Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini feed additive | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Aplikasi Bakteriofag Sebagai Pengganti AGP

Gambar 1. Perbandingan ukuran bakteriofag dengan mikroorganisme lain.
((Dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan membuat produsen feed additive berlomba-lomba mencari penggantinya. Dari mulai acidifier, herbal, essential oil, probiotik dan lain sebagainya telah dicoba. Bagaimana dengan bakteriofag?))

Mungkin terdengar asing di telinga ketika berbicara mengenai bakteriofag, namun kalau ditelaah lebih dalam, bakteriofag bisa menjadi alternatif pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) yang menjanjikan. Di Indo Livestock 2018 yang lalu, penulis berkesempatan berbincang mengenai bakteriofag dengan Max Hwagyun Oh, PhD. Vet Med., peneliti bakteriofag sekaligus Managing Director CTCBio Inc. Korea. 

Bakteriofag
Dalam dunia mikrobiologi, tentu dikenal adanya bakteri, virus, kapang, khamir, protozoa, dan lain sebagainya. Ada satu hal yang mungkin terlewat dan kurang dipelajari, yakni bakteriofag. “Bakteriofag berasal dari kata Bacteria (bakteri) dan Phage (makan), jadi bakteriofag adalah mikroorganisme pemakan bakteri,” ujar pria yang akrab disapa Dr. Max Oh itu.


Dr. Max Hwagyun Oh
Ia melanjutkan, sejatinya bakteriofag adalah entitas umum yang ada di bumi, ukurannya lebih kecil daripada bakteri, sehingga dapat menginfeksi bakteri. Umumnya struktur tubuh bakteriofag terdiri atas selubung kapsid protein yang menyelimuti materi genetiknya.

“Jika dirunut sejarahnya, bakteriofag pertama kali ditemukan tahun 1896, kemudian di tahun 1917 seorang peneliti mikroba dari Kanada, Felix de Herelle, menemukan bahwa bakteriofag memakan bakteri disentri berbentuk bacillus,” katanya. Kemudian penelitian mengenai bakteriofag dilanjutkan sampai tahun 1940-an, namun ketika antibiotik ditemukan, penelitian mengenai bakteriofag sempat “mandek”, yang kemudian dilanjutkan kembali pada 1950-an hingga sekarang.

Sifat dan Cara Kerja Bakteriofag
Bakteriofag memiliki cara kerja yang hampir sama dengan enzim, yakni dapat mengenali reseptor spesifik yang ada pada permukaan tubuh bakteri, seperti peptidoglikan, lipopolisakarida dan lain sebagainya. Selain itu, membran kapsid pada bakteriofag tidak dapat mendegradasi membran sel hewan, sehingga dengan sifat ini bakteriofag hanya menyerang sel bakteri dan tidak berbahaya bagi hewan.

Dalam mengeliminasi bakteri, cara kerja bakteriofag sama seperti virus melisiskan sel, yakni melalui siklus litik dan lisogenik. Bakteriofag subjek penelitian Dr. Max Oh, bekerja melalui siklus litik. Siklus litik (sel lisis) dimulai dengan bakteriofag akan mengenali reseptor pada dinding sel bakteri dan menempel pada bakteri, bakteriofag akan melisiskan dinding sel bakteri (penetrasi) dan men-transfer materi genetiknya ke dalam sel bakteri.

Setelah berhasil menginjeksi materi genetiknya, bakteriofag akan menghasilkan enzim (dikodekan dalam genomnya) untuk menghentikan sintesis molekul bakteri (protein, RNA, DNA). Setelah sintesis protein dan asam nukleat dari sel bakteri berhenti, bakteriofag akan mengambil alih proses metabolisme sel bakteri. DNA dan RNA dari sel bakteri digunakan untuk menggandakan asam nukleat bakteriofag sebanyak mungkin. Selain itu, bakteriofag akan menggunakan protein yang terdapat pada sel inang untuk menggandakan kapsid.

Setelah materi genetik bakteriofag lengkap dan memperbanyak diri, sel bakteri akan dilisiskan oleh bakteriofag dengan bantuan depolimerase, yang diikuti kemunculan bakteriofag baru yang siap menginfeksi bakteri lainnya. Dr. Max Oh juga menjabarkan, kinerja bakteriofag sangat cepat, proses melisiskan sel bakteri hanya 25 menit.

“Bakteriofag sangat istimewa, mereka dapat mengenali bakteri-bakteri patogen yang spesifik, jadi mereka tidak akan menyerang bakteri baik maupun sel hewan itu sendiri,” jelas Alumnus Seoul National University itu. Dalam penelitiannya, bakteriofag yang ia gunakan diklaim dapat mengeliminasi bakteri patogen, seperti Salmonella choleraesius, Salmonella Dublin, Salmonella enteritidis, Salmonella gallinarum, Salmonella pullorum, Salmonella typhimurium, E. colli F4 (K88), E. colli f5  (K99), E. colli f6 (987P), E. colli (f18), E.colli (f41), Staphylococcus aureus dan C. perfringens (tipe A s/d E).


Gambar 2. Cara kerja bakteriofag melisiskan sel bakteri.
Hasil Uji Coba Bakteriofag di Lapangan

Hasil penelitian Dr. Max Oh dan timnya telah diujicobakan baik di laboratorium maupun di lapangan. Pada hasil ujicoba laboratorium (menggunakan metode yang sama dengan uji sensitivitas antibiotik), bakteriofag teruji dapat mengelminiasi bakteri-bakteri patogen, seperti terlihat pada (Gambar 3.) di bawah ini.


Gambar 3. Hasil uji lab aktivitas bakteriofag pada beberapa bakteri patogen.
Hasil trial bakteriofag di lapangan juga telah banyak dipublikasikan oleh Dr. Max Oh dan timnya, hasilnya sebagaimana pada Tabel 1. dan Tabel 2. di bawah ini:


Tabel 1. Pengaruh Pemberian Bakteriofag pada Produksi Telur
Usia
Prouksi Telur (%)
Kontrol
Prouksi Telur (%)
0,02% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,035% Bakteriofag
Prouksi Telur (%)
0,05% Bakteriofag
0-3 minggu
90,8
91
92
91,8
4-6 minggu
89,9
91,5
92,1
91,6
- Menggunakan 288 ekor Hy-line Brown kormersil (usia 36 minggu).
- Empat kali treatment selama enam minggu.
- Enam kali pengulangan.
      - 0,02 % = 200 gram/ton pakan, 0,035% = 350 gram/ton pakan, 0,05% = 500 gram/ton pakan.

      Tabel 2. Pengaruh pemberian bakteriofag pada performa broiler
   Treatment
       Bobot Badan (g)
     ADG   (g/hari)
       Feed Intake (g)
    FCR
        Mortalitas %
       Market Day
        Produksi (kg/m2)
      Kontrol
   2540
   54,22
   5359
   2,11
   16,86
   46,97
   23,4
     Treatment 1
   2540
   57,13
   4445
  1,75
   6,40
   44,45
   27,4
     Treatment 2
   2900
   60,21
   5191
  1,78
   4,70
   48,19
  29,7
- Menggunakan 744.000 ekor broiler (Ross 308) per kelompok treatment.
      - Selama 48 hari.
      - Treatment 1 dan 2 ditambahkan bakteriofag 0,03% (500 gram/ton pakan).

Dr. Max Oh menambahkan, bahwa hasil-hasil uji trial yang ia dan timnya lakukan telah banyak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional. “Memang penelitian mengenai bakteriofag ini kurang popular di Amerika, namun di Asia dan Eropa bagian Timur penelitian mengenai bakteriofag sudah sangat maju,” ucap Dr Max Oh.

Kata-kata Dr. Max Oh bukan tanpa alasan, awak Infovet mencoba menelusuri produk-produk bakteriofag di pasaran. Hasilnya, beberapa produk dengan bahan aktif bakteriofag sudah banyak digunakan di dunia, baik di bidang pertanian, peternakan, bahkan manusia.

Ia menegaskan, mengenai aspek keamanan produk bagi hewan dan manusia seharusnya tidak perlu dipertanyakan, sebab produk bakteriofag sudah banyak tersertifikat oleh asosiasi sekelas FDA. “Bakteriofag ini benar-benar natural, berasal dari alam, kami hanya memperbanyak, kami tidak menambahkan atau memodifikasi mereka, sehingga mereka bukan termasuk GMO (Genetic Modified Organism) yang banyak dikhawatirkan oleh masyarakat dunia,” tegas Dr. Max Oh.

Dari segi bisnis ia menyebut, kemungkinan dalam waktu dekat dirinya berniat menghadirkan produk bakteriofag ke Indonesia. “Saya rasa Indonesia merupakan pasar yang potensial dengan iklim seperti ini, ditambah lagi dengan dilarangnya penggunaan AGP, Saya rasa bakteriofag dapat menjadi solusi yang tepat dan natural dalam menggantikan AGP,” pungkasnya. (CR)

Sinkroniasi Pakan dan Imbuhannya

Pakan menjadi kebutuhan utama ternak yang dituntut
harus memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. (Foto: huffingtonpost.com)
Semua mahluk hidup butuh makan, termasuk hewan ternak. Pakan merupakan kebutuhan utama hewan ternak, pakan harus mengandung nilai gizi yang seimbang agar mampu menunjang performa ternak tetap prima. Dari sisi lain, dalam suatu formulasi pakan terdapat zat additif di dalamnya, bagaimanakah mereka bersinkronisasi menjadi pakan dengan kualitas terbaik?.

Biaya terbesar dari suatu usaha peternakan berasal dari pakan, apapun jenis peternakannya biaya pakan biasanya mencapai lebih dari 60% total keseluruhan harga produksi. Jika ditelisik lebih dalam, pakan ternak zaman old mungkin hanya berupa rumput (ruminansia dan kuda) serta jagung (unggas). Namun, ketika era industrialisasi peternakan dimulai, banyak bermunculan pabrik pakan yang memproduksi beragam pakan ternak dengan klaim produk terbaik.

Seiring dengan kemajuan teknologi dan zaman, teknik dan formulasi pakan pun ikut berkembang. Jenis imbuhan pakan dewasa ini juga semakin beragam, namun imbuhan pakan secara garis besar digunakan untuk tujuan membantu meningkatkan pertumbuhan dan/atau produksi, mencegah serangan penyakit dan meningkatkan pemanfaatan pakan/nutrisi. Hingga titik ini, puluhan bahkan ratusan perusahaan baik produsen maupun distributor feed additive masih berlomba-lomba unjuk gigi dalam menyediakan berbagai jenis imbuhan pakan dengan keunggulan masing-masing.

Berbagai Macam Rupa dan Fungsi
Peternak mana yang tidak kenal imbuhan pakan? Sepertinya tidak ada. Setiap peternak kini sudah pasti tahu apa itu imbuhan pakan. Secara garis besar dalam ilmu nutrisi dan teknologi pakan, terdapat dua jenis imbuhan pakan, yakni feed additive dan feed suplement.

Feed additive merupakan zat tambahan yang belum terdapat dalam kandungan bahan baku ransum, biasanya feed additive bersifat non-nutritif (bukan termasuk zat nutrisi). Contohnya ialah antibiotik imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promoters/AGP), enzim, antioksidan, toxin binder dan lain-lain. Peran feed additive dalam pakan tergantung dari jenis kandungan zat additive-nya.

Sedangkan feed suplement adalah bahan pakan tambahan yang berupa zat-zat nutrisi yang sebenarnya sudah ada pada kandungan bahan baku ransum, feed supplement biasanya terdiri atas zat nutrisi mikro seperti vitamin, mineral atau asam amino. Penambahan feed supplement dalam pakan berfungsi untuk melengkapi atau meningkatkan ketersediaan zat nutrisi mikro yang seringkali kandungannya dalam pakan kurang atau tidak sesuai standar.

Menurut Prof Nahrowi dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, baik feed additive maupun feed supplement komposisinya di dalam ransum tidaklah banyak. “Mungkin dalam ransum terutama ayam komposisi imbuhan pakan hanya sekitar 1-3% saja, kalah jauh dibanding bahan baku lainnya,” tutur Nahrowi.

Namun begitu, walaupun sedikit jangan pula mengenyampingkan benefit yang diberikan oleh imbuhan pakan tersebut. “Misalnya AGP, paling berapa sih dosisnya? Sedikit sekali kan kandungannya dalam pakan, tapi bisa lihat dari fungsinya. Lalu kita lihat juga contoh lainnya misalnya enzim yang lagi hits, ẞ-mannanase atau xylanase, dosisnya sedikit kan? Tapi kembali lagi bahwa fungsinya vital mereka itu,” pungkasnya.

Terkait ragam dan fungsi dari imbuhan pakan, Nahrowi berujar, bahwa setiap formulator pasti memiliki “resep” yang berebeda-beda dalam memilih imbuhan pakan karena meracik formulasi ransum juga merupakan salah satu “seni” dalam industri peternakan.

Dalam memilih imbuhan pakan yang tepat banyak faktor yang harus dipertimbangkan oleh seorang formulator. Formulator dari PT Gold Coin Indonesia, Sahera Nofyangtri, punya beberapa kiat dalam memilih imbuhan pakan dalam formulasinya. Pertama ia menyebutkan yakni efisien, hal ini penting karena dalam sebuah Teknik formulasi pakan selain menghasilkan pakan dengan kualitas yang baik, harganya pun harus murah agar terjangkau oleh peternak.

“Maksudnya efisien bukan dari harga, tetapi dari value sebuah produk, jadi kalau harga murah namun si produk tadi tidak memiliki value-nya buat apa? Memang kita selalu berpacu dengan cost, tapi kualitas juga tidak bisa dianggap remeh,” kata Sahera.

Kedua ia selalu menyesuaikan imbuhan pakan yang digunakan dengan bahan baku. Contohnya, ketika harga bahan baku (terutama jagung dan kedelai) naik, jika penggunaannya dikurangi atau disubtitusi dengan bahan baku lain nilai gizinya akan berubah, maka hendaknya di sinilah penggunaan enzim seperti ẞ-mannanase digunakan. “Walaupun di zaman now memang enzim ini sudah dipakai, namun itu hanya sebagai contoh saja,” ucapnya.

Ketiga legal, teruji dan terbukti. “Ini mungkin aspek standar ya, tapi penting. Legalitas itu penting, bukti dan hasil uji juga penting. Jadi jangan nantinya cuma beli produk karena beli klaim terbaik-terbaik aja tapi pas dipakai hasilnya hancur-hancuran,” katanya.

Ia menegaskan, sebelum menggunakan suatu produk imbuhan pakan secara komersil, sebaiknya dilakukan trial terlebih dahulu agar bisa diketahui seberapa jauh imbuhan pakan berpengaruh dan baik potensinya... *** (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Juni 2018.

Imbuhan Pakan atau Pakan Tambahan? Jika Salah Pilih Bisa Bikin Ayam Merintih

 

Pilihan ragam feed additive. (Sumber: ru.all.biz)

Drh Hermawan Prihatno, praktisi senior perunggasan yang sudah lama malang-melintang di dalam maupun di luar kandang ayam komersial, mengingatkan tentang apa itu “Imbuhan Pakan” dan “Pakan Tambahan”.

Sebab hingga saat ini banyak yang kurang tepat dalam penyebutan dan maksud dari kedua produk tersebut. Hermawan menjelaskan, bahwa feed addiditive adalah suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan dalam jumlah yang relatif kecil, ke dalam campuran makanan dasar untuk memenuhi kebutuhan khusus. Contoh additive yaitu, bahan konsentrat, additive bahan suplemen, additive bahan premiks, additive bahan makanan.


Menurut Hermawan, feed additive adalah susunan bahan atau kombinasi bahan tertentu yang umum digunakan dalam meramu pakan ternak yang sengaja ditambahkan ke dalam ransum pakan untuk menaikkan nilai gizi pakan guna memenuhi kebutuhan ternak. Selain itu, ada juga yang menyebut additive adalah tambahan pakan yang umum digunakan dalam meramu pakan ternak. Penambahan bahan biasanya hanya dalam jumlah yang sedikit, tujuannya untuk merangsang pertumbuhan atau merangsang produksi. Macam-macam additive antara lain, antibiotika, hormon, arsenikal, sulfaktan dan transquilizer.


Sedangkan feed supplement, lanjut Hermawan, ini merupakan bahan pakan tambahan yang berupa zat-zat nutrisi, terutama zat nutrisi mikro, seperti vitamin, mineral atau asam amino. Penambahan feed supplement dalam ransum berfungsi untuk melengkapi atau meningkatkan ketersedian zat nutrisi mikro yang seringkali kandungannya dalam ransum kurang atau tidak sesuai standar. “Terlebih jika ransum hasil self mixing yang biasanya mengalami keterbatasan untuk membuat formulasi yang memperhitungkan sampai komponen nutrisi mikronya kurang tepat,” kata Hermawan.


Untuk itu, ia lebih sering menempatkan kata feed additive (FA) sebagai pengganti dari kata imbuhan pakan, sedangkan pakan tambahan diganti dengan feed suplement (FS). Arti penting feed additive bagi ayam komersial, menurut Hermawan, bersifat sedikit dan mikro nutisi, namun mempunyai peran vital dan sangat signifikan untuk proses produksi ayam... (iyo)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 287 Juni 2018.

Mengkaji Aturan tentang Medicated Feed

Tahun 2017 lalu setidaknya ada dua Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan pelaku usaha peternakan. Yaitu Permentan No.14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang di dalamnya ada aturan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dan Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Dua peraturan ini saling terkait.

Permentan No.14/2017 antara lain mengatur pelarangan penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan atau lebih populer dengan istilah AGP yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2018. Sedangkan Permentan No. 22/2017 mengatur pendaftaran dan peredaraan pakan yang diantaranya menegaskan bahwa pabrik pakan harus membuat pernyataan “pakan tidak mengandung AGP”.

Permentan No. 22/2017 terdiri dari tujuh bab, meliputi ketentuan umum, pendaftaran pakan, peredaran pakan, pembinaan dan pengawasan, ketentuan sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Pada Pasal 2  Ayat 1 Permentan No. 22/2017 menyebutkan, pakan yang dibuat untuk diedarkan (untuk diperdagangkan maupun tidak diperdagangkan) wajib memiliki Nomor Pendaftaran Pakan (NPP). Selanjutkan pada Pasal 25 Huruf a disebutkan, pakan yang diedarkan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Pakan yang Baik (CPPB). Kemudian pada syarat-syarat teknis untuk mendapatkan NPP salah satunya adalah produsen pakan harus membuat pernyataan “tidak menggunakan Hormon Sintetik “ dan pernyataan “tidak menggunakan AGP”.

Sementara itu, di dalam Permentan No. 14/2017 ditegaskan bahwa antibiotika sebagai imbuhan pakan (AGP) dilarang untuk digunakan, namun antibiotika untuk pengobatan (terapi) tetap diperbolehkan. Beberapa jenis antibiotik yang semula didaftarkan sebagai feed additive (berfungsi sebagai AGP), boleh didaftar ulang menjadi antibiotika yang berfungsi sebagai terapi (pharmasetic) jika dapat memenuhi persayaratan teknis sebagai terapi. Peraturan ini sudah dijalankan pemerintah dan untuk menjamin ketersediaan antibiotika di peternakan, pihak pemerintah melakukan proses percepatan registrasi sehingga saat ini sudah ada beberapa jenis antibiotika yang semula dengan kode F (Feed Additive) berubah menjadi P (Pharmaceutic).

Karena antibiotika yang berfungsi sebagai terapi ini boleh dicampur di dalam pakan maka kini muncul dua jenis pakan, yakni pakan biasa (reguler) yang dipakai sehari-hari dan sudah dijamin tanpa AGP, serta pakan yang diproduksi pabrik pakan yang pemakaiannya sekaligus untuk mengobati penyakit (mengandung antibiotik untuk pengobatan). Pakan jenis ini digolongkan sebagai medicated feed.

Karena medicated feed dipakai untuk terapi jika ada kasus penyakit, maka penggunaanya harus melalui resep dokter hewan. Berarti harus ada “pengaturan lebih lanjut” mengenai mekanisme pembuatan resep oleh dokter hewan. Perlu diatur apakah semua dokter hewan boleh membuat resep penggunaan medicated feed atau hanya dokter hewan yang memiliki izin tertentu.

Berikutnya muncul pemikiran, mengingat ada dua jenis pakan, yakni pakan regular (non-medicated) dan medicated feed, berarti perlu juga pengaturan lebih lanjut tentang pendaftaran medicated feed.

Dalam sebuah seminar di Jakarta Maret 2018 lalu, Kasubdit Mutu dan Peredaran Pakan Ossy Ponsania yang hadir mewakili Direktur Pakan mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan hamonisasi aturan medicated feed dengan Direktorat Kesehatan Hewan.

Sebagaimana diketahui, pelayanan pakan dan obat hewan di Ditjen PKH dikelola oleh dua direktorat (jabatan eselon II, di bawah Dirjen PKH), yakni Direktorat Kesehatan Hewan (mengurus obat hewan) dan Direktorat Pakan (mengurus pakan). Dalam hal medicated feed, berarti ada irisan antara kedua direktorat tersebut. Obat hewan yang dicampurkan di pakan adalah kewenangan Direktorat Kesehatan Hewan, sedangkan produksi, pendaftaran dan peredaran pakan di bawah kewenangan Direktorat Pakan.

Muncul pendapat bahwa medicated feed harus didaftar tersendiri (punya NPP tersendiri) di luar non-medicated feed. Pertanyaannya adalah mendaftarnya di Direktorat Kesehatan Hewan atau Direktorat Pakan? Bagaimana tata aturan pendaftarannya?

Menarik juga disimak pemikiran lain yang lebih sederhana. Bahwa obat hewan yang dicampur di pakan sudah pasti memiliki nomor registrasi dari Direktorat Kesehatan Hewan. Demikian pula pakan, sudah pasti memiliki NPP. Selain itu, di perusahaan obat hewan maupun di pabrik pakan ada penanggung jawab teknis obat hewan, dan sudah ada sertifikasi CPOHB (Cara PembuatanObat Hewan yang Baik) di pabrik obat hewan dan sertifikasi CPPB (Cara Pembuatan Pakan dan Baik) di pabrik pakan.

Di pihak pemerintah juga ada pengawas obat hewan dan pengawas mutu pakan. Tak kalah pentingnya adalah, penggunaan medicated feed harus melalui resep dokter hewan. Karena aturan yang  akan dan tengah berjalan saja sudah berjalan demikian ketat, mengapa masih perlu registrasi tersendiri untuk medicated feed?

Pertanyaan di atas hendaknya mendapat perhatian pemerintah. Jangan sampai terjadi overregulated, pengaturan yang berlebihan, yang menyebabkan suasana usaha kurang kondusif, bahkan kontra produktif, yang membuat dunia usaha menjadi tidak efisien.

Ketua Umum GPMT Desianto Budi Utomo, sepakat dengan pendapat di atas. Sebaiknya medicated feed tidak perlu pendaftaran tersendiri. “Lebih baik kita percayakan saja dengan kewenangan dokter hewan yang memberi resep, serta penanggung jawab teknis obat hewan yang ada di pabrik pakan maupun di perusahaan obat hewan,” ujar Desianto.

Kiranya pernyataan Ketua Umum GPMT layak mendapat respon positif dari pemerintah. Dengan mekanisme yang ada, yakni adanya resep dokter hewan dan juga penanggung jawab teknis obat hewan, serta pengawas obat hewan dan pengawas mutu pakan, maka peternak sudah cukup mendapat jaminan atas keamanan dan kualitas pakan. pemerintah tinggal memastikan dan melakukan  monitoring agar mekanisme yang ada dapat berjalan sesuai dengan koridornya. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 285 April 2018

Bijak Pilih Enzim yang Tepat

Salah satu strategi untuk bisa sukses menjalankan bisnis perunggasan adalah kemampuan untuk melakukan penghematan biaya pakan.  Khususnya saat ketersediaan bahan baku pakan sedang terbatas atau sulit didapatkan. Guna menyiasati hal tersebut digunakan tambahan enzim untuk membantu optimalisasi nilai nutrisi dari bahan baku pakan yang dipilih.
Komponen pakan menghabiskan 60–70 persen dari total biaya produksi yang dikeluarkan  peternak. Tanpa adanya manajemen pakan yang baik, akan terjadi pemborosan pakan yang berimbas pada tingginya biaya produksi serta menurunnya performa unggas.
Demikian dpaparkan ahli nutrisi pakan dari Fakultas Peternakan IPB Prof Dr Ir Nachrowi, MSc belum lama ini dalam sebuah seminar di Jakarta. Lebih lanjut Prof Nachrowi menjelaskan  tentang aplikasi teknologi enzim guna memaksimalkan nilai nutrisi dan mengurangi biaya pakan.
Enzim merupakan senyawa protein dapat larut yang diproduksi oleh organisme hidup dan berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi pemecahan senyawa-senyawa organik yang kompleks menjadi sederhana. Enzim dapat meningkatkan nilai nutrisi (nutrient value)  pakan sehingga dapat dimanfaatkan secara lebih baik.
Prof. Nachrowi
Secara alami, kata Nachrowi, setiap jenis ternak mempunyai enzim sehingga dapat mencerna makanan yang dikonsumsi. Enzim tersebut dapat diproduksi sendiri maupun oleh mikroba yang terdapat dalam alat pencernaan ternak. Namun biji-bijian maupun serat kasar yang terdapat pada pakan seringkali sulit dicerna secara alami oleh ternak, sehingga diperlukan suplemen untuk membantu memecahnya sehingga dapat terserap lebih maksimal dalam sistem pencernaan ternak.  Pakan yang tidak tercerna dengan baik akan terbuang sia-sia.
Enzim yang penting untuk unggas adalah Non- Starch Polysaccharide (NSP) yaitu selulose (cellulose), xilanase (xylanase), glucan (glucanase) dan lain-lain. NSP dapat menghidrolisis polisakarida menjadi monosakarida. Manfaat NSP antara lain membantu memelihara kesehatan usus dan pencernaan unggas, meningkatkan konsistensi, meningkatkan efisiensi pakan dan mengurangi biayanya.
Namun demikian, peraih gelar PhD bidang Microbial Biochemistry dari Ehime University Jepang ini mengingatkan perlunya memahami struktur kimiawi dan konsentrasi enzim NSP dan untuk tujuan apa NSP akan digunakan. Memberikan multi enzim pada pakan unggas lebih baik daripada enzim tunggal karena adanya kandungan nutrisi yang berbeda-beda dari setiap jenis pakan unggas.
Hery Santoso 
Hal ini dibenarkan Hery Santoso, General Manager Alltech Biotechnology Indonesia yang mengungkapkan, “Indonesia kaya akan peluang penggunaan bahan baku baru untuk substitusi pakan dengan bantuan teknologi enzim. Sebagai contoh saat jagung sulit didapat pelaku industri umumnya beralih ke gandum atau wheat. Dengan penambahan investasi di enzim SSF nilai energi dari pakan yang didapat akan jauh lebih besar.”
Hery menambahkan, dari sekian banyak enzim pakan yang ada, ada dua jenis enzim yang banyak digunakan pabrik pakan. Yaitu enzim phytase dan enzim yang mendegradasi NSP (Non-Starch Polysaccharide). Enzim yang mendegradasi NSP ada beberapa macam, antara lain xylanase, β-glucanase, dan β-mannanase.

Tantangan Penggunaan Enzim 
Enzim mempunya sifat yang unik, akan menunjukkan aktivitasnya pada kondisi lingkungan yang cocok, baik pH maupun Suhu. Masing-masing jenis enzim mempunya kisaran pH dan suhu optimalnya. Pelet pakan ternak dibuat melalui proses pemanasan pada suhu tinggi, karena itu kestabilan enzim terhadap perlakuan panas pada industri pakan sangat diperlukan.
Prof Nachrowi menjelaskan, enzim bekerja sebagai katalisator untuk mempercepat suatu proses reaksi kimia, karena itu aktivitasnya juga akan ditentukan oleh dosis enzim itu sendiri.  Pemberian enzim exogeneous harus mempertimbangkan juga enzim endogeneous yang sudah ada pada hewan, karena itu sebelum membuat formulasi produk harus dilakukan penelitian terlebih dahulu dan dilihat performance hewannya pada berbagai tingkatan umur.
Metoda analisis yang mudah dan tepat untuk menentukan jumlah enzim yang aktif  juga merupakan suatu tantangan yang perlu mendapatkan perhatian dari para ilmuwan,  Dengan adanya metode analisis yang akurat dan cepat makan akan sangat mempermudah pembuatan formulasi produk pakan ternak.
“Walaupun telah terbukti bahwa suplemen enzim dapat meningkatkan produksi ternak, namun karena untuk mendapatkan enzim itu sendiri tidak mudah maka produk pakan ternak berenzim harganya menjadi mahal, karena itu komponen biaya lain dari produksi pakan sedapat mungkin dapat ditekan sehingga akan menurunkan harga pakan ternak berenzim. Hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian untuk mendapatkan enzim secara mudah dan murah,” imbuh Prof Nachrowi.
“Indonesia merupakan negara yang mempunya julukan megabiodiversiti, karena itu explorasi untuk mendapatkan sumber penghasil enzim baru  sangat dimungkinkan, baik dari jamur maupun bakteri.  Saat ini belum banyak enzim termostabil yang dihasilkan dari Indonesia, padahal sumber-sumber baik bakteri maupun jamur dari lokasi kawah sangat berlimpah,” pungkas Prof Nachrowi. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer