Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Penyakit Ternak | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SEKELUMIT REVIEW PENYAKIT TERNAK 2019

Peternak disarankan lebih meningkatkan manajemen pemeliharaan ternak, terutama di bidang biosekuriti, untuk mencegah penyakit. (Foto: Dok. Infovet)

Salah satu hambatan dalam industri peternakan khususnya sektor budidaya adalah keberadaan penyakit. Baik penyakit yang sifatnya infeksius maupun non-infeksius, semuanya bisa jadi biang keladi kerugian bagi peternak. Menarik untuk dicermati ragam penyakit yang menghampiri di tahun ini dan bagaimana prediksinya kedepan.

Perunggasan, sebagai industri terbesar di sektor peternakan di Indonesia tentunya yang paling menjadi sorotan. Tiap tahunnya, kejadian penyakit selalu terjadi dan jenisnya pun juga beragam, baik infeksius maupun non-infeksius.

Sebagai negara tropis, Indonesia memang menjadi tempat yang nyaman bagi berbagai jenis mikroorganisme patogen. Tentunya para stakeholder yang berkecimpung mau tidak mau, suka tidak suka harus berusaha untuk bisa survive dari hambatan ini.

Yang patut diingat adalah bahwa kejadian penyakit akan berhubungan dengan performa dan produktivitas. Kedua aspek itu tentu saja akan langsung terkait pada nilai keuntungan yang didapat. Jadi, siapa saja yang dapat mencegah terjadi penyakit di suatu peternakan, apapun peternakannya, sudah pasti akan mendapatkan keuntungan yang lebih baik.

Penyakit Unggas 2019
Larangan penggunaan AGP yang sudah berjalan hampir dua tahun mungkin masih sedikit terasa oleh peternak. Meskipun ada juga yang sudah dapat settingan terbaik dalam mengakali performa. Penyakit unggas utamanya broiler di 2019 ini masih bisa dibilang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Bisa dibilang penyakit “klasik” seperti Chronic Respiratory Disease (CRD), CRD kompleks, Newcastle Disease (ND) dan Kolibasilosis kerap kali masih menjadi wabah di suatu peternakan.

Penyakit-penyakit infeksius yang menyerang saluran pernapasan masih bisa dibilang mendominasi kejadian penyakit di Indonesia. Data dari tim Technical Education & Consultation (TEC) PT Medion, menunjukkan bahwa selama 2019... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2019. (CR)

KASUS PENYAKIT PENTING DI 2019 DAN PREDIKSINYA DI 2020

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Kejadian penyakit di 2019 pasca pencabutan AGP (Antibiotic Growth Promoter) di dalam pakan masih ditemukan tinggi, terutama untuk penyakit pernapasan dan pencernaan. Tahun ini benar-benar menjadi ujian berat bagi para pelaku insan perunggasan nasional, selain masalah tren harga LB (live bird) yang kerap berada di bawah HPP (harga pokok produksi), juga tantangan penyakit yang semakin kuat.

Berdasarkan pengalaman penulis, di sini akan dijelaskan review beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi sepanjang tahun 2019, baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Newcastle Diseases (ND)
Temuan kasus di lapangan untuk kejadian ND masih menjadi momok menakutkan dan penyebab kerugian utama pada ternak broiler dan layer. Seperti digambarkan dari data berikut pada 2019 ditemukan kejadian kasus ND sebesar 29%, terbanyak dibanding kasus lain. Data dihimpun dari Januari-Juli 2019 dengan total kasus penyakit sebanyak 357 laporan kasus, (sumber: Ceva 2019).

Grafik kematian kejadian ND pada broiler dimulai di umur 17 sudah ada peningkatan kematian dan puncaknya di umur 25 hari. Kerugian yang ditimbulkan dari ND selain kematian juga dari kualitas karkas yang rusak/merah dan kematian waktu tunggu di pemotongan.

Penyakit ND sudah sangat tidak asing bagi peternak, karena sudah sejak 1926 teridentifikasi ada di Indonesia dan virus ND yang bersirkulasi dikategorikan vvND (velogenic viscerotropic Newcastle Disease). Virus ini juga bisa menyerang mulai unggas usia muda hingga masa produksi dengan gejala klinis mulai munculnya kematian yang sering pada ayam muda atau mengakibatkan penurunan produksi telur pada layer.

Gejala yang muncul juga tergantung dari kekebalan ayam dan biasanya tergantung usia tantangan, kepadatan virus yang menantang dan jenis virus ND-nya. Berdasarkan publikasi ilmiah miller et all. (2014), menyebutkan bahwa virus ND yang bersirkulasi di Indonesia didominasi sub genotipe VIIi dan VIIh yang juga teridentifikasi di beberapa negara Asia (Malaysia, China, Kamboja dan Pakistan). Virus sub genotipe VIIi ini masih dekat kekerabatannya dengan virus ND yang bersirkulasi pada 1983-1990.

Virus ND genotipe VII mampu bereplikasi, mengakibatkan reaksi peradangan dan respon cytokine yang hebat di jaringan limfoid (limpa, timus dan bursa) dibandingkan genotipe V (herts 33) berdasarkan laporan Z. Hu et all. (2015).

Jika infeksi terjadi di masa produksi, “Cytokine storm” yang lebih hebat ini akan mengakibatkan ayam yang terinfeksi menunjukkan gejala... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2019).

Drh Sumarno
Head of AHS Central & Outer Island, PT Sierad Produce Tbk

DINAMIKA PENYAKIT UNGGAS DI INDONESIA

Manajemen kesehatan pada peternakan harus kombinasi antara biosekuriti, vaksinasi dan medikasi. (Foto: Dok. Infovet)

Dapat diamati insidensi dari emerging disease pada hewan ternak dan manusia terus meningkat, hal ini utamanya disebabkan oleh meningkatnya kontak antara hewan liar, hewan ternak dan manusia (Astill, 2018). Pun di Indonesia, beberapa penyakit yang sudah ada sejak beberapa dekade lalu bisa tetap dijumpai sekarang dengan tingkat insidensi yang semakin meningkat, sedangkan beberapa penyakit tetap menjadi endemik hingga saat ini. Pola berulang cenderung terjadi dan persistensi, tren penyakit yang paling banyak ditemui cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun.

Iklim dan Globalisasi sebagai Faktor Utama Predisposisi
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dimana terbagi menjadi dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan yang ditandai dengan tingginya curah hujan menciptakan iklim yang kondusif termasuk bagi penyakit Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI) dan Infectious Bursal Disease (IBD). Temperatur dan suhu rendah mengakibatkan virus bertahan lebih lama dan meningkatkan resiko penyakit, sehingga pengendalian penyakit lebih sulit dilakukan (Mitchell, 2017).

Suhu yang rendah pun mengakibatkan ayam cenderung makan lebih banyak, minum lebih sedikit dan cenderung berkelompok untuk menghangatkan tubuhnya, dengan kata lain jarak yang dekat akan meningkatkan resiko transmisi penyakit.

Sebaliknya, suhu yang hangat akan menyebabkan virus sulit untuk bertahan, namun level kelembaban yang tinggi dapat memperparah masalah pernapasan dan penyakit enterik. Ayam pun cenderung untuk lebih sedikit makan dan lebih sering minum. Suhu yang ekstrem, baik dingin atau panas akan menyebabkan ayam stres, meningkatkan sensitivitas terhadap penyakit dan mempengaruhi performa produksi (Mitchell, 2017).

Perubahan iklim secara global turut mempengaruhi penyebaran suatu penyakit, seperti contohnya perubahan rute migrasi burung akibat berkurangnya sumber makanan dan air di rute normal sebelumnya. Pertemuan jenis burung yang berbeda diakibatkan perubahan migrasi ini pun menyebabkan resiko transmisi penyakit meningkat, contohnya dalam kasus penyebaran Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI).

Namun di luar itu semua, Abolnik (2017) memandang jika penyebaran penyakit lebih disebabkan oleh faktor globalisasi, yaitu meningkatnya permintaan makanan yang diikuti dengan intensifikasi sistem produksi dan meningkatnya impor dan ekspor yang mengakibatkan seringkali lalu lintas menjadi tidak terkontrol.

Penyakit Viral
Pembahasan tren penyakit yang terjadi saat ini dan tahun mendatang, dapat dimulai dengan penyakit yang disebabkan oleh virus. Seringkali digolongkan sebagai... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2019).

Oleh: Drh Diptya Cinantya
Technical and Marketing Manager Hipra Indonesia

BAGAIMANA KONDISI PENYAKIT DI TAHUN DEPAN?

Penyakit unggas di tahun depan akan tetap begitu-begitu saja apabila tidak ada peningkatan dari segi pemeliharaan. (Foto: Dok. Infovet)

Di tahun depan, sepertinya beberapa penyakit pernapasan diprediksi masih akan terjadi di Indonesia. Namun begitu, perlu kiranya dilakukan peningkatan terutama dalam upaya pencegahan.

Bicara prediksi, tentunya tidak akan 100% akurat. Semua masih tergantung pada yang “di atas” juga. Namun begitu, tidak ada salahnya memperkirakan dan sedikit meramal apa yang akan terjadi di tahun depan, sambil mengambil ancang-ancang agar lebih siap.

AI Sedang Kurang Hits
Memang jika dilihat lebih lanjut persoalan wabah AI (Avian influenza) di Indonesia tahun ini, sepertinya AI bisa dibilang kurang hits. Namun hal tersebut bukan berarti peternak bisa santai, terutama dalam pemeliharaan. Semakin zaman berubah, bibit-bibit penyakit juga akan berubah menyesuaikan diri dalam upaya bertahan hidup layaknya manusia. Oleh karena itu, upaya pencegahan perlu dilakukan secara maksimal, berkesinambungan dan konsisten.

Seperti disampaikan oleh National Laboratory Advisor FAO ECTAD Indonesia, Drh Nining Hartiningsih. Menurutnya, sepanjang 2019 ini kejadian AI di Indonesia bisa dibilang berkurang. Kendati demikian, tidak berarti peternak lengah dengan menurunnya wabah yang terjadi. Kemungkinan, kata dia, wabah AI berkurang karena seleksi alam, utamanya musim.

“Virus AI kemungkinan kurang bisa bertahan dengan musim panas yang berjalan sepanjang tahun ini, walaupun hujan tetapi tidak seperti tahun lalu, relatif lebih panas suhu di tahun ini,” kata Nining.

Tidak lelah mengingatkan, Nining mengatakan bahwa pekerjaannya sebagai peneliti tetap berjalan. Sejak 2011 lalu, Nining beserta timnya merintis sistem bernama IVM (Influenza Virus Monitoring). Sistem ini merupakan program yang melibatkan semua stakeholder yang berkecimpung di dunia perunggasan. Tujuannya adalah untuk memonitoring, mengetahui dan mempelajari sifat, karakterisitik, bahkan genetik dari virus AI di Indonesia.

Sejak AI mewabah pada 2003 silam, kini AI sudah berkembang sedemikian cepat. Bukan hanya H5N1 beserta berbagai strainnya, kini H9N2 juga menjadi momok menakutkan bagi peternak unggas Indonesia. Vaksinasi merupakan salah satu upaya dalam pengendaliannya.

“Masih banyak yang harus diketahui tentang AI dan saya rasa ketika penyakit ini sedang... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2019. (CR)

TIGA PILAR TERJADINYA PENYAKIT

Peternakan ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Dalam suatu populasi, disadari atau tidak, hewan ternak dalam hal ini ayam yang dipelihara, dalam hitungan detik harus selalu berinteraksi dengan sejumlah mikroorganisme di sekelilingnya dalam suatu lingkungan tertentu (mileu) yang menopang keduanya. Atribut yang terkait dengan komponen lingkungan itu sendiri seperti kelembaban dan temperatur tentu saja dapat mempengaruhi serta memodulasi interaksi yang terjadi diantara keduanya.

Yang jelas, dalam kondisi normal, interaksi yang terjadi adalah interaksi yang harmonis, artinya terjadi keseimbangan antara daya tahan tubuh ayam dengan kemampuan menginfeksi dari mikroorganisme yang ada. Interaksi yang dimaksud dapat dilihat melalui ilustrasi gambar 1 berikut:

Gambar 1: Model interaksi antara hewan ternak dengan mikroorganisme di sekelilingnya dalam lingkungan tertentu. Dalam kondisi normal, semuanya dalam keadaan harmoni atau equilibrium. Hewan ternak berada dalam kondisi sehat, mampu mengatasi serangan dari mikroorganisme.

Selanjutnya, dengan adanya karakter "dinamika" yang merupakan suatu ciri dari kehidupan, maka kondisi harmoni tersebut di atas pada kenyataannya tidaklah kekal. Dengan berjalannya waktu, maka akan ada perubahan-perubahan yang kadang kala menguntungkan atau bahkan dapat merugikan kondisi hewan ternak yang dipelihara. Jika ini yang terjadi, maka hewan ternak mungkin saja akan sakit atau akan menunjukkan penampilan (performance) yang tidak memuaskan dengan derajat yang bervariasi.

Ada beberapa kondisi yang dapat mengubah keseimbangan yang terjadi, yaitu:

a. Terjadinya perubahan pada hewan ternak sendiri, misalnya menurunnya kondisi tubuh secara umum dan/atau meningkatnya tantangan mikroorganisme yang ada di sekeliling hewan ternak yang dipelihara. Menurunnya kondisi tubuh hewan ternak secara umum bisa disebabkan oleh berkurangnya kualitas dan kuantitas nutrisi yang diperoleh, tingginya faktor stres atau adanya faktor-faktor yang dapat menekan respon pertahanan tubuh hewan ternak secara umum (adanya faktor imunosupresi). Di lain pihak, meningkatnya tantangan mikroorganisme di sekeliling hewan ternak mungkin disebabkan oleh pelaksanaan konsep biosekuriti yang tidak konsisten, waktu istirahat kandang yang minim, atau tingginya tingkat kegagalan program vaksinasi maupun medikasi yang ada. Yang jelas, perubahan pada sisi mikroorganisme lingkungan bisa dari aspek jumlah (meningkatnya jenis atau kepadatan mikroorganisme patogen) atau aspek kualitas (meningkatnya keganasan mikroorganisme yang bersangkutan). Gambar 2 merupakan ilustrasi dari apa yang baru dijelaskan.

Gambar 2: Kondisi lingkungan tidak berubah, akan tetapi terjadi perubahan pada kondisi hewan ternak dan/atau pada mikroorganisme yang ada di sekeliling hewan ternak yang bersangkutan. Ketidakseimbangan terjadi jika kondisi tubuh hewan ternak menurun dan/atau kondisi mikroorganisme di sekelilingnya meningkat (dari aspek kuantitas atau kualitas).

b. Kondisi pada hewan ternak ataupun mikroorganisme yang ada di sekelilingnya tidak berubah, akan tetapi terjadi perubahan pada lingkungan yang mendukungnya. Perubahan pada kondisi lingkungan bisa berupa perubahan pada temperatur, kelembaban atau terjadinya polusi dari lingkungan sekitar hewan ternak. Yang jelas, perubahan yang terjadi justru akan memberikan kondisi yang sulit untuk hewan ternak atau mungkin memberikan kondisi yang menguntungkan bagi mikroorganisme yang ada di sekitar hewan ternak yang dipelihara. Dengan kata lain, terjadinya perubahan pada kondisi lingkungan akan memberikan efek negatif pada hewan ternak, tapi di lain pihak mungkin akan memberikan efek positif pada mikroorganisme lingkungan. Pada keadaan ini keseimbangan tentu saja akan terganggu (lihat gambar 3).

Gambar 3: Kondisi pada hewan ternak tidak berubah, akan tetapi kondisi lingkungan berubah dan perubahan tersebut memberikan efek positif pada mikroorganisme yang ada di sekeliling hewan ternak yang dipelihara.

Dari uraian di atas, sangatlah jelas bahwa terjadinya ledakan kasus penyakit dalam lingkungan suatu peternakan bukanlah suatu kejadian yang sifatnya revolutif atau suatu kejadian yang dramatis, akan tetapi lebih merupakan suatu proses yang sifatnya evolutif. Oleh sebab itu, ada tiga hal mendasar yang saling terkait dalam usaha mencegah terjadinya kasus-kasus penyakit infeksius di dalam lingkungan peternakan secara sistematis, yaitu:

1. Usaha-usaha untuk mengurangi jenis dan jumlah mikroorganisme (terutama yang patogen) di sekeliling hewan ternak yang ada (aspek mikroorganisme).
2. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kontak antara hewan ternak yang dipelihara dengan mikroorganisme patogen (aspek lingkungan).
3. Usaha-usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuh hewan ternak yang dipelihara (aspek hewan ternak).

Aspek Mikroorganisme (Patogen)
Yang jelas, untuk mengurangi jumlah maupun jenis mikroorganisme patogen yang ada di sekeliling hewan ternak, maka pertama-tama harus mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasinya secara tepat. Jika identifikasi sudah dapat dilakukan, maka dengan mudah akan mengetahui aspek-aspek epidemiologisnya (cara penyebaran, kecepatan menyebar, pola kematian hewan ternak, tanda-tanda klinis yang paling dominan, dll), serta aspek patogenesisnya (perjalanan penyakit di dalam tubuh hewan ternak).

Identifikasi mikroorganisme patogen dapat dilakukan dengan menganalisa data yang berasal dari anamnese (sejarah penyakit dalam suatu lingkungan peternakan), pengamatan gejala klinis, pengamatan bedah bangkai atau bahkan dengan bantuan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium.

Selanjutnya, dengan mengetahui jenis mikroorganisme yang ada, maka dapat diketahui model penularannya dari sutu ternak ke ternak lainnya, atau bahkan dari suatu peternakan ke peternakan lainnya. Sampai pada tahap ini sebenarnya sudah dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya, terutama pada titik-titik tertentu, dimana merupakan titik atau fase kunci dari tahapan penularan suatu mikroorganisme di alam.

Dengan diidentifikasinya mikroorganisme patogen di sekeliling hewan ternak yang dipelihara, dapat diketahui pula media apa yang digunakan oleh mikroorganisme patogen tersebut untuk menyebar, apakah feses (kotoran hewan ternak), percikan batuk, air liur atau bahkan ketombe bulu (pada ternak unggas). Bahan-bahan ini tentu akan mendapatkan perlakuan khusus, agar penyebaran mikroorganisme patogen dapat dicegah sedini mungkin.

Pada sisi lain, dengan diidentifikasinya mikroorganisme patogen yang ada, maka kegagalan dalam penggunaan program dan jenis desinfektan juga dapat dikurangi. Sebagai contoh, desinfektan dari kelompok fenol atau kresol tidak mempunyai potensi yang baik dalam membunuh kuman-kuman yang dapat membentuk spora (misalnya Clostridium).

Aspek Lingkungan (Mileu)
Suatu kasus penyakit di dalam lingkungan suatu peternakan bisa saja terjadi akibat hewan ternak terinduksi oleh mikroorganisme yang mempunyai strain atau jenis yang baru yang masuk ke dalam lingkungan peternakan yang bersangkutan. Ini berarti telah terjadi perubahan pada kondisi lingkungan peternakan tersebut. Hewan ternak menjadi sakit karena tidak atau belum mempunyai kekebalan yang cukup, karena belum pernah terinduksi pada fase-fase sebelumnya.

Oleh sebab itu, dalam aspek lingkungan ini tercakup usaha-usaha dalam mengontrol lalu-lintas kendaraan (vehicles), peralatan-peralatan peternakan (fomites), atau bahkan karyawan yang sebenarnya dapat menjadi media tranportasi suatu mikroorganisme untuk masuk ke dalam lingkungan suatu flok atau peternakan.

Melaksanakan sanitasi yang baik dan mengurangi frekuensi lalu-lintas kendaraan, peralatan peternakan dan karyawan tentu saja dapat mencegah terjadinya kontak antara hewan ternak dengan mikroorganisme patogen yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, keberadaan hewan liar (ferret animals) di dalam lingkungan suatu peternakan jelas dapat memperbesar peluang terkontaminasinya lingkungan peternakan yang bersangkutan dengan mikroorganisme patogen dengan strain atau bahkan jenis yang baru. Model untuk mengontrol hewan-hewan liar yang mungkin dapat menjadi perantara penularan suatu mikroorganisme patogen harus disesuaikan dengan jenis hewan-hewan liar yang ada, apakah berupa hewan pengerat (tikus), anjing liar, pelbagai jenis burung, atau bahkan serangga (insekta).

Masuknya mikroorganisme patogen di dalam suatu lingkungan peternakan bisa juga melalui bahan-bahan pakan (atau pakan ternak) atau air, yang digunakan baik sebagai air minum atau untuk keperluan lainnya. Untuk mencegah terjadinya induksi oleh mikroorganisme patogen ke dalam suatu peternakan melalui cara ini, maka sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pakan dan sumber-sumber air secara rutin, sehingga tercemarnya lingkungan peternakan dapat dicegah sedini mungkin.

Aspek Hewan Ternak (Induk Semang)
Hewan ternak relatif tahan dalam menghadapi tantangan bibit penyakit bila kondisi tubuhnya baik. Kondisi ini dapat tercapai bila keberadaan energi dan bahan-bahan nutrisi di dalam pakan dalam keadaan cukup. Hewan ternak yang mengalami defisiensi nutrisi lebih mudah terserang penyakit.

Kondisi tubuh hewan ternak juga dapat ditingkatkan melalui program-program vaksinasi yang efektif dan tepat waktu, sehingga dapat menstimulasi terbentuknya kekebalan yang sesuai dan cukup, terutama pada fase-fase rawan selama kehidupan hewan ternak yang bersangkutan.

Dalam kondisi tertentu, penggunaan preparat antibiotika dengan tujuan untuk mengurangi peluang terjadinya kasus-kasus infeksius tentu saja sangat membantu memperbaiki kondisi tubuh hewan ternak secara umum. Preparat antibiotika yang dipakai tentu saja harus disesuaikan dengan mikroorganisme yang ada.

Selanjutnya, kondisi tubuh hewan ternak dapat saja turun karena tingginya faktor stres yang diperoleh. Penanganan hewan ternak yang kasar, program-program vaksinasi yang terlalu sering, dan terlalu padatnya hewan ternak dalam suatu lingkungan peternakan jelas dapat menstimulasi tingginya faktor stres. Oleh sebab itu, untuk mengurangi tingginya faktor-faktor stres yang berhubungan dengan tata laksana peternakan, maka sangat dianjurkan setiap peternakan menerapkan tata laksana yang baku dengan standar operasional yang jelas.

Kondisi tubuh hewan ternak dapat juga terganggu dengan adanya faktor-faktor imunosupresi (faktor yang dapat menekan respon pertahanan tubuh). Hal ini tentu saja dapat dicegah jika mampu mengidentifikasi faktor-faktor imunosupresi yang ada, apakah berupa infeksi virus yang subklinis, adanya kontaminasi mikotoksin dalam pakan, atau kondisi-kondisi lainnya.

Akhirnya, pemilihan jenis atau strain hewan ternak yang relatif tahan/resistan atau sesuai dengan kondisi lingkungan peternakan setempat juga sangat membantu mencegah terjadinya kasus-kasus infeksius yang mungkin terjadi. ***

Oleh: Tony Unandar
(Private Poultry Farm Consultant)

FAKTOR RISIKO KEMATIAN ANAK KAMBING DAN DOMBA

Banyak faktor yang menyebabkan angka kematian cempe tinggi. (Foto: Dok. pribadi)

Kuliner dengan bahan utama produk olahan kambing atau domba cukup digemari di Indonesia, seperti sate, gulai, tengkleng dan lain sebagainya. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, beberapa tahun terakhir, dikenal menu sate kambing muda berumur kurang dari lima bulan. Konsumsi produk asal kambing dan domba yang semakin digemari masyarakat memberi peluang masyarakat untuk beternak, budidaya dan mengembangkan breeding kambing dan domba, selain kebutuhan nasional yang bersifat rutin seperti Idul Adha. Informasi terkini bahwa terbuka peluang ekspor domba ke Arab Saudi untuk momen Idul Adha dalam jumlah besar.

Keberhasilan pengembangan breeding kambing dan domba dipengaruhi banyak hal, yaitu ketersediaan pakan, bakalan, lingkungan, penyakit, harga, manajemen dan lain sebagainya. Sementara perkembangan populasi sangat dipengaruhi faktor-faktor terkait perfoma reproduksi, yakni angka kebuntingan, jarak kelahiran, jumlah anak tiap kelahiran (litter size), rasio jenis kelamin anak (cempe) dan persentase cempe yang berhasil dilakukan penyapihan.

Banyaknya cempe yang berhasil disapih juga dipengaruhi beberapa faktor. Pada kesempatan ini penulis akan mengupas tentang faktor risiko yang berkaitan dengan kematian anak kambing dan domba. Ini menjadi penelitian menarik yang dilakukan oleh L. Sharif, J. Obeidat dan F. Al-Ani di peternakan kambing dan domba di Yordania pada 2005 silam.

Berdasarkan informasi dalam hasil karya tulisnya, kematian anak domba yang baru lahir (perinatal) di Afrika Selatan (1993) berkisar antara 10-12%, di Australia (1974) sebesar 5-23% yang terjadi pada 80% cempe umur beberapa hari pertama setelah lahir. Penyebab kematian diduga karena faktor iklim, pakan, manajemen, agen penyakit, genetik dan beberapa faktor lain.

Data pada 2001 dari 100 kandang kambing dan domba yang diteliti berjumlah 18.853 ekor dengan rata-rata populasi kandang 45-1.200 ekor, dengan populasi betina dewasa 14.427 ekor, kejadian kematian cempe terjadi pada 50 kandang dengan angka kematian sebesar 1%. Seluruh kandang dibagi menjadi dua kategori, yaitu kandang kasus dengan kepadatan rata-rata 235 ekor dan kandang non-kasus dengan kepadatan 142 ekor. Kejadian kematian umur kurang dari dua hari di kandang kasus mencapai 4% dan kematian hingga umur 28 hari (6%). Pada kandang non-kasus masing-masing angka kematian 0,03% dan 0,4%.

Ini menunjukan bahwa kepadatan kandang... (selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2019)

Drh Joko Susilo MSc APVet
Medik Veteriner, Balai Veteriner Lampung
Koresponden Infovet daerah Lampung

AFRICAN SWINE FEVER, ANCAMAN BAGI PETERNAKAN BABI DI INDONESIA



Beberapa waktu belakangan ini beberapa Negara di Asia dibuat ketar-ketir dengan penyakit African Swine Fever (ASF). Indonesia termasuk yang ikut siaga perihal datangnya penyakit ini, lalu apakah sebenarnya virus ASF itu?

Sejarah ASF
Pertama kalinya ASF dilaporkan terjadi di Montgomery, Kenya, Afrika pada tahun 1921. Di Kenya, ASF sukses memakan banyak korban babi yang diimpor dari Eropa. Kemudian kejadian ASF di luar Afrika dilaporkan terjadi di Portugal pada tahun 1957, tingkat kematian yang disebabkan oleh ASF pada saat itu mencapai 100%. Tiga tahun kemudian, ASF menyebar sampai ke Semenanjung Iberia (Spanyol, Portugal, dll) sampai kurang lebih 20 tahun Spanyol dan Portugal baru bisa mengeradikasi penyakit tersebut pada 1994 dan 1995. Tentunya dengan mewabahnya ASF di sana pada waktu itu kerugian ekonomi yang diderita amatlah besar.

Agen Penyakit
ASF merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dari family Asfaviridae yang memiliki double stranded DNA. Virus ini hanya menyerang babi dan akan mengakibatkan demam yang disertai dengan perdarahan pada berbagai organ. Tingkat kematian yang dilaporkan pada babi domestik sangat tinggi bahkan mencapai 100%.

Secara patologi anatomis, ASF hampir menyerupai dengan Hog Cholera. Perbedaannya, pada penyakit Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) akan menujukkan gejala khas berupa ginjal yang berubah bentuk seperti telur kalkun dan terjadi lesion button ulcer pada usus. Sedangkan babi yang mati akibat ASF secara patologi anatomis akan menunjukkan kelainan berupa perdarahan hebat pada limpa hingga berwarna kehitaman, dan konsistensi limpa akan rapuh. Virus ASF menyerang secara akut, kematian akan terjadi kurang lebih satu minggu setelah infeksi, bahkan bisa kurang.

Inang alami dari virus ini adalah babi hutan, yang lebih celaka lagi virus ini dapat menular melalui vektor berupa caplak dari genus Ornithodoros yang ada pada babi. Virus ASF juga diketahui sebagai satu-satunya virus DNA utas ganda yang dapat menyebar melalui gigitan vektor. 

Jika pada Hog Cholera sudah tersedia vaksinnya, ASF hingga saat ini belum juga ditemukan vaksinnya. Cara untuk mendeteksi ASF hingga kini adalah dengan menempatkan hewan sentinel (hewan yang sudah divaksin CSF) pada suatu populasi. Ketika ASF menyerang dan babi yang divaksin CSF mati, dapat menjadi bantuan dalam mengindikasikan penyebab kematian babi tersebut. Selain itu, apabila terjadi kematian babi secara mendadak juga direkomendasikan untuk mengambil sampel dan dilakukan uji ELISA. Sampel yang diambil bisa berupa darah maupun organ tertentu seperti limpa dan usus.

Dengan tingkat penularan yang cepat disertai morbiditas dan mortalitas tinggi (hingga 100%) amatlah wajar jika Indonesia mengkhawatirkan penyakit ini. Virus dapat menyebar dan menginfeksi inang dengan cara kontak langsung. Penyebaran virus ASF antar Negara dengan laut sebagai barrier alami adalah melalui swill feeding seperti layaknya PMK. Swill feeding adalah tindakan pemberian ransum yang mengandung bahan baku berupa daging atau organ atau derivat dari hewan yang diberi pakan. Misalnya ransum untuk babi dilarang menggunakan derivat yang berasal dari babi. Belum lagi penularan secara tidak langsung melalui produk olahan babi yang terinfeksi oleh ASF serta kontaminasi virus yang terbawa pada sapronak dan sarana transportasi. Selain itu, virus ASF juga sangat tahan berada di luar hospesnya, sehingga sulit untuk dieradikasi keberadaannya di alam.

Mengapa Indonesia Harus Waspada?
Babi memang bukan ternak utama yang dikonsumsi oleh Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam. Namun begitu, babi berkontribusi tinggi pada devisa Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor babi ternak Indonesia ke Singapura pada Semester I 2019 tercatat 14.893,3 ton atau tumbuh dari 13.194,5 ton. Sedangkan data Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2017, total ekspor babi ternak mencapai 28 ribu ton senilai US$ 59,9 juta.

Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan bahwa Indonesia masih bisa unjuk gigi dalam meningkatkan nilai ekspor babinya ke Singapura. Namun begitu, Indonesia harus bisa mengamankan diri dari ancaman penyakit seperti CSF dan ASF.

“Makanya kami sangat waspada dengan adanya ASF ini, Timor Leste sudah resmi terjangkit ASF, oleh karenanya Indonesia benar-benar harus lebih waspada dan memaksimalkan usaha agar tidak tertular,” kata Fadjar. 

Terkait kabar kematian ribuan ekor babi di Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu, Fadjar mengatakan, hal tersebut bukanlah akibat ASF, melainkan CSF. “Sudah dikonfirmasi bahwa itu Hog Cholera, bukan ASF, jadi tolong jangan bikin rumor-rumor yang tidak jelas,” ucap dia.

Dalam rapat koordinasi Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang digelar di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, pemerintah sudah menyiapkan langkah strategis lintas sektoral, yakni pedoman Kesiapsiagaan Darurat Veteriner ASF (Kiatvetindo ASF). Terdapat empat tahapan penanggulangan, yaitu tahap investigasi, tahap siaga, tahap operasional dan tahap pemulihan. Hal lain adalah sosialisasi terkait ASF di wilayah-wilayah risiko tinggi, membuat bahan komunikasi, informasi dan edukasi untuk di pasang di bandara, pemantauan dan respon terhadap kasus kematian babi yang dilaporkan melalui iSikhnas, membuat penilaian risiko masuknya ASF ke Indonesia sehingga membantu meningkatkan kewaspadaan.

Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Agus Sunanto, menegaskan bahwa Badan Karantina Pertanian (Barantan) akan turut melakukan upaya antisipatif. Hal yang dilakukan diantaranya memperketat serta meningkatkan kewaspadaan pengawasan karantina di berbagai tempat pemasukan negara.

Beberapa kali Barantan berhasil menggagalkan masuknya komoditas yang berpotensi membawa virus ASF, seperti daging babi, dendeng, sosis, usus dan olahan babi lainnya. Sebagai contoh, Karantina Pertanian Bandara Intenasional Soekarno Hatta sepanjang 2019 hingga September kemarin telah menyita komoditas petensial ASF sebanyak 225,28 kg yang berasal dari barang bawaan penumpang.

Selain melakukan pengawasan, Agus menjelaskan pihaknya merangkul semua instansi, baik di bandara, pelabuhan dan poslintas batas negara, seperti Bea dan Cukai, Imigrasi, unsur airlines, agen travel serta dinas peternakan di daerah. Menurut Agus, Kementan telah menghitung potensi kerugian kematian akibat ASF. Apabila dihitung 30% saja populasi terdampak, maka kerugian peternakan babi dapat mencapai Rp 7,6 triliun. (CR)

Negara-negara di Asia yang Terjangkit Wabah ASF

Negara
Terjangkit
Estimasi Populasi Babi
China
Agustus 2018
441.000.000
Monggolia
Januari 2019
50.000
Vietnam
Februari 2019
27.000.000
Korea Utara
April 2019
3.000.000
Kamboja
April 2019
2.000.000
Laos
Juni 2019
4.000.000
Myanmar
Agustus 2019
18.000.000
Filipina
September 2019
12.500.000
Korea Selatan
September 2019
11.000.000
Timor Leste
September 2019
400.000
Populasi Terancam
518.950.000









Berbagai sumber.

DETEKSI MUTASI PADA GEN bFXI, PENYEBAB PENYAKIT HEMOFILIA PADA SAPI

Untuk mencegah penyakit hemofilia pada sapi penting melakukan deteksi mutasi gen bFXI pada sapi calon pejantan dan calon induk. (Foto: Dok. Infovet)

Hemofilia merupakan salah satu penyakit kelainan genetik yang dapat diderita oleh manusia dan beberapa spesies hewan. Kelainan genetik ini menyebabkan defisiensi gen faktor tertentu yang dapat menentukan jenis hemofilia.

Hemofilia tipe A disebabkan oleh defisiensi faktor VIII (antihemophilic factor) yang menjadi penyebab paling umum hemofilia pada anjing, kucing, serta beberapa spesies kuda dan sapi. Hemofilia tipe A muncul dari mutasi spontan pada gen faktor VIII yang terletak pada kromosom X.

Sedangkan hemofilia tipe B disebabkan oleh defisiensi faktor IX (chrismast factor) yaitu kelainan hemoragik yang berhubungan dengan kromosom X, mirip dengan hemofilia tipe A. Kelainan ini menyerang terutama pada hewan dengan jenis kelamin jantan. Hemofilia tipe B bukan penyebab umum seperti hemofilia tipe A, namun pada kasus yang parah dapat menyebabkan kematian pada anak anjing dan kucing.

Kemudian hemofilia tipe C terjadi akibat defisiensi faktor XI (plasma thromboplastin antecedent). Kasus ini jarang terjadi dan hanya terekspresi pada spesies hewan tertentu, seperti jenis anjing Springer Spaniel, Great Pyrenees, Weimaraner dan Kerry Blue, kemudian sapi dengan jenis Friesian Holstein (FH). Cara pewarisan penyakit ini bersifat autosomal, sehingga dapat berpengaruh pada semua jenis kelamin, namun belum diketahui secara pasti apakah gen tersebut bersifat dominan atau resesif (Eclinpath 2013).

Kasus hemofilia pada sapi pertama kali dilaporkan pada tahun 1969 menyerang sapi FH di Amerika Serikat. Saat ini diketahui bahwa penyakit hemofilia pada sapi disebabkan karena terjadi kelainan genetik terutama pada gen bovine Deficiency Factor XI (bFXI). Gen bFXI berfungsi untuk menghasilkan protein serine protease factor XI (thromboplastin) yang penting untuk proses pembekuan darah. Gen bFXI pada sapi terletak di kromosom 27 dengan panjang 19.150 pasang basa (pb), serta terdiri dari 14 intron dan 15 ekson.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa terjadi mutasi insersi sepanjang 76 pb di bagian ekson 12 dari gen bFXI (Marron et al, 2004; Meydan et al, 2009; Eydivandi et al, 2011) seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Insersi basa sepanjang 76 pb diposisi antara basa ke 9401 dan 9402 pada intron 12 gen bFXI. Terdapat sekuen insersi spesifik (tanda garis bawah) yang sama seperti sekuen normal  (Sumber: GenBank: AH013749.2).

Mutasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya beberapa penyakit pada sapi, antara lain hemofilia dan gangguan reproduksi (Ghanem et al, 2005). Sapi yang normal bergenotip DD dan sapi yang carrier bergenotip DI. Sedangkan sapi yang bergenotip II merupakan sapi dengan kelainan genetik (mutan). Ketiga tipe genotip tersebut dapat diidentifikasi dengan mudah menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil PCR pada gen bFXI menunjukkan tiga tipe genotip DD (normal), DI (carrier) dan II (mutant). M: marker DNA 100 bp. (Sumber: Dr. P.A. Gentry dalam Marron et al, 2004).

Menurut Meydan et al. (2009), hewan penderita hemofilia tipe C masih dapat bertahan hidup hingga bertahun-tahun tanpa gejala klinis yang jelas, sedangkan pada sapi carrier terlihat gejala hemofilia ringan (Khade et al. 2016). Gejala klinis hemofilia tipe C pada sapi berupa perdarahan yang timbul karena trauma atau pembedahan, terkadang terjadi perdarahan spontan. Pada beberapa kasus, perdarahan terjadi hingga empat hari sejak prosedur pembedahan.

Pada kondisi faktor XI yang mengalami defisiensi, koagulasi darah tidak disertai dengan thrombin cukup. Thrombin berfungsi memperkuat jalur aktivasi faktor XI, namun dalam jumlah kecil tidak cukup untuk mengaktifkan inhibitor fibrinolitik atau tissue factor pathway inhibitor (TAFI). Hal ini mengakibatkan fibrinolisis dari koagulan yang awalnya terbentuk, sehingga menyebabkan perdarahan terjadi selama beberapa hari (Eclinpath 2013).

Selain itu, pada sapi carrier yang sedang bunting gejala klinis dapat berupa abortus dan mumifikasi fetus. Sapi mutan dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun namun disertai dengan perdarahan pada tali pusar, mudah sakit (morbiditas) dan hidung berdarah atau epistaxis (Gambar 3 A). Pada sapi mutan dan carrier dapat terjadi anemia, prevalensi kawin berulang yang tinggi, pneumonia, mastitis, metritis, folikel ovarium mengecil, proses luteolisis lambat dan kadar estradiol saat ovulasi rendah (Liptrap et al, 1995; Kumar et al, 2011, Meydan et al. 2009). Penelitian Moritomo et al. (2008) melaporkan kajian patologi-anatomi sapi mutan bergenotipe heterozigot berupa kebengkakan pada rahang bawah, leher dan dada (Gambar 3 B). Setelah dilakukan pembedahan, didapatkan pendarahan yang masif di daerah periesofageal yang meluas ke rongga dada (Gambar 3 C). Selain itu, organ parenkim seperti hati dan ginjal juga berubah warna yang menunjukkan bahwa hewan menderita anemia.

Gambar 3. Gejala klinis sapi yang mengalami hemophilia tipe C: A. Epistaxis akibat penyakit hemofilia pada sapi (Sumber: Areshkumar, 2019). B. Adanya kebengkakan di rahang bawah, leher dan dada pada sapi mutant. C. Perdarahan subkutan (hematoma) pada sapi mutant di daerah periesofageal setelah dilakukan pembedahan (Sumber: Moritomo et al. 2008).

Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit hemofilia pada sapi adalah dengan deteksi mutasi gen bFXI pada sapi calon pejantan (stud) dan calon induk (heifer). Selain itu, penerapan manajemen recording yang baik juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya mutasi pada gen bFXI akibat perkawinan inbreeding dalam waktu yang lama.

Hasil penelitian Siswanti et al. (2014), melaporkan bahwa tidak ditemukan adanya mutasi pada gen bFXI sapi Bali yang berasal dari sejumlah pusat pembibitan di Indonesia. Hal itu dapat disebabkan karena pusat pembibitan tersebut sudah melakukan proses seleksi ternak dan manajemen recording yang baik. Pemberian plasma segar, plasma segar-beku, atau cryosupernatant dengan infus secara intravena juga dapat dilakukan terhadap sapi penderita hemofilia tipe C sebagai salah satu upaya perawatan pada sapi hemofilia (Eclinpath 2013). ***

Widya Pintaka Bayu Putra MSc & Drh Mukh. Fajar Nasrulloh
Pusat Penelitian Bioteknologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer