV)


SURAT EDARAN KEMENTAN TENTANG PELARANGAN PENGGUNAAN COLISTIN PADA HEWAN

I Ketut Diarmita (Foto: Istimewa)


Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, mengeluarkan surat edaran berisikan Pelarangan Penggunaan Colistin pada Hewan. Surat edaran ini ditandatangani Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh I Ketut Diarmita MP pada 9 Desember 2019. 

Dalam surat edaran tersebut dinyatakan bahwa Colistin merupakan last drug of choice untuk penyakit infeksi saluran pencernaan dan bakterimia yang disebabkan oleh bakteri multidrugs resistence pada manusia yang dalam penggunaan secara luas berpotensi menimbulkan bakteri resisten. Colistin dalam daftar WHO masuk dalam kelompok Highest Critically Important  Antimicrobials for Human Medicine (WHO) dan dalam daftar OIE masuk kelompok Veterinary Highly Important Antimicrobial Agents (OIE).

Berdasarkan berbagai informasi dan pertimbangan ilmiah, Dirjen PKH, Kementan melarang penggunaan Colistin pada hewan (ternak maupun non-ternak) melalui berbagai rute pemberian, baik secara tunggal maupun kombinasinya.

Selasa (10/12/2019) Infovet telah mengonfirmasi ke Subdit Pengawasan Obat Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan Kementan bahwa surat edaran ini resmi. Berikut ini secara lengkap surat edaran dari Kementan perihal pelarangan Colistin.







ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer