Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ekbis | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TEROPONG PROSPEK BETERNAK BEBEK HIBRIDA PEDAGING

Bebek hibrida merupakan salah satu dari banyak jenis bebek pedaging yang diternakkan di Indonesia. (Foto: Istimewa)

Daging bebek menjadi salah satu pilihan alternatif sumber daging, selain daging ayam. Hal ini ditunjang dengan semakin maraknya kuliner berbahan baku bebek. Dengan begitu, peluang untuk para peternak bebek masih terbuka lebar.

Seperti disampaikan Nutritionist Farmsco Feed Indonesia, Intan Nursiam, dalam seminar daring yang diadakan oleh PT Farmsco Feed Indonesia, beberapa waktu lalu, yang mengangkat tema “Peluang Bisnis Bebek Pedaging 2022”.

Menurut Intan, pasokan bebek pedaging di masyarakat masih menghadapi berbagai masalah seperti ketergantungan terhadap bebek afkir, daging berkualitas rendah, hingga tingkat cooking loss yang tinggi, yang menyebabkan daging mengalami penyusutan setelah dimasak.

Sementara dalam aspek budi daya, peternak bebek pedaging cenderung tradisional, ekstensif, kualitas pakan rendah, serta penanganan penyakit yang tidak optimal. “Oleh karena itu, dibutuhkan bebek pedaging unggul dengan pertumbuhan yang bagus, didukung dengan pakan dan manajemen pemeliharaan yang bagus pula,” kata Intan.

Berdasarkan data statistik peternakan pada 2021, terdapat sekitar 50 juta ekor populasi bebek di Indonesia. Populasi dari 2020-2021, tercatat mengalami peningkatan sebanyak sekitar 2 juta ekor. Pengembangan bebek dengan populasi terbanyak terletak di Provinsi Jawa Barat sebesar 9,9 juta ekor; Jawa Timur sebesar 6,6 juta ekor; Jawa Tengah 5,5 juta ekor dan Sulawesi Selatan 5,2 juta ekor. Demikian ungkap Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Agung Suganda, dilansir dari RMOL Sumsel.

“Itik pedaging merupakan salah satu komoditas yang akan terus dikembangkan di Indonesia karena semakin hari konsumen daging itik semakin meningkat, yang mampu mengangkat ekonomi masyarakat peternak,” tambah Agung.

Kupas Keunggulan Bebek Hibrida
Bebek hibrida merupakan salah satu dari banyak jenis bebek pedaging yang diternakkan di Indonesia. Dengan cita rasa daging gurih dan empuk, bebek jenis ini juga dapat mulai bertelur lebih awal dibandingkan bebek jenis lain. Selain itu, pemeliharaan bebek pedaging jenis ini pun cenderung sederhana. Lantas, bagaimana prospeknya?

Sesuai namanya, bebek hibrida dihasilkan melalui perkawinan silang antara bebek peking pejantan dan bebek petelur jenis khaki campbell betina. Berbeda dengan bebek peking yang cenderung berwarna putih rata, persilangan pertama ini dapat menghasilkan anakan dengan tiga jenis warna, yaitu putih, hitam dan cokelat. Dari hasil peranakan pertama ini, dilakukan seleksi lanjutan dengan mengambil anakan berwarna putih. Selanjutnya, anakan berwarna putih ini dikawinkan kembali dengan bebek peking, hingga selanjutnya menghasilkan anakan yang berwarna putih rata.

Persilangan antar-jenis yang menghasilkan bebek hibrida ini dilakukan dengan tujuan memperoleh karakteristik unggul dari kedua induk. Bebek khaki campbell dipilih karena jenis ini memiliki tingkat produktivitas telur yang tinggi. Sementara bebek peking memiliki potensi bobot hidup tinggi, yang menjadi karakteristik utama bebek pedaging.

“Jadi harapannya dari persilangan itu bisa menghasilkan anakan dengan produksi telur tinggi dan pertumbuhan bobot badan yang tinggi pula,” ujar Bayu Widyanto, pemilik usaha penetasan bebek hibrida “Ternak Mulia” dari Sanankulon, Blitar kepada Infovet.

Selain dagingnya yang lebih empuk, berkat perpaduan dengan karakteristik bebek peking, bebek hibrida memiliki sejumlah keunggulan lain. Jika dibandingkan dengan bebek lokal, keunggulan bebek hibrida pedaging diantaranya memiliki masa panen lebih singkat dan pertumbuhan bobotnya cepat.

Bebek hibrida dapat dipanen dengan bobot... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2022.

Ditulis oleh: 
Muhammad Faris Ridwan &
Rochim Armando
Koresponden Infovet Tulungagung, Jawa Timur

RPA TRADISIONAL YANG MENGHIDUPI

RPA skala kecil di daerah Kota Pemalang. (Foto: Dok. Kholis)

Hanya menggunakan peralatan sederhana, rumah pemotongan ayam (RPA) skala kecil ini tak pernah berhenti menerima pelanggan. Para pelanggan bebas memilih, beli ayam di tempat atau membawa ayam sendiri.

Pada pagi hari suasana pasar tradisional Bantarbolang, Kota Pemalang, Jawa Tengah, yang bersebelahan dengan hutan jati milik Perhutani, sudah dipadati para pedagang dan pembeli. Apalagi ketika menjelang momentum hari-hari besar, atau masyarakat sekitar Pemalang menyebutnya “Prebegan” atau pasar raya, jelang hari raya.

Di saat Prebegan ini, kios-kios yang ramai pengunjung adalah kios sembako dan lapak penjualan ayam potong serta penyedia ayam kampung. Di Pasar Bantarbolang, terdapat tiga kios khusus menyediakan jasa pemotongan ayam. Saat Prebegan, kios-kios tersebut dipadati orang-orang yang akan menyembelih ayam.

Kios Potong Ayam Indra, salah satu kios yang kerap dipadati orang-orang. Rata-rata mereka membawa ayam sendiri. “Di sini biasanya banyak yang bawa ayam kampung. Ada juga yang bawa ayam pedaging,” tutur Suhindra, pemilik Kios Potong Ayam Indra kepada Infovet.

Kios milik Suhindra buka setiap hari, mulai pukul 06:00 hingga pukul 14:00. Di luar momen Prebegan, dalam sepekan Pasar Bantarbolang memiliki dua hari yang ramai pengunjung, yakni Minggu dan Rabu. Pedagang di sini menyebutnya hari “Pasaran”. Pada dua hari ini kios potong ayam milik Suhindra selalu ramai pengunjung.

Ongkos jasa potong ayam di kios Suhindra cukup terjangkau. Hanya dengan membayar Rp 7.000/ekor, pelanggan sudah menerima daging ayam dalam bentuk potongan. Proses pemotongan ayam hingga selesai dicacah, hanya membutuhkan waktu 10 menit.

Untuk mempercepat proses layanan, Suhindra menggunakan mesin pencabut bulu otomatis bertenaga listrik. Setelah dipotong, ayam dimasukkan ke dalam air panas, lalu dimasukan ke dalam mesin putar pencabut bulu ayam. Hanya dalam dua menit, ayam sudah menjadi karkas bersih dan siap dicacah sesuai permintaan pelanggan. “Ongkosnya murah, cuma Rp 7.000, yang penting bisa dapat pelanggan setiap hari,” ujar Shindra.

Selain melayani jasa potong, kiosnya juga menyediakan ayam broiler hidup. Per ekor harganya bervariasi, antara Rp 50.000-70.000/ekor. “Mau beli ayam di saya boleh, mau bawa ayam sendiri juga boleh. Tergantung selera pelanggan,” ucapnya.

Adapun kios lain yang melakukan “praktik” serupa. Hampir sama dengan Suhindra, di kios potong ayam ini juga menyediakan ayam broiler hidup. “Kalau soal biaya potong di pasar ini semua sama Rp 7.000/ekor. Sudah bersih dan dicacah,” kata Rustam pemilik kios tersebut.

Baik Rustam maupun Suhindra mengaku, omzet yang mereka dapat dalam sebulan tidak menentu. Dalam sehari, kadang bisa melayani jasa potong antara 10-20 ekor ayam. “Tapi kalau lagi sepi bisa di bawah 10 ekor sehari,” ucap Rustam.

Hanya saja, Rustam dan Suhindra mengatakan kadang beruntung jika ada pesananan untuk hajatan. Bisa mencapai 50 atau 100 ekor sekali pesan. Tapi pesanan dalam jumlah banyak seperti ini jarang. Bisa jadi, pembeli sudah membeli di pedagang ayam yang sudah dalam bentuk karkas.

Di Tengah Sawah
Beda orang, beda cara menggaet pelanggan. Suwandi, yang juga membuka usaha RPA skala kecil tidak memilih kios di pasar sebagai tempat usahanya. Ia justru memilih di tengah persawahan sebagai tempat usahanya. Lokasinya sekitar 2 km dari Pasar Bantarbolang. Jauh dari pemukiman warga.

Dengan bangunan sederhana dari kayu, berukuran 3x5 meter, RPA milik Suwandi melayani setiap pembelian ayam dan layanan jasa potong. Lokasinya hanya sekitar 30 meter dari jalan raya. Spanduk bertulisan Ayam Potong menjadi penanda tempat tersebut. Meski sendirian di tengah sawah, namun RPA sederhana ini cukup dikenal warga. Akses yang mudah dijangkau pelanggan, menjadikan RPA milik Suwandi banyak diminati pelanggan.

Saat Infovet berkunjung, terlihat cukup ramai pelanggan di RPA Suwandi. Berbeda dengan di kios potong ayam yang di dalam pasar, rata-rata pelanggan di RPA ini membeli ayam langsung di tempat. “Pelanggan bebas pilih ayam, ada broiler, ayam kampung dan ayam Abang (ayam petelur afkiran-red),” ujar Suwandi.

Harga dan biaya jasa potong yang ditawarkan Suwandi juga tak jauh beda dengan tempat pemotongan di pasar. Per ekornya dikenai biaya Rp 7.000 hingga sampai cacah. “Kalau harga ayam tergantung besar kecilnya dan tawar-menawarnya,” tambahnya.

Tetap Menghidupi Keluarga
Usaha yang dijalani Suhindra, Rustam dan Suwandi terbilang sederhana. Mereka bukan peternak, tapi justru menikmati omzet dan keuntungan di tengah gejolak harga unggas. Mereka tak membutuhkan keahlian teknik beternak, tapi cukup memiliki tempat usaha dan mau bekerja keras untuk mendapatkan pelanggan.

Dari usaha yang dijalani bertahun-tahun, mereka bisa eksis dan menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga. “Meski tidak sebesar usaha peternakan ayam, tapi saya tetap bersyukur. Yang penting usaha bisa lancar, walaupun kecil,” ujar Suwandi.

Hal yang disyukuri mereka adalah tidak terbebani oleh naiknya harga pakan, merosotnya harga telur, maupun harga ayam broiler hidup. Bagi mereka jika memang harga broiler yang dipasok oleh peternak naik, maka mereka tinggal menaikkan harga jualnya. Namun jika harga sedang turun, mereka tetap masih menangguk keuntungan menjual ayam.

“Usaha saya ini beda dengan peternak. Saya enggak pusing mikirin naiknya harga pakan atau penyakit ayam. Harga telur atau ayam naik-turun, itu tidak terlalu berpengaruh. Kalau susah pasokan ayam broiler, orang yang datang bisa ganti dengan ayam kampung, harganya lebih stabil,” jelas Suhindra.

Dari penelusuran Infovet, usaha mereka memang sederhana. Namun dari sisi kebersihan masih kurang diperhatikan. Kandang yang kotor dan bau menyengat feses ayam bercampur limbah bulu kerap membuat pelanggan tidak nyaman. Namun, tampaknya itu sudah menjadi hal yang biasa. (AK)

KALKUN HIAS, BISA JADI USAHA SAMPINGAN

Budi daya kalkun hias sebagai sumber penghasilan, selain peminatnya banyak juga tak terlalu repot dalam pengelolaan usahanya. (Foto: Istimewa)

Usaha ternak kalkun hias masih tergolong langka. Peternaknya terbatas, namun potensi pasarnya terbuka luas. Cukup memanfaatkan pekarangan rumah, usaha ternak ini bisa dimulai.

Perkampungan Gondosuli, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan perkampungan daerah lainnya. Di kampung ini cukup banyak peternak ayam kalkun. Ayam yang memiliki badan besar, memiliki jengger glambir di bawah paruhnya dan ekor yang kerap mengembang. Hampir serupa dengan burung merak.

Suasana pagi hari di perkampungan Gondosuli benar-benar terasa asri. Selain banyak pepohonan rindang, suara kokok kalkun saling bersautan makin membuat sahdu suasana pedesaan. Suara kukuruyuk ayam kate yang melengking dan ayam jago menjadi kekhasan suasana Desa Gondosuli.

Sejak 10 tahun lebih, desa ini dikenal sebagai salah satu sentra peternakan ayam hias, termasuk peternakan ayam kalkun. Di sini terdapat dua jenis ayam kalkun yang diternakkan, yakni kalkun pedaging dan kalkun hias berbagai ras.

“Sebagian besar peternakan kalkun di sini bukan untuk pedaging, tapi lebih kepada ayam hias,” ujar Mugiyanto, salah satu peternak ayam kalkun hias di Desa Gondosuli kepada Infovet.

Menurut Mugiyanto, warga Gondosuli lebih memilih kalkun hias sebagai sumber penghasilan. Selain peminatnya lebih banyak, juga tak terlalu repot dalam pengelolaan usahanya. Dari sisi pakan juga tidak harus dipacu agar cepat gemuk. Yang penting pola perawatan yang baik, bisa menghasilkan bulu yang indah, sudah dianggap cukup.

Sebelumnya, Mugiyanto pernah mencoba usaha kalkun pedaging. Namun karena ribet, ia kembali fokus pada kalkun hias. Konsumen kalkun pedaging umumnya hanya mau menerima sudah dalam bentuk daging bersih atau karkas siap olah.

“Artinya saya harus memiliki rumah potong ayam dan mesin pendingin yang memadai, butuh pekerja juga yang khusus mengurus itu. Butuh modal besar,” kilahnya.

Usaha Sampingan
Setiap peternak memiliki pilihan sendiri dalam mementukan jenis ternaknya. Mugiyanto meyakini pasar daging ayam kalkun saat ini terbuka lebar. Makin banyaknya restoran penyedia olahan daging kalkun di kota-kota besar bisa menjadi pertanda. Harganya pun cukup mahal, sehingga jika ditekuni dengan baik bisa menjadi sumber penghasilan yang cukup.

“Tapi karena ribet saya dan para peternak di sini kebanyakan memilih beternak kalkun hias. Ada beberapa peternak juga yang pilih fokus pada kalkun pedaging,” kata pria yang mulai mengenal bisnis kalkun sejak SD ini.

Selain Desa Gondosuli, para peternak kalkun hias juga ada desa-desa lain di Kecamatan Muntilan. Menurut Mugiyanto, meski jumlah peternak cukup banyak, namun hasil penjualan ayam hias di sini cukup lumayan karena peminatnya kian bertambah. Model usahanya bervariasi, ada yang khusus sebagai usaha ada pula yang hanya sebagai usaha sampingan.

Terbukanya peluang pasar kalkun membuat warga Muntilan banyak yang menjadikan ternak unggas ini sebagai sumber penghasilan tambahan. Mereka yang menjadikan ladang uang sampingan, umumnya adalah para pekerja yang masih aktif.

Bagi Mugiyanto, makin banyaknya peternak kalkun di daerahnya bukan berarti menambah ketat persaingan usaha. Justru saling membantu diantara peternak. “Kalau pas di kandang saya lagi kosong dan ada konsumen yang mau beli, saya bisa ambil dari teman-teman peternak lain. Jadi, kami saling membantu,” ungkapnya.

Usaha Turun Temurun
Usaha yang ditekuni Mugiyanto merupakan usaha turun temurun. Ia melanjutkan usaha dari ayahnya yang sudah dirintis sejak 20 tahun lebih. Di lahan seluas 600 meter persegi, peternak ini membuat beberapa kandang berderet, termasuk kandang khusus untuk anakan.

Di peternaknnya, 40 ekor lebih indukan kalkun dimiliknya. Indukan tersebut menghasilkan ratusan butir telur per periode bertelur. Dalam setahun kalkun memiliki 5-6 masa bertelur. Satu masa bertelur per indukan menghasilkan hingga 15 butir. Satu jantan kalkun mampu mengawini 5-6 kalkun betina. Pejantan tangguh, begitu istilahnya.

Telur-telur tersebut dierami langsung induknya, dengan tingkat mortalitas (kegagalan menetas) sekitar 5%. Dalam sebulan, rata-rata tingkat produksinya mencapai 50 ekor anakan. Mugiyanto menjual semua kelompok umur kalkun, tergatung permintaan konsumen. “Minta anakan umur sehari bisa, yang umur sebulan bisa, ada juga yang beli indukan,” katanya.

Per ekor anakan kalkun umur sehari ia banderol sekitar Rp 30 ribu, sedangkan untuk kalkun umur satu bulan dihargai Rp 60-75 ribu/ekor. Sementara untuk kalkun dewasa harga bervariasi tergantung jenis dan keindahan bulunya. Harga bisa mencapai Rp 1 juta lebih/ekor.

Pembeli kalkun hias Mugiyanto tak hanya dari sekitar Magelang, namun juga dari luar kota dan kota-kota di luar Jawa. Para pembeli ada yang datang langsung ke peternakan, ada juga yang pesan melalui online dan dikirim melalui jasa pengiriman.

Tahapan Usaha
Dari tahun ke tahun, permintaan ayam kalkun mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya restoran-restoran yang menyajikan menu utama daging kalkun. Menurut sebuah penelitian, protein ayam kalkun lebih tinggi dibanding ayam pedaging biasa.

Untuk itulah prospek usaha ayam kalkun masih terbuka lebar mengingat masih kurangnya pasokan untuk restoran, hotel ataupun supermarket. Demikian dengan ayam kalkun hias, peluang pasarnya juga terbuka. Pehobi ayam hias setiap tahun dipastikan bertambah.

Namun sebelum terjun ke usaha peternakan ayam kalkun, ada baiknya memikirkan jenis ayam kalkun apa yang akan dipelihara, mengingat ayam kalkun memiliki berbagai macam jenis, diantaranya kalkun Black Spanish, Bourbon Red, Bronze, Golden Palm, Pencil Red, Putih Albino, Royal Palm dan Self Buff.

Jenis-jenis tersebut merupakan kalkun yang sudah populer di Indonesia. Setelah mengetahui jenis ayam kalkun, berikutnya dapat fokus kepada salah satu jenis atau beberapa jenis sekaligus tergantung pada target pasar, apakah akan dijual konsumsi atau untuk hias.
Bagaimana tahapan budi daya kalkun? Berikut sekelumit informasinya:

• Pemilihan bibit. Pilih bibit atau indukan yang bagus dan berkualitas. Hal ini penting agar ayam kalkun dapat berproduksi secara maksimal. Ciri indukan ayam kalkun yang baik diantaranya nafsu makan baik, gerak-geriknya gesit, warna kotorannya normal (tidak encer putih atau kehijauan), untuk indukan yang produktif biasanya memiliki kaki dan badan yang besar. Sedangkan ciri-ciri ayam kalkun yang kurang baik atau afkiran adalah sebaliknya.

• Pemilihan lokasi berternak. Lokasi yang baik akan memberikan keuntungan tersendiri, karena pertumbuhan dan kelangsungan dalam usaha budi daya ayam kalkun. Sebelum menentukan lokasi peternakan yang ideal, sebaiknya lakukan survei tentang keamanan di sekitar kandang, kenyamanan (suhu dan cuaca) dan distribusi ketika akan menjual ataupun ketika memberi pakan. Pastikan peternakan aman dari gangguan manusia, binatang, maupun kemungkinan ancaman bencana alam dan ancaman lainnya.

• Sistem kandang. Kandang berfungsi sebagai rumah atau tempat berteduh dan melindungi kalkun dari berbagai ancaman. Agar nyaman, sesuaikan ukuran kandang dengan jumlah kalkun yang dipelihara. Baik untuk anakan ataupun indukan. Pastikan kandang memiliki umbaran, atau kalkun dapat berjalan-jalan. Layout sistem perkandangan harus nyaman mulai dari pintu ke pintu, ventilasi dan jalan antara satu kandang ke kandang lainnya. Pisahkan kalkun sesuai umur agar tidak terjadi perkelahian, kemudian tentukan apakah akan di erami alami atau ditetaskan dengan mesin.

• Pakan. Peternak bisa memberikan pakan disesuaikan usianya. Atur jadwal makan dan sediakan pakan sesuai kebutuhan agar pakan tidak tersisa, karena dapat menjadi bibit penyakit. Perlu juga mengatur letak air dan pakan berjauhan sehingga kandang akan tampak selalu bersih.

Prinsip yang lebih penting dalam membuka usaha peternakan kalkun adalah kesiapan mental. Karena membuka usaha peternakan tidak semudah yang dibayangkan, harus siap berkotor-kotor selama berada di kandang. (AK)

POTENSI EKONOMI BUDI DAYA BROILER PADA KANDANG CLOSED HOUSE

Ketika penerapan manajemen perkandangan modern telah berjalan baik, diharapkan peternakan Indonesia semakin maju. (Sumber: Shutterstock)

Empat komponen biaya dalam membangun kandang ayam broiler dengan sistem closed house yaitu investasi, operasional dan pemeliharaan, penerimaan, serta keuntungan. Angka terkini investasi yang harus dikeluarkan dalam membangun closed house di kisaran biaya terendah Rp 77.000/ekor ayam.

Sementara kisaran biaya tertinggi Rp 100.000/ekor ayam. Hitungan ini disebutkan oleh dosen Program Studi Teknologi dan Manajemen Ternak, Sekolah Vokasi IPB, Danang Priyambodo SPt MSi.

Lebih lanjut Danang merinci total biaya terendah untuk 40.000 ekor sejumlah Rp 3.098.150.000. Sementara total biaya tertinggi sebanyak Rp 4.012.800.000. Nilai keseluruhan investasi tersebut digunakan untuk keperluan pembelian tanah, pembuatan jalan menuju kandang maupun dalam kandang. Berikutnya kebutuhan penerangan atau listrik, sumur bor atau penampungan air, perizinan, pagar keliling, mess/gudang, genset dan peralatan kandang (PE).

Danang memberi catatan, angka tersebut didapatkan dengan asumsi luasan yakni ukuran 12 m x 120 m, kapasitas 40.000 ekor. “Dengan jumlah dua lantai kandang. Biaya ini bisa berubah sesuai bahan, situasi dan kondisi daerah setempat,” kata Danang saat menjadi pembicara dalam SAS21 Poultry Pilot Project: Closed Poultry House Training, beberapa waktu lalu.

Berikutnya dijelaskan analisis berdasarkan penghitungan ekonomi budi daya broiler sistem closed house memang mengeluarkan biaya investasi cukup tinggi, namun keuntungan yang didapat setiap periodenya juga tinggi. “Kalkulasi yang menguntungkan, Break Even Point/BEP closed house dapat tercapai dalam 3,5-4,5 tahun,” ungkap dia.

Selain itu, umur bangunan kandang closed house yang terbuat dari besi baja mampu bertahan lama lebih kurang 20 tahun. “Setelah BEP, kandang masih tetap bisa digunakan dalam waktu yang masih lama dan dalam kondisi yang tetap baik,” ucapnya.

Operasional dan Pemeliharaan 
Pada komponen kedua yakni biaya operasional dan pemeliharaan, pengeluaran digunakan untuk tenaga kerja, listrik dan air, gas, serta kebutuhan sekam. Kisaran biaya operasional terendah untuk kapasitas tamping… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2022. (NDV)

MODEL INCLUSIVE CLOSED LOOP: OPTIMISME MENAIKKELASKAN PETERNAK DOMBA KAMBING

Kadin menginisiasi model inclusive closed loop (Foto: Infovet)

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menginisiasi model kemitraan inclusive closed loop, sebuah sistem kerja sama di sektor agribisnis yang dapat menguntungkan para pelakunya dari hulu sampai hilir, termasuk peternak. Topik tersebut mengemuka dalam webinar ‘Inclusive Closed Loop, Upaya Menaikkelaskan Peternak Domba Kambing’, berkolaborasi dengan Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI).

“Kondisi umum peternak domba dan kambing saat ini 93 persen adalah peternak kecil dengan skala usaha 3 sampai 10 ekor,” kata Tri Hardiyanto, Ketua KOMTAP Peternakan Kadin Indonesia membuka acara webinar, Kamis (10/3/2022).

Para peserta webinar

Tri menambahkan kualitas bibit dan produktivitas yang rendah kemudian inefisien perkandangan serta tidak adanya integrasi dengan sistem pasar, hal ini menguak sisi lain dari usaha ternak domba dan kambing di mana potensi pangsa pasar hilir domba dan kambing masih terbuka lebar baik domestik maupun potensi ekspor.

“Terlebih pangsa pasar khususnya yang terkait dengan ibadah seperti akikah dan kurban,” lanjutnya.

Program inclusive closed loop ini diharapkan dapat menjadi model pemberdayaan dan peningkatan skala usaha peternak sekaligus menciptakan ekosistem di dalam stakeholder peternakan.

HPDKI juga telah melakukan terobosan dengan pendekatan closed loop untuk menuju arah korporasi peternakan. Ketua Umum HPDKI, Ir Yudi Guntara Noor SPt IPU menerangkan lima tahapan pendekatan tersebut.

“Dalam pendekatan closed loop HPDKI menitikberatkan pada pasar dan insentif harga sebagai tahap pertama. Berbicara agribisnis peternakan, jika pasarnya tidak ada maka insentifnya tentu sulit,” ujar Yudi yang juga KOMTAP Peternakan Kadin Indonesia.

Lebih lanjut Yudi mengungkapkan, lima tahun yang lalu insentif harga ternak ruminansia kecil terlalu rendah. Oleh sebab itu, HPDKI bersama Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementan membuka peluang ekspor.

“Kami melihat, murahnya harga ternak domba dan kambing di Indonesia ini menjadi sebuah daya saing untuk mengisi pasar ekspor. Begitu pasar ekspor dibuka, harga di tingkat peternak membaik. Insentif ini digunakan sebagai modal awal peternak untuk mau melakukan korporasi,” papar Yudi.

Yudi menambahkan, pasar untuk pelaku usaha ternak domba dan kambing terbuka dan makin banyak pilihan baik di lokal, ekspor, kuliner serta serapan dari kegiatan akikah dan hari raya kurban.

Tahapan kedua, Yudi melanjutkan yaitu skala usaha dan produktivitas. Dari tahap ini, akses pembiayaan skala usaha 5 ekor, HPKDI mencoba melakukan pendekatan agar peternak dapat memperoleh akses ke sumber keuangan untuk mengajukan program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

“Bunga dari program KUR ini yang cocok bagi para peternak. “Nilai 100 juta sekarang ini bisa untuk memelihara sampai 60 ekor penggemukan atau 30 ekor untuk membeli bibit pembiakan,” tambahnya.

Menurut Yudi yang berkaitan dengan produktivitas, skala usaha ternak domba dan kambing akan terus ditingkatkan.

Peternak kita termasuk medium type atau bukan penghasil. Di Indonesia, kambing punya nama sedangkan domba ini yang punya daging.

“Oleh karenanya kita perbaiki di peternakan domba dengan memasukkan pejantan unggul pada tahun 2018 atau dengan cross breed lalu menghasilkan sebuah jenis ternak persilangan lokal dan bibit unggul. Upaya persilangan ini produktivitas menunjukkan peningkatan 100 persen yakni dari segi penggemukkan 160-250 gram per ekor per hari,” sebut Yudi.

Sementara tahap ketiga adalah inklusi keuangan-KUR, keempat supply chain/integrasi hulu hilir, dan sustainability.

Berkelanjutan

Dr Ir Musdhalifah Machmud MT, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI mengatakan model kemitraan inclusive closed loop ini melibatkan multi stakeholder untuk membangun ekosistem rantai pasok yang terintegrasi.

Diantaranya kolaborasi pemerintah, akademisi, BUMN, BUMD, perbankan, pelaku usaha swasta, para peternak serta asosiasi yang menjalankan peran sesuai tugas dan fungsinya.

“Khusus untuk sektor peternakan perlu mapping stakeholder dan skema kemitraan. Mulai dari penyedia sapronak, pembiayaan, asuransi, teknologi, offtaker hinga pendampingan untuk memastikan ekosistem dari hulu ke hilir berkelanjutan,” ujar Musdhalifah.

Tantangan Usaha Ternak Domba dan Kambing

Tantangan usaha peternakan domba dan kambing, Musdhalifah menambahkan, diantaranya pemenuhan untuk penggemukan domba dan kambing di atas 5000 ekor atau dalam skala besar tidak ada. Sementara usaha breeding dihadapkan pada tantangan untuk mendapatkan bibit yang unggul.

Menurut Musdhalifah, tantangan ini menjadi peluang pengembangan usaha kambing domba baik breeding maupun penggemukan sehingga menjadi tumpuan masyarakat peternak untuk meningkatkan perekonomian keluarga hingga wilayahnya.

Sekretaris Ditjen PKH Drh Makmun MSc menuturkan peluang dan tantangan pengembangan domba dan kambing dapat dilakukan dengan langkah membangun kebersamaan. “Kita bangun dengan model kandang-kandang komunal. Jadi peternak dapat memperoleh kemudahan untuk menerima fasilitas dari pemerintah hingga pelayanannya. Saya pikir bisa ya dengan 1000 populasi ini, 1 kelompok 1 komunal dan kita pastinya mendorong terbentuknya korporasi,” papar Makmun.

Konsumsi Protein

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian Kadin Indonesia, Arif P Rakhmat menyampaikan data dari Badan Ketahanan Pangan menunjukkan konsumsi protein di Indonesia sebesar 62,05 gram per kapita, setiap harinya di tahun 2020.

Konsumsi protein asal pangan hewani sebanyak 21,28 gram atau 34,3 persen. Daging adalah sumber protein dari hewani dan menurut FAO, tingkat konsumsi daging di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata tingkat konsumsi dunia.

“Dengan demikian pasar di dalam negeri untuk kebutuhan daging masih terbuka lebar dan optimis akan meningkat, seiring dengan tingkat kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Kebutuhan daging di Indonesia memang masih banyak dipenuhi dari impor, hal ini harus disoroti karena ada faktor produktivitas dalam negeri.

“Hal ini juga terkait dengan tata kelola dan skala ekonomi yang menjadi unsur penting dan mendasar guna mencapai tingkat efisiensi, serta tingkat produktivitas yang optimal,” tandas Arif. (NDV)

MENARUH HARAPAN PADA TERNAK AYAM KUB

Minat beternak ayam KUB mulai tinggi. (Foto: Istimewa)

Ayam kampung unggulan ini mulai digemari masyarakat peternak skala rumahan. Ada juga yang sudah beternak hingga puluhan ribu ekor. Keuntungannya dikabarkan cukup menggiurkan.

Dalam tiga tahun terakhir usaha ternak ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) tampaknya makin digemari masyarakat. Tak hanya di kota sekitar Jakarta, di beberapa kota di Jawa Timur, Jawa Tengah dan luar Jawa, usaha skala kecil unggas ini mulai ramai. Skala usaha yang ditekuni beragam sesuai kemampuan modal, mulai dari ratusan ekor hingga ribuan ekor.

Ayam KUB merupakan ayam kampung hasil seleksi genetik yang memiliki sejumlah keunggulan, antara lain mampu bertelur hingga mencapai 160-180 butir/ekor/tahun, masa mengeram berkurang hingga tinggal 10% sehingga ayam cepat bertelur kembali. Selain itu, ayam ini dapat tumbuh lebih cepat dari ayam kampung biasa.

Menurut literatur di situs Kementerian Pertanian, asal usul ayam KUB dimulai dari program Balitnak pada 1997 dengan mendatangkan indukan ayam kampung dari beberapa daerah di Jawa Barat seperti Cipanas, Cianjur, Jatiwangi, Pondok Rangon, Depok, Ciawi dan Jasinga. Kemudian pada 2010-2014 ayam KUB disosialisasikan melalui forum ilmiah.

Pelan tapi pasti, akhirnya pamor ayam KUB sudah menasional. Tak hanya di sekitaran Jawa Barat, di beberapa daerah sudah bermunculan peternak-peternak yang menggeluti usaha ayam KUB.

Beberapa karakteristik dan keunggulan jenis ayam ini diantaranya warna bulu beragam seperti ayam kampung pada umumnya, produksi telur per tahun bisa mencapai 160-180 butir/ekor dan lebih tahan terhadap serangan penyakit.

Agus Wiyono, salah satu peternak ayam KUB asal Mojokerto, menyebutkan makin banyaknya masyarakat menekuni usaha ternak ayam KUB. Ayam jenis ini masih tergolong ayam kampung seperti pada umumnya. Mudah dipelihara, tidak “rewel” dan pakan jauh lebih murah dibanding beternak ayam ras petelur atau pedaging.

“Itu salah satu alasan masyarakat memilih usaha ternak ini, karena lebih mudah dan pakan juga murah,” ujarnya kepada Infovet.

Agus yang juga seorang dokter hewan dan pernah bekerja di salah satu perusahan integrator peternakan ayam pedaging, saat ini mengembangkan ayam KUB 2 sebanyak 10 ribu ekor lebih.

Alasan Agus memilih ayam KUB karena untuk ayam ras broiler dan petelur sering mengalami persoalan, baik harga yang tidak stabil maupun persoalan harga pakan yang terus naik. Persoalannya hampir tiap tahun pasti ada.

“Kalau untuk peternak yang tidak besar seperti saya, agak sulit mengimbangi masalah kenaikan harga pakan dan penurunan harga telur maupun daging. Untuk peternak skala perusahaan besar mungkin tidak terlalu berasa,” ujarnya.

Ayam KUB 1 dan KUB 2
Usaha yang ditekuni Agus memang belum mencapai dua tahun, namun sudah mencakup penyedia pembibitan (DOC) dan pembesaran (pedaging). Jenis ayam KUB yang dipilih adalah ayam KUB 2. “Untuk ayam KUB 1 dulu pernah saya jalani, tapi karena masih kurang hasilnya, saya pindah ke ayam KUB 2,” ucap dia.

Menurut Agus, untuk jenis KUB 1 membutuhkan pakan yang kandungan proteinnya tinggi, sekitar 17%, sehingga biaya pemeliharaan masih cukup mahal. Sementara untuk jenis ayam KUB 2 kebutuhan proteinnya standar. “Saya mix sendiri untuk pakannya. Dengan pakan tersebut masa panen ayam bisa dilakukan pada ayam umur 60 hari atau dua bulan,” ungkapnya.

Pada masa panen tersebut, berat untuk ayam KUB pejantan bisa mencapai 1,5 kg dan betina mencapai 1,2 kg. Masa panen ayam KUB 2 lebih cepat dibanding ayam kampung biasa dan diternak ala kadarnya, yang mencapai enam bulan.

Yang menarik dari cara beternak ayam KUB 2 yang ditekuni Agus adalah soal pakannya. Dalam memberikan pakan, untuk ayam KUB pedaging, Agus tidak menggunakan pakan kimia, tapi organik. Juga tidak menggunakan obat-obatan.

Peternak ini hanya memberikan pakan mix yang berisi jagung 50%, dedak secukupnya, tepung kedelai 25-30%, vitamin dan tanpa konsentrat. “KUB itu genetiknya kan ayam kampung, jadi soal pakan tidak rewel,” jelasnya.

Pemberian pakan mix ini dimulai sejak usia DOC, jadi tidak menggunakan pakan pabrikan. “Kalau pakan untuk ayam ras itu harga pakan per sak saja sampai Rp 400 ribu. Ini berat untuk peternak kecil,” katanya.

Menurut Agus, ayam KUB memiliki banyak keunggulan dan potensi untuk dijadikan bisnis skala besar dengan beberapa pertimbangan. Pertama, permintaan daging ayam kampung semakin tinggi di pasaran.

Kedua, ayam KUB memiliki pertumbuhan lebih cepat dibanding ayam kampung biasa. Seekor ayam KUB dapat mencapai umur konsumsi dalam waktu dua bulan saja.

Ketiga, ayam KUB sudah beradaptasi dengan iklim Indonesia, sehingga lebih tahan penyakit dan mudah dalam perawatannya. Keempat, harga jual daging ayam kampung termasuk ayam KUB jauh lebih tinggi dari daging ayam potong atau broiler. Kelima, bisnis bahan makanan berbasis ayam akan selalu bertahan dalam berbagai kondisi ekonomi maupun pandemi.

Demam Beternak Ayam KUB
Demam beternak ayam KUB di Jawa Timur diperkenalkan Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) di beberapa kota. Di Kota Batu misalnya, ayam KUB sudah diternakkan banyak orang. Tak hanya para peternak berusia tua saja, tapi kalangan anak muda juga ada yang menjalaninya.

Seperti yang dilakukan Nur, warga Kota Batu ini sebelumnya bekerja sebagai tenaga lepas kemudian terkena dampak pandemi COVID-19. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia mencari peluang untuk berusaha secara mandiri.

Bermodal uang upah bulan yang masih tersisa, Nur mencoba memelihara dan membesarkan 100 ekor ayam KUB. Awalnya ia mengaku tidak berani membesarkan ayam dengan jumlah banyak. Ia pun coba ke BBPP Batu untuk mencari informasi tentang budi daya KUB. Setelah ditekuni ternyata memberikan prospek usaha yang bagus.

“Per ekor DOC harganya Rp 7.000. Saya beli 100 ekor Rp. 700.000,” ujarnya seperti yang ditulis situs BBPP Batu. Selama dua bulan membutuhkan pakan 200 kg atau sebanyak empat karung. Harga pakan per karung Rp 390.000. Apabila dikali empat berarti membutuhkan modal Rp 1.560.000. Dalam waktu dua bulan atau 60 hari, ayam sudah besar dan layak dijual ke pasaran.

“Biasanya membesarkan ayam kampung butuh waktu hingga tujuh bulan. Ini kelebihan ayam KUB, dua bulan sudah bisa panen,” ujarnya. Harga ayam KUB yang sudah siap panen cukup menggiurkan. Per ekor ayam Nur dihargai Rp 40.000, itu harga terendah. Jadi bila dihitung keuntungan bersih dari penjualan ayam per 100 ekor selama dua bulan mencapai Rp 1.740.000. Itu sudah dipotong biaya modal DOC dan pakan selama dua bulan.

Demam beternak ayam KUB juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di daerah ini, sebenarnya ayam KUB mulai dikenalkan Balitnak sejak 2012. Namun, baru beberapa tahun terakhir masyarakat di sana mulai beternak.

Dikutip dari laman situs BPTP NTB, ayam KUB diuji daya adaptasinya di Visitor Plot Aneka Ternak-Kebun Percobaan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB (BPTP NTB). DOC didatangkan sebanyak 230 ekor terdiri dari 200 ekor betina dan 30 ekor jantan.

Hasil yang diperoleh selama dua bulan pemeliharaan pada kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) BPTP NTB, berat badan ayam mencapai ± 600 gram/ekor pada jantan dan betina ± 581 gram/ekor. Dalam pengamatan, ayam ini sampai pada umur dua bulan tahan terhadap cuaca panas dan dapat beradaptasi pada daerah lembap Narmada, tingkat kematian terjadi 2%. Kini ayam KUB sudah berkembang pesat dan menyebar ke 10 kabupaten/kota yang ada di NTB.

Diharapkan demam beternak ayam KUB skala kecil di kalangan masyarakat tidak tergilas kekuatan peternakan integrator bermodal besar. Sehingga pemerataan kesejahteraan rakyat bisa terwujud. (AK)

KENDALA BETERNAK DAN INOVASI MASA MENDATANG

Banyak peternak yang masih terkendala dengan usaha peternakannya. (Foto: Istimewa)

Pada webinar “Kendala-kendala Dalam Beternak dan Inovasi Peternakan di Masa Mendatang,” yang diselenggarakan Ternaknesia beberapa waktu lalu, Ridwan Munir, dari Bogoatta (Bogor Goat Ettawa) mengatakan bahwa peternak mempunyai kendala baik internal maupun eksternal.

Kendala Internal dan Eksternal
Faktor internal yang sangat berpengaruh adalah pengetahuan terhadap bibit ternak. Menurut Ridwan peternak ruminansia kecil kadang tidak paham mengenai bibit khusus untuk pedaging, susu, kontes, ataupun untuk kopulasi.

Pada manajemen hulu dan hilir kadang peternak ingin menguasai semuanya, dari pembuatan pakan hingga penjualan. Padahal masing-masih bidang membutuhkan spesifikasi atau keahlian khusus.

“Kemudian hasil ternaknya ingin diolah sendiri ini akhirnya waktunya terbuang, yang harusnya misal fokus harus menjaga ternak jadi terbengkalai karena ada kegiatan lain,” kata Ridwan.

Masalah mentalitas terutama anak-anak muda, mereka tidak suka dengan dunia peternakan karena dianggap low benefit, kurang bergengsi, harus kotor dan kepanasan.

Faktor eksternal antara lain izin usaha, legalitas, pasar hasil ternak, lahan peternakan, stabilitas harga dan efisiensi pakan berkualitas.

Banyak peternak yang masih terkendala dengan usaha peternakannya karena kepemilikan lahan yang terbatas, hanya ada di lahan pekarangan. Karena tidak ada izin usaha dan legalitas produk hasil usaha peternakan tidak bisa didistribusikan lebih jauh.

“Kualitas serta kontinuitas pakan perlu diperhatikan karena akan memengaruhi produktivitas,” terang Ridwan. “Untuk menghasilkan produk berkualitas pakan menjadi utama. Kalau pakan masih asal-asalan yang penting kambing kenyang tidak dihitung nutrisinya, tidak dihitung efeknya terhadap kesehatan akan memengaruhi kualitas susu.”

Hasil ternak ruminansia kecil memiliki pasar lebih spesifik, cara membidik pasar harus dilakukan dengan baik. Konsumen mau membeli produk hasil ternak dengan harga cukup tinggi jika kualitasnya bagus dan manfaatnya terasa.

Sementara untuk teknologi hulu maupun hilir pada ruminansia kecil cenderung kurang diperhatikan. Masih cukup mahal dan belum terjangkau, solusinya bisa dengan membeli secara patungan.

Ridwan menyarankan untuk efisiensi dan manajemen kandang sebaiknya bekerjasama dengan para ahli. Menurutnya, universitas adalah gudang ilmu yang tidak boleh diabaikan peternak. Pengolahan produk sebaiknya menerapkan HACCP meskipun belum mempunyai sertifikasinya. Selain itu ia juga menyarankan pemasaran online agar peternak bekerja sama dengan pihak yang kompeten dan tidak dikerjakan sendiri.

Belajar dari Negara Maju
Sementara itu Drh Deddy Fachruddin Kurniawan dari Dairy Pro Indonesia, menjelaskan di Indonesia terdapat tiga macam peternak. Pertama, peternak mikro yang secara ekonomi dan pendidikan biasanya menengah ke bawah. Semua pekerjaan beternak dikerjakan sendiri, dari mencari rumput, memerah susu, hingga penjualan.

Kedua, peternak kelas menengah yang secara ekonomi dan pendidikan biasanya menengah ke atas. Peternakan ini bukan pekerjaan utamanya, mereka tahu cara bisnis tetapi minim pengetahuan tentang bagaimana mengelola peternakan secara teknis. Biasanya sudah memiliki mindset sebagai seorang entrepreneur.

Ketiga, peternak korporasi yaitu peternakan yang sudah berbentuk perusahaan. Standar-standar pengelolaan sebuah perusahaan dengan berbagai aspek teknisnya termasuk bagaimana mengelola peternakannya diterapkan. Banyak prosedur dan performa indikator yang diterapkan.

“Di Indonesia sekitar 85-86% mungkin hampir 90% micro farmer. Corporate farmer tidak lebih dari 6-8%, sisanya sekitar 5-6% middle class farmer,” kata Deddy. “Jumlah middle class farmer semakin ke sini semakin banyak, micro farmer semakin sedikit, corporate farmer semakin banyak. Maka kita tidak bisa menyamaratakan berbagai macam inovasi sistem untuk semua modelnya.”

Deddy memaparkan, di negara maju bisnis terkuat di bidang pertanian dan peternakan bentuk organisasinya berupa koperasi. Misalnya es krim Campina di Belanda adalah sebuah koperasi, susu Anlene di New Zealand adalah sebuah koperasi bernama Fonterra.

Indonesia dalam peternakan masih tertinggal jauh dengan New Zealand dan Amerika Serikat. Di Amerika produksi susu dari 1940-an hingga 2010 naik lima kali lipat dengan jumlah sapi turun hingga seperempatnya. Hal itu bisa terjadi karena adanya mindset, inovasi, teknologi dan solusi terintegrasi.

“Jadi solusinya tidak bisa sendiri-sendiri. Solusi integrasi yang kita butuhkan dan ini tidak bisa diselesaikan dalam diskusi dua jam, tapi minimal memberikan inspirasi,” tutur Deddy. “Kita lihat cara USA dan New Zealand, kita perlu memformulasikan dalam bahasa kita di Indonesia tapi kita perlu memutuskan fokus kita apa.”

Deddy berharap teknologi pemerahan, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan reproduksi, pembuatan produk yang lebih efisien, pakan dan lainnya, dibuka semua ke peternak. Karena di Indonesia masih ada gap antara seorang yang paham/ilmuwan dengan peternak. Peternak dan akademisi harus disambungkan seintensif mungkin. Peternak harus dipaksa untuk pintar, yang akan membuat mereka terbuka dengan informasi.

Koperasi yang menaungi peternak sebaiknya juga memiliki business mindset, jangan hanya sebagai penyambung lidah antara peternak dengan industri, namun juga memiliki power.

Deddy menyoroti di Indonesia peternak, pengepul, koperasi, industri, hingga penjualnya adalah orang-orang yang berbeda. Maka struktur satu dengan struktur lainnya bisa saling menekan karena masing-masing menginginkan keuntungan sendiri.

Sementara di negara maju untuk jadi peternak tidak bisa langsung, peternak harus terintegrasi dengan pabrik, harus memiliki saham di pabrik. Sehingga peternak berkumpul dalam sebuah wadah koperasi membuat pabrik, sehingga ketika pabrik untung peternaknya pasti untung. Peternak fokus di kompetensinya sebagai peternak tetapi tidak ditekan oleh struktur di atasnya, baik koperasi maupun pabrik. Di Indonesia perlu diciptakan bagaimana mengintegrasikan peternak sampai ke industri supaya semua bisa saling support.

Deddy menceritakan sebelum menjadi eksportir sapi 1950-an, Australia adalah importir sapi. Negara itu kemudian fokus pada integrated database memastikan datanya akurat dan top down. Dalam waktu singkat yaitu sekitar 1970-1980, Australia menjadi eksportir. Sedangkan di Indonesia data dinilai masih kurang tepat akurasinya.

Realtime integration juga penting dilakukan. Menyambungkan antara peternak, bisnis transportasi, hingga legalitas dan standarisasi secara realtime. Genetik hewan ternak juga harus di-record dengan baik sehingga mudah untuk mengetahui genetik yang bagus dan tidak. Untuk melakukan recording diperlukan identifikasi ternak (animal ID) yang baik.

Selain itu, detecting tools juga menjadi inovasi yang penting. Agar beternak menjadi lebih praktis karena berbagai permasalahan bisa terdeteksi dengan cepat dan mudah. “Di luar sana banyak tools diciptakan hanya untuk satu tujuan yaitu deteksi birahi, sehingga mereka mengalami efisiensi reproduksi yang luar biasa,” terang Deddy.

Di Indonesia untuk mendapatkan pejantan yang proven butuh paling tidak tujuh tahun. Negara maju sudah menciptakan DNA proven sehingga bisa mengidentifikasi DNA yang terbaiknya untuk pedet yang usianya baru dua minggu.

“Peternak butuh bantuan bagaimana mengelola manajemen. Jadi peternak itu sudah berat kalau disuruh memikirkan bagaimana manajemen kesehatannya. Jangan disuruh membuat laporan rutin karena bukan kompetensinya, tapi mereka butuh batuan cara mengetahui bagaimana peternakannya ini sudah benar. Para ahli bisa kita sambungkan dengan peternak untuk melakukan hal itu, kalau peternak disuruh melakukan sendiri tidak bisa,” pungkas Deddy. (NDV)

AYAM ABANG, AFKIRAN PETELUR YANG DIGEMARI MASYARAKAT DESA

Ayam abang adalah ayam ras petelur yang sudah memasuki masa “pensiun” bertelur. (Foto: Dok. Infovet)

Ayam abang menjadi salah satu bisnis “sisipan” bagi para peternak ayam petelur. Hanya ayam-ayam yang sudah dianggap “pensiun” bertelur ayam ini masuk dalam kandang ayam abang. Meski harganya terpaut jauh dengan ayam pullet, namun hasil jualnya menambah pundi-pundi peternak.

Pernah mendengar istilah ayam abang? Istilah unggas yang satu ini cukup dikenal masyarakat pedesaan, khususnya di daerah Jawa Tengah. “Abang” dari bahasa Jawa yang artinya merah. Jadi, ayam abang adalah ayam merah. Bukan ayam hias, melainkan ayam konsumsi lazimnya ayam pedaging broiler.

Ayam abang adalah ayam ras petelur yang sudah memasuki masa “pensiun” bertelur. Di kalangan peternak umumnya disebut ayam afkir, ayam yang sudah lewat masa produksinya. “Ayam ini merupakan ayam petelur yang sudah tidak mampu menghasilkan telur secara maksimal,” ujar Agus Wiyono, peternak asal Mojokerto kepada Infovet.

Menurut peternak yang juga dokter hewan ini, ayam abang usianya sekitar 80 minggu ke atas. Karena warna bulunya merah, maka masyarakat di daerahnya menyebut ayam abang. Daging ayam abang ini sedikit alot, karena umurnya sudah cukup tua.

Persoalan ayam petelur afkir ini pernah diatur ketentuannya oleh pemerintah. Pada 2019, Kementerian Pertanian menginstruksikan pengurangan produksi telur konsumsi dengan cara afkir final stock (FS) layer yang berumur Iebih dari 80 minggu pada peternak layer komersial berpopulasi Iebih dari 50.000 ekor. Instruksi itu disampaikan melalui Surat Edaran Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan No. 12141/SE/PK.230/F/11/2019 tertanggal 10 November 2019. Pelaksanaan afkir FS layer berumur lebih dari 80 minggu dilaksanakan bertahap mulai 10 November sampai 31 Desember 2019.

“Untuk hal tersebut diperintahkan kepada saudara pimpinan perusahaan dan peternak layer komersial melaksanakan poin-poin tersebut. Pelaksanaan kegiatan afkir FS layer yang berumur Iebih dari 80 minggu dilakukan pengawasan oleh tim pengawas pusat dan/atau dinas yang melaksanakan fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi/kabupaten/kota,” ditegaskan dalam surat itu.

Instruksi afkir ayam layer komersil berumur lebih dari 80 minggu dikeluarkan untuk menyeimbangkan ketersediaan (supply) dengan kebutuhan (demand) telur konsumsi, sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.

Penjualan ayam afkir petelur cukup ramai di pasar tradisonal. Di Jawa Tengah harga ayam abang per ekor bervariasi, mulai dari Rp 35.000-40.000 di tingkat produsen. Jika sudah dalam bentuk karkas, harganya bisa mencapai Rp 45.000-50.000/ekor. Harga ini lebih tinggi dibanding harga karkas ayam broiler yang berkisar Rp 29.000-33.000/ekor. Berat per ekor ayam abang menjadi perbedaan harga dengan ayam broiler. Ayam abang per ekornya rata-rata di atas 1 kg.

Harga ayam afkir petelur ini di bawah harga ayam tersebut masih jadi pullet yang mencapai Rp 70.000/ekor. Karena ayam afkir, sudah pasti harga lebih murah dibanding ketika masih produktif bertelur. 

Namun demikian, minat masyarakat untuk membeli ayam afkir cukup tinggi. “Ayam afkir sudah menjadi komoditas ayam pedaging atau ayam konsumsi masyarakat sejak lama. Ukurannya yang besar cukup digemari konsumen di daerah,” kata Agus.

Mata Rantai Penjualan
Pola penjualan ayam abang di pasar tradisonal hampir sama di setiap daerah. Umumnya penjual ayam abang ini sekaligus memberikan layanan potong dan pembeli menerimanya dalam keadaan sudah bersih. Ceker dan jeroan jadi satu paket dagingnya.

Dari pemantauan Infovet di salah satu pasar di Kota Pemalang, Jawa Tengah, untuk konsumen yang membeli dalam bentuk karkas satu paket akan dikenai biaya potong Rp 5.000/ekor.

Menurut Agus, berjualan ayam abang menjadi nilai tambah para peternak ayam petelur. Peternak sudah menikmati hasil penjualan telurnya. Di masa tua ayamnya, masih bisa dijual dengan harga cukup lumayan.

Hanya saja, jual beli ayam abang tidak bisa dilakukan secara rutin dalam rentang waktu yang pendek, misal setiap hari atau setiap minggu. Tapi menunggu ayam petelurnya memasuki masa afkir. “Peternak baisanya akan mensortir lebih dulu ayam-ayam petelur yang sudah dianggap afkir, untuk selanjutnya masuk ke penjualan sebagai ayam pedaging,” jelas Agus.

Mata rantai bisnis ayam abang ini tergolong pendek. Dari peternak biasanya langsung didrop ke lapak ayam di pasar-pasar tradisional. Peternak mensuplai ayam afkiran ke para pemilik lapak. Selanjutnya para pemilik lapak menjual ke konsumen dengan dua pilihan, yakni ayam hidup atau ayam potong, tentu ada selisih harga. Ada juga peternak yang langsung menjual ke konsumen.

Nurkhikmah, ibu rumah tangga asal Kota Pemalang, Jawa Tengah, mengaku sering membeli daging ayam abang di warung dekat rumahnya. Terkadang juga membeli di pasar dengan harga lebih murah. Dalam seminggu, setidaknya dua kali mengolah ayam abang untuk santapan keluarganya.

Menurut wanita 33 tahun ini, daging ayam abang lebih enak. Dagingnya tebal dan berasa seperti ayam kampung. “Kalau soal alot itu tergantung cara masaknya. Butuh waktu masak lebih lama agar dagingnya empuk,” ujar Nurkhikmah.

Di Pasar Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, hampir setiap hari lapak penyedia ayam abang menjual puluhan ekor. Di pasar ini ada dua lapak yang khusus menjual ayam abang. Di dua lapak ini disediakan juga tempat pemotongan ayam. Untuk ayam hidup per ekor dengan berat 1 kg lebih berkisar Rp 40.000-45.000. Namun jika dipotong dan dibersihkan, pembeli hanya diminta tambahan biaya Rp 5.000/ekor.

Khusus pada Rabu dan Minggu, kedua lapaknya paling ramai dikunjungi pembeli. Dua hari tersebut merupakan hari “Pasaran”, pengunjung pasar jauh lebih banyak dibanding hari lainnya. Biasanya lapak ayam abang ramai dikunjungi pembeli saat bulan Ramadan, menjelang Idul Fitri, atau tahun baru. (AK)

EVALUASI DAN OPTIMALISASI KEUNTUNGAN TERNAK LAYER

Agar untung, kuncinya adalah menjaga ayam agar tetap berproduksi stabil. (Foto: Istimewa)

“Tahun 2020 dimulai dengan harga telur yang lebih bagus dari 2019, beberapa kali sempat turun tapi bisa recovery harganya bagus lagi. Harga DOC di akhir 2020 juga lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Sedangkan harga pakan dari tahun lalu cukup stabil Rp 5.000-an,” kata Fatimah mengawali kuliah WhatsApp “Evaluasi dan Optimalisasi Keuntungan Ternak Layer”, Jumat (13/11).

Wanita yang sudah sembilan tahun bergabung dengan PT Cargill Indonesia dan sekarang menempati posisi Technology Application Manager, menjelaskan perhitungan kasar BEP (harga impas) ternak layer. Yaitu 3,5 x harga pakan jika performa normal; 3,25 x harga pakan jika performa bagus dan 3,75 x harga pakan jika performa sedang jelek.

Kemudian disampaikannya untuk evaluasi performance total farm ada dua yang harus dihitung, yaitu FCR total farm dan %HD (hen day) produksi total farm.

Biaya Pullet, Operasional, Depresiasi Kandang, Program Kesehatan dan Pakan
Tahun 2020 ini biaya pullet terhitung meningkat cukup gradual sekitar Rp 1.450-1.500/kg telur. Kemudian biaya operasional fase layer adalah Rp 2.000-2.500/kg telur, biaya depresiasi bangunan (gudang, kandang) Rp 1.700-2.000/kg telur, biaya kesehatan (obat, vaksin, vitamin) Rp 600-700/kg telur. Mayoritas peternak mengalami kenaikan di biaya kesehatan ini.

Harga jagung tahun ini terhitung cukup terkendali dan lebih kondusif dibandingkan dua tahun ke belakang. Rata-rata harga pakan tahun ini tidak ada gejolak signifikan, cukup stabil bahkan sedikit lebih rendah dibanding dengan rata-rata harga pakan tahun lalu.

Evaluasi Performance (Total Farm)
Untuk bisnis yang dievaluasi adalah total farm. Karena dalam satu farm biasanya mempunyai lebih dari satu kandang layer dan biasanya juga memiliki ayam starter dan ayam grower yang belum berproduksi. Ayam layer yang dimiliki pun biasanya ada ayam yang muda, ada yang di puncak produksi dan ada ayam tua.

FCR total farm yang masih menguntungkan ada di kisaran 2,5-2,6. Jika di atas 2,6 biasanya keuntungannya tipis sekali atau bahkan tidak ada keuntungan.

%HD produksi total farm yang masih menguntungkan adalah di atas 75%.

Untuk mengoptimalkan keuntungan bisnis layer, pertama pastikan FCR total farm lebih kecil dari 2,6. Jika sudah lebih besar dari 2,6 segera ambil tindakan untuk memperbaiki FCR.

Kedua, perbaiki %HD total farm. Secara umum rataan %HD total farm, jika performa layer sesuai standar, angkanya adalah 84%. Jika pullet masuk HD akan turun jadi sekitar 75-76%.

Jika %HD total farm 70% peternak masih bisa membayar biaya pakan, biaya operasional dan biaya pullet. Jika %HD total farm 60% hanya bisa digunakan untuk membayar biaya pakan dan biaya operasional. Dengan HD 60% ini nanti jika harus masuk pullet pasti akan terganggu cash flow-nya. Sedangkan jika %HD total farm 50% hanya bisa untuk membayar biaya pakan dan biaya lain-lain harus nombok.

Jika produksi total adalah 60% sudah harus dievaluasi kandang yang sudah tidak produktif untuk segera di-culling/afkir, untuk mengembalikan angka HD tetap di atas 70%. Kecuali kalau harga telur sedang bagus sekali.

Utamakan Jaga Performance Ayam
Konsep efisiensi biaya produksi perlu ditetapkan secara bijak, yaitu dengan disiplin melakukan biosekuriti. Kemudian bisa dengan sedikit menambahkan instalasi sederhana yang memangkas waktu tenaga kerja melakukan sesuatu dan memfokuskan tenaga ke kegiatan yang lebih penting.

Pembuatan instalasi tersebut misalnya bisa diterapkan pada alat pemberian pakan semi otomatis. Sebab pakan yang terbuang dari aktivitas pemberian pakan manual (dengan gayung, piring dan lain-lain) bisa mencapai 1-2 gram/hari/ekor ayam. Alat semi otomatis bisa mengurangi potensi pakan tercecer ini. Jika peternak mempunyai populasi 10.000 ekor dengan harga pakan Rp 5.000/kg. Apabila pakan terbuang 2 gram/ekor/hari, maka biaya pakan terbuang per bulan adalah Rp 3.000.000.

Untuk menjaga keuntungan, output (hasil penjualan) harus bisa menutup semua biaya produksi. Di kondisi sulit, misalnya waktu harga telur sedang jatuh mau tidak mau harus mengoptimalkan biaya produksi. Konsep efisiensi biaya produksi harus ditetapkan secara bijak.

Jangan ganti pakan yang lebih rendah kualitasnya demi berjalannya cash flow atau demi agar tetap untung. Mengganti pakan sebaiknya jadi pilihan terakhir. Menurut Fatimah, masih bisa mengoptimalkan biaya produksi dengan cara lain, misalnya biosekuriti, agar farm benar-benar terjaga dan risiko ayam terkena penyakit bisa dihindari. Kalau ayam gampang sakit maka produksi akan menurun dan bisa terjadi kematian.

Penggantian pakan secara drastis akan berdampak ke FCR. Jika tidak dilakukan dengan baik bisa berdampak ke saluran cerna, ayam mungkin tidak sakit tapi akan ada masa adaptasi yang biasanya langsung berdampak ke FCR. Jika FCR naik 0,1% maka kerugiannya 0,1% x Rp 5.000 (harga pakan) = Rp 500. Jika pakan tidak diganti, harga pakan memang bisa naik Rp 100-200 tapi FCR dan performance tetap terjaga kestabilannya.

 “Kalau harga telur sedang jatuh lebih baik pakan tetap yang bagus atau di bawahnya? Beberapa peternak yang benar-benar menghitung bisnis tetap memilih pakan yang kualitasnya bagus. Tidak mengganti pakan tapi mencari alternatif lain untuk menekan cost,” kata dia.

Secara jangka pendek mengganti pakan yang lebih murah memang bisa menurunkan biaya operasional. Tapi produksi jangka panjang cenderung menurun dan ayam lebih cepat afkir. Sedangkan dengan tetap menjaga kualitas pakan, produksi dipertahankan tetap stabil dan ayam lebih lama afkir.

“Agar untung kuncinya adalah menjaga ayam agar tetap berproduksi stabil, jangan sampai terganggu produksinya,” pungkasnya. (NDV)

PROBLEMATIKA PETERNAKAN LAYER DI INDONESIA

Ternak ayam petelur. (Foto: Istimewa)

Peternakan layer atau ayam petelur yang tersebar hampir di semua pulau di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan peternakan rakyat. Ternak layer merupakan bagian dari industri perunggasan bersama breeder, broiler, bebek dan puyuh. Karenanya peternakan layer pun tak lepas dari imbas problematika industri perunggasan di Indonesia.

Hal itu disampaikan oleh Konsultan Marketing PT Cheil Jedang Super Feed, Ir Adi Widyatmoko, yang membawakan tema “Himpitan Peternakan (Layer) Rakyat Di Antara Problematik Industri Perunggasan Indonesia”, pada webinar Selayang Pandang Industri Perunggasan di Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Peternakan UGM pada September lalu. Adi membahas satu-per-satu permasalahan peternakan layer di Indonesia.

Populasi Menurun, Impor Jagung vs Impor Gandum
Data estimasi populasi layer pada 2016 sekitar 150 juta, kemudian turun pada 2018 menjadi sekitar 135 juta. Penurunan tersebut karena berbagai faktor, diantaranya akibat kerugian sepanjang 2012-2015 karena harga telur anjlok.

Faktor lain yaitu pada Oktober 2015 pemerintah mendadak menghentikan impor jagung sehingga harganya di 2016 melambung dari Rp 3.300 menjadi Rp 6.500 bahkan mencapai Rp 7.000. Ditambah lagi pada Oktober tidak ada (sedikit) panen jagung. Akibatnya banyak peternak bangkrut, sehingga otomatis populasi menurun.

Saat itu pemerintah mengharapkan swasembada jagung, padahal tidak mungkin karena lahannya tidak bertambah. Jika dipaksakan swasembada jagung bisa menyebabkan tidak bisa swasembada beras, karena lahan padi digunakan untuk menanam jagung.

Pola produksi jagung di Indonesia 65% diproduksi pada Februari-Maret, 25% pada Juni-Juli dan 10% pada September-November. Jadi jika di bulan Oktober impor dihentikan, berakibat jagung tidak ada di pasaran. Penghentian impor jagung sendiri ternyata diikuti terjadinya lonjakan impor gandum pada 2016. Impor tersebut digunakan sebagai pakan.

Pemerintah sebetulnya melarang penggunaan gandum untuk pakan. Sehingga ketika terpepet, timbul permintaan izin untuk membeli gandum yang dibeli dari industri makanan. Harga gandum lebih mahal, waktu itu jagung impor harganya sekitar Rp 2.900 dan gandum sekitar Rp 3.400, namun karena dibeli dari industri makanan harganya jadi mendekati Rp 5.000. Tentunya itu menyebabkan harga pakan menjadi tinggi dan lagi-lagi yang menanggung adalah peternak.

Ketika panen raya jagung juga sering terjadi jatuh harganya, karena banyak pabrikan yang mengimpor jagung sebelum panen raya yang memang bertujuan untuk menekan harga jagung. Pemerintah semestinya memahami hal ini dan melarang impor jagung ketika menjelang panen.

Meski banyak peternak yang bangkrut, namun tumbuh lagi peternak-peternak baru yang umumnya adalah peternak kecil. Adi mengatakan, ”Untuk 2020 saya belum melakukan survei, tapi estimasi saya populasi akan menjadi 143 juta,” ungkapnya.

Harga Telur Naik-Turun
Harga telur biasanya pada Februari-Maret akan turun. Lalu akan naik pada Mei-Juli karena ada momen yang memicu kenaikan harga seperti lebaran dan libur sekolah. Tetapi setelah masuk bulan Muharam dan Safar biasanya harga akan jatuh dan akan naik lagi di November dan Desember.

Awal Mei 2020 ini harga telur sempat jatuh sampai Rp 15.000 bahkan di beberapa tempat mencapai Rp 13.000. Hal ini disebabkan jatuhnya harga ayam sehingga terjadi penjualan hatching egg oleh breeding. Telur tetas yang seharusnya tidak boleh dijual, ternyata dijual di pasar dengan harga Rp 8.000-9.000, sehingga menyeret harga telur lokal. Sedangkan seharusnya sesuai pola dalam kondisi normal harga telur mestinya naik di bulan Mei.

Februari-Maret 2020 harga telur cukup tinggi. Hal ini karena banyak kasus penyakit seperti Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND). AI ada bermacam jenis diantaranya ada yang menyebabkan kematian dan ada yang menyebabkan penurunan produksi. Penyusutan produksi ini mencapai 20-30% dan tidak bisa kembali normal, maksimal hanya kembali 60-70% produksi. Akibatnya suplai telur berkurang dan harga naik cukup tinggi.

Rice Bran, Culling Bird dan DOC
Rice bran (bekatul) mencapai harga termurahnya pada April-Agustus. Jadi dalam setahun selama lima bulan peternak mendapatkan harga yang murah, namun bulan-bulan lainnya harga menjadi cukup tinggi. Saat harga tinggi ini biasanya banyak terjadi pemalsuan (pencampuran) rice bran yang merugikan peternak.

Dalam struktur keuntungan farm layer penjualan culling bird (ayam afkir) cukup membantu. Bahkan jika ayam afkir tidak bisa terjual dengan harga yang bagus, maka keuntungan peternak akan sangat tipis. Secara bisnis memang keuntungan layer tipis, peternak akan mendapatkan untung yang lumayan ketika harga afkir cukup tinggi. Harga ayam afkir tinggi biasanya saat Juli-Agustus karena momen puasa, lebaran dan libur sekolah. Lalu harga kembali turun mulai Oktober dan titik terendahnya terjadi di Februari.

Sementara itu harga DOC layer dalam tiga tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang cukup fantastis dan sangat memberatkan peternak. Ditambah lagi untuk mendapatkan DOC sulit sekali, karena beberapa pabrikan memelihara DOC sendiri dan baru dijual dalam bentuk pullet. Hal itu juga menyebabkan DOC yang ada dijual dengan harga tinggi.

Profitability di 2020
Profitability peternak untuk tahun ini cukup bagus jika pemeliharaannya normal. Namun realitanya banyak kasus penyakit dan dua tahun terakhir mortalitas cukup tinggi, sehingga memberatkan peternak dan menurunkan keuntungan yang seharusnya didapatkan.

Setelah mengalami kerugian yang cukup panjang sejak 2012-2017, dalam tiga tahun terakhir ini mulai pulih dan mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan itu belum layak.

Terpukul Policy Pemerintah
Yang paling memukul peternak adalah policy pemerintah seperti pemberhentian impor jagung dan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Entah karena efek AGP atau iklim belum bisa disimpulkan. Namun sejak dilarangnya AGP, mortalitas menjadi tinggi sekitar 20-30%.

Performa turun dan terjadi Necrotic Enteritis (NE), Dysbacteriosis (penyakit yang disebabkan oleh bakteri), wet litter dan biaya produksi naik. Untuk mengganti AGP membutuhkan biaya mahal. “Saya pernah menghitung, kalau itu di dalam konsentrat bisa menambah cost sekitar Rp 200/kilogram complete feed,” kata Adi.

Satu cage yang biasanya berisi 3-4 ekor ayam, peternak mengubahnya menjadi hanya 1-2 ekor untuk menekan kematian. Namun sekarang ini meski satu cage hanya diisi satu ekor ayam, angka kematian yang terjadi masih cukup besar.

Kemudian pemerintah mengizinkan company untuk budi daya layer komersial meski masih dibatasi maksimal 2%. Selama ini layer adalah peternakan rakyat, pemberian ruang pada perusahaan dikhawatirkan akan menjadi awal habisnya peternakan rakyat. Sebagaimana ayam broiler dimana peternakan rakyatnya sekarang sudah hampir punah.

NPP dan SNI
Dua tahun terakhir ini NPP (Nomor Pendaftaran Pakan) menyulitkan industri feedmill. Registrasi pakan normalnya memakan waktu tiga bulan, tapi kenyataannya bisa butuh waktu sampai lima bulan baru selesai.

Selain itu, SNI (Standar Nasional Indonesia) juga menyulitkan karena inovasi pakan juga menjadi sulit. Misalnya pembuatan pakan yang menyesuaikan kondisi peternak. Contoh pembuatan pakan konsentrat ditambah katul, sehingga peternak hanya menambah jagung saja. Atau konsentrat ditambah jagung sehingga peternak tinggal menambah katul saja.

Contoh lain adalah jika di suatu daerah banyak limestone makan pakan yang dibuat, dibuang kandungan limestone-nya agar peternak bisa menambahkan sendiri. Ketika betul-betul tidak ada jagung maka dibuat corn homolog, terbuat dari bahan-bahan baku yang ada tetapi nutrisinya mendekati jagung.

Tetapi sekarang dengan adanya peraturan pemerintah, pembuatan pakan seperti itu sudah tidak bisa dilakukan karena tidak ada SNI-nya. Yang dibuat SNI adalah konsentrat, bukan complete feed, sedangkan konsentrat adalah bahan pelengkap maka semestinya harus lebih luwes.

Adi menceritakan, “Waktu di Payakumbuh mengambil pakannya dari Medan, saya lihat transportasinya mahal sekali kalau tidak salah Rp 700. Sehingga konsentrat yang ada saya lepas limestone-nya. Tapi sekarang ini jadi tidak bisa karena ketika didaftarkan menurut SNI tidak masuk karena tidak ada limestone-nya. Padahal limestone nanti kita tambahkan dari lokasi setempat.”

Corn homolog pun tidak ada SNI-nya, dia tidak termasuk konsentrat karena sumber energi, jadi belum ada ketentuannya.“Hal-hal seperti inilah yang membuat kita kesulitan membantu peternak sehingga cost menjadi mahal,” sambung Adi.

Potential Loss Akibat Kualitas Telur
Permasalahan juga dijumpai terkait kualitas telur seperti telur yang pecah, berkulit putih, telur yang jatuh ke bawah kandang dan lain sebagainya.


Perubahan Strategi Supplier
Kebijakan yang diambil supplier juga mempengaruhi peternak. Misalnya jika terjadi perubahan di raw material yang setiap saat bisa terjadi, feedmill akan berusaha memformulasikan dan efeknya biasanya pada farm.

Premix consultant yang memberikan masukan pada feedmill juga mempunyai pengaruh. “Saya melihat ada premix yang dipakai oleh banyak feedmill, ketika efeknya keliru, ini ke peternak dengan performa yang tidak bagus,” ungkap Adi.

Peternak biasanya memakai beberapa pakan dan suka membandingkan antara satu dengan yang lain. “Ketika dibandingkan ternyata performanya tidak bagus semua, mereka bisa berpikir kesalahan ada di pemeliharaan. Padahal itu bisa jadi karena feedmill mendapat advice yang tidak bagus,” ucapnya.

Peternak Layer Perlu Dilindungi
Jadi seolah-olah selama ini peternak layer dihimpit masalah dari segala arah. Mulai dari obat, DOC, pakan, hingga harga jual. Diantara supply chain industri layer adalah peternak yang paling tidak diuntungkan.

Maka peternak layer perlu dilindungi dan butuh regulasi dari pemerintah. Karena kalau tidak ada perlindungan, perusahaan bisa dengan mudahnya membuat kebijakan-kebijakan yang tentunya menguntungkan mereka.

Namun bagaimanapun ada perbaikan signifikan yang mendukung investasi bisnis layer dalam lima tahun mendatang, yaitu stabilitas ekonomi yang terkontrol, kondisi politik yang cukup kondusif, inflasi yang cukup terjaga dan pertumbuhan populasi manusia di Indonesia. (NDV)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer