Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

INDONESIA TINGKATKAN KEWASPADAAN TERKAIT VIRUS FLU BABI G4

Babi, kembali menjadi sorotan karena penularan virus flu babi G4

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian,meningkatkan pengawasan terhadap hewan-hewan serta produk hewan yang masuk Indonesia yang berpotensi membawa penyakit.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita, menjelaskan bahwa para petugas karantina meningkatkan pengawasan sebagai bentuk antisipasi terhadap temuan sebuah galur (strain) virus flu baru yang berpotensi menjadi pandemi.

Galur virus yang disebut G4 EA H1N1 itu dibawa oleh babi, namun dapat menjangkiti manusia.

"Pengawasan sistematis terhadap virus influenza pada babi adalah kunci sebagai peringatan kemungkinan munculnya pandemi influenza berikutnya. Kita akan siapkan rencana kontingensinya juga," kata Ketut di Jakarta, Kamis (02/07).

Ketut menjelaskan bahwa pihaknya juga akan terus memperkuat kapasitas deteksi laboratorium kesehatan hewan di Indonesia, serta meminta jejaring laboratorium tersebut untuk melakukan surveilans untuk deteksi dini penyakit dimaksud.

Sebelumnya, kepada BBC, Prof Kin-Chow Chang, yang bekerja di Universitas Nottingham, Inggris, mengatakan dia dan para koleganya menemukan galur virus flu baru yang dibawa oleh babi.

Mereka khawatir virus yang disebut G4 EA H1N1 itu bisa bermutasi lebih jauh sehingga bisa menular dengan mudah dari satu orang ke orang lain dan memicu wabah penyakit sedunia.

Baru-baru ini para ilmuwan menemukan bukti penularan pada manusia yang bekerja di penjagalan dan industri peternakan babi di China.

Sejauh ini virus tersebut belum menimbulkan ancaman besar, namun menurut Prof Kin-Chow Chang dan kolega-koleganya yang tengah menelitinya, virus itu patut diawasi. Menurut Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita, temuan virus flu babi ini sempat membuat masyarakat bingung, karena menganggap flu babi sama dengan demam babi Afrika atau African Swine Fever (ASF).

Ketut menegaskan bahwa flu babi dan demam babi Afrika adalah dua penyakit yang berbeda.

"Kasus penyakit pada babi yang ada di Indonesia pada saat ini adalah ASF dan bukan flu babi," kata dia.

Sejak akhir 2019, kasus ASF dilaporkan di Indonesia tepatnya di Sumatera Utara.

Kementan pun terus memantau perkembangan kasusnya, dan berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada laporan kejadian ASF menular pada manusia.

Ketut memastikan bahwa sejak ASF mulai dilaporkan di China pada 2018, Kementan secara konsisten terus melakukan pengendalian dan menyosialisasikan tentang ASF ke provinsi/kabupaten/kota melalui edaran dan juga sosialisasi secara langsung, pelatihan, dan simulasi.

Ketut menerangkan bahwa pada saat ini, kasus flu babi khususnya galur baru seperti pada pemberitaan, belum pernah dilaporkan di Indonesia.

"Jadi masyarakat tidak perlu khawatir terkait flu babi ini. Pemerintah akan terus memantau dan berupaya agar penyakit ini tidak terjadi di Indonesia," kata dia kepada

KEMUNCULAN FLU BABI DI TIONGKOK, BERBEDA DENGAN ASF

Muncul penyakit Flu babi di Tiongkok yang berpotensi zoonosis. (Foto: Ist)

Temuan virus baru Flu babi (Swine flu) G4 EA H1N1 yang dipublikasi oleh ilmuwan Tiongkok baru-baru ini, menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, tak sama dengan kasus African Swine Fever (ASF).

Hal tersebut dikatakan agar masyarakat tak bingung membedakan kedua penyakit tersebut. “Kasus penyakit pada babi yang ada di Indonesia saat ini adalah ASF, bukan Flu babi,” kata Ketut dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (1/7/2020).

Ia menambahkan, penyakit Flu babi yang dilaporkan oleh ilmuwan Tiongkok disebabkan oleh virus infulenza H1N1 galur baru dan berpotensi menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Sementara pada kasus ASF yang ada di Indonesia tidak dapat menular ke manusia.

“Sejak akhir 2019, kasus ASF dilaporkan di Indonesia tepatnya di Sumatra Utara. Kementan terus memantau perkembangan kasusnya dan berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada laporan kejadian ASF pada manusia di seluruh negara tertular,” jelas Ketut.

Pihaknya pun sejak laporan ASF di China pada 2018 secara konsisten terus melakukan pengendalian dan mensosialisasikan ASF ke provinsi/kabupaten/kota melalui edaran, maupun sosialisasi secara langsung, memberikan pelatihan dan simulasi. 

Sedangkan menanggapi kewaspadaan Flu babi khususnya galur baru ini, Ketut menegaskan akan menerapkan berbagai langkah mengurangi potensi masuk dan menyebarnya Flu babi di Indonesia. Diantaranya dengan memperkuat kapasitas deteksi laboratorium kesehatan hewan, serta meminta jejaring laboratorium tersebut untuk melakukan surveilans deteksi dini penyakit Flu babi. Selain itu, para petugas karantina juga diminta meningkatkan keamanan di pintu-pintu pemasukan untuk mengawasi masuknya hewan dan produk yang memiliki potensi risiko pembawa penyakit. 

“Masyarakat tak perlu khawatir. Pemerintah terus memantau dan berupaya agar penyakit ini tidak terjadi di Indonesia. Pengawasan sistematis terhadap virus influenza pada babi adalah kunci sebagai peringatan kemungkinan munculnya pandemi berikutnya. Kita akan siapkan juga rencana kontingensinya,” pungkas Ketut. (INF)

MENGENAL PENYAKIT AFRICAN SWINE FEVER

Virus ASF sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian 100% pada babi. (Foto: GETTY IMAGES)

Virus African Swine Fever (ASF) adalah virus DNA beruntai ganda termasuk dalam familie Asfarviridae sebagai agen penyakit ASF. Virus ini menyebabkan demam berdarah dengan tingkat kematian tinggi. Beberapa isolat dapat menyebabkan kematian hewan satu minggu setelah infeksi. Virus ini menginfeksi inang alami seperti babi hutan melalui vektor kutu dari genus Ornithodoros tanpa disertai gejala penyakit.

Selain itu, virus ASF juga ditularkan melalui kontak langsung dengan babi yang tertular, daging dan produk daging babi, sisa-sisa makanan (swilling feeding), peralatan, sepatu, hingga pakaian yang digunakan para pekerja atau pengunjung di peternakan babi yang tertular penyakit ASF.

Namun virus ASF bisa mati pada pemanasan suhu 56 derajat selama 70 menit atau suhu 60 derajat selama 20 menit. Kendati demikian, virus ASF bisa bertahan hidup pada sisa makanan dalam sampah yang terinfeksi virus ASF selama 3-6 bulan dan dalam keadaan frozen selama tiga tahun.

Gambar 1: Bentuk virus ASF secara fisik seperti model virus pada umumnya, tetapi sangat  jauh berbeda  secara molekular.

Penyakit ini tidak menyebabkan penyakit pada manusia atau tidak bersifat zoonosis. Virus ASF merupakan penyakit endemik di Afrika sub-Sahara dan menyebar ke Eropa melalui babi atau produknya yang dibawa oleh imigran maupun wisatawan Eropa. Virus ASF memiliki genom DNA beruntai ganda dan dapat menjangkau 190 kilobase, serta yang mengesankan karena mengkode hampir 170 protein, jauh lebih besar dari virus lain, seperti Ebola (beberapa strain hanya memiliki 7 protein).

Virus ASF memiliki kesamaan dengan virus DNA besar lainnya, misalnya poxvirus, iridovirus dan mimivirus. Virus ASF ini menyebabkan demam hemoragik, dimana sel targetnya terutama untuk bereplikasi terdapat pada makrofag sel monosit. Masuknya virus ke dalam sel inang dimediasi oleh reseptor, tetapi mekanisme endositosis yang tepat sampai saat ini belum jelas. Sel makrofag pada tahap awal diinfeksi oleh virus ASF, perakitan kapsid icosahedral terjadi pada membran retikulum endoplasma. Poliprotein diproses secara proteolitik membentuk kulit inti antara membran internal dan inti nukleoprotein. Membran sel plasma bagian luar sebagai inti partikel dari membran plasma. Protein virus mengkode protein yang menghambat jalur pensinyalan pada makrofag yang terinfeksi dan dengan demikian memodulasi aktivasi transkripsi gen respons imun. Selain itu, virus mengkode protein yang menghambat apoptosis sel yang terinfeksi untuk memfasilitasi produksi virion keturunannya. Protein membran virus dengan kemiripan protein adhesi seluler memodulasi interaksi sel yang terinfeksi virus dan viri ekstraseluler dengan komponen inang.

Hewan yang peka pada ASF ini adalah babi hutan, babi liar dan babi domestik. Babi yang terinfeksi dapat menunjukkan satu atau beberapa tanda-tanda klinis, seperti berwarna ungu kebiruan dan perdarahan (seperti bintik atau memanjang) di telinga, perut dan/atau kaki belakang, kemudian mata dan hidung keluar cairan, lalu terdapat merah pada kulit dada, perut, perineum, ekor dan kaki,  dan juga terjadi sembelit atau diare yang dapat berkembang dari mukoid menjadi berdarah (melena), muntah, induk babi yang bunting mengalami aborsi pada semua tahap kebuntingan, darah dan busa dari hidung/mulut dan mata, serta kotoran berdarah di sekitar ekor. Gejala klinis dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Gejala klinis pada penyakit African Swine Fever.

Oleh karena sifat virus yang sangat rumit dan memiliki genom besar, maka untuk menemukan obat misalnya vaksin saja juga sulit. Sampai saat ini peneliti belum mampu menemukan vaksin ASF, meskipun berbagai metoda pembuatan vaksin telah dilakukan. Metoda pembuatan vaksin ASF yaitu dimulai dari vaksin konvensional, vaksin DNA, rekombinan protein dan vaksin dari senyawa alami, sintetis dan obat.

Dengan alasan tersebut, maka virus ini sangat berbahaya apabila terjangkit wabah ASF, karena dapat menyebabkan kematian (mortalitas) 100%. Seluruh babi dalam suatu kandang atau wilayah akan mati secara keseluruhan. Selain kematian yang sangat tinggi juga akan kehilangan sumber protein dan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak dan masyarakat.

Berdasarkan kompleksitas susunan DNA dan protein virus ASF, sifat penyakitnya menyebabkan kematian sangat tinggi (mortalitas 100%), belum ditemukannya obat (vaksin) yang efektif dan aman, maka pemerintah harus menjaga secara ketat masuknya penyakit ini ke dalam wilayah Indonesia. Penting untuk diperhatikan bahwa penularan penyakit ini tidak bisa dicegah, karena hal tersebut menyebabkan tidak ada negara yang kebal terhadap penyakit ASF. Negara maju pun seperti Amerika dan negara-negara lain di Eropa dapat tertular penyakit ini walaupun telah melakukan biosekuriti. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia dan Asia pada umumnya, dimana peternaknya belum disiplin dalam menerapkan biosekuriti. Satu-satunya cara untuk mengeliminasi virus ASF melalui depopulasi dengan cara penguburan dan desinfeksi kandang serta peralatannya. ***

Oleh: Dr med vet Drh Abdul Rahman
Medik Veteriner Ahli Madya di P3H Direktorat Kesehatan Hewan

KEMENTAN DORONG PELAKSANAAN UJI ZURIAT BIBIT SAPI PERAH

Usaha peternakan sapi perah 


Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya meningkatkan produksi ternak sapi perah secara nasional melalui peningkatan jumlah dan perbaikan mutu bibit sapi perah. Salah satu langkah yang dilakukan adalah meningkatkan jumlah dan mutu ternak sapi perah yang unggul dan bermutu tinggi, dengan pelaksanaan uji zuriat untuk memilih ternak bibit sapi perah.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita, menilai usaha peternakan sapi perah dapat ditingkatkan melalui penyedian bibit sapi perah dan jantan yang berkualitas. Harapannya, bisa mendorong peternak menghasilkan susu dengan kualitas yang lebih baik.

“Karena di saat pandemi COVID-19 ini, masyarakat sangat sadar dan memahami pentingnya konsumsi susu dengan berbagai macam jenis olahannya seperti keju dan mentega yang sering menjadi bahan utama beragam makanan untuk meningkatkan imunitas tubuh dan meminimalisir potensi terinfeksi penyakit,” kata Ketut dalam siaran persnya, Sabtu (27/6).

Ketut menambahkan berdasarkan  data statistik peternakan dan kesehatan hewan tahun 2019, populasi sapi perah nasional sebanyak 561.061 ekor dengan kebutuhan jumlah kebutuhan susu nasional tahun 2019 mencapai 4.332.880 ton.  Sementara produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) sebanyak 996.442 ton atau hanya mampu memenuhi 22 persen dari kebutuhan nasional.

Untuk itu, Kementan ingin menyeimbangkan antara kebutuhan dan produksi tersebut. Melalui Ditjen PKH, Kementan berupaya mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh peternak rakyat dengan meningkatkan populasi sapi perah dan peningkatan mutu genetik sapi perah.

Pada tahun 2020 ini, fokus kegiatan Kementan dalam peningkatan populasi sapi perah ini dilakukan melalui program Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan). Selain itu, pemasukan bibit sapi perah untuk replacement induk juga dilakukan.

Sedangkan dalam hal peningkatan mutu genetik, langkah yang diambil adalah melalui program uji zuriat sapi perah nasional. Ketut menjelaskan, uji zuriat merupakan pengujian untuk mengetahui potensi genetik produksi susu sapi calon pejantan melalui produksi susu anak betinanya (Daughter Cow/DC) dan dilakukan untuk menghasilkan bibit pejantan unggul yang cocok dengan kondisi agroklimat Indonesia.

“Besarnya potensi peningkatan mutu genetik sapi perah di masyarakat ini menjadi salah satu tujuan kegiatan uji zuriat sapi perah nasional. Dan kami berharap meningkatnya produksi susu di masyarakat akan mendorong peningkatan produksi secara nasional," papar Ketut.

Pelaksanaan Kegiatan Uji Zuriat Sapi Perah Nasional

Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Sugiono mengatakan, dalam pelaksanaan kegiatan Uji Zuriat Sapi Perah periode tahun 2011-2019, Ditjen PKH Kementan juga telah melibatkan stakeholder melalui bentuk kerja sama. Lewat kerja sama tersebut, menghasilkan 14 ekor pejantan unggul sapi perah hasil Uji Zuriat yaitu Bullionary, Farrel, Filmore, Formery, Flaunt, Florean, Fokker, Hostromsy, Goldsy, Perfentvil, Fortuner, SG. Gabe, SG. Bolton dan Aris.

Sugiono melanjutkan, keempat belas pejantan unggul hasil uji zuriat ini memiliki rataan produksi susu per hari sebanyak 16,77 kilogram (kg) per hari dengan dua kali pemerahan dan nilai persentase dari contemporary comparison/Relative Breeding Value-nya sebesar 112,75 persen. Dari nilai rataan produksi susu ini, menurut Sugiono, akan sangat berarti bagi peternak, karena dengan manajemen pemeliharaan sederhana peternak bisa memperoleh produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan sapi betina yang bukan dari keturunan hasil uji zuriat.

“Pendekatan melalui peningkatan mutu genetik ini lebih terasa manfaatnya pada peternak rakyat yang memiliki kepemilikan sapi perah yang terbatas,” jelas Sugiono.

Dari 14 ekor yang telah dilaunching tersebut, 8 ekor pejantan di antaranya adalah dari  Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang. Kemudian selanjutnya pejantan yang termasuk Uji Zuriat Periode III sebanyak 6 ekor, yaitu Glens (314107), Shoty (314108), Dominggo (314111) dari BBIB Singosari.

Di tempat terpisah, Kepala Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Tri Harsi mengungkapkan, BIB Lembang mempunyai 3 calon pejantan unggul, yaitu Flate, Flanggo, dan Folegan. Ketiga calon pejantan unggul ini, diharapkan bisa dilaunching pada Hasil Uji Zuriat Sapi Perah Nasional pada Tahun 2020 ini.

Tri menyampaikan bahwa produksi semen beku Flate (314113), Flanggo (314115), dan Folegan (314118) sejak mulai diproduksi sampai dengan akhir Mei 2020 berturut- turut sebanyak 93.014 dosis, 75.034 dosis, dan 104.512 dosis. Sedangkan distribusi dari tiga calon pejantan unggul tersebut sampai dengan akhir Mei 2020 berturut-turut sebanyak 3.419 dosis, 3.750 dosis, dan 4.298 dosis.

“Distribusi semen beku calon pejantan unggul tersebut hanya dilakukan pada daerah peserta Uji Zuriat dan untuk keperluan Uji Zuriat," terang Tri.

Lebih lanjut, Tri menjelaskan di tengah pandemi covid-19 di Indonesia, pelaksanaan kegiatan Uji Zuriat baik koordinasi maupun monitoring evaluasi menjadi tantangan untuk dilaksanakan. Namun, ia berharap kegiatan Uji Zuriat pada Tahun 2020 dapat berlanjut sesuai jadwal yang direncanakan untuk melaunching calon pejantan unggul Indonesia. (republika.co.id)
 

KEMENTAN PASTIKAN HEWAN KURBAN ASUH BAGI MASYARAKAT

Pemotongan hewan kurban. (Foto: Humas PKH)

Dalam Upaya penjaminan kesehatan, keamanan dan kelayakan daging pada pelaksanaan Hari Raya Idul Adha 1441 H, Kementerian Pertanian (Kementan) terus meningkatkan pengawasan teknis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner hewan kurban.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), I Ketut Diarmita, Kementan, saat membuka Program Bertani on Cloud Vol. 22 dengan Topik Pelatihan Juru Sembelih Halal, Selasa (30/6).

Menurutnya, dalam proses penyembelihan hewan kurban harus memenuhi dua aspek sekaligus, yakni kehalalan dan kesejahteraan hewan (Kesrawan). Kedua aspek tersebut sejalan dengan persyaratan prinsip dasar penyembelihan sehingga peran juru sembelih menjadi sangat penting dalam memastikan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban agar memenuhi persyaratan syariat Islam.

“Hari Raya Idul Adha sebentar lagi, jadi sangat penting sekali membekali para juru sembelih halal (Juleha) tersebut, apalagi ditengah wabah pandemi COVID-19 dengan memperhatikan  protokol kesehatan,” kata Ketut.

Untuk itu, Kementan telah melakukan serangkaian upaya mulai dari penyediaan regulasi, sosialisasi, pembinaan dan juga akan terlibat dalam pemeriksaan, serta pengawasan daging dan hewan kurban.

“Kementan berkomitmen memastikan bahwa pelaksanaan penyembelihan hewan kurban di Indonesia dapat memenuhi persyaratan teknis dalam rangka menjamin daging kurban yang akan dibagikan kepada masyarakat sesuai kriteria Aman, Sehat, Utuh dan Halal  (ASUH),” tegasnya.

Ketut menambahkan, berbagai pelatihan dan sosialisasi tentang pelaksanaan penyembelihan hewan kurban kepada masyarakat sangat penting untuk dilakukan secara massif dalam mengedukasi masyarakat khususnya bagi panitia kurban terkait penanganan hewan kurban, penyembelihan halal dan penanganan daging kurban yang higienis, baik melalui berbagai media secara langsung maupun tidak langsung. 

Terlebih dengan adanya pandemi COVID-19 saat dimana dilakukan pembatasan sosial (social distancing), pelatihan dan sosialisasi memanfaatkan beraneka ragam aplikasi dan sarana multimedia, sehingga informasi yang dibutuhkan masyarakat dapat berjalan efektif dan efisien.

Di Indonesia panduan tentang penyembelihan halal mengacu pada tiga regulasi utama, yaitu: 1) Halal Assurance System (HAS) 23103, Guideline of Halal Assurance System Criteria on Slaughterhouses. 2) Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) No. 196/2014 tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Kategori Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Golongan Pokok Jasa Penunjang Peternakan Bidang Penyembelihan Hewan Halal. 3) Standar Nasional Indonesia (SNI) 99002:2016 tentang Pemotongan Halal pada Unggas.

Direktur Kesehatan Masayarakat Veteriner, Syamsul Ma’arif menjelaskan titik kritis yang dapat menyebabkan daging menjadi tidak halal adalah cara penyembelihan hewan yang tidak sesuai dengan syariah agama Islam. Proses penyembelihan harus cepat, sekali ayun dan memotong tiga saluran, yaitu hulqum, mar’i dan wadjadain atau saluran napas (trachea), saluran makan (esofagus) dan pembuluh darah kiri dan kanan yang ada dibagian leher (arteri carotis comunis).

Selain itu, Syamsul juga menambahkan persyaratan prinsip dasar penyembelihan harus dilakukan, yakni penanganan ternak yang baik, penggunaan pisau yang tajam, teknik penyembelihan yang cepat dan tepat, satu kali penyembelihan sehingga tidak menginduksi kesakitan yang berlebihan, pengeluaran darah yang tuntas, serta kematian yang sempurna. (INF)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer