Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini AINI | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PROGRAM BANK PAKAN DORONG PENGEMBANGAN SAPI PERAH

Pakan merupakan unsur utama penentu harga produk pangan asal ternak. (Foto: Istimewa)

Penyediaan pakan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan sapi perah di Indonesia. Tantangan tersebut antara lain penggunaan rumput dengan jerami padi, aplikasi teknologi pengolahan pakan, penyediaan lahan penghasil pakan hijauan, serta konsentrat yang belum terstandar.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Prof Nahrowi, dalam pembukaan acara Pendampingan Manajemen Pakan Peternak Sapi Perah melalui aplikasi daring, Selasa (29/12). Acara diselenggarakan oleh AINI dan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), berlangsung pada Desember 2020 hingga April 2021.

Nahrowi mengharapkan bahwa dalam menghadapi permasalahan pakan di Indonesia yakni seputar ketahanan pakan, keamanan pakan dan aspek lingkungan, para pemangku kepentingan di bidang persusuan yakni para pelaku usaha yang tergabung dalam KPBSU, pemerintah dan akademisi ataupun peneliti dapat bersinergi memajukan industri persusuan Indonesia.

Direktur Pakan, Ditjen PKH, Drh Makmun Junaidin pada kesempatan tersebut menjelaskan tentang arah kebijakan pakan nasional yang mengacu pada dua hal utama, yakni keamanan pakan dan ketahanan pakan.

“Ketahanan pakan yakni menjamin ketersediaan pakan unggas dan pakan ruminansia, serta keamanan pakan yakni meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pakan yang diproduksi dan yang diedarkan,” kata Makmun.

Untuk mencapai hal itu, telah dicanangkan strategi pencapaian program yakni dengan pengembangan hijauan pakan ternak, pengembangan pakan olahan dan bahan pakan, serta pengembangan mutu dan keamanan pakan. Makmun menambahkan, karakteristik penyediaan pakan untuk ruminansia adalah sebagian besar diproduksi oleh pabrik pakan skala menengah (PPSM) dan kecil atau kelompok pabrik pakan skala besar hanya 1 % dari total produksi pakan, serta mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan lokal spesifik lokasi.

Karena pakan merupakan unsur utama penentu harga produk pangan asal ternak, yang pada sapi perah mencapai 67%, maka pemerintah telah mendorong adanya lumbung pakan di tingkat peternak, terutama dalam menghadapi musim kering. Konsep lumbung pakan tersebut dituangkan dalam program bank pakan. 

“Ini bertujuan untuk membentuk kelembagaan usaha pakan, mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan lokal, melakukan pengolahan, pengawetan, dan penyediaan pakan secara berkelanjutan, serta mengoptimalkan pemanfaatan peralatan dan teknologi pengolahan pakan,” tandasnya. (IN)

AINI BAHAS OPTIMALISASI PALM KERNEL MEAL UNTUK BAHAN BAKU PAKAN TERNAK

Ketersedian PKM di Indonesia melimpah, tetapi pemanfaatannya masih minim


Indonesia dan Malaysia dikenal dunia sebagai dua negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Salah satu produk sampingan dari kelapa sawit adalah bungkil inti sawit alias palm kernel meal yang ternyata dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak.

Potensi ini sepertinya belum banyak dimanfaatkan oleh produsen pakan Indonesia. Asosiasi Ilmu Nutrisi Indonesia (AINI) melihat ini sebagai peluang dikala lesunya industri pakan karena wabah Covid-19. Mereka juga membahas hal ini dalam webinarnya pada Kamis (1/10) melalui aplikasi zoom. Seminar tersebut membahas mengenai pemanfaatan palm kernel meal sebagai bahan baku pakan ternak dari mulai unggas, ruminansia, babi, dan bahkan satw akuatik. Animo peserta yang hadir ternyata sangat tinggi, hal ini terlihat dari jumlah peserta yang mencapai lebih dari 350 orang.

Seminar dibuka dengan opening speech dari Ketua Umum AINI yang juga guru besar FAPET IPB, Prof. Nahrowi. Dalam sambutannya Nahrowi menyebutkan bahwa Indonesia menurut data USDA Indonesia menghasilkan 10,7 juta ton PKM pada tahun 2019, atau 57% produksi dunia.

"Tentunya ini merupakan potensi, kita penghasil PKM terbesar di dunia tetapi kurang memanfaatkan PKM. Padahal kandungan nutrisi PKM dapat dimanfaatkan, namun begitu karena beberapa kendala kita jadi enggan menggunakannya, oleh karena itu diharapkan seminar ini dapat membedah PKM secara dalam dan menambah khazanah kita mengenai PKM," tukas Nahrowi.

Narasumber yang dihadirkan pun juga bukan sembarangan, Prof Arnold Sinurat dari BALITNAK adalah salah satunya. Dalam presentasi berdurasi dua puluh menit, Prof Arnold banyak menjabarkan berbagai hasil penelitian terkait penggunaan PKM sebagai bahan baku bakan di berbagai jenis hewan ternak.

"Rerata di feedmil PKM digunakan 2-3%, paling banyak 5%. banyak orang yang enggan menggunakannya karena beberapa hal, Salah satunya kandungan Mannan yang merupakan Non Starch Poliscaharide yang menyebabkan vsikositas usus meningkat," tuturnya.

Selain itu secara struktur, PKM kandungan nutrisi yang berguna dan dapat dimanfaatkan dalam PKM "terkunci" di dalam. Butuh beberapa treatment yang tepat untuk mengeluarkannya agar dapat dimanfaatkan oleh hewan ternak.

Beberapa perlakuan yang dapat diberikan untuk mengakalinya menurut Arnold yakni dengan melakukan fermentasi dan melakukan penambahan enzim eksogen untuk dapat membuka "kunci" tersebut.

Sementara itu Drh Agus Prastowo dari PT Elanco Animal Health yang bertindak sebagai narasumber kedua menuturkan bahwa kandungan β - mannan yang terdapat dalam PKM sangat tinggi. β - mannan merupakan zat NSP yang bisa dibilang bersifat anti nutrisi, namun begitu jika β - mannan dipecah maka hasilnya adalah Mannan Oligosakarida (MOS) yang dapat berguna sebagai prebiotik untuk bakteri yang menguntungkan di saluran cerna.

"β - mannan jika dipecah akan menjadi MOS dan beberapa jenis gula yang dapat menjadi prebiotik dan sumber energi dari suatu ransum. Oleh karenanya perlu penambahan enzim eksogen semisal β - mannanase, selulase, dan lainnya untuk menguraikan harta karun tersembunyi tersebut," tutur Agus.

Lebih jauh Agus menjelaskan bahwa penambahan enzim semisal β - mannanase dalam susatu ransum yang menggunakan PKM sebagai bahan baku juga dapat meningkatkan produktivitas, kecernaan, feed intake, dan meningkatkan kesehatan saluran cerna pada unggas. (CR)

APA ITU PALM KERNEL MEAL DALAM PAKAN? GRATIS...IKUTI WEBINAR INI

Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan luas areal perkebunan mencapai 12,3 juta hektar. Dalam proses produksinya, industri kelapa sawit menghasilkan berbagai produk hasil samping, salah satunya yaitu Palm Kernel Meal (PKM) yang produksinya mencapai 5,8 juta ton/tahun.

Berdasarkan kandungan nutrisinya, PKM berpotensi sebagai sumber energi dan protein, namun memiliki constraint kandungan serat yang tinggi sehingga tidak cocok dengan saluran pencernaan hewan monogastrik.

Berbagai teknologi diterapkan untuk memperbaiki kualitas nutrisi PKM diantaranya melalui perlakuan fisik, kimia dan enzimatik.

Pada Zoominar AINI ke-8 yang diselenggarakan oleh @ainifeednutrition ini akan dibahas mengenai "Optimalisasi Pemakaian Palm Kernel Meal dalam Pakan Unggas, Babi dan Ikan", yang akan diselenggarakan pada
Kamis, 1 Oktober 2020 pukul 09.00-11.10

Acara ini gratis dengan kuota terbatas
Silakan segera mendaftar pada link bit.ly/ZOOMINARAINI8

Acara ini didukung oleh media partner: @majalahinfovet;
@livestockreview; @majalahtrobos; @poultryindonesia; @agropustaka; @majalahagrina

MENGOPTIMALKAN POTENSI LAMTORO SEBAGAI BAHAN PAKAN SAPI

Lamtoro bisa menjadi pakan utama ataupun pakan pelengkap pada ternak sapi. (Foto: Istimewa)

Kamis, 6 Agustus 2020, Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) kembali menyelenggarakan seminar online bertajuk “Pengelolaan dan Optimalisasi Pemakaian Lamtoro pada Sapi.”

Dalam kegiatan tersebut dihadirkan narasumber peneliti BPTP Balitbangtan NTB, Dr Tanda S. Panjaitan. Dalam paparannya ia mengingatkan tentang penggunaan lamtoro pada pakan ruminansia yang harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat zat antinutrisi pada lamtoro, yakni mimosin.

“Di dalam rumen sapi senyawa mimosin akan dikonversi menjadi 3,4 dan 2,3 dihydroxy-pyridine (DHP). Keracunan mimosin atau DHP tersebut dapat menyebabkan ternak mengalami pembesaran kelenjar tiroid, dengan gejala terjadinya penurunan nafsu makan, bulu kusam, berdiri dan rontok. DHP juga menyebabkan terjadinya defisiensi mineral, khusus besi, tembaga, dan magnesium,” ujar Tanda.

Lamtoro sendiri merupakan sejenis perdu dari suku Fabaceae dan termasuk salah satu jenis polong-polongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola tanam campuran. Sejak lama lamtoro telah dimanfaatkan sebagai pohon peneduh, pencegah erosi, sumber kayu bakar dan pakan ternak. Daun dan ranting muda lamtoro dapat menjadi pakan ternak dan sumber protein yang baik, khususnya bagi ruminansia. Daun lamtoro memiliki tingkat ketercernaan 60-70% pada ruminansia, tertinggi diantara jenis-jenis polong-polongan dan hijauan pakan ternak tropis lainnya. 

Oleh karenanya, Tanda menyarankan untuk pemberian lamtoro pada sapi dilakukan dengan cara bertahap. “Pemberian lamtoro sebagai pakan pada ternak yang belum terekspos harus dilakukan secara bertahap,” katanya.

Ia juga menambahkan, adaptasi terhadap pakan lamtoro normalnya 2-3 minggu, dengan pemberian pertama biasanya sekitar 20% dari total pakan atau 0,5% dari berat badan. Namun kadangkala ada ternak yang butuh waktu adaptasi lebih lama sampai 6 minggu baru normal.

“Pemberian 40-60% dari total pakan dan sisanya rumput atau tebon jagung, hasilnya sama dengan yang diberikan 100%. Sehingga untuk pemberian pakan dari lamtoro cukup 40-60% saja, untuk menghemat lamtoro,” ucap dia.

Ternak yang sudah beradaptasi dengan pakan dari lamtoro dapat mengonsumsinya hingga 100%, namun disarankan untuk dilakukan pemberian mineral pada ternak yang diberi pakan lamtoro pada komposisi 70% atau lebih. 

Dalam pemberian pakan, lamtoro bisa menjadi pakan utama ataupun pakan pelengkap. Pada peternak yang memiliki kebun lamtoro sendiri, maka lamtoro bisa menjadi pakan utama dengan pemberian 100% sebagai pakan tunggal, terutama di musim kemarau atau pada musim hujan.

“Pemberian 70% atau lebih bisa dicampur dengan rumput atau jerami jagung. Adapun peternak yang tidak memiliki kebun lamtoro sendiri maka komposisi lamtoro adalah 40-60%, dan selebihnya ditambahkan rumput (30-50%), serta dedak (10-30%),” jelasnya. 

Pada pemberian pakan lengkap, formulasi umum yang dilakukan adalah lamtoro sebanyak 40-60%, rumput atau jerami jagung sebanyak 5-15% dan dedak atau jagung maupun ubi kayu sebanyak 40-60%. Pada formulasi tersebut, protein kasarnya 12-14% dan metabolisme energi sebesar 10-12 MJ/kg. Dengan pola pemberian pakan seperti itu, Tanda menandaskan, pertambahan berat badan harian ternak bisa mencapai 0,4-0,7 kg. (IN)

IKUTI WEBINAR PENGELOLAAN DAN OPTIMALISASI LAMTORO UNTUK SAPI




PENGELOLAAN DAN OPTIMALISASI PEMAKAIAN LAMTORO PADA SAPI

Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) kembali akan menggelar Seminar Webinar bertajuk Pengelolaan dan Optimalisasi Pemakaian Lamtoro pada Sapi. Organisasi perhimpunan profesi dan keilmuan para ahli di bidang Nutrisi dan Teknologi Pakan ini menhadirkan setidaknya tiga narasumber pakar di bidangnya, yaitu: DR IR Tanda S. Panjaitan, MSc. Peneliti SPTP Balitbangtan NTB., Prof DR IR Dahlanuddin, MRurSc,Guru Besar Univ. Mataram dan Prof Max Shelton dari Univ of Queensland, Australia.

Dimoderatori olaeh IR Triastuti Andajani, MSi., Program Manager IP2FC ISPI. Acara yang rencananya berlagsung pada Kamis 6 Agustus 2020 mulai pukul 09.00 WIB melalui daring Zoom Meeting yang bisa anda akses dengan Narahubung Febrinita dan Asmadini sebagaimana tercantum di dalam Flayer.

Berita selengkapnya terkait kegiatan tersebut dapat anda simak di Infovet sebagai Media Parner dan ikuti terus di web: http://www.majalahinfovet.com

POTENSI BESAR MAGGOT DALAM FORMULASI RANSUM PAKAN UNGGAS



Indonesia menghasilkan limbah makanan dengan jumlah melimpah yang perlu dikelola dengan baik. Limbah makanan ini dapat dimanfaatkan sebagai media tumbuh maggot dalam proses biokonversi sampah organik menjadi bahan kaya protein.

Maggot yang merupakan larva dari serangga Hermetia illucens atau dikenal dengan black soldier fly (BSF), sudah banyak dibudidayakan di berbagai negara seperti di Jerman, Belanda dan China untuk menghasilkan sumber protein.

Biokonversi tersebut di Indonesia diharapkan dapat bersinergi dengan masalah lingkungan melalui pengelolaan limbah organik menjadi bahan pakan alternatif pengganti tepung ikan dan MBM yang lebih murah dan berkelanjutan. Hal itu mengemuka dalam sebuah online seminar yang diselenggarakan Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Kamis (9/7/2020).

Kegiatan seminar yang keempat kalinya ini menghadirkan narasumber penting di bidangnya, yakni CEO Biomagg Aminudi, Guru Besar Fapet IPB Prof Dr Dewi A. Astuti dan Prof Dr Sumiati, Dosen FPIK IPB Dr Ichsan Achmad Fauizi dan Ketua umum GPMT Desianto Budi Utomo. Seminar dipandu Dekan Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako Palu Prof Ir Burhanudin Sundu MScAg PhD.

Dalam acara tersebut, Sumiati memaparkan tentang berbagai manfaat budi daya maggot, antara lain mampu mengonversi biomassa berbagai material limbah organik seperti kotoran hewan, limbah organik perkotaan, kotoran manusia segar, maupun limbah sayuran pasar.

Manfaat berikutnya maggot dapat mereduksi bau potensial limbah sekitar 50-60%, sehingga dapat mereduksi polusi, bakteri patogen, bau dan populasi lalat rumah dengan mengurangi kesempatan lalat rumah untuk oviposisi.

Maggot juga bisa menjadi sumber nutrien karena memiliki kandungan nutrien yang tinggi (protein, asam amino, lemak, mineral) sebagai pakan ternak,” kata Sumiati.

Ia menunjukkan beberapa penelitian tentang penggunaan maggot dalam ransum unggas. “Penggunaan maggot sampai 15% sebagai pengganti soya bean meal dan soya bean oil tidak berefek negatif terhadap digestibility, performa produksi, kualitas karkas dan daging puyuh,” jelasnya.

Penelitian lain juga menunjukkan, pemberian maggot pada ayam petelur dapat mengangkat kualitas telur dan menurunkan angka konversi pakan. 

“Substitusi tepung kedelai secara sebagian atau menyeluruh dengan tepung maggot tidak mempengaruhi asupan pakan, performa produksi, bobot telur dan efisiensi pakan,” kata Sumiati mengutip sebuah hasil penelitian tentang maggot pada ayam petelur. Dengan demikian, maggot memiliki potensi untuk digunakan sebagai sumber protein alternatif pada hewan unggas petelur. (IN)

PENGELOLAAN PAKAN HIJAUAN UNTUK SAPI DI LAHAN SAWIT

Integrasi sapi-sawit. (Sumber: iaccbp.org)

Integrasi ternak dalam usaha perkebunan sawit adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas kebun, bahkan keberadaan ternak tersebut dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sekaligus produksi ternaknya. Integrasi ternak tersebut bertujuan agar terjadi sinergi saling menguntungkan yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi biaya produksi.

Hal itu diuraikan oleh Ranch Manager Palm Cow Integration Dept, PT Buana Karya Bhakti, Wahyu Darsono, dalam sebuah seminar online tentang sistem pemberian pakan untuk sapi induk yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Jumat (15/5/2020). 

Wahyu mengatakan bahwa dalam integrasi sapi sawit maka kebun sawit harus diperankan sebagai lahan gembalaan atau sebagai pasture untuk pembiakan sapi atau produksi sapi grassfed. Dengan demikian, kebun atau pabrik sawit berperan menyediakan bahan pakan yang berkelanjutan bagi ternak, khususnya ternak ruminansia.

“Pengelolaan pasture di kebun sawit sebagai sumber pakan berkelanjutan perlu dilakukan secara terkontrol dengan alokasi paddock sesuai dengan grup atau status sapi dan berdasarkan stocking rate potensi biomass,” kata Wahyu. 

Demikian juga dengan optimalisasi pemanfaatan vegetasi gulma sebagai sumber pakan,  perlu didukung komitmen dan sinergi yang kuat antara kegiatan perkebunan dan kegiatan penggembalaan sapi, terutama pada aspek pemupukan, penanggulangan gulma dan panen TBS, serta pemanfaatan areal terbuka untuk introduksi tanaman hijauan pakan berkualitas.

“Untuk memenuhi kecukupan nutrisi sapi sesuai dengan status sapi dan pengaruh iklim terutama curah hujan, perlu diberikan pakan tambahan sebagai sumber protein, energi dan mineral,” pungkasnya. (IN)

PRINSIP PEMBERIAN PAKAN SAPI PEDAGING

Ternak sapi pedaging (Sumber: Istimewa)

Dalam penggemukan sapi, pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah tertentu dengan kandungan energi dan protein yang cukup, sehingga menghasilkan pertambahan berat badan (PBB) sesuai yang diharapkan.

Pakan ternak sapi pedaging di Indonesia saat ini sebagian besar masih menggunakan bahan pakan lokal. Hijauan sebagai sumber bahan pakan utama masih menjadi andalan peternak mencukupi kebutuhan energi ternak. Namun demikian, ketersediaan dan kualitas hijauan merupakan masalah utama dalam penyediaan pakan di Indonesia.

Pada musim hujan ketersediaan hijauan di Indonesia cukup berlebih, namun pada musim kemarau hijauan menjadi langka. Pada saat ketersediaan hijauan berlebih, peternak mestinya memanfaatkannya dengan mengolah menjadi hay (hijauan kering), silase atau pengolahan lainnya, sehingga dapat disimpan dan dimanfaatkan pada saat kelangkaan hijauan terjadi. Namun, keterampilan peternak masih sangat rendah sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat melakukannya.

Menurut Dr Idat Galih Permana dari Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam sebuah pelatihan tentang pakan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) di Bogor pada September 2019 lalu, menyatakan bahwa di samping ketersediaan hijauan yang fluktuatif, kualitas hijauan di Indonesia masih relatif rendah. Seperti halnya di daerah tropis, pertumbuhan hijauan untuk mencapai fase generatif sangat cepat, sehingga hijauan yang dipanen cenderung mengandung protein yang rendah dengan kandungan serat kasar tinggi. Rendahnya penggunaan pupuk pada lahan hijauan semakin menyebabkan menurunnya kualitas hijauan. Disamping itu, sebagian besar peternak masih sangat mengandalkan hijauan alam atau rumput alam, sehingga kualitasnya sama sekali tidak dapat dikontrol.

Sementara pemakaian konsentrat untuk ransum ternak ruminansia di Indoensia masih didominasi oleh bahan baku lokal. Hal tersebut terjadi karena ternak ruminansia tidak terlalu menuntut bahan baku dengan kandungan tinggi nutrien. Beberapa bahan baku yang umum digunakan dalam konsentrat ternak ruminansia diantaranya onggok, dedak padi, polar dan jagung sebagai sumber energi, serta bungkil sawit, bungkil kelapa dan ampas tahu sebagai sumber protein. Kendati demikian, permasalahan yang juga terjadi dalam penyediaan konsentrat adalah fluktuatif dan kualitas bahan baku yang tidak stabil.

Program penggemukan atau feedlot pada sapi pedaging ditujukan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan dalam waktu 3-5 bulan pemeliharaan sapi bakalan. Dalam program tersebut sapi bakalan diberi pakan dalam jumlah tertentu dengan kandungan energi dan protein yang cukup, sehingga menghasilkan pertambahan berat badan (PBB) yang diharapkan.

Pertambahan berat badan sapi tergantung dari banyak hal, antara lain jenis sapi, kelamin, umur, kualitas pemeliharaan pada masa pertumbuhan, serta jenis dan cara pemberian pakan. Selain pakan hijauan, sapi pedaging juga harus diberikan konsentrat khusus untuk penggemukan. Sebagai acuan dalam pembuatan pakan konsentrat sapi pedaging, dapat digunakan SNI Konsentrat Sapi Potong (3148-2:2017).

Jenis-jenis Bahan Pakan
Bahan pakan secara umum dikategorikan dalam empat jenis, yaitu hijauan, konsentrat, pakan suplemen dan imbuhan (additive). Konsentrat merupakan bahan pakan yang mengandung energi dan protein tinggi, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Terdiri dari biji-bijian/serealia, umbi-umbian, maupun limbah industri pertanian (agroindustry wastes). Kualitas bahan pakan konsentrat sangat ditentukan pada proses pengolahan, komposisi nutrisi, palatabilitas, kontaminasi dan proses penyimpanannya.

Bahan konsentrat yang berasal dari limbah industri pertanian pada umumnya berupa bungkil dan ampas. Bungkil adalah limbah hasil ekstrasi minyak dari suatu bahan, misalnya bungkil kedelai, bungki kelapa, bungkil inti sawit dan lain sebagainya. Bungkil bisa mengandung protein yang tinggi dan kaya akan mineral. Sedangkan ampas adalah limbah industri pertanian yang berasal dari proses ekstraksi sari pati suatu bahan, misalnya ampas singkong (onggok), ampas tahu, ampas sagu dan lain sebagainya. Kandungan nutrien ampas lebih rendah dari bungkil, bahkan memiliki serat yang lebih tinggi.

Proses pengolahan bungkil dan ampas ini sangat berpengaruh terhadap kulitas bahan pakan. Hal itu dikarenakan komposisi nutrisi bahan pakan yang pada akhirnya akan  menentukan kualitas bahan pakan tersebut. Kandungan nutrien yang digunakan dalam penentuan kualitas adalah nutrien makro seperti karbohidrat/energi, protein, lemak dan pati, disamping kandungan mineral (makro maupun mikro), serta vitamin.

Penentuan kandungan nutrien makro dapat dilakukan dengan analisis proksimat. Analisis proksimat terdiri dari bakan kering, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrat tanpa nitrogen (BETA-N). Adapun untuk serat kasar, berhubungan negatif dengan kualitas, semakin tinggi serat kasar maka kualitas bahan pakan semakin rendah.

Sedangkan untuk segi palatabilitas yang merupakan daya suka ternak terhadap suatu bahan pakan, bisa dipengaruhi oleh komposisi nutrisi, bentuk fisik, rasa, serta kandungan anti-nutrisi. Bahan pakan yang berkualitas baik akan memberikan palatabilitas tinggi dan sebaliknya bahan pakan yang palatabilitasnya rendah dianggap kurang berkualitas. Kandungan nutrisi tentu akan mempengaruhi palatabilitas. Pakan yang mengandung energi dan protein tinggi lebih disukai ternak dan sebaliknya kadar serat memberikan palatabilitas yang rendah.

Selain itu, bentuk fisik seperti tekstur, warna, bau, juga turut mempengaruhi palatabilitas. Ternak ayam misalnya, lebih menyukai butiran jagung yang berwarna cerah dibandingkan jagung dalam bentuk tepung dan berwarna pucat. Demikian juga dengan kandungan anti-nutrisi sangat mempengaruhi palatabilitas. Contohnhya adalah biji kedelai utuh yang mengandung tripsin inhibitor, memiliki palatabilitas yang rendah dibanding dengan bungkil kedelai, atau sorgum yang mengandung tanin yang tinggi akan dikonsumsi lebih rendah dibandingkan dengan sorgum yang mengandung tanin yang rendah. Pada level tertentu, anti-nutrisi juga akan mengganggu pencernaan dan kesehatan ternak.

Faktor lain yang juga mempengaruhi palatabilitas adalah kontaminasi benda asing. Onggok atau ampas singkong yang dipalsukan dengan pasir laut akan memiliki palatabilitas yang rendah, demikian juga dengan bungkil inti sawit yang banyak mengandung tempurung sawit atau dedak padi yang dicampur sekam, tingkat konsumsi atau palatabilitasnya akan rendah. Perhatikan juga dengan proses penyimpanan, apabila kurang baik sangat mempengaruhi kualitas konsentrat. Penyimpanan yang buruk seperti lembab, kotor, sirkulasi udara kurang baik akan menyebabkan bahan pakan menjadi rusak, berjamur, yang akhirnya mengubah kandungan nutrisinya. Hal ini tentu menurunkan kualitas bahan pakan.

Selain konsentrat, pakan utama yang terpenting untuk ternak ruminansia besar dan kecil adalah hijauan. Hijauan dapat terdiri dari rumput dan legum, baik yang dibudidayakan maupun dari alam. Rumput budidaya memiliki produksi dan kualitas yang relatif baik, dibandingkan hijauan alam yang kualitasnya bervariasi. Kualitas hijauan budidaya tergantung pada beberapa hal, antara lain umur pemanenan, kualitas lahan, varitas, palatabilitas, bulkiness dan laksatif efek.

Untuk mendapatkan performa sapi pedaging yang baik dalam masa pemeliharannya, bahan pakan yang tersedia harus diberikan dengan prinsip formulasi ransum yang benar. Maksudnya adalah teknik meramu atau mengombinasikan beberapa bahan pakan agar mencapai kandungan nutrien sesuai kebutuhan ternak dengan harga ekonomis. Ransum yang baik harus memenuhi seluruh nutrien yang dibutuhkan ternak. Pakan harus menggunakan berbagai bahan pakan, karena tidak ada satupun bahan pakan yang memiliki kandungan nutrien yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak. Jadi untuk mencukupi kebutuhan seekor ternak, berbagai bahan pakan harus dikombinasikan. Dan karena tidak ada bahan pakan yang sempurna, maka setiap bahan pakan dalam ransum peran masing-masing. Dengan mengombinasikan dengan bahan lain, maka akan terjadi supplementary effect atau efek saling melengkapi.

Idat Galih menegaskan, ransum yang baik adalah ransum yang seimbang dengan harga yang murah (balance least cost ration), yaitu ransum yang memiliki kandungan nutrien yang cukup, serta menggunakan bahan pakan yang seimbang dengan harga rendah. Untuk menghasilkan ransum yang seimbang dan murah, maka harus menggunakan bahan pakan yang tersedia, berkualitas dan relatif harganya murah. Ransum harus berharga relatif murah karena untuk menghasilkan produk ternak dengan biaya per unit produksi yang murah maka ternak harus diberi pakan yang relatif murah. Namun demikian yang dimaksud dengan murah bukan berarti “murahan”, karena untuk sekadar menyusun ransum dengan harga murah sangat mudah, namun untuk menyusun ransum yang baik dan seimbang serta murah tidak mudah.

Untuk melakukan formulasi ransum, seorang peternak atau ahli nutrisi pakan harus mengetahui beberapa hal, antara lain kebutuhan nutrien ternak, ketersediaan bahan pakan dan komposisi nutriennya, harga bahan pakan tersedia, serta batasan penggunaan bahan pakan. Ada banyak metode dalam menyusun ransum, mulai dari metode sederhana, metode coba-coba sampai dengan menggunakan komputer dengan bantuan software tertentu. Penggunaan sotware pada prinsipnya adalah dengan menggunakan metode linier, yaitu suatu metode optimasi dalam meminisasi harga atau mekasimumkan keuntungan. *** 

Andang S Indartono
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer