Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini GOPAN | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Refleksi: Rupiah Limbung, Harga Pakan Melambung

Stok jagung melimpah tetapi peternak kesulitan mendapatkannya. (Sumber: fajarsumatera.com)

Industri peternakan ayam di dalam negeri tidak henti-hentinya menghadapi cobaan berat. Para pelaku usaha di sektor ini berharap adanya keseriusan pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang sudah dibuat.


Ada kisah dunia khayalan yang belakangan sedang terjadi di dunia nyata. Kisah ini dikemas dalam film pendek animasi Superman versus Gatotkaca dan tengah menjadi viral di media sosial. Kedua pahlawan ini bertarung mempertahankan jati diri masing-masing. Gatotkaca berusaha sekuat tenaga untuk melawan Superman, namun akhirnya ia ambruk juga. Gatotkaca terkapar.

Pertarungan dalam film animasi ini mengilustrasikan bagaimana kondisi nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan terakhir terhadap dolar Amerika. Media menuliskan dolar makin perkasa. Nilai tukarnya melampaui angka Rp 15.000 lebih per dolar, bahkan sempat mencapai Rp 15.283 per dolar.

Pelemahan rupiah yang terus berlanjut itu tampaknya sesuai prediksi mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, pada 3 Oktober lalu. “Apakah Rp 15.000 ini sudah akhir? Ini baru permulaan,” ujarnya kepada awak media di kompleks DPR RI, Jakarta, waktu itu.

Makin tingginya nilai tukar rupiah tak hanya membuat situasi politik Indonesia kian gaduh, tapi juga berimbas berat terhadap usaha peternakan unggas. Harga bahan baku pakan ternak yang masih impor, seperti bungkil kedelai dan lainnya, mau tak mau makin melambung.

Yang memprihatinkan, pada pertengahan Oktober lalu, para peternak kesulitan mendapatkan jagung untuk bahan pakan ternak. Padahal, 22 Juni lalu, Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, menyatakan bahwa stok jagung nasional melimpah, bahkan surplus, begitu kata Mentan.

Mentan menjamin tidak akan ada impor jagung pada tahun ini. Bahkan karena stok melimpah, Indonesia dapat mengekspor jagung ke Filipina dan Malaysia. Menurut data Kementan, tingkat produksi jagung di dalam negeri meningkat dalam lima tahun terakhir. Jumlah produksi pada 2016 mencapai 23.578.413 ton meningkat menjadi 28.924.009 ton pada 2017 dan pada tahun 2018 mencapai 30.043.218 ton.

Tapi fakta di lapangan, empat bulan berikutnya, para peternak ayam kesulitan mendapatkan jagung untuk pakan ternaknya. Ada apa?

Sukarman, Ketua PPRN (Paguyuban Peternak Rakyat Nasional) memiliki dugaan yang cukup kuat. “Fakta di lapangan, jagung ternyata sebagian besar diserap perusahaan feedmill lewat pedagang saat panen di sentra-sentra produksi, sehingga peternak kesulitan memperoleh jagung dengan harga yang wajar,” ungkapnya saat menggelar aksi unjuk rasa di Pendopo Pemerintah Kabupaten Blitar, 15 Oktober lalu.

Selain sulit didapat, harganya pun tinggi. Ketua Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Herry Darmawan, menyebut harga jagung di Jawa Timur mencapai Rp 5.100 per kg, sementara di Jawa Tengah dan Jawa Barat harga jagung dipatok sebesar Rp 5.000 per kg.

Harga tersebut jauh dari acuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen, yaitu Rp 3.150  di tingkat petani dan Rp 4.000 di tingkat peternak. “Dengan harga yang melambung, peternak harus merogoh modal lebih besar lagi untuk bisa bertahan,” ujar Herry kepada Infovet.

Derita para peternak ayam tak sampai di sini. Di tengah kelangkaan dan tingginya harga jagung, dalam beberapa minggu di bulan Oktober harga telur dan daging ayam broiler justru merosot. Dari data yang dihimpun Infovet, pada Selasa (9/10), harga telur ayam pada kisaran Rp 16.000-Rp16.300 per kg, jauh bila dibandingkan harga acuan yang baru yakni Rp 18.000-Rp20.000 per kg di tingkat peternak. Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi para peternak ayam di dalam negeri.

Soal langkanya jagung di pasaran, pemerintah memiliki argumen yang berbeda. Kementan berdalih, rantai pasok jagung yang tak sempurna sempat 'mengecoh' pasokan dan harga. “Mereka (petani dan peternak) tidak tahu informasi jagung sebenarnya ada. Ini masalah komunikasi dan distribusi saja. Jagungnya memang ada, tapi masalah komunikasi dan distribusi,” kata Sekretaris Jenderal Kementan, Syukur Iwantoro, kepada media di Jakarta, 24 Oktober lalu.

Peternak Menuntut
Lazimnya pelaku usaha di sektor lainnya, para pelaku usaha peternakan yang makin terjepit dengan kondisi ini pun makin terusik. Bagi mereka, tak ada jalan lain untuk menyuarakan kepentingannya, selain melalui aksi unjuk rasa. Pada 15 Oktober, PPRN menggelar aksi demonstrasi di Pendopo Pemerintah Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Para pengunjuk rasa menuntut agar Mentan Amran turun dari jabatannya. PPRN juga menuntut pemerintah menyediakan jagung yang cukup dengan harga yang wajar sesuai aturan Kemendag.

Cara peternak bersuara melalui aksi demo memang tergolong “cespleng”. Sehari setelah didemo, pemerintah merespon aspirasi peternak. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita dan Dirjen Tanaman Pangan (TP), Sumardjo Gatot Irianto dan tim dari Kementan langsung turun ke lapangan, melakukan pertemuan dengan peternak ayam petelur mandiri di Kabupaten Blitar, (16/10).

Sebelumnya, tuntutan yang sama juga muncul dari para peternak ayam petelur mandiri di Kendal dan Cepu. Namun di dua kota ini, Dirjen PKH dan tim sudah terlebih dahulu melakukan dialog dengan peternak. Tak ada gejolak massa.

Sebagai langkah cepat jangka pendek, Kementan merespon permintaan tersebut dengan menghimbau agar para perusahaan pabrik pakan ternak membantu para peternak mandiri mendapatkan jagung dengan harga terjangkau, yaitu Rp 4.500-4.600 per kg dari harga pasar saat ini sebesar Rp 5.000-5.200.

“Sehingga ada subsidi Rp 500-600 per kg. Subsidi ini bisa disisihkan dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan pabrik pakan ternak,” kata Ketut saat merespon tuntutan peternak.

Merespon hal tersebut, beberapa perusahaan akan memberikan bantuan jagung dengan harga subsidi ke Kabupaten Kendal oleh PT Sidoagung (100 ton) dan Kabupaten Blitar antara lain PT Charoen Pokhphand (50 ton), PT Japfa Comfeef (40 ton), PT Panca Patriot (100 ton), PT Malindo (20 ton), BISI (2 ton), CV Purnama Sari (10 ton) dan perusahaan lain. 

Butuh Keseriusan Pemerintah
Persoalan melemahnya nilai tukar rupiah, banyaknya persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha peternakan di dalam negeri, hingga “paceklik” jagung pakan ternak, merupakan bagian dari “nilai” rapor Pemerintahan Presiden Jokowi dan Jussuf Kalla selama empat tahun terakhir. Para pelaku bisnis di berbagai sektor memiliki pendapat yang beragam soal rapor Jokwi -JK. Ada yang menilai bagus, ada juga yang menilai jeblok.

Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J. Supit, seperti yang dikutip Kontan.co.id, mengapreasiasi kinerja Pemerintahan Jokowi -JK selama empat tahun berkuasa. Ada sejumlah hal positif yang terlaksana, seperti pembangunan infrastruktur hingga percepatan perizinan melalui Online Single Submission (OSS). Tapi beberapa sektor ia nilai masih kedodoran.

Salah satunya swasembada pangan masih menjadi pekerjaan rumah. Ada yang bilang berhasil surplus, tapi faktanya jagung untuk pakan ternak susah dicari. Ia mengatakan, masalah ini harus segera diselesaikan. Jika dibiarkan, bisa membingungkan investor.

Ketua Gopan, Herry Dermawan, berpendapat, industri peternakan ayam di dalam negeri tidak henti-hentinya menghadapi cobaan berat. “Sebelumnya kita dihadapkan persoalan ancaman masuknya ayam Brazil, sekarang kita dihadapkan persoalan tingginya harga jagung dan langka,” kata Herry.

Menurut dia, adanya ide untuk menggantikan jagung dengan gandum impor kurang tepat. Jika dipaksakan peternak menggunakan gandum sebagai pengganti jagung, maka performa ayam akan berubah. “Ayam kita sudah terbiasa makan jagung, performa akan berubah kalau diganti dengan gandum,” katanya.

Menyikapi persoalan krisis jagung yang belakangan menjadi poelmik, Herry menegaskan, dari sisi kebijakan pemerintah sudah bagus. Hanya saja, pelaksanaanya masih membutuhkan keseriusan. Tanpa adanya keseriusan, maka sebagus apapun kebijakan yang dibuat akan sia-sia.

Sementara, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Desianto Budi Utomo, mengusulkan agar pemerintah lebih memaksimalkan peran Bulog. Lembaga ini bukan hanya berurusan dengan beras semata, namun jagung seharusnya juga menjadi “wilayahnya”.

“Salah satu tugas Bulog juga menstabilkan harga jagung, jangan sampai terlalu mahal atau terlalu murah,” kata Desianto kepada Infovet.

Menurutnya, harga jagung yang ideal berkisar antara Rp 3.500-3.700 per kg. Dengan harga yang ideal, pabrik pakan bisa menyerap produksi jagung dengan baik pula saat panen raya tiba. Ia merinci kebutuhan jagung 87 produsen pakan ternak yang tergabung dalam GPMT diperkirakan rata-rata 500-600 ribu ton per bulan. Saat ini, serapannya hanya 200-300 ribu ton jagung, akibat kurangnya pasokan dan mahalnya harga. 

Akibatnya, “Stok jagung di pabrik pakan ternak yang dulunya bisa dua bulan, sekarang hanya 25 hari, bahkan belasan hari,” ungkap Desianto. Dengan kondisi kelangkaan jagung, anggota GPMT akan mencari jalan melalui substitusi dengan bahan baku lokal atau bahan baku impor, misalnya dengan mengganti gandum.

“Namun bagi feedmill, kalau memang kondisinya sedang tidak ada jagung, harga berapapun pasti akan dibeli. Seperti pada tahun lalu, harga jagung sempat Rp 7.000 per kg. Tapi kalau terpaksa menggunakan gandum untuk bahan baku pengganti, yang kasihan adalah pabrik-pabrik kecil yang belum memiliki teknologi pengolahannya,” pungkasnya.

Akankah kelangkaan jagung masih akan berimbas pada usaha peternakan unggas di tahun 2019? Semoga saja tidak. (Abdul Kholis)

Bisnis Peternakan Menuju Generasi Industri 4.0

Ketua ASOHI Irawati Fari saat memukul gong pembukaan seminar bisnis peternakan 2018 didampingi para pengurus ASOHI. (Foto: Infovet/Ridwan)

“Meningkatkan Konsumsi Protein Hewani Menuju Generasi Industri 4.0” menjadi tema yang diangkat dalam Seminar Nasional Bisnis Peternakan 2018 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), Kamis (22/11).

“Kami mencermati isu yang berkembang di dunia bisnis tentang terjadinya era baru yang disebut revolusi industri 4.0, di mana teknologi semakin berkembang dan manusia dituntut lebih mengembangkan pikirannya,” ujar Ketua Panitia, Yana Ariana, ketika menyambut peserta seminar.

Ia menambahkan, dengan berkembangnya dunia bisnis, industri peternakan dituntut mampu membiasakan diri dengan hadirnya revolusi industri tersebut. Sebab industri peternakan merupakan penyedia protein hewani terbesar untuk masyarakat.

Pada kesempatan serupa, Ketua ASOHI, Irawati Fari, menyampaikan, dengan hadirnya revolusi industri stakeholder peternakan dituntut untuk lebih bersinergi. “Kita sebagai pelaku ingin industri ini berjalan dengan baik. Stakeholder peternakan merupakan mitra ASOHI dan kita harus ikut memberi support kepada pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Agar industri peternakan menjadi lebih sehat dan lebih bergeliat,” kata Ira.

Hal tersebut juga disambut baik oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, yang turut hadir pada seminar tahunan itu. Menurutnya, pelaku industri peternakan diharapkan mampu meningkatkan produksi dan mengembangkan produk-produk baru dengan pemanfaatan teknologi, guna meningkatkan konsumsi protein asal hewan.


Simbolis konsumsi telur sebagai kampanye peningkatan konsumsi protein hewani bersama para stakeholder peternakan, serta Duta Ayam dan Telur Indonesia (pojok kanan). (Foto: Infovet/Ridwan)

Seminar sehari ini turut menghadirkan pembicara tamu Pakar Ekonomi Pertanian, Bayu Krisnamurthi dan menghadirkan narasumber Direktur Pakan Sri Widayati, Direktur Perbibitan Sugiono yang diwakili Kasubdit Standarisasi dan Mutu Ternak, Muhammad Imran, Direktur Kesehatan Hewan Fadjar Sumping, Ketua ASOHI Irawati Fari, serta pandangan asosiasi peternakan diantaranya GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), Pinsar Indonesia (Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat), GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional), PPSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia) dan AMI (Asosiasi Monogastrik Indonesia). (RBS)

Asosiasi Petani dan Peternak Deklarasikan Petisi Minta Menteri Pertanian Diberhentikan

Para perwakilan asosiasi petani dan peternak deklarasikan Mosi Tidak Percaya pada Menteri Pertanian (Foto: Istimewa) 

Sebuah petisi muncul, meminta Presiden Republik Indonesia Jokowi untuk memberhentikan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Petisi ini dinamai Petisi Ragunan, di mana 20 perwakilan organisasi serta asosiasi petani dan peternak membubuhkan tanda tangan.

Para penggiat sekaligus pelaku sektor pertanian dan peternakan tersebut berkumpul di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan dalam kegiatan ‘Refleksi Akhir Tahun’ yang digagas oleh Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka). Acara berlangsung hari ini, Kamis (22/11/2018).

Petisi Ragunan dibacakan Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika. Dalam dasar pertimbangan petisi tersebut, disebutkan bahwa telah terjadi pembohongan data produksi pertanian yang sudah dibuktikan oleh BPS. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perwakilan berbagai organisasi dan asosiasi petani meminta Presiden Republik Indonesia untuk memberhentikan Mentan.

Berbagai pertimbangan sebagai alasan perlunya pendeklarasian Petisi Ragunan disampaikan para peserta diskusi. Agropreneur Jagung dari Lombok, Dean Novel melihat pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) terlalu asyik sendiri dengan kebijakan yang dibuat. 

“Petani justru bingung dengan kebijakan pemerintah. Apa yang petani perlukan tidak diberikan, sebaliknya yang petani tidak perlukan justru pemerintah berikan,” ungkap Dean. 

Misalnya, sebut Dean, ketika pemerintah mendorong tanam serentak membuat petani menjadi dilematis. Bahkan ketika panen, harga malah jatuh. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sarana penyimpanan seperti alat pengering (dryer) dan pergudangan.

Ketika tidak ada panen, harga melonjak tinggi, sehingga peternak unggas yang kesulitan mendapatkan bahan baku pakan ternak. Lebih mirisnya, benih jagung bantuan pemerintah juga kualitasnya dipertanyakan. Artinya, ketika pemerintah membuat kebijakan persoalan utama (bottle neck)-nya tidak diselesaikan.

Dean tengah melihat perjagungan Indonesia tengah menghadapi anomali. Satu sisi pemerintah mengklaim surplus jagung dan sudah ekspor, tapi yang terjadi malah ada impor. Bahkan kemudian pemerintah meminjam stok dari pabrik pakan ternak untuk menutupi kebutuhan jagung peternak rakyat. 

Karena itu, kalangan petani jagung berharap pemerintah jujur dan kemudian berjanji akan menata pertanian Indonesia dengan lebih baik.

Kadma Wijaya dari PPUN (Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara) Bogor melihat dari sisi peternak rakyat, pemerintah juga tidak berpihak. Di sisi hulu pemerintah memaksa untuk harga mahal dengan berbagai kebijakan, tapi di bagian  hilir harga sesuai mekanisme pasar. Kondisi tersebut membuat banyak peternak bangkrut.

Kalangan peternak broiler yang tergabung dalam GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional) juga mengeluhkan kebijakan pemerintah. Pengurus GOPAN, Sigit Prabowo menilai pemerintah memang mengatur kebijakan di hulu, tapi dibagian hilirnya tidak pernah diatur. Menurutnya, kebijakan yang pemerintah buat sepotong-sepotong. 

“Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagai acuan, tapi harga jualnya sesuai mekanisme pasar. Akibat kebijakan itu, harga menjadi tinggi DOC, peternak pun terancam gulung tikar,” ujar Sigit.

Stimulan Pemerintah Cuma Lips Service

Keluhan terhadap kebijakan pemerintah juga dirasakan kalangan peternak sapi. Kebijakan yang pemerintah buat dinilai banyak yang kontra produktif. 

Seperti dalam penetapan harga daging yang tidak menguntungkan produsen. Bahkan produsen  sapi (feedloter) rakyat, banyak yang menutup usahanya. Sementara yang masih bertahan mengurangi kapasitas produksinya. Tapi hal itu berdampak dalam permodalan, karena perbankan tidak lagi berani membiayai. 

Agus Warsito dari APSPI (Asosisasi Peternak Sapi Perah Indonesia) mengatakan, tugas pemerintah sebenarnya tidak berat, buat regulasi yang berpihak kepada rakyat. 

“Kenyataannya regulasinya tidak berpihak nyata. Stimulan yang pemerintah berikan hanya lips service, gula-gula belaka,” tandas Agus. 

Pada awal pemerintahan, Agus mengaku optimis dengan kebijakan persusuan dengan keluarnya Permentan No. 27/ 2016. Tapi kemudian setelah mendapat respon swasta dan ditekan kepentingan asing, Permentan tersebut dicabut diganti Permentan 30, lalu diganti lagi Permentan 33. 

“Artinya, Kementan tidak mempunyai kedaulatan di negeri sendiri dan justru tunduk pada kepentingan asing,” lanjutnya. 

Selain penandatanganan petisi, dalam kegiatan ini menyepakati dua hal. Pertama, membentuk  Agriwatch yang akan berfungsi sebagai lembaga untuk melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan program-program di Kementan. 

Lembaga ini nantinya akan memberikan masukan kepada Kementan, baik diminta ataupun tidak diminta. (NDV)

Modernisasi Kandang Penuhi Kebutuhan Ternak dan Efisiensi Produksi

Ketum GOPAN, Herry Dermawan, saat sambutan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), pada Selasa (25/9), melaksanakan seminar nasional dengan mengangkat tema “Gerakan Modernisasi Perkandangan Menghadapi Tantangan Pasar Global”, di International Convention Center (ICC), Bogor, Jawa Barat.

“Dalam acara ini kita ajak pelaku usaha budidaya unggas agar bisa memodernisasi atau memodifikasi kandangnya, karena itu kita undang juga supplier perkandangan agar bisa saling berinteraksi dan berbagi informasi,” ujar Ketua Umum GOPAN, Herry Dermawan dalam sambutannya.

Menurutnya, kandang merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang usaha perunggasan. “Karena bagaimanapun juga kandang ini supaya bisa memenuhi kebutuhan ternak,” katanya.

Memodernisasi kandang, lanjut Herry, tidak selalu harus diubah menjadi kandang tertutup (closed house), namun bisa juga berupa pemugaran dari model kandang terbuka (open house) menjadi semi tertutup, atau dengan menambah peralatan penunjang kandang yang lebih mutakhir.

“Modernisasi bukan hanya closed house, tapi model semi closed house atau penggunaan teknologi kandang yang bisa membantu usaha budidaya mengikuti pertumbuhan ayam yang semakin cepat, kandang harus memenuhi syarat,” kata Herry kepada Infovet.

Sebab, dengan melakukan modifikasi kandang tentunya pemeliharaan ayam akan jauh menjadi lebih mudah. “Modernisasi kandang ini juga akan meningkatkan kesejahteraan ayam dan sebagai bagian dari upaya menurunkan biaya produksi,” ungkapnya.

Ketua Pantia, Anas Sudjatmiko, mengemukakan, tema modernisasi yang diambil karena merupakan tuntutan dalam perbaikan dan efisiensi produksi sebagai penunjang usaha yang semakin ketat. “Kandang open house harus mulai dibenahi dengan teknologi yang lebih baik,” ujarnya.

Sementara, Direktur Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Fini Murfiani, yang menjadi keynote speech mewakili Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, mendukung upaya penarapan teknologi perkandangan.

“Peternakan mulai bergeser dari kandang terbuka ke arah pemanfaatan teknologi kandang semi tertutup maupun tertutup. Walau tidak menutup kemungkinan dibutuhkan pembiayaan yang cukup besar, namun ini kita dukung. Karena mengingat adanya pembatasan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dan tuntutan penerapan kesejahteraan hewan,” kata Fini.

Pembicara dan penyelenggara seminar bersama Fini Murfiani (tengah) dan stakeholder perunggasan berfoto bersama. (Foto: Infovet/Ridwan)

Pada kesempatan tersebut turut dihadirkan pembicara dari berbagai bidang, diantaranya Pengamat Ekonomi Agribisnis, Arief Daryanto dan pemaparan dari perusahaan perkandangan soal pembuatan kandang closed house, serta dari perbankan mengenai pendanaan khusus perkandangan. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer