Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

LUNCURKAN VAKSIN, MENTAN MINTA BISA INTERVENSI DUNIA

Mentan Syahrul dalam kegiatan Launching Inovasi Teknologi Kesehatan Unggas Veteriner di BB Litvet Bogor. (Foto: Humas Kementan)

Dalam rangka Launching Inovasi Teknologi Kesehatan Unggas Veteriner, di Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet), Kementerian Pertanian (Kementan), Bogor, Kamis (5/12), Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, menyatakan keinginannya untuk mengembangkan inovasi dan teknologi vaksin unggas yang dapat dimanfaatkan berbagai pihak dari dalam maupun luar negeri.

“Saya berharap kita dapat mengintervensi dunia, jadi tidak hanya memanfaatkan vaksin dari luar, tetapi mampu menciptakan vaksin sendiri untuk dapat dimanfaatkan negara lain dalam meningkatkan kesehatan unggas, sehingga populasi dan produksi akan lebih baik,“ kata Mentan Syahrul dalam siaran persnya.

Ia menyebut, program Kementan dalam bidang peternakan yakni pengembangan dan peningkatan populasi ternak unggas, salah satunya ayam kampung terus digalakkan. “Tentunya kita berharap populasi ternak semakin berkembang, namun akselerasi dan perkembangan yang cepat juga rentan terhadap berbagai hama, virus dan penyakit, untuk itu kita harus dapat mengantisipasinya,“ jelas dia.

Ia juga menambahkan, melalui inovasi dan teknologi BB Litvet dipercaya dapat mengantisipasi masalah dan tantangan terkait kesehatan hewan, mengingat ancaman virus global saat ini semakin meningkat. 

“Kita perlu melakukan penelitian dan riset terhadap segala permasalahan kesehatan hewan, para ahli peneliti dan dokter hewan kita hebat dan tidak kalah dengan negara lain,” ucap Mentan Syahrul.

Dalam kegiatan tersebut, BB Litvet meluncurkan beberapa vaksin untuk unggas, diantaranya vaksin AI (Avian influenza) bivalen, vaksin AI kombinasi HPAI (High Pathogenic Avian Influenza) dan LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza), vaksin ND GTT 11 dan teknologi diagnosa kit ELISA DIVA yang digunakan untuk membedakan hasil vaksinasi dan infeksi AI.

“Nantinya vaksin kita juga terbuka untuk para pengusaha dan investor yang ingin berinvestasi, kalau perlu kita lakukan diplomasi perdagangan dengan negara lain terhadap vaksin yang kita miliki,“ pungkasnya. (INF)

WASPADAI ANCAMAN ASF DARI TIMOR LESTE, KEMENTAN LATIH PETUGAS LAPANGAN DI NTT

Foto: Dokumentasi Kementan

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus berupaya melakukan penguatan sistem pelayanan kesehatan hewan nasional di Indonesia. Salah satu fokus penguatan saat ini adalah terkait upaya pencegahan, deteksi, dan pengendalian penyakit African Swine Fever (ASF) yang merupakan ancaman potensial bagi populasi babi di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini penting karena ASF sudah mewabah di Timor Leste.

Antisipasi terhadap kejadian tersebut, Ditjen PKH melaksanakan bimbingan teknis (bimtek) kepada 50 orang petugas lapang yang berasal dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Provinsi NTT dan kabupaten/kota yang ada di Pulau Timor. Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari dari tanggal 4 Desember 2019 di Hotel On the Rock Kupang.

Menurut Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, penyebaran penyakit ASF ini sangat cepat dan telah mendekati perbatasan wilayah Negara Republik Indonesia di NTT, sehingga potensi ancaman masuknya penyakit ini semakin besar. "Kondisi ini memerlukan kewaspadaan dini dan harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis" ungkap Ketut.

Oleh karenanya, sesuai amanat Undang-Undang No.18 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2014, tindakan teknis yang harus dilakukan adalah deteksi cepat, pelaporan cepat dan pengamanan cepat. "Sangat penting untuk diidentifikasi potensi lokasi timbulnya penyakit dan sebaran populasi babi" ungkap Ketut.

Untuk berhasilnya deteksi, pelaporan dan penanganan cepat, lanjut Ketut, diperlukan adanya pemahaman peternak terkait gejala klinis penyakit ASF. Setiap ada perubahan pada babi yang dipelihara, seperti penurunan nafsu makan dan peningkatan kasus kematian, peternak diharapkan segera melaporkan kejadiannya kepada petugas lapang dinas. "Pemahaman petugas terkait ASFmenjadi kunci utama penanganan yang cepat dan efektif, sehingga kasus dapat ditangani dan meminimalisir kerugian" tambahnya.

Ketut juga menjelaskan bahwa ASF ini merupakan penyakit yang belum ditemukan vaksin dan obatnya yang efektif, untuk itu tindakan teknis dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan difokuskan pada surveilans, biosekuriti dan dilanjutkan dengan tindakan depopulasi, disposal dan dekontaminasi.

Melalui bimtek ini, harapnya, menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan petugas tentang penyakit ASF, serta memberikan kesempatan petugas untuk dapat melakukan praktek langsung di lapangan. “Kompetensi-kompetensi yang dimiliki petugas tersebut sangat penting untuk mengantisipasi ancaman masuk, terjadinya, dan potensi menyebarnya penyakit” tutup Ketut. (Rilis Kementan)

PERNYATAAN PDHI TERKAIT KASUS KEMATIAN BABI DI SUMATERA UTARA









TIGA PILAR TERJADINYA PENYAKIT

Peternakan ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Dalam suatu populasi, disadari atau tidak, hewan ternak dalam hal ini ayam yang dipelihara, dalam hitungan detik harus selalu berinteraksi dengan sejumlah mikroorganisme di sekelilingnya dalam suatu lingkungan tertentu (mileu) yang menopang keduanya. Atribut yang terkait dengan komponen lingkungan itu sendiri seperti kelembaban dan temperatur tentu saja dapat mempengaruhi serta memodulasi interaksi yang terjadi diantara keduanya.

Yang jelas, dalam kondisi normal, interaksi yang terjadi adalah interaksi yang harmonis, artinya terjadi keseimbangan antara daya tahan tubuh ayam dengan kemampuan menginfeksi dari mikroorganisme yang ada. Interaksi yang dimaksud dapat dilihat melalui ilustrasi gambar 1 berikut:

Gambar 1: Model interaksi antara hewan ternak dengan mikroorganisme di sekelilingnya dalam lingkungan tertentu. Dalam kondisi normal, semuanya dalam keadaan harmoni atau equilibrium. Hewan ternak berada dalam kondisi sehat, mampu mengatasi serangan dari mikroorganisme.

Selanjutnya, dengan adanya karakter "dinamika" yang merupakan suatu ciri dari kehidupan, maka kondisi harmoni tersebut di atas pada kenyataannya tidaklah kekal. Dengan berjalannya waktu, maka akan ada perubahan-perubahan yang kadang kala menguntungkan atau bahkan dapat merugikan kondisi hewan ternak yang dipelihara. Jika ini yang terjadi, maka hewan ternak mungkin saja akan sakit atau akan menunjukkan penampilan (performance) yang tidak memuaskan dengan derajat yang bervariasi.

Ada beberapa kondisi yang dapat mengubah keseimbangan yang terjadi, yaitu:

a. Terjadinya perubahan pada hewan ternak sendiri, misalnya menurunnya kondisi tubuh secara umum dan/atau meningkatnya tantangan mikroorganisme yang ada di sekeliling hewan ternak yang dipelihara. Menurunnya kondisi tubuh hewan ternak secara umum bisa disebabkan oleh berkurangnya kualitas dan kuantitas nutrisi yang diperoleh, tingginya faktor stres atau adanya faktor-faktor yang dapat menekan respon pertahanan tubuh hewan ternak secara umum (adanya faktor imunosupresi). Di lain pihak, meningkatnya tantangan mikroorganisme di sekeliling hewan ternak mungkin disebabkan oleh pelaksanaan konsep biosekuriti yang tidak konsisten, waktu istirahat kandang yang minim, atau tingginya tingkat kegagalan program vaksinasi maupun medikasi yang ada. Yang jelas, perubahan pada sisi mikroorganisme lingkungan bisa dari aspek jumlah (meningkatnya jenis atau kepadatan mikroorganisme patogen) atau aspek kualitas (meningkatnya keganasan mikroorganisme yang bersangkutan). Gambar 2 merupakan ilustrasi dari apa yang baru dijelaskan.

Gambar 2: Kondisi lingkungan tidak berubah, akan tetapi terjadi perubahan pada kondisi hewan ternak dan/atau pada mikroorganisme yang ada di sekeliling hewan ternak yang bersangkutan. Ketidakseimbangan terjadi jika kondisi tubuh hewan ternak menurun dan/atau kondisi mikroorganisme di sekelilingnya meningkat (dari aspek kuantitas atau kualitas).

b. Kondisi pada hewan ternak ataupun mikroorganisme yang ada di sekelilingnya tidak berubah, akan tetapi terjadi perubahan pada lingkungan yang mendukungnya. Perubahan pada kondisi lingkungan bisa berupa perubahan pada temperatur, kelembaban atau terjadinya polusi dari lingkungan sekitar hewan ternak. Yang jelas, perubahan yang terjadi justru akan memberikan kondisi yang sulit untuk hewan ternak atau mungkin memberikan kondisi yang menguntungkan bagi mikroorganisme yang ada di sekitar hewan ternak yang dipelihara. Dengan kata lain, terjadinya perubahan pada kondisi lingkungan akan memberikan efek negatif pada hewan ternak, tapi di lain pihak mungkin akan memberikan efek positif pada mikroorganisme lingkungan. Pada keadaan ini keseimbangan tentu saja akan terganggu (lihat gambar 3).

Gambar 3: Kondisi pada hewan ternak tidak berubah, akan tetapi kondisi lingkungan berubah dan perubahan tersebut memberikan efek positif pada mikroorganisme yang ada di sekeliling hewan ternak yang dipelihara.

Dari uraian di atas, sangatlah jelas bahwa terjadinya ledakan kasus penyakit dalam lingkungan suatu peternakan bukanlah suatu kejadian yang sifatnya revolutif atau suatu kejadian yang dramatis, akan tetapi lebih merupakan suatu proses yang sifatnya evolutif. Oleh sebab itu, ada tiga hal mendasar yang saling terkait dalam usaha mencegah terjadinya kasus-kasus penyakit infeksius di dalam lingkungan peternakan secara sistematis, yaitu:

1. Usaha-usaha untuk mengurangi jenis dan jumlah mikroorganisme (terutama yang patogen) di sekeliling hewan ternak yang ada (aspek mikroorganisme).
2. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kontak antara hewan ternak yang dipelihara dengan mikroorganisme patogen (aspek lingkungan).
3. Usaha-usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuh hewan ternak yang dipelihara (aspek hewan ternak).

Aspek Mikroorganisme (Patogen)
Yang jelas, untuk mengurangi jumlah maupun jenis mikroorganisme patogen yang ada di sekeliling hewan ternak, maka pertama-tama harus mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasinya secara tepat. Jika identifikasi sudah dapat dilakukan, maka dengan mudah akan mengetahui aspek-aspek epidemiologisnya (cara penyebaran, kecepatan menyebar, pola kematian hewan ternak, tanda-tanda klinis yang paling dominan, dll), serta aspek patogenesisnya (perjalanan penyakit di dalam tubuh hewan ternak).

Identifikasi mikroorganisme patogen dapat dilakukan dengan menganalisa data yang berasal dari anamnese (sejarah penyakit dalam suatu lingkungan peternakan), pengamatan gejala klinis, pengamatan bedah bangkai atau bahkan dengan bantuan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium.

Selanjutnya, dengan mengetahui jenis mikroorganisme yang ada, maka dapat diketahui model penularannya dari sutu ternak ke ternak lainnya, atau bahkan dari suatu peternakan ke peternakan lainnya. Sampai pada tahap ini sebenarnya sudah dapat diambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya, terutama pada titik-titik tertentu, dimana merupakan titik atau fase kunci dari tahapan penularan suatu mikroorganisme di alam.

Dengan diidentifikasinya mikroorganisme patogen di sekeliling hewan ternak yang dipelihara, dapat diketahui pula media apa yang digunakan oleh mikroorganisme patogen tersebut untuk menyebar, apakah feses (kotoran hewan ternak), percikan batuk, air liur atau bahkan ketombe bulu (pada ternak unggas). Bahan-bahan ini tentu akan mendapatkan perlakuan khusus, agar penyebaran mikroorganisme patogen dapat dicegah sedini mungkin.

Pada sisi lain, dengan diidentifikasinya mikroorganisme patogen yang ada, maka kegagalan dalam penggunaan program dan jenis desinfektan juga dapat dikurangi. Sebagai contoh, desinfektan dari kelompok fenol atau kresol tidak mempunyai potensi yang baik dalam membunuh kuman-kuman yang dapat membentuk spora (misalnya Clostridium).

Aspek Lingkungan (Mileu)
Suatu kasus penyakit di dalam lingkungan suatu peternakan bisa saja terjadi akibat hewan ternak terinduksi oleh mikroorganisme yang mempunyai strain atau jenis yang baru yang masuk ke dalam lingkungan peternakan yang bersangkutan. Ini berarti telah terjadi perubahan pada kondisi lingkungan peternakan tersebut. Hewan ternak menjadi sakit karena tidak atau belum mempunyai kekebalan yang cukup, karena belum pernah terinduksi pada fase-fase sebelumnya.

Oleh sebab itu, dalam aspek lingkungan ini tercakup usaha-usaha dalam mengontrol lalu-lintas kendaraan (vehicles), peralatan-peralatan peternakan (fomites), atau bahkan karyawan yang sebenarnya dapat menjadi media tranportasi suatu mikroorganisme untuk masuk ke dalam lingkungan suatu flok atau peternakan.

Melaksanakan sanitasi yang baik dan mengurangi frekuensi lalu-lintas kendaraan, peralatan peternakan dan karyawan tentu saja dapat mencegah terjadinya kontak antara hewan ternak dengan mikroorganisme patogen yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, keberadaan hewan liar (ferret animals) di dalam lingkungan suatu peternakan jelas dapat memperbesar peluang terkontaminasinya lingkungan peternakan yang bersangkutan dengan mikroorganisme patogen dengan strain atau bahkan jenis yang baru. Model untuk mengontrol hewan-hewan liar yang mungkin dapat menjadi perantara penularan suatu mikroorganisme patogen harus disesuaikan dengan jenis hewan-hewan liar yang ada, apakah berupa hewan pengerat (tikus), anjing liar, pelbagai jenis burung, atau bahkan serangga (insekta).

Masuknya mikroorganisme patogen di dalam suatu lingkungan peternakan bisa juga melalui bahan-bahan pakan (atau pakan ternak) atau air, yang digunakan baik sebagai air minum atau untuk keperluan lainnya. Untuk mencegah terjadinya induksi oleh mikroorganisme patogen ke dalam suatu peternakan melalui cara ini, maka sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap pakan dan sumber-sumber air secara rutin, sehingga tercemarnya lingkungan peternakan dapat dicegah sedini mungkin.

Aspek Hewan Ternak (Induk Semang)
Hewan ternak relatif tahan dalam menghadapi tantangan bibit penyakit bila kondisi tubuhnya baik. Kondisi ini dapat tercapai bila keberadaan energi dan bahan-bahan nutrisi di dalam pakan dalam keadaan cukup. Hewan ternak yang mengalami defisiensi nutrisi lebih mudah terserang penyakit.

Kondisi tubuh hewan ternak juga dapat ditingkatkan melalui program-program vaksinasi yang efektif dan tepat waktu, sehingga dapat menstimulasi terbentuknya kekebalan yang sesuai dan cukup, terutama pada fase-fase rawan selama kehidupan hewan ternak yang bersangkutan.

Dalam kondisi tertentu, penggunaan preparat antibiotika dengan tujuan untuk mengurangi peluang terjadinya kasus-kasus infeksius tentu saja sangat membantu memperbaiki kondisi tubuh hewan ternak secara umum. Preparat antibiotika yang dipakai tentu saja harus disesuaikan dengan mikroorganisme yang ada.

Selanjutnya, kondisi tubuh hewan ternak dapat saja turun karena tingginya faktor stres yang diperoleh. Penanganan hewan ternak yang kasar, program-program vaksinasi yang terlalu sering, dan terlalu padatnya hewan ternak dalam suatu lingkungan peternakan jelas dapat menstimulasi tingginya faktor stres. Oleh sebab itu, untuk mengurangi tingginya faktor-faktor stres yang berhubungan dengan tata laksana peternakan, maka sangat dianjurkan setiap peternakan menerapkan tata laksana yang baku dengan standar operasional yang jelas.

Kondisi tubuh hewan ternak dapat juga terganggu dengan adanya faktor-faktor imunosupresi (faktor yang dapat menekan respon pertahanan tubuh). Hal ini tentu saja dapat dicegah jika mampu mengidentifikasi faktor-faktor imunosupresi yang ada, apakah berupa infeksi virus yang subklinis, adanya kontaminasi mikotoksin dalam pakan, atau kondisi-kondisi lainnya.

Akhirnya, pemilihan jenis atau strain hewan ternak yang relatif tahan/resistan atau sesuai dengan kondisi lingkungan peternakan setempat juga sangat membantu mencegah terjadinya kasus-kasus infeksius yang mungkin terjadi. ***

Oleh: Tony Unandar
(Private Poultry Farm Consultant)

KEMENTAN DAN BPS SEPAKATI SATU DATA PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Ilustrasi peternakan ayam (Foto: Pixabay) 



Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) menggelar sosialisasi Kebijakan dan Petunjuk Teknis Pengumpulan, Pengolahan, dan Penyajian Data Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, di Depok, Jawa Barat pada 2 hingga 4 Desember 2019.

Dalam kesempatannya, Dirjen PKH I Ketut Diarmita mengatakan, data dan informasi sangat berperan penting dalam proses pembangunan, termasuk dalam pembangunan Subsektor Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Menurutnya, Kementan khususnya Ditjen PKH menyadari bahwa tantangan yang dihadapi subsektor peternakan dan kesehatan hewan ke depan cukup berat.

Berdasarkan proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) hasil SUPAS tahun 2015, penduduk Indonesia 2020 diperkirakan mencapai 269,60 juta jiwa dan pada 2035 diproyeksikan mengalami peningkatan menjadi 304,21 juta jiwa.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan akan pangan termasuk pangan asal ternak akan semakin meningkat.

"Peningkatan itu tidak hanya dari aspek kuantitas atau jumlahnya, namun termasuk juga peningkatan kualitas atau mutu pangan yang dihasilkan, serta pemenuhan persyaratan keamanan, kesehatan, dan kehalalan," ujar Ketut.

Tantangan-tantangan dalam pembangunan subsektor peternakan dan kesehatan hewan di masa yang akan datang ini lanjutnya, membutuhkan pemecahan atau solusi melalui proses perencanaan yang baik dan didukung oleh data hingga informasi yang berkualitas.

"Selain menjadi basis dalam perencanaan, data dan informasi juga menjadi ukuran keberhasilan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan, seperti halnya kinerja peningkatan populasi dan produksi ternak serta kinerja pembangunan ekonomi Sub Sektor Peternakan dan Kesehatan Hewan seperti PDB/PDRB, NTP/NTUP, Investasi, Ekspor-Impor, Tenaga Kerja, dan lainnya," urai Ketut.

Sementara itu, Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M Habibullah menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, dinyatakan bahwa Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar Instansi Pusat dan Instansi Daerah.

Sejalan dengan kebijakan satu data Indonesia tersebut, sebelumnya Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam arahannya menyatakan bahwa dalam 100 hari harus bisa menyeragamkan data.

Oleh karena itu dalam 100 hari kerja, Kementan akan melakukan upaya-upaya dalam rangka mewujudkan Satu Data Pertanian yaitu Membangun Komando Strategis Pertanian tingkat Kecamatan (Konstratani), Pengembangan Agriculture War Room (AWR), dan pengakurasian data utamanya lahan dan produksi.

Menindaklanjuti hal tersebut maka Ditjen PKH bekerja sama dengan Pusdatin Kementan, BPS RI, dan Politeknik Statistika STIS melakukan revisi atas Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 798/Kpts/OT.140/F/10/2012 tentang Petunjuk Teknis (juknis) Pengumpulan dan Penyajian Data Peternakan.

Juknis baru ini akan dijadikan sebagai standar prosedur baku dalam hal Pengumpulan, Pengolahan, dan Penyajian Data Peternakan dan Kesehatan Hewan baik di pusat maupun Dinas yang Melaksanakan Fungsi Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan di provinsi maupun kabupaten/kota seluruh Indonesia yang memenuhi prinsip Satu Data Indonesia.

"Harapannya juknis ini juga dapat digunakan dalam proses pendataan ternak oleh Konstratani yang akan dibangun oleh Kementan," ungkap Habibullah. (Sumber: jpnn.com)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer