Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas
Veteriner yang ditandatangani Presiden Jokowi 20 Januari 2017, menjadi angin
segar bagi dokter hewan profesional dalam memiliki kewenangan penuh menetapkan
kebijakan tentang kesehatan hewan. Benarkah?
Kendati
demikian, kebijakan tersebut belum diimplementasikan dalam struktur dan teknis
operasional yang jelas.
“Sebenarnya
statusnya masih menunggu diterbitkannya petunjuk teknis dan kami berharap cepat
diimplementasikan,” ungkap Dr drh Heru Setijanto, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan
Dokter Hewan Indonesia (PDHI), dijumpai Infovet di kawasan Serpong beberapa
waktu lalu.
PP
tentang Otoritas Veteriner, kata Heru merupakan amanat dari Undang-Undang No 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
![]() |
Ketua PDHI, Dr drh Heru Setijanto |
Berbincang-bincang
dengan Infovet, Heru menjelaskan peran dokter hewan di era globalisasi tidak
hanya dituntut untuk menangani masalah kesehatan hewan semata. Dokter hewan
juga bertanggung-jawab menjaga kesehatan kesehatan masyarakat melalui
pembangunan di bidag ketahanan pangan, jaminan keamanan pangan, dan sebagai
penyangga daya saing bangsa.
Selain
itu, faktor lingkungan juga menjadi tanggung-jawab seorang dokter hewan,
terutama dalam perlindungan plasma nutfah dan pelestarian lingkungan yang
bermuara dalam pencegahan dampak pemanasan global.
Sementara
otoritas veteriner mempunyai peran dalam beberapa bidang yang terkait dengan
kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, penanganan zoonosis, kesehatan satwa/konservasi,
kesehatan ikan, dan kaitannya dengan pertahananan keamanan serta perdagangan.
Terpapar
pada pasal 1 PP Nomor 3 Tahun 2017, bahwa otoritas veteriner adalah kelembagaan
pemerintah atau pemerintah daerah yang bertanggung-jawab dan memiliki
kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan.
Selain
itu juga disebutkan Sistem Kesehatan Hewan Nasional yang selanjutnya disebut
Siskeswanas adalah tatanan Kesehatan Hewan yang ditetapkan oleh pemerintah dan
diselenggarakan oleh otoritas veteriner dengan melibatkan seluruh penyelenggara
kesehatan hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu. Lingkup
kerjanya diantaranya adalah kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner,
karantina hewan, dan kesejahteraan hewan.
Selanjutnya,
tercantum pada pasal 2 bahwa otoritas veteriner bertugas menyiapkan rumusan
serta melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan hewan.
Pada
Bab II Kelembagaan Otoritas Veteriner pasal 7 bahwa otoritas veteriner nasional
dipimpin oleh pejabat otoritas veteriner nasional yang diangkat dan
diberhentikan oleh menteri. Syarat untuk diangkat sebagai pejabat dimaksud diantaranya
telah ditetapkan oleh menteri sebagai dokter hewan berwenang, memiliki keahlian
dan pengalaman dan menduduki jabatan paling rendah pimpinan tinggi pratama di
bidang kesehatan hewan, kesmavet, atau karantina hewan.
Otoritas
veteriner pada pasal 5 PP Nomor 3 Tahun 2017 dijelaskan otoritas veteriner terdiri
atas otoritas veteriner nasional, otoritas veteriner kementerian, otoritas
veteriner provinsi, dan otoritas veteriner kabupaten/kota.
“Langkah
pertama yang harus ditempuh dalam mewujudkan tegaknya otoritas veteriner, percepatan
implementasi PP Nomor 3 Tahun 2017 tentang otoritas veteriner dengan penerbitan
permentan yang diamanatkan,” terang dosen tetap Fakultas Kedokteran Hewan, IPB
ini.
Diharapkan
hadirnya PP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner dapat mengakomodasi
kewenangan dokter hewan, lanjut Heru.
Seiring
berjalannya waktu, perubahan-perubahan terus dilakukan oleh pemerintah terhadap
lembaga yang bersinggungan langsung dengan kesehatan hewan. Panjangnya proses
tersebut terjadi karena peran dokter hewan yang kompleks.
Menurut
Heru, dokter hewan tidak hanya bertindak
dalam mengobati hewan peliharaan/hewan kesayangan yang sakit, namun juga
bertanggung-jawab pada hewan/ternak produksi yang sakit. Artinya, jika seekor
hewan merupakan ternak produksi dan terserang penyakit, maka produk ternak yang
dihasilkan pun merupakan tanggung-jawab dokter hewan.
Saat
ada hewan sakit yang berpotensi untuk menyebarkan penyakit sehingga mengganggu
kesehatan manusia (zoonosis), dokter hewan pun mempunyai peran sebagai agen
preventif dan eradikatif penyakit tersebut.
“Oleh
karena itu, dokter hewan mempunyai peran multi-stakeholder sehingga diperlukan
sebuah otoritas veteriner di lingkup pemerintah demi menunjang perannya secara
optimal,” tandas Heru. *** (NDV)
Selengkapnya, baca Majalah Infovet edisi 284 Maret 2018.