|
Dibutuhkan kerjsama lintas sektor dalam mengendalikan AMR |
Sebagaimana kita ketahui bahwa pekan kesadaran antimikroba sedunia (World Antimicrobial Awareness Week) diperingati tiap tahunnya pada 18 - 24 November. Peringatan ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran ketahanan antimikroba secara global dan mendorong praktik nyata para pemangku kepentingan, termasuk sektor kesehatan, perikanan, dan peternakan, untuk mencegah bahaya kesehatan pada manusia akibat resistansi antimikroba.Resistensi antimikroba juga sudah menjadi isu global, buktinya dalam pertemuan G20 nanti isu tersebut merupakan salah satu isu yang bakal dibahas.
Dalam rangka memperingati event tersebut FAO, WHO, USAID, bersama Kementerian Kesehatan, Pertanian, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan berkolaborasi melaksanakan media briefing mengenai pentingnya antimikroba kepada awak media (18/11) yang lalu melalui daring zoom meeting.
AMR Kian Mengkhawatirkan
Dalam presentasinya Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani mengatakan bahwa saat ini kematian akibat resistensi antimikroba mencapai 700 ribu orang per tahun dan diprediksi di tahun 2050 bisa mencapai 10 juta orang per tahun di seluruh dunia.
"Distribusinya diprediksi terbanyak di Asia dan Afrika sekitar 4,7 juta jiwa dan Afrika 4,1 juta jiwa, sisanya di Australia, Eropa, Amerika,” tutur Kalsum.
Kalsum menjelaskan, strategi pengendalian resistensi antimikroba yang sudah dilakukan di Indonesia adalah dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman resistensi antimikroba, melakukan peningkatan pengetahuan, dan bukti ilmiah melalui surveilans. Saat ini, ada 20 rumah sakit yang terpilih untuk melakukan surveilans antimikroba yang terdiri dari rumah sakit umum pemerintah pusat dan RSUD.
Upaya selanjutnya pengurangan infeksi melalui sanitasi hygiene, optimalisasi pengawasan dan penerapan sanksi jika peredaran dan penggunaan antimikroba tidak sesuai standar, serta peningkatan investasi melalui penemuan obat, metode diagnostic, dan vaksin baru.
Dalam rencana aksi global tahun 2015, disusun dengan pendekatan multi sektor atau pendekatan One Health. Di dalamnya ada lima strategi utama bagaimana negara-negara dapat melakukan pengendalian AMR dan memitigasi dampaknya, yakni Peningkatan Kesadaran terhadap AMR, Surveilans, Pencegahan Infeksi, Penatagunaan Antimikroba, serta Riset dan Pengembangan.
Peternakan dan Perikanan Berbenah
Beberapa sektor yang rentan berisiko dan kerap disalahkan ketika terjadi resistensi antimikroba adalah perikanan dan Peternakan. Dalam paparannya, Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan TB Haeru Rahayu mengatakan, untuk bisa memelihara ikan, udang, dan komoditas akuatik lainnya dibutuhkan upaya untuk menjaga kesehatannya.
Sementara dalam program manajemen kesehatannya pembudidaya belum bisa lepas dari penggunaan obat, baik itu yang sifatnya herbal maupun yang sifatnya kimiawi. Salah satunya yakni masih digunakannya sediaan antimikrobial seperti beragam jenis antibiotik.
"Ini yang sedang kita coba kendalikan untuk penggunaannya supaya lebih bijak, supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,” katanya.
Ia melanjutkan, dampak penggunaan antimikroba yang tidak terkendali kemudian dilepas ke alam atau ke lingkungan maka ini bisa berpengaruh secara tidak langsung.
“Saya beserta jajaran terus memotivasi teman-teman, memotivasi pembudidaya untuk tetap bijak menggunakan antibiotik ketika memang hanya diperlukan saja dan sesuai kebutuhan,” ucap Haeru.
Pengendalian AMR di sektor peternakan juga perlu diperhatikan. Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin mengatakan, Kementan sudah mengeluarkan berbagai regulasi pengendalian di sektor kesehatan hewan.
Secara tegas pada UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 51 ayat 3 menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia. Selain itu, dalam Permentan 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada pasal 4 disebutkan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
Pihaknya juga telah melakukan surveilans pada populasi umum unggas broiler, survei di provinsi sumber produksi unggas broiler, dan pengembangan sistem surveilans AMR pada bakteri patogen unggas petelur.
“Perlu diperkuat pengawasan bersama. Pada rantai distribusi antimikroba dari produsen sampai dengan konsumen harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan antimikroba,” kata Nuryani.
Memperkuat Kerjasama Dalam Mengendalikan AMR
Berbanding terbalik dengan kecepatan berkembangnya AMR, riset dan penemuan jenis antimikroba baru dalam mengendalikan resistensi antimikroba ini berjalan lambat. Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Benyamin Sihombing mengatakan, dalam laporan tahun 2020, WHO mengidentifikasi dari 26 kandidat antibiotik yang sedang dalam pengembangan klinis untuk menghadapi 8 patogen prioritas dunia, yang ampuh untuk multidrug-resistant hanya dua.
“Padahal kita mau menargetkan 8 patogen tapi hanya 2 yang berhasil. Ini mengartikan bahwa kecepatan munculnya resistensi antimikroba itu jauh melebihi penemuan antibiotik baru yang ampuh,” ucap Benyamin.
Dr Paranietharan yang juga perwakilan WHO untuk Indonesia menuturkan, resistensi antimikroba adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang paling mendesak dan membutuhkan aksi yang dilaksanakan dengan segera. Respons berbasis One Health yang berkelanjutan dan mendorong keterlibatan semua sektor, yakni manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan, sangatlah penting untuk mengatasi ancaman ini.
Berbeda dengan pandemi Covid-19, AMR bukanlah krisis yang tidak terduga dan kita sudah tahu bagaimana cara mencegahnya. Kita harus meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi dan WASH (air, sanitasi, dan hygiene).
“Kita harus mempromosikan penggunaan antimikroba yang bertanggung jawab. Kita harus meningkatkan kapasitas laboratorium untuk surveilans. Dan kita harus memperkuat koordinasi lintas sektor maupun kerangka regulasi,” ujar Perwakilan WHO untuk Indonesia tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau FAO senantiasa mendukung pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuannya dalam mengendalikan AMR, sebagaimana tertuang dalam rencana aksi nasional.
“Kami berharap dapat bekerja sama dengan Anda semua untuk mempromosikan penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab dalam sistem pertanian pangan, melalui kebijakan dan edukasi publik yang efektif,” kata Rajendra Aryal, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste. (CR)