Oleh : Rochadi Tawaf
(Dosen Fakultas Peternakan Unpad)
Program swasembada daging sapi ternyata telah gagal untuk keempat kalinya, sejak dicanangkan di tahun 1995 lalu. Selanjutnya, dipenghujung berakhirnya program swasembada daging sapi bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan di kabinet Indonesia bersatu, pernyataan Menteri Pertanian Suswono sangat menarik untuk disimak. Beliau menyatakan bahwa, kegagalan swasembada daging sapi karena kesalahan hitung.
Farming System (?)Menurut hemat penulis, ‘kesalahan hitung’ yang dimaksud Suswono merupakan manivestasi dari kontroversi yang terjadi antara ‘farming system versus sistem agribisnis’ yang sejak lama menjadi perdebatan dalam implementasinya di negeri ini. Pasalnya, apakah kita akan mengembangkan farming system yang lebih dikenal dengan istilah usaha ternak rakyat/peternakan rakyat, ataukah perusahaan peternakan yang menganut konsep sistem agribisnis dalam membangun pertanian/peternakan?
Seperti diketahui bahwa, kondisi pertanian di negeri ini khususnya peternakan sapi dan kerbau yang sebagian besar atau lebih dari 90% merupakan usaha petani rakyat yang dikelola secara tradisional dan sudah turun temurun.
Para peternak, beranggapan bahwa ternak merupakan asset hidup atau livestock yang akan dimanfaatkan manakala mereka membutuhkannya. Artinya, asset tersebut lebih merupakan sosial asset ketimbang asset dalam arti ekonomi. Pernyataan ini mempertegas, bahwa kondisi peternakan rakyat dalam keadaan ‘tidak mengikuti hukum ekonomi’. Usaha mereka, lebih bersifat memanfaatkan limbah pertanian untuk pakan karena ketiadaan lahan usaha, dan tenaga kerja yang digunakanpun tidak dihitung bahkan investasi kandang diperoleh dari yang ada disekitar rumah mereka.
Sedangkan menurut Soehadji (1995), peternakan rakyat dicirikan oleh skala usahanya yang kecil, cara usahanya menggunakan teknologi sederhana (tradisional), dengan corak usaha masih bersifat sambilan dan produknya berkualitas rendah. Dari realita tersebut, pendekatan yang dapat dilakukan dalam membangun peternak rakyat, tentunya adalah pendekatan farming system. Dalam kondisi yang demikian, ternyat semua alat analisis yang digunakan dalam cetak biru menggunakan konsep dan teori sistem agribisnis, yang notabene-nya adalah perusahaan peternakan. Tentunya, alat analisis tersebut tidak lagi setajam untuk membedah perusahaan ketimbang membedah kondisi usaha peternakan rakyat.
Kondisi Permintaan DagingSelain kondisi farming system, perhitungan atas permintaan daging sapi selalu menjadi polemik. Pada akhir-akhir ini, analisis Soedjana (2014), mengenai pola konsumsi daging sapi dapat dihitung melalui pendekatan angka partisipasi konsumsi daging sapi berdasarkan hasil Susenas BPS. Sebelumnya banyak para ahli melakukan pendekatan analisis permintaan kepada besaran patokan konsumsi protein hewani, pangsa belanja keluarga terhadap daging sapi dan permintaan akan daging sapi yang dihitung dari angka pemotongan ternak sapi.
Hasil analisis Soedjana (2014), ternyata menunjukkan bahwa sejauh ini konsumen daging sapi hanya diwakili oleh 26,15% (2002), 21,93% (2005), 16,18% (2008), 16,16% (2011), dan 15,25% (2014) yang menurun sejak tahun 2002-2014 dari 26% Rumah Tangga Konsumen (RTK) menjadi 15% RTK. Namun demikian, sebenarnya telah terjadi peningkatan konsumsi pada kluster RTK tersebut menjadi sekitar 15.5 kg/kapita/tahun (2014) atau meningkat dibanding 6,71 kg (2002), 10,47 kg (2005), 10,82 kg (2008) dan 13,11 kg (2011).
Sehingga, peningkatan konsumsi daging sapi perkapita pertahun terus meningkat pada kluster pengonsumsinya. Apabila dihitung, jumlah konsumsi daging nasional setahun tidak kurang dari 650 ribu ton, berbeda dengan analisis yang dilakukan pemerintah dengan menggunakan cara konvensional selama ini hanya 550 ribu ton/tahun.
Beban Peternak RakyatSelama ini peternakan rakyat telah diberikan beban berat oleh pemerintah sebagai tulang punggung bagi suksesnya swasembada daging nasional. Tugas tersebut, mulai dari pengadaan bibit bakalan sampai dengan pengadaan sapi siap potong. Di sisi lain, program swasembada daging sapi dan kerbau di-desain dengan pendekatan sistem agribisnis. Hal ini dicirikan, dengan cara berpikirnya linier dan perencanaannya layak digunakan oleh suatu perusahaan, bukan untuk peternakan rakyat. Karena, analisisnya tidak memperhitungkan berbagai aspek ‘sosio budaya’ yang sangat kental dalam kehidupan peternak rakyat diperdesaan.
Sedangkan kita ketahui pula, bahwa sistem agribisnis sejak kelahirannya di tahun 1950an di Amerika Serikat, ditujukan bagi pengembangan perusahaan pertanian. Sistem ini akan berjalan dengan baik, jika berbagai kelembagaan yang terlibat telah berorientasi ekonomi. Tanpa hal tersebut, sistem agribisnis tidak akan berjalan dengan baik. Disinilah sebenarnya inti masalahnya berkaitan dengan pembangunan peternakan di negeri ini yang berbasis sistem agribisnis.
Pasalnya, jika saja konsep ini diterapkan di tengah-tengah usaha peternakan rakyat yang belum berorientasi ekonomi, niscaya hasilnya menjadi tidak optimal. Hal tersebut dibuktikan bahwa program swasembada daging sapi yang dicanangkan sejak tahun 1995, ternyata hingga kini tidak dapat terealisir.
Sesungguhnya jika peternakan rakyat diberikan inovasi yang intensif, dengan kata lain usahanya diarahkan agar berorientasi ekonomi, tentu hasilnya tiada satupun peternakan rakyat yang usahanya menguntungkan. Artinya kegiatan usaha pada peternakan rakyat akan terjadi perubahan, yaitu skala usahanya akan meningkat menjadi skala usaha yang ekonomis.
Sedangkan bagi usaha peternakan yang tidak ekonomis atau tidak mampu melakukan perubahan, mereka akan bangkrut atau menutup kegiatan usaha pertaniannya. Banyak contoh perubahan seperti ini terjadi di pelbagai negara, dimana populasi ternak meningkat sementara jumlah peternaknya semakin menurun secara signifikan. Kongkritnya, apakah pembangunan di negeri ini, akan meninggalkan peternakan rakyat karena tumbuh lambat? atau membangun industri (perusahaan) peternakan? Untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang tumbuh sangat cepat.
(Bukan) SwasembadaJika saja pemerintah Jokowi masih menghendaki bahwa swasembada daging sapi akan direalisasikan juga di tahun 2019, maka yang harus diubah adalah paradigmanya, yaitu upaya peningkatan produksi dan produktivitas sapi potong yang masih relevan dijadikan sebagai program pemenuhan kebutuhan protein hewani pada pembangunan peternakan nasional. Bukan program swasembada daging sapi seperti yang dilakukan pada masa lalu.
Langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan yaitu sesuai dengan perudangan yang ada sebagai berikut, yang semula perbibitan mengandalkan hasil produksi dari peternakan rakyat, sebaiknya direorientasi menjadi menggunakan perusahaan peternakan sebagai tulang punggung bagi suksesnya program tersebut.
Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan bibit sapi. sehubungan dengan hal tersebut, maka peran kegiatan perbibitan harus diambil alih oleh BUMN/D, yang dimaksud BUMN/D adalah perseroan pemerintah yang bergerak di sektor pertanian/peternakan. Dalam kasus ini, peternakan rakyat beralih fungsinya melakukan kegiatan usaha penggemukan bukan perbibitan. Sehingga nilai tambah dari bisnis penggemukan bisa dinikmati lebih baik daripada usaha perbibitan. Jadi penyediaan bibit tidak lagi diserahkan kepada peternak rakyat yang sangat lemah dalam permodalan, teknologi, skala usaha dan sistem logistik dalam transportasi.
Namun, jika kita masih mengharapkan peternakan rakyat untuk berkontribusi dalam penyediaan bibit, maka sebagai konsekuensinya akan menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambil alih sebagian beban biaya produksinya. Misalnya, bunga bank, infrastruktur perbibitan seperti sarana Inseminasi Buatan (IB), infrastruktur logistik dan transportasi. Tanpa itu, harga produk sapi bakalan yang tercipta dari hasil budidaya perbibitan tidak akan memiliki daya saing.
Membangun peternakan sesungguhnya merupakan kewajiban pemerintah dalam menciptakan ‘kedaulatan pangan’ seperti slogannya pemerintahan Jokowi saat ini. Untuk ini, kata kuncinya adalah setiap proses produksi harus mampu menciptakan produk yang berdaya saing. Di negeri ini masih banyak ‘keunggulan komparatif’ yang mampu diciptakan untuk meningkatkan daya saing. Katakanlah pola integrasi perkebunan dan ternak, pola ini tidak sebatas sapi-sawit yang sudah banyak di introduksi, juga bisa sapi-kelapa (coco-beef), sapi-nanas, sapi-karet, sapi-coklat dan lainnya.
Namun, sepertinya kesemua hal tersebut masih sangat sulit untuk direalisasi, mengingat bisnis integrasi ini memerlukan terobosan pola pikir, teknologi, infrastruktur dan permodalan.***