-->

PENYAKIT AYAM YANG DOYAN KUNJUNGI KANDANG

Oleh:  Drh. Hernomoadi MVS, APVet 

Berternak ayam untuk produksi akan menguntungkan bila tidak diganggu oleh permainan harga jual beli, lingkungan yang ekstrim, dan atau satu lagi yaitu munculnya penyakit ayam. Yang terakhir ini peternak tidak saja memerlukan dokter hewan dan ahli peternakan, tetapi juga segala je­nis obat, vaksin, suplemen, imunomodulator, serta tidak lupa narasumber yang punya kemampuan membaca masa depan penyakit ayam.
Untuk menggampangkan prediksi, penyakit ayam dikelompokan jadi tiga: yang infeksius ditularkan oleh mikroba/parasit seperti ND, CRD, dan Cocci. Ada pula yang tidak menular seperti gangguan produksi oleh perubahan pada pakan, keracunan mycotoxin, pemanas tidak optimal; dan kelompok penyakit tersering muncul adalah gabungan kedua diatas, se­perti penyakit infeksius CRD dapat timbul karena dipicu oleh gangguan faktor manajemen pemeliharaan (mis-manajemen).
 
Untuk prediksi penyakit dua kelompok terakhir, amat bergantung pada kelihaian dinamika manajemen pemeliharaan dan stabilnya mutu pakan. Jadi bila tahun ini produksi terganggu dan faktor mis-manajemen sudah dipecahkan maka penyakit yang sama tidak perlu terjadi di tahun depan. Manajer peternakan mesti mempelajari kembali (evaluasi) laporan akhir dari flok ayam kandang yang telah kosong, sebelum mempersiapkan kedatangan flok baru di kandang yang sama.
 
Dalam mengantisipasi munculnya penyakit infeksius, perbaikan-perbaikan manajemen pemeliharaan serta mutu pakan saja tidak cukup, karena sumber penyakit (bakteri, virus, jamur, parasit) harus diketahui berasal dari mana. Dengan mengetahui asalnya, diketahui pula jalan masuk bibit penyakit/rantai biosecurity mana yang jebol, barulah perbaikan-perbaikan bisa dilakukan. Dengan demikian untuk tahun mendatang manajer peternakan dapat membuat prediksi bahwa penyakit ayam yang sama tersebut tidak akan datang.
 
Dibawah ini adalah kumpulan penyakit ayam infeksius yang masih dapat mengunjungi kandang peternak tahun ini dan tahun-tahun mendatang, dengan frekuensi yang berbeda-beda di tiap lokasi/ daerah.
 
Penyakit yang selalu berulang ada setiap tahun di kandang-kandang produksi adalah CRD (peternak bilang kena Ngorok), akibat ulah infeksi bakteri Mycoplasma dan E. coli. Kalau umur dibawah 2 minggu sudah kena ngorok, umumnya Mycoplasma bawaan dari indukan dan E. coli sejak dari penetasan.
 
Indikator CRD dibawah 2 minggu adalah meningkatnya kasus omphalitis, infeksi yolk sac dan pantat cepel di umur minggu pertama. CRD muncul di minggu 3-4 sering dipicu (didahului) oleh stress pasca vaksinasi dengan virus live, kadar ammonia dan kepadatan kandang yang tinggi atau saat ayam sedang menderita kondisi imunosupresi.
 
Ayam kena CRD saat dalam kondisi imunosupresi dapat berakibat muka/ kepala membengkak oleh ada­nya infeksi sekunder Avian pneumovirus (Swollen Head Syndrome).
 
Penyakit mycoplasmosis yang lain sering terlihat sebagai arthritis dan synovitis di hock joint dan sendi-sendi jari kaki. Pada ayam dara dan layer baik jenis broiler maupun layer, mycoplasma yang dominan adalah M. synoviae (MS). Disaat bertelur, MS menimbulkan kerabang telor menjadi pucat dan benjol (dan tipis) pada ujung lancipnya. Sama seperti M. gallisepticum (CRD), bakteri ini dapat ditularkan secara vertikal dan horizontal.
 
Reoviral tenosynovitis oleh infeksi Reovirus menimbulkan synovitis tendo flexor diatas hock joint. Penyakit ini lebih memilah breed broiler baik breeder maupun komersial. Ayam pincang, sulit ambil pakan, kerdil atau tidak bisa kawin. Virus Reo menular dapat vertikal dan horizontal, selain itu mereka menimbulkan kondisi imunosupresi bagi penderitanya.
 
Penyakit Aspergillosis organ respirasi anak ayam (Brooder pneumonia) hanya kadang-kadang terlihat pada ayam umur dibawah 2 minggu pertama. Kondisi jarang ditemukannya kasus aspergillosis itu dimungkinkan oleh diberlakukannya bio­security dan fumigasi mesin tetas yang ketat di hatchery. Kapang Aspergillus fumigatus merupakan kontaminan kerabang telor, dapat menjadi penyakit bawaan bagi DOC.
 
Gumboro penyakit viral oleh infeksi virus IBD, juga sebagai penyakit ayam yang muncul dari tahun ke tahun. Gumboro oleh infeksi virus lapang ganas sebagai penyakit akut yang dapat mematikan (terutama pada layer) sudah jarang terdengar karena program vaksinasi yang ketat. Tetapi Gumboro yang imunosupresi, terutama bila kena pada ayam umur dibawah 3 minggu masih sering terjadi.
 
Virus Gumboro lapang sulit hilang dari kandang dan sumber virus Gumboro adalah insek kumbang “franky”. Manifestasi klinis oleh virus Gumboro tersebut sebagai kasus munculnya infeksi sekunder  seperti penyakit ND viscerotropik, Coccidiosis, Necrotik enteritis (NE), CRD, atau bahkan HPAI.
 
Penyakit ND viserotropik oleh virus ND (Newcastle disease) velogenik yang di Asia/Indonesia masuk dalam kelompok geno-7 menghantui dunia peternakan ayam sejak dulu (sebelum tehnik pemeriksaan virus berdasarkan genetik ditemukan) sampai kini; penulis meyakini juga tahun-tahun mendatang ND akan masih mudah ditemukan. Popularitas ND sebagai penyakit mematikan meskipun telah menggunakan program vaksinasi, membuat vaksin NDV asal dalam dan luar negeri selalu laris dipasaran.
 
Sejak 2003 popularitas penyakit ND agak berkurang oleh munculnya wabah HPAI H5N1, tetapi frekuen­si munculnya ND tiap tahun tidak berkurang. Kerugian peternak tidak hanya dari kematian tetapi juga deplesi oleh afkir karena infeksi NDV viserotropik yang velogenik ini me­nimbulkan gejala syarap/teleng karena tidak bisa makan dengan normal, sehingga menjadi kurus, tidak bisa kawin/bertelur.
 
Coccidiosis adalah penyakit parasitik pada ayam oleh infeksi beberapa jenis Eimeria di bagian dalam dinding usus halus maupun usus besar. Penyakit yang menimbulkan enteritis ini muncul apabila coccidiostat (anti coccidia) pakan kurang dosisnya, atau nafsu makan ayam turun dan juga ayam sedang sakit ditambah alas kandangnya basah. Enteritis oleh coccidia yang amat ringan sekalipun dapat menimbulkan kondisi kekerdilan.
 
Komplikasi lainnya dari coccidi­osis usus adalah timbulnya NE (Necrotic enteritis) oleh infeksi secondary bakteri Clostridium perfringens; ayam akan mati oleh biakan kuman Clostridium yang memproduksi toxin yang sistemik.
 
Penyakit ayam oleh infeksi HPAI (highly pathogenic avian influenza) H5N1 yang mematikan masih didapatkan pada tahun ini dan demikian juga tahun-2 dimuka, meskipun lebih sedikit dari tahun-2 sebelumnya baik dari jumlah kasus maupun kerugiannya. Hal ini dimungkinkan oleh telah digunakannya vaksin inaktiv dengan seed HPAI H5N1 secara berulang-ulang, dan juga gejala klinis menjadi tidak spesifik seperti sebelumnya. Di­laporkan November ini (2012), Australia menghadapi AI dengan serotype H7, yang berdampak pada distopnya ekspor ayam dan telur oleh negara importir, padahal penanganannya sudah langsung de­ngan stamping out.
 
Penyakit ayam oleh infeksi virus yang masih tergolong sering ditemukan adalah Marek. Virus Marek hidup dalam debu bulu (dandruf) akan terhi­rup pernafasan ayam yang peka (tidak memiliki kekebalan cukup), virus berbiak di paru dan menyebar sistemik. Virus Marek yang amat ganas menyukai syarap kaki, sayap, pencernakan, dan otak, sehingga pada ayam dara menimbulkan gejala kelumpuhan, tremor dan yang parah sampai teleng-teleng.
 
Di saat periode bertelur sering dijumpai pembentukan tumor Marek di hati, limpa, ginjal dan ovary. Selain itu penyakit Marek menimbulkan kondisi imunsupresi sehingga yang menonjol adalah gejala klinis akibat penyakit infeksi sekunder. Di Indonesia vaksinasi Marek diberlakukan pada DOC breeder dan layer betina. Ayam broi­ler komersial dan jantan layer tidak divaksin Marek, demikian pula beberapa jenis ayam kampung yang dipelihara dikandangkan sebagai ayam produksi. Dengan demikian mere­ka peka kena Marek yang berakibat gangguan pertumbuhan.
 
Penyakit infeksi IB (Infectious Bronchitis) pada ayam oleh infeksi virus IB yang termasuk dalam coronavirus. IB di tahun 2010-2011 menghebohkan peternak produksi telur dan DOC oleh serangan virus lapang jenis baru/variant. Tentu saja karena memiliki perbedaan dengan virus IB lokal maka program vaksinasi biasa kurang dapat menghambat gejala klinis akibat infeksi oleh IB variant ini. Kerugian peternak terutama oleh kerusakan organ reproduksi betina seperti ovary dan saluran  telur, sehingga ayam tidak bertelur, banyak krabang yang tipis, retak, keriput, dan pucat.
 
Selain itu sering dijumpai hydrosalping (oviduct tipis berisi cairan), sehingga betina tersebut jalannya mirip burung pinguin. Berbagai variasi vaksin IB digunakan tetapi tidak terlalu menolong kerugian peternak. Di akhir 2012 kemungkinan telah banyak ayam produksi yang terinfeksi virus IB variant dan telah menstimuli timbulnya kekebalan sehingga kasusnya menurun. Akan sangat mungkin di tahun berikut virus variant tersebut menjadi virus IB lapang lokal dengan tingkat keganasan yang kurang merugikan.
 
Penyakit Infectious Coryza (Snot) pada layer oleh infeksi bakteri Haemophilus paragallinarum mudah dikendalikan dengan program 2x vaksinasi. Hanya bila peternak memiliki kandang-kandang yang ’multi ages’ terlalu berdekatan, maka Snot masih bisa timbul. Snot juga mudah timbul saat memasukan ayam pendatang baru (ayam dara dari kandang grower/ baru beli dari luar).
 
Pox kulit sebagai penyakit dipandang tidak merugikan, sehingga meskipun peternak melihatnya, tidak dipandang sebagai musuh. Vaksinasi 1x seumur ayam layer sudah dirasa cukup. Jangan lupa pada kondisi imunsupresi (Gumboro, Marek, Aflatoksikosis), pox kulit bisa menjadi pox basah/diphtheritic pox yang menyerang rongga mulut dan fatal  karena menyumbat pernafasan. Beberapa vaksin rekombinan yang ”nebeng” pada virus pox bisa berkurang potensinya gara-gara ayamnya sudah punya kekebalan terhadap pox.
 
Penyakit kecacingan cacing pita dan ascariasis masih mudah ditemukan pada layer. Diagnosa dengan bedah bangkai dan membuka usus halus ayam sample. Keberadaan cacing dewasa jelas mengganggu produksi dan menjadi indikator kapan harus diberi anthelmentica serta insektisida (anti vektor kecacingan).
 
BAGAIMANA??,  Apakah  penyakit-penyakit diatas punya korelasi de­ngan peternakan dan daerah anda pada tahun 2012, sehingga siap-siap diantisipasi pada tahun 2013 ?
***

CATATAN KANDANG Versus PREDIKSI KASUS

Oleh:  Tony Unandar
       (Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)

Tahun Baru Dengan Paradigma Baru. Peningkatan persentase angka penularan (morbiditas) dan kecepatan penyebaran kasus infeksius pada peternakan ayam moderen menuntut suatu paradigma baru dalam pengawasan penyakit di lapangan. Analisa rinci secara proaktif dari catatan kandang terhadap sejarah kemunculan dan jenis kasus penyakit yang pernah terjadi misalnya, tentu saja dapat meningkatkan kepekaan dalam mendeteksi kasus penyakit yang akan muncul. Dengan demikian, kontaminasi lingkungan peternakan dan kerugian secara ekonomis dapat dicegah sedini mungkin.


Dalam industri perungga­san secara global, laju perbaikan faktor efisiensi terus berlangsung sampai hari ini. Adanya dinamika perbaikan genetik ayam dan tata laksana pemeliharaan yang sangat progresif, secara tidak sengaja akan mengakibatkan kemampuan ayam untuk melawan bibit penyebab penyakit mengalami perubahan.  Tegasnya, terjadi erosi kemampuan ayam untuk melawan bibit penyakit yang ada. 

Problem penyakit infeksius yang terjadi cenderung lebih bervariasi, kompleks, serta tidak mengikuti “trend” perjalanan penyakit yang lazim merupakan suatu bukti akan hal ini.  Dalam kondisi demikian, mengandalkan diagnosa yang hanya berdasarkan gejala klinis dan bedah bangkai semata sering kali terlambat, atau bahkan keliru.  Oleh sebab itu, analisa sejarah kasus, termasuk analisa kondisi serta penampilan (performance) ayam dalam dunia peternakan ayam modern tidak bisa lagi dianggap enteng, dan harus dilakukan secara terus menerus.   
 
Serangan bibit penyebab penyakit dalam suatu peternakan ayam mo­dern biasanya melalui suatu proses yang membutuhkan waktu. Bukan suatu proses revolusi. Ada semacam tarik menarik alias adu kekuatan antara daya tahan tubuh ayam dengan daya invasi bibit penyakit yang ada. Selama masa inkubasi penyakit (masa dari masuknya bibit penyakit dalam jaringan tubuh ayam sampai kemunculan gejala klinis), beberapa gejala umum biasanya sudah muncul, namun sering kali tidak terdeteksi atau malah diabaikan.  Beberapa contoh mengenai hal ini, misalnya:
Adanya gangguan tingkat konsumsi pakan (feed intake).  Kelainan ini bisa dideteksi dengan menganalisa jumlah pakan yang dikonsumsi per-ekor ayam per-hari apakah sudah sesuai dengan standar strain yang ada atau tidak.  Selain itu, menganalisa waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sejumlah pakan yang diberikan per-hari juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi gangguan tingkat konsumsi pakan. Pengamatan yang kedua ini sangat penting terutama pada ayam petelur dan ayam bibit. Berkurangnya tingkat konsumsi nutrisi yang dibutuhkan akibat adanya gangguan tingkat konsumsi pakan jelas akan memperburuk kondisi umum ayam.
Walaupun gejala klinis atau perubahan bedah bangkai belum tampak, terjadinya peningkatan kematian ayam dapat juga diartikan ada suatu problem yang akan muncul di peternakan yang bersangkutan. Evaluasi perlakuan beberapa hari sebelum terjadinya peningkatan kematian dan monitoring lanjut atas kematian yang ada sangat penting untuk medeteksi kasus yang mungkin timbul. Menghubungkan tingkat kematian dengan kondisi umum ayam yang mati kadang kala dapat mengarahkan diagnosa, problem infeksius atau bukan. Problem infeksius biasanya akan mengakibatkan kondisi umum ayam yang mati secara rata-rata menurun.
Pada ayam petelur atau ayam bibit, analisa rata-rata bobot telur per-butir pada ayam umur tertentu juga tidak bisa diabaikan begitu saja.  Pada kasus Infectious Bronchitis (IB) misalnya, bobot telur per-butir umumnya mengalami penurunan beberapa hari sebelum gejala klinis secara klasik muncul, misalnya penurunan persentasi produksi telur, ataupun perubahan ekternal maupun internal telur yang dihasilkan. Jika flok ayam yang bersangkutan pernah divaksinasi dengan vaksin IB, maka selang waktu alias tempo antara penurunan produksi telur dengan penurunan bobot telur rata-rata tersebut relatif lama dan sangat variatif, tergantung status kekebalan terakhir dan kekuatan tantangan virus lapangan.
Melakukan monitoring hasil pemeriksaan titer antibodi (mi­salnya ND) tentu saja dapat membantu menganalisa dinamika tantangan penyakit yang ada dalam suatu lokasi peternakan. Terjadinya perubahan titer dari biasanya atau adanya peningkatan keragaman titer antibodi dapat merupakan indikasi awal adanya tantangan bibit penyakit tertentu secara dini.

Ihwal catatan kandang biasanya dianggap suatu pekerjaan tambahan bagi karyawan kandang. Hal-hal yang serupa seolah dicatat berulang-ulang setiap hari. Pada hal, sebenarnya, di situlah letak rahasia dinamika interaksi antara ayam dengan bibit penyakit bisa digali. Termasuk juga interaksi antara perlakuan yang diberikan dengan penampilan (performance) produksi ayam yang diperoleh. Walaupun gejala-gejala spesifik belum tampak, adanya gangguan dalam fungsi-fungsi fisiologis normal ayam jelas akan mempengaruhi tingkah laku ayam.
 
Ada cara untuk mengatasi keengganan karyawan kandang membuat catatan kandang.  Yang pen­ting adalah prosesnya harus dibuat sesederhana mungkin.  Perlu disediakan lembaran kertas dengan kolom-kolom yang dapat diisi dengan cepat dan harus ditabulasikan secara harian.
 
Ada beberapa hal penting yang harus dicatat dalam catatan kandang. Pada ayam potong, misalnya jumlah ayam, jumlah kematian ayam per-hari, pakan yang diberikan per-hari, bobot badan pada akhir setiap minggu, termasuk beberapa perlakuan penting yang diberikan (vaksinasi/medikasi, angkat pemanas, ganti sekam, buka layar, pindah kandang dsb.) harus dicacat. Catatan kandang sebaik­nya dievaluasi oleh kepala atau penyelia (supervisor) kandang setiap hari.  Dengan demikian, “keanehan” yang muncul dapat dideteksi sedini mungkin.
 
Kejujuran adalah suatu aspek penting dalam membuat catatan kandang.  Kecerobohan dalam proses pencatatan atau adanya manipulasi data yang dicatat tentu saja dapat menyesatkan para pengambil keputusan.  Secara tidak sengaja, tindakan tersebut sangat merugikan perusahaan dan memberi kesempatan pada bibit penyebab penyakit lapangan untuk beradaptasi, melakukan perbanyakan diri dan menggerogoti penampilan ayam. Kondisi ini tentu saja dapat mengakibatkan kerugian lanjut yang jauh lebih besar.
 
Kemampuan untuk menganalisa catatan kandang juga merupakan suatu aspek yang tidak boleh diabaikan.  Kematangan wawasan teknis dan pengalaman lapang yang cukup merupakan dua hal yang sama pen­ting. Karyawan kandang yang mempunyai tanggung jawab untuk me­nganalisa catatan kandang sebaiknya selalu membuka diri untuk berdiskusi dengan pihak manapun. Pengalaman di tempat lain, tentu saja sangat berharga sebagai referensi dalam menganalisa data yang ada.  Ketertutupan dalam hal ini tentu saja sangat mahal biayanya.
 
Catatan kandang bukan merupakan suatu barang “haram” untuk ditunjukkan pada orang lain sebagai partner dalam berdiskusi.  Ada suatu “stigma” yang tidak tersurat, membuka catatan kandang pada orang lain berarti membuka aib alias dapat mempengaruhi “performance” hasil karya karyawan yang bersangkutan.  Kondisi ini tentu saja dapat menyesatkan jalannya diskusi dan ujung-ujungnya adalah hasil diskusi yang tidak tuntas atau bahkan salah.
 
Pada tahap selanjutnya, hasil analisa catatan kandang perlu dikomunikasikan secara terus-menerus kepada karyawan kandang yang secara langsung berhadapan dengan ayam setiap hari. Informasi hasil analisa catatan kandang tentu saja akan memberikan motivasi lanjut pada individu yang bersangkutan untuk membuat catatan kandang dengan baik.  Dengan demikian, setiap perubahan sekecil apapun dapat dideteksi dengan baik.  Dengan kata lain, kedatangan penyakitpun dapat dicegah sedini mungkin. Adanya catatan kandang ternyata tidak membuat proses peternakan jadi mundur, bukan begitu? 
***

BEF DAN HELMINTHIASIS MASIH JADI MOMOK PETERNAK PEDESAAN

Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan Helminthiasis adalah 2(dua) jenis penyakit yang masih diperkirakan menjadi gangguan kesehatan pada sapi. Sedangkan diare, kembung dan helminthiasis pada jenis ternak kambing adalah yang akan selalu mengancam.
 
Menurut Drh Heru Tri Susilo, staf pada Dinas Pertanian Kotamadya Magelang Jawa Tengah, bahwa ancaman gangguan kesehatan dari penyakit penyakit itu adalah yang sebenarnya merupakan jenis penyakit sangat konvensional.
 
Mengapa begitu, tiada lain oleh karena sepanjang tahun 2012, penyakit itu nyaris menduduki rang­king tertinggi dalam hal laporan para petugas kesehatan hewan di lapa­ngan.
 
Sebagai penyakit sangat konvensional, akhirnya memang seolah menjadikan prediksi di tahun 2013 mendatang masih akan menjadi gangguan kesehatan ternak yang terus berulang. Namun demikian menurut Heru, yang juga bergiat sekali melakukan pendampingan secara langsung terhadap para peternak di pedesaan, problem itu sangat rumit sekali.
 
Lebih lanjut, menurut ayah 2 anak yang juga alumni dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini, bahwa berbicara masalah penyakit pada hewan ternak yang dikelola oleh peternak skala rakyat di pedesaan, tidak hanya bicara pada status kesehatan ternak semata. Namun akan selalu berhubungan dan terkait erat dengan perilaku dan budaya masyarakatnya.
 
Sebagai contoh tentang Helminthiasis, para peternak skala rakyat meskipun tingkat kesadaran terhadap ternaknya sudah lumayan baik dan lebih maju, namun demikian ternyata masih banyak yang sama sekali tidak mau menjalankan program pemberantasan agen penyakit itu secara rutin dan terprogram.
 
Umumnya jika  mereka dalam sebuah kawasan yang tergabung dalam sebuah kandang kelompok kawasan tertentu, maka jauh akan lebih mudah untuk megikuti program pemberantasan penyakit itu. Namun demikian, untuk peetrnak yang masih soliter atau mandiri dalam lokasi kandang pemeliharaan, dapat dipastikan sulit sekali untuk menerima program itu.
 
Padahal sebagaimana diketahui, bahwa program pemberantasan itu haruslah bersifat massif dan terja­dwal dengan baik. Oleh karena itu jika saja, ada satu atau beberapa peternak yang belum mau menerima program pemberantasan sebagai sebuah kebutuhan, sudah pasti akan mempengaruhi tingkat keberhasilan secara menyeluruh.
 
Mengapa demikian???  Oleh karena jika ditilik dari siklus hidup agen penyakit yang satu ini, maka program pengendalian berupa memutus siklus hidup adalah jalan terbaik dan termurah.
 
“Memotong siklus hidup agen penyakit dari Helminthiasis adalah jalan paling efektif dan jelas lebih murah. Namun jika masih ada beberapa peternak yang enggan dan tidak mau menerapkan program pemberantasan secara rutin dan massif maka akan menemui ke­gagalan penuntasannya,” jelas Heru yang juga aktif memberikan penyuluhan terhadap kelompok peternak di Magelang ini. 
 
Heru menuturkan, itulah  salah satu bukti dari perilaku dan budaya masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi besar atas gagalnya pengendalian penyakit.
 
Demikian juga dengan penyakit BEF. Penyakit yang sebenarnya termasuk dalam katagori ringan namun intensitas dan frekuesinya cukup tinggi, tidak akan terlepas dari perilaku dan budaya masyarakat peternak. Sebagai penyakit dengan penyebab berupa agen virus, maka potensi penyebarannya menjadi sangat cepat dan sulit terkontrol jika tidak segera dilakukan penanganannya.
 
Meskipun peternak itu memelihara ternaknya secara soliter, terpisah,  namun, tetap saja mampu menyebarkan agen penyakit itu ke kawasan kandang kelompok dengan berbagai cara dan mekanisme penularan.
 
Heru memberikan contoh nyata tentang sulitnya memberantas penyakit yang disebabkan oleh virus yang se famili dengan virus penyebab Rabies, yaitu Rhabdovirus ini. Sebenarnya penyakit yang juga dikenal sebagai penyakit demam tiga hari ini, relatif mudah untuk dikendalikan jika saja ada kebersamaan dari para peternak dalam suatu kawasan. Gejala klinis yang muncul seharusnya segera dilaporkan kepada petugas kesehatan/Dokter Hewan. Dan kemudian bagi peternak lain yang ternaknya dalam suatu kawasan semuanya harus siaga melalu langkah perbaikan kualitas pakan dan kebersihan lingkungan.
 
Penyakit cukup merugikan karena membuat peternak skala rakyat harus sering mengeluarkan ongkos pengobatan. Maka untuk mencegahnya, menurut Heru harus ada kesadaran bersama untuk menghadapi penyakit itu. Hanya sayangnya memang, butuh waktu lagi untuk merubah pola fikir dan pemahaman akan beberapa penyakit yang meski ringan namun selalu merugikan secara finansial.
 
Berbicara penyakit pada kambing dan domba, menurut Heru memang hanya ada 3 jenis gangguan keseha­tan yang potensial meresahkan peternak pada tahun 2012 dan juga diperkirakan masih akan terulang pada tahun 2013 mendatang. Helminthiasis pada kambing, nyaris sama kasusnya pada ternak sapi, sedangkan kembung dan diare justru berbeda dan termasuk ancaman serius terhadap kesehatan ternak kambing dan domba.
 
Mengapa demikian? Oleh karena kambing dan domba adalah jenis ternak ruminansia yang paling rentan dan berdampak kefatalan. Kefatalan yang dimaksud adalah berupa kematian yang sangat tinggi akibat dari jenis gangguan kesehatan itu. Prevalensi mortalitas hamper lebih dari 70-80% pada kambing dan domba yang terkena gangguan kesehatan kembung dan diare.
 
Menurut Heru, demikian tinggi­nya ancaman gangguan kesehatan itu oleh karena sifat penyakitnya. Pada kasus kembung akan berjalan sangat akut. Sedangkan pada diare meskipun sub akut dan cenderung kronis pada kambing dan domba, namun umumnya penanganannya sering terlambat. Sehingga akhirnya selalu berakhir dengan kematian ternak itu.
 
Atas dasar perilaku dan budaya masyarakat pada umumnya dalam budidaya ternak Sapi, Kerbau, Kam­bing serta Domba di daerah pedesaan, maka menurut Heru tiada lain langkah dan peran Dokter Hewan sangatlah penting dan dibutuhkan sekali. Peran praktisi Dohe di lapa­ngan, kini tidak hanya sekedar memberikan tindakan medis semata, namun juga harus sedikit demi sedikit mempengaruhi pola pikir dan perilaku para peternak. Sehingga bukan saja akan sangat membantu para praktisi Dohe dalam menjalankan tugas, namun sudah pasti akan sangat berpengaruh terhadap kualitas peternak dalam budidaya ternaknya.
(iyo) 

GENJOT POPULASI SAPI 2013 DENGAN PENGENDALIAN PENYAKIT REPRODUKSI DAN PARASIT

Program swasembada daging sapi dan kerbau 2014 sudah diambang mata, namun berbagai masalah masih menjadi hambatan dalam pencapaian program Pemerintah ini. Diantaranya adalah gangguan reproduksi  dan infeksi parasit. Hal itu disampaikan Drh Rosalia Ariyani saat memberikan presentasinya dihadapan puluhan peternak sapi potong dan perah yang tergabung dalam Forum Peternak Sapi Indonesia (FPSI) wilayah Jakarta, Jabar dan Banten di Sentul Bogor, Sabtu (3/10).
 
Acara ini dihadiri juga oleh Direktur Budidaya Ternak Ruminansia Kementerian Pertanian, Ir Fauzi Luthan dan Kepala Balai Inseminasi Buatan Lembang Drh Maidaswar MSi. Pada kesempatan tersebut Drh Rosalia juga didampingi Tim Sanbe Group lain diantaranya Puji Hartono, S. Pt. dan Drh Sofyar.
 
Dalam paparannya Drh Rosalia menguraikan dari data hasil rilis awal PSPK 2011 Kementerian Pertanian bahwa populasi sapi potong tahun pada 2003 sebesar 10.177.299 ekor, sementara pada tahun 2011 berdasarkan sensus berjumlah 15.402.188 ekor. Sehingga diketahui angka pertumbuhan sapi potong per tahun mencapai 653.000 ekor/tahun atau 5,32% per tahun.
 
Sementara jika ditilik dari pola penyebaran sapi potong, Pulau Jawa menjadi yang terbesar dengan jumlah populasi mencapai 7,5 juta ekor atau 50,74%. Disusul Sumatera de­ngan 2,7 juta ekor (18,40%), Bali dan Nusa Tenggara dengan  2,1 juta ekor (14,19), Sulawesi dengan 1,8 juta ekor (11,97%) dan sisanya tersebar di Kalimantan, Maluku dan Papua.
 
Lebih lanjut Drh Rosalia menjelaskan seputar akselerasi produktivitas untuk sapi potong dan sapi perah. Dimana untuk sapi potong lebih bertumpu pada program pembibitan dan penggemukan, sementara untuk sapi perah selain bertumpu pada program pembibitan juga pada peningkatan manajemen untuk meningkatkan produksi susu.
 
Drh Rosalia menguraikan secara lebih gamblang soal penyebab bebe­rapa faktor yang turut menghambat produktivitas. Diantaranya adalah jumlah sapi betina non produktif di Indonesia yang jumlahnya mencapai 50% sapi betina dewasa. Berbagai gangguan reproduksi yang umum ditemui diantaranya adalah silent estrus, anestrus, cystic ovary, mumifikasi fetus, sindroma metritis mastitis, dll. Semua gangguan penyakit tersebut menyebabkan angka service per conception (S/C) yang tinggi, calving internal yang panjang dan kematian pedet pra sapih yang tinggi.

Kerugian Nasional Capai 8,2 Trilyun/Tahun Akibat Cacingan
Di lain pihak infeksi cacing pada sapi juga menimbulkan dampak yang tidak kalah merugikan, mulai dari gangguan pencernaan,      malabsorbsi, turunnya intake pakan, dehidrasi, anemia, turunnya daya tahan tubuh, kurus, diare, dan menurunnya kualitas karkas dan fertilitas.
 
“Menurut penelitian Siregar tahun 2003, infeksi cacing menyebabkan keterlambatan berat badan per hari 40% dari sapi normal (potong) dan penurunan produksi susu 15% (pe­rah),” jelas Drh Rosalia.
 
Rosa menjabarkan potensi kerugian akibat cacingan ini adalah kehilangan penambahan berat badan yaitu 0,6 kg/ekor/hari  x 40% = 0,24 kg/ekor/hari. Maka kerugian untuk skala 1000 ekor sapi adalah = 1.000 ekor x 0,24 kg/ekor/hari x 25% = 60 kg/hari. Sehingga dalam setahun (365 hari) mencapai 21.900 kg daging sapi hi­dup. Jika diasumsikan harga daging hidup per kg adalah Rp 30.000, maka kerugian per 1.000 ekor sapi mencapai 1,68 Milliar/tahun.
 
Lebih jauh, Rosa juga menghitung potensi kerugian secara nasional dengan populasi sapi potong berdasarkan hasil sensus 2011 yaitu 15 juta ekor, maka akan didapat potensi kerugian secara nasional yaitu (15 juta ekor x 0,24 kg/ekor/hari x 25%) x 365 hari = 328.500.000 kg da­ging sapi hi­dup/tahun. Yang apabila diasumsikan harga daging hidup per kg adalah Rp 30.000 maka kerugian secara nasional mencapai  Rp 9.855.000.000.000/tahun atau Rp 9.8 Trilyun/tahun.
 
Untuk itu dalam rangka penanggulangan sistem reproduksi Drh Rosalia menganjurkan pe­ngobatan gangguan hormonal sapi betina de­ngan hormon prostaglandin (CAPRIGLANDIN®). Selain itu untuk me­ngatasi infeksi saluran reproduksi sapi betina pasca melahirkan dilakukan dengan pengobatan kemoterapeutik/antibiotik topikal (COLIBACT® Bolus).
 
Sementara untuk memberantas penyakit cacing pada sapi potong dapat digunakan obat cacing berspek­trum luas (VERM-O®, FLUKICIDE®, dan KLOSAN®) yang diberikan setiap 3-6 bulan sekali.
 
Menurut Rosalia pemberian CAPRIGLANDIN® dapat mening­katkan angka kelahiran dari 50% menjadi 75%. Sementara pemberian COLIBACT® Bolus dapat mencegah endometritis dan infeksi bakteri sa­luran reproduksi serta meningkatan S/C (keberhasilan kebuntingan per konsepsi). Sementara obat cacing dari Sanbe yang disarankan adalah VERM-O® juga terbukti mampu mengembalikan pertambahan berat badan menjadi normal.

Mastitis Bikin Untung Semakin Tipis
Pada kesempatan yang sama Rosa juga mengulas tentang penyakit mastitis atau radang ambing yang menyebabkan kerugian paling besar dalam peternakan sapi perah akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya pera­watan dan pengobatan yang mahal.
 
Menurut Rosa, Penyebaran penyakit mastitis dapat melalui peme­rahan yang tidak mengindahkan kebersihan, alat pemerahan, kain pembersih puting, dan pencemaran dari lingkungan kandang yang kotor. Mastitis dapat disebabkan oleh beberapa bakteri, antara lain adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, dan E. Coli. Mastitis merupakan inflamasi pada ja­ringan ambing yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Mikroorganisme yang biasa menyebabkan mastitis adalah bakteri yang masuk dalam ambing, berkembangbiak dan memproduksi toksin dalam glandula ambing seperti Staphylococcus aureus dan E. Coli.
 
Mastitis sangat rawan terjadi saat setelah pemerahan, awal masa laktasi, dan awal masa kering kandang. Persentase kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia mencapai 95-98%, sedangkan 2-3% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi.
 
Namun saat ini peternak tidak perlu khawatir karena Sanbe dapat membantu memberikan solusi pe­ngobatan dan pencegahannya. Diantaranya dengan pengobatan mastitis saat kering kandang menggunakan DRYCLOX® untuk mengobati mastitis pada sapi yang disebabkan infeksi bakteri gram positif dan negatif. Sementara untuk pengobatan mastitis saat laktasi, Sanbe memiliki CLOXALAK® dan MASTILAK® 
 
Rosa juga mencontohkan potensi kerugian akibat mastitis subklinis dengan populasi 1.000 ekor, rata-rata produksi susu 15 liter/ekor/hari, penurunan produksi susu akibat mastitis subklinis 15% dan asumsi harga susu/liter Rp 3.800. Maka, kerugian bisa mencapai Rp  1.346.625.000 atau Rp  1.35 Milyar.
 
Sementara biaya program pencegahan mastitis menggunakan DRYCLOX® atau CLOXALAK® dari Sanbe tidak lebih dari 10 % dari biaya kerugian tersebut, sehingga dapat mening­katkan produksi air susu sapi yang lebih besar.
 
Drh Rosalia juga menganjurkan agar pengendalian mastitis lebih berhasil peternak dituntut untuk selalu menjaga kebersihan/higienis dalam tata laksana pemeliharaan, misal :
  • Kebersihan kandang
  • Kebersihan sapi termasuk membersihkan daerah lipat paha sapi yang akan diperah
  • Kebersihan peralatan perah (ember, alat takar, milk can dll)   
  • Kebersihan/mencuci mesin peme­rah atau tangan pemerah sebelum dan sesudah pemerahan
  • Mencuci ambing dengan air bersih dan lap dengan kain bersih, kain untuk masing-masing am­bing
  • Program tits dipping sebelum dan sesudah pemerahan
  • Monitor mastitis menggunakan  CMT.
  • Pengobatan mastitis
“Dengan upaya yang lebih fokus sapi potong dan sapi perah dapat le­bih ditingkatkan produktivitasnya,” pungkas Drh Rosalia Ariyani.
 (wan)

KANDANG SAPI MODEL AMERIKA DI INDONESIA

Sebelum sapi diperah susunya, sapi mesti dipelihara dalam kondisi terbaik. Hal istimewa yang ditunjukkan oleh  PT Greenfields Indonesia di Gunung Kawi yang menerapkan kandang yang belum diterapkan di peternakan lain di Indonesia namun Malang sudah diterapkan.
 
Dengan kandang terowongan atau tunnel room yang merupakan kandang semi closed house ini arus udara diatur, “Sehingga bisa di manipulasi atau dikontrol suhunya yang di dalam,” kata Drh Heru Prabowo Head of Unit Dairy Farm PT Greenfields Indonesia di dalam kandang bersama Infovet.
 
Infovet merasakan sendiri sedotan kipas angin besar yang membuang bau kotoran ke belakang luar. Konstruksi kadang ini memang dinding di satu sisi ditutup, dinding yang satu sisi dibuka, di belakang diberi kipas besar. “Sejumlah 50 kipas besar di dalam udaranya ketarik kesana, berfungsi penyedot udara, sehingga ruangan terasa dingin,” tegas Heru yang pernah menjadi Head of Veterinary Green Global Dairy 2010–2011.
 
Kandang khusus yang disebut tunnel room ini diistimewakan untuk sapi yang sudah kawin. Suhu di dalam ruangan ini bisa mencapai 20 oC dengan kecepatan angin di dalam ruangan sekitar 12-15 km per jam.
Dari sekian banyak kandang yang ada di peternakan ini memang masih satu kandang tunnel room ini yang akan diperbanyak jumlahnya, yang lain masih kandang terbuka. Di kandang-kandang tersebut di atas yang merupakan kandang bebas, sapi bisa berkeliaran bebas, pakan ada, tidur, tempat minum, birahi boleh.
 
Jelas sapi-sapi impor tersebut mendapat perlakuan istimewa di peternakan PT Greenfields Indonesia oleh karena harus siap diperah tiga kali sehari. Perlakuan lain guna kenyamanan, sapi yang belum kawin diberi kandang dengan alas gergaji kayu yang kehangatan baik saat siang maupun malam hari. Bahan gergajian kayu ini menyerap air kencing sapi sehingga tidak mengotori lantai, dan bila ada kotoran petugas mudah mengambil dan membersihkan. Serbuk gergaji kayu ini dua bulan sekali diganti dan bisa langsung dipakai untuk pupuk kompos.
 
Untuk alas, dipakai pasir yang telah disaring sehingga menghasilkan butiran pasir halus yang mudah mengikuti kontur tubuh sehingga memberikan kenyamanan khususnya saat tidur. “Hal ini berbeda bila sapi tidur di lantai. Sapi itu suka dingin atau setengah hangat, kalau bahagia di ruangannya mereka akan makan lebih banyak sehingga hasil susu yang diperah juga akan banyak,” papar Drh Heru.

Model Amerika
Perkandangan yang diterapkan Greenfields Indonesia tersebut, menurut Drh Heru Prabowo mencontoh model yang diterapkan di Amerika Serikat. “Di Amerika bagus dengan ukuran sebesar di ini. Model yang diterapkan ini mempercepat penanganan dan mengefiseinkan peternakan sapi perah dan sangat mudah ditemukan di sana dengan jumlah besar,” ungkapnya kepada Infovet.
 
Sebagai perbandingan, Drh Heru menyatakan penilaian umum bahwa peternakan sapi perah di Indonesia umumnya dilakukan secara tradisional, “Yang seperti dilakukan di PT Greenfields ini tidak banyak,” katanya seraya menambahkan maka perusahaan mengaca negara yang sudah maju. “Penanganannya mengacu best practice farming. Manajemen mengacu farm managerial,” tambahnya.
 
Mengapa tidak mencontoh model peternakan di Australia dan New Zealand? Menurut Drh Heru, kalau di Australia dan New Zealand, peternakannya memakai sistem seasonal farming. Sistem peternakan yang tergantung musim seperti di sana, ada saat-saat tertentu guna musim kelahiran. Ada hal yang tidak bagus di sana yang tidak cocok dengan kondisi Indonesia adalah perubahan musim yang ada empat musim. Dengan kondisi itu ada saat-saat sapi melahirkan, ada saat sapi dilepas merumput di mana pakan mengandalkan kondisi alam luas.
 
Di Indonesia dengan jumlah ternak sapi mencapai 6.000 ekor sementara lahan kurang, maka solusinya kandang sangat dibutuhkan tanpa banyak dipengaruhi oleh perbedaan musim yang tidak berbeda nyata sehari-harinya. “Setiap daya dukung dari 25 hektar ini dimanfaatkan seefisien mungkin,” ungkap Heru.
 
Begitulah, menurutnya pemilihan area peternakan dengan suhu dan lingkungan yang cocok ini untuk memastikan proses produksi dan peternakan sapi berjalan sesuai standar tinggi PT Greenfields Indonesia. Suhu, cuaca dan iklim di area sini tidak ekstrim. Di area peternakan sapi perah ini, suhu saat siang hari berkisar antara 24-24 derajat celcius. Saat malam, suhu berkisar 13-14 oC. Perbedaan antara suhu siang dan malam cukup stabil.
 
Hal tersebut mempengaruhi proses produksi susu. Mulai dari perawatan sapi-sapi perah, makanan sapi, proses peras susu hingga penyimpanan susu murni yang harus stabil di suhu 4 oC. Heru bertanggung jawab memastikan kualitas susu yang memenuhi standar. Sebab, peternakan sapi perah ini tak hanya didistribusikan di Indonesia saja.
 
Proses produksi susu ini juga diawasi oleh orang-orang penting di PT Greenfields Indonesia. Selain dokter hewan yang handal, produksi susu pasteurisasi ini juga diawasi langsung oleh Head of Marketing and Sales PT Greenfields Indonesia & PT Austasia Food Jan Gert Vistisen.
 
Bahkan, CEO PT Greenfields Indonesia Egdar Collins bersama Head of Dairy Operation Alvin Choo dan Head of Milk Processing Darmanti Setyawan selalu turun tangan memastikan standarisasi Susu Greenfields. “Sapi kami perlakukan sangat baik. Mulai dari pemenuhan gizi makanan, kandang dan lingkungannya, diusahakan membuat sapi tenang dan happy,” tutur Heru kepada Infovet. (Yonathan)

OBAT HEWAN ILEGAL, SIAPA YANG SALAH?

Oleh : Drh. Ida Lestari S. MSc. 

Belakangan ini ramai dibicarakan di media massa tentang peredaran obat ilegal yang merugikan konsumen pemakai, padahal dalam dunia obat hewan, kasus obat hewan ilegal sudah bukan merupakan permasalahan lagi, karena terkesan belum ada tangan yang cukup kuat untuk memperhatikan masalah ini secara lebih serius.

Pasal 39 Undang-undang no 18 tahun 2009, menyatakan bahwa, obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, pharmakopeutika, premiks dan sediaan alami.
 
Dalam peredaran obat hewan, Pemerintah Indonesia melalui Pe­raturan Pemerintah Republik Indonesia No 78 tahun 1992 tentang Obat  Hewan mewajibkan bagi semua obat hewan yang beredar sebelum digunakan di lapangan baik itu digunakan oleh para peternak maupun  perora­ngan, produksi luar maupun dalam negeri, harus telah diuji terlebih dahulu mutu/kualitasnya agar dapat memberi jaminan keamanan bagi para pengguna obat hewan tersebut.
 
Ketersediaan obat hewan bermutu merupakan jaminan bagi kesehatan hewan, sekaligus menopang peningkatan industri peternakan yang sa­ngat berperan dalam pengembangan agribisnis peternakan di Indonesia sehingga ketersediaan protein hewani akan lebih terjamin khususnya dalam menunjang program swasembada daging.
 
Dalam prakteknya, masyarakat sering tertipu dalam pemakaian obat hewan ilegal yang tidak diketahui kandungannya, dimana obat hewan ilegal tersebut kemungkinan mengandung sejumlah zat berbahaya bagi organ tubuh tertentu. Bahkan lebih banyak obat hewan ilegal itu merupakan barang selundupan yang sering tidak disertai cara pemakaiannya karena tidak menggunakan bahasa Indonesia.
 
Selain merugikan masyarakat pengguna yang kerap kurang mengerti bahaya penggunaan obat hewan ilegal, karena tidak ada jaminan Pemerintah dalam hal keamanan serta potensi obat hewan tersebut. Selain itu dengan adanya obat hewan ilegal, negara juga dirugikan karena mengurangi pendapatan negara untuk tarif pengujian maupun pajak bea masuk.
 
Sejak tahun 2004 hingga kini, setiap tahunnya, kurang lebih 400-an sertifikat lulus uji obat hewan diterbitkan oleh Laboratorium Penguji Mutu Obat Hewan yang pastinya obat hewan tersebut mendapatkan nomor registerasi, akan tetapi masih banyak obat hewan yang belum terdaftar yang dapat dikatagorikan obat hewan ilegal.
 
Obat hewan ilegal adalah obat hewan yang tidak terdaftar (tidak memiliki nomor registrasi) ataupun sudah terdaftar dan memiliki nomor re­gistrasi tetapi masa berlakunya telah habis. Sementara itu pemantauan obat hewan untuk menjamin kualitasnya telah dilakukan oleh laboratorium penguji mutu yang berwenang dan dinas terkait baik baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten, walaupun belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
 
Dalam dunia obat manusia, khususnya obat tradisional, kondisi krusial membuat semakin maraknya persediaan obat tradisional berbagai jenis dan merek, termasuk obat tradi­sional ilegal, dimana sudah seharusnya Pemerintah segera menerbitkan Pera­turan Pemerintah (PP) untuk me­ngatur hal tersebut karena konsumen adalah orang yang pertama terkena dampaknya.
 
Hal yang mirip diatas yaitu kejadian di USA, dimana para pejabat kesehatan AS mengkonfirmasikan pertama kali ditemukan adanya jamur mematikan dalam satu paket obat steroid yang digunakan dalam me­ngatasi rasa nyeri di punggung, yang tercemar jamur Exserohillum rostratum yang menyebabkan wabah meningitis dan menewaskan sedikitnya 20 orang hingga Kamis, 18 Oktober 2012.
 
Hingga kini ada beberapa SK Mentan / Peraturan Pemerintah atau Undang-undang yang berhubungan dengan Obat Hewan yang pernah diterbitkan antara lain: 

(1) PP Republik Indonesia No 78 tahun 1992 tentang Obat  Hewan; 
(2) SK Mentan RI No. 110/Kpts/OT.210/2/1993 tentang Pengujian Residu Obat Hewan dan Cemaran Mikroba; 
(3) SK Mentan RI No: 808/Kpts/OT.260/12/1994 tentang Syarat Pengawas dan Tata Cara Pengawasan Obat Hewan;
(4) SK Mentan RI No: 466/Kpts/OT.140/V/1999 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik;
(5) SK Mentan RI No:453/Kpts/TN.260/9/2000 tentang Obat Alami untuk Hewan;
(6) SK Mentan RI No: 456/Kpts/OT.140/9/2000 tentang Pembuatan, Penyediaan dan/atau Peredaran Obat Hewan oleh Lembaga Penelitian, Lembaga Pendidikan Tinggi dan Instansi Pemerintah; 
(7) Undang - Undang ReI  No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Berdasarkan Undang-Undang RI No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam pasal 52, ayat (2) dicantumkan bahwa, Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan yang:
a.    Berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia
b.    Tidak memiliki nomor pendaf­taran
c.    Tidak diberi label dan tanda, dan
d.    Tidak memenuhi standar mutu

Bagi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut telah dicantumkan KETENTUAN PIDANA, dalam pasal 91: “Setiap orang yang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dipidana de­ngan pidana kurungan paling singkat (3) bulan dan paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delatan ratus juta rupiah)”
 
Dengan demikian jelaslah bahwa semestinya Pemerintah dalam hal ini para Pengawas Obat Hewan dapat melaksanakan tindakan penegakan hukum bagi setiap pelanggaran dibidang obat hewan.
 
Kendalanya adalah sebagian besar Pengawas Obat Hewan didaerah belum mendapatkan pelatihan sebagai “Penyidik Pegawai Negeri Sipil” (PPNS) sehingga belum memiliki kompetensi untuk memproses ke pengadilan (“pro justisia”).
 
Saat kondisi penyakit hewan yang sedang mewabah di lapangan, sering kali pengguna kurang berpikir rasional dalam pemilihan penggunaan obat. Sering kali mereka menggunakan obat hewan yang walaupun belum mengalami pengujian mutu di lembaga penguji mutu obat hewan. Yang ada pada benak mereka adalah bagaimana menyelamatkan hewan ternak mereka dengan menggunakan obat yang ”katanya” manjur padahal kandungan obat, cara pemakaian yang tidak diketahui karena leaflet bertuliskan bukan dalam bahasa Indonesia, dan terlebih penting belum diuji mutunya oleh lembaga yang berwenang di Indonesia sehingga tidak ada nomor registrasinya. Hasil yang kebanyakan terjadi di lapangan setelah penggunaan obat hewan ilegal itu adalah  ternak mereka banyak yang mati.
 
Dengan banyak beredarnya obat hewan ilegal di lapangan, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah yang dipersalahkan adalah pengguna yang kurang mengerti obat hewan ilegal, baik perorangan maupun importir nakal yang memasukkan secara ilegal untuk meraup untung ditengah kepusingan para peternak dalam me­ngatasi wabah penyakit karena tidak perlu bayar bea masuk dan tidak perlu menunggu pengujian mutu obat.
 
Hingga kini, Kementerian Pertanian belum memiliki bidang atau direktorat penyidikan dan penindakan yang berhubungan dengan obat hewan ilegal, mengingat banyak obat hewan yang tidak terdaftar beredar di lapangan maupun perangkat lunak yang mengatur obat hewan ilegal tersebut.
 
Dengan adanya dukungan perangkat lunak seperti landasan hukum (Peraturan Pemerintah) yang mantap diharapkan dapat melindungi masyarakat khususnya peternak kecil dalam menggunakan obat hewan yang baik dan bermutu. (Infovet Des 12)
 
Penulis saat ini selain masih aktif di BBPMSOH juga diperbantukan pada Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Investasi Pertanian.

Membangun Rumah Masa Depan

ALKISAH, seorang tukang bangunan yang sudah tua berniat untuk pensiun dari profesi yang sudah ia geluti selama puluhan tahun. Ia ingin menikmati masa tua bersama istri dan anak cucunya. Ia tahu ia akan kehilangan penghasilan rutinnya namun bagaimanapun tubuh tuanya butuh istirahat. Ia pun menyampaikan  rencana tersebut kepada mandornya.
 
Sang Mandor merasa sedih, sebab ia akan kehilangan salah satu tukang kayu terbaiknya, ahli bangunan yang handal yang ia miliki dalam timnya. Namun ia juga tidak bisa memaksa.
 
Sebagai permintaan terakhir sebelum tukang kayu tua ini berhenti, sang mandor memintanya untuk sekali lagi membangun sebuah rumah untuk terakhir kalinya.
 
Si tukang kayu ini sebenarnya sudah ingin segera menikmati masa pensiunnya, namun demi kebaikan, dengan berat hati ia menyanggupi permintaan terakhir atasannya.
 
Sang mandor hanya tersenyum dan berkata, “Kerjakanlah dengan yang terbaik yang kamu bisa. Kamu bebas membangun dengan semua bahan terbaik yang ada.”
 
Tukang kayu lalu memulai pekerjaan terakhirnya dengan rasa malas. Ia asal-asalan membuat rangka bangunan, ia malas mencari bahan yang baik dan ia gunakan bahan-bahan berkualitas rendah. Sayang sekali, ia memilih cara yang buruk untuk mengakhiri karirnya.
 
Saat rumah itu selesai. Sang mandor datang untuk memeriksa. Saat sang mandor memegang daun pintu depan, ia berbalik dan berkata, “Ini adalah rumahmu, hadiah dariku untukmu!”
 
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Ia sangat menyesal. Kalau saja sejak awal ia tahu bahwa ia sedang membangun rumahnya, ia akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Sekarang akibatnya, ia mendapatkan hadiah rumah tapi hasil dari karya terakhirnya yang asal-asalan. (dirangkum dari newsletter Anne Ahira).
***
 
Mari  kita pikirkan kisah si tukang kayu ini. Anggaplah rumah itu sama dengan kehidupan kita. Di akhir tahun kita akan mendapatkan hadiah yang semua orang menerima, yaitu datangnya tahun baru. Kita ibaratnya memasuki tahun baru hingga akhir tahun depan adalah sebuah bangunan rumah kehidupan.
 
Apa yang akan kita lakukan di akhir tahun adalah merancang bangunan rumah megah 2013. Dalam bahasa bisnis namanya menyusun budget 2013. Kita punya pilihan mau membangun rumah sekokoh dan semegah apa, karena  “ini adalah rumah kita, hadiah dari-Nya untuk kita”.
 
Kita tahu ini rumah kita, jadi apapun yang terjadi tahun ini, tidak boleh membuat kita bermalas-malasan. Untunglah ada ilmu teknis yang namanya budgeting dan yang nonteknis yaitu motivasi.
 
Pakar manajemen mengatakan, untuk membuat “rumah masa depan” yang baik, kita perlu mempertajam  pengamatan dan intuisi agar dapat menyusun asumsi tentang apa yang akan terjadi di tahun yang akan datang. Jika kita mampu membuat asumsi dengan tajam, maka anda punya bekal untuk menyusun target yang tajam juga. Jika target sudah disusun anda akan dapat menyusun strategi yang baik untuk  meraih target. Dan jika sudah dimantapkan strateginya, anda tinggal menyusun agenda aksi selama setahun.
 
Setidaknya itulah  yang bisa kita optimalkan untuk menbangun rumah kehidupan 2013. Namun semua itu pilihan kita. Kita boleh membangun dengan cara “mengalir” begitu saja tanpa rancangan budget, boleh juga merancang bangunan dengan budget yang sebaik-baiknya.
 
Kekuatan dan kemegahan bangunan rumah kehidupan kita dalam setahun, semuanya tergantung pada kita sendiri. Kehidupan kita adalah akibat dari pilihan kita sendiri.  Masa depan kita adalah hasil dari keputusan kita  saat ini.
 
Selamat Tahun Baru 2013. Semoga  kehebatan dan kebahagiaan selalu menyertai Anda. Amien.

Menetapkan Sudut Pandang

SEBUAH kisah nyata yang ditulis oleh Lutfi S. Fauza. Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan dan kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih, bersih dan teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.
 
Hanya saja, ibu yang satu ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya.
 
Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum dan  berkata  kepada sang ibu, “Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan”.
 
Ibu itu kemudian menutup matanya. “Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?” Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya berubah cerah.
 
Virginia Satir melanjutkan; “Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu.Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi”.
 
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
 
“Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu disana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu”. Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.
 
 “Sekarang bukalah mata ibu”.
“Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?”
 
Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku tahu maksud anda”, ujar sang ibu, “Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif”.
 
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita ‘membingkai ulang’ sudut pandang kita, sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya
 
Kebanyakan sudut pandang manusia terhadap apa yang dilihat dan alaminya adalah sudut pandang negatif yang membuat banyak orang setiap hari diliputi dengan keluhan berkepanjangan. Padahal jika sudut pandang dirubah, dapat seketika banyak hal berubah menjadi positif. Saya coba lihat ke mesin pencari google, klik kata “keluhan” dan kemudian klik kata “berpikir positif”. Tersedia 15 juta halaman informasi mengenai keluhan, dan sebaliknya hanya 1,5 juta halaman mengenai berpikir positif. Manusia lebih senang mencari informasi mengenai keluhan disbanding dengan berpikir positif.
 
Dalam Aladin Factor karya Jack Canfield dan Victor Mark Hansen, setiap hari manusia mengalami 60 ribu pikiran. Sedemikian banyaknya pikiran yang melintas diotak sehingga manusia harus mampu mengarahkan kemana pikiran akan dibawa. Jika kita mengarahkan setiap lintasan pikiran ini ke arah negative makan yang terjadi adalah hal-hal yang negatif.
 
Dalam buku Terapi Berpikir Positif, Dr. Ibrahim Alfiky mengatakan, tahun 1986 sebuah penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas San Francisco menemukan bahwa 80% pikiran manusia adalah negatif. Maknanya adalah 80% respon manusia terhadap kejadian adalah dengan sudut pandang pikiran yang negatif. Ini akan berpengaruh terhadap perasaan, perilaku dan tingkat kesehatan yang kita alami.
 
Nah, para tokoh hebat dalam berbagai bidang kehidupan bukanlah orang yang menggunakan 80% pikirannya untuk negatif. Setiap kejadian dapat dicarikan sudut pandang positif sehingga dapat mengambil langkah positif. Tak heran jika dalam situasi negara krisis, atau lingkungan pekerjaan yang dipandang umum sebagai lingkungan buruk, mereka yang hebat dapat memposisikan pikirannya ke arah positif.
 
Mari kita berlatih berpikir dengan sudut pandang positif. Jika anda menerima Tagihan Pajak yang cukup besar, pikiran positif anda adalah anda berkarya dengan baik sehingga penghasilan anda tinggi.
 
Untuk rasa lelah, capai dan penat di akhir pekan, pikiran positif anda adalah karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.
 
Jika anda bosan dengan bermacam perdebatan di media elektronik yang sering berlebihan, itu artinya masih ada kebebasan berpendapat.
 
Untuk setiap permasalahan hidup yang kita hadapi, karena itu artinya Tuhan sedang membentuk dan menempa kita untuk menjadi lebih baik lagi.
 
Pikiran berani membuat kita berani, pikiran  takut membuat kita takut, pikiran bahagia membuat kita bahagia, pikiran sengsara membuat kita sengsara. Pikiran optimis membuat kita optimis, pikiran pesimis membuat kita pesimis.
 
Filosof Socrates mengatakan, “Dengan pikiran, anda dapat membuat dunia menjadi berbunga-bunga dan dengan pikiran pula dunia dapat menjadi  berduri-duri.”
Selamat berpikir.

DAYA TARIK SAPI SUMBA ONGOLE


Oleh: Drh. Joko Susilo

Sapi lokal untuk bahan penggemukan semakin langka, setelah sapi PO, simental, limousine sekarang banyak feedlot mencari bakalan dari jenis sapi Bali, sapi Madura, sapi Kupang, dan sapi Sumba Ongole. Sapi Sumba Ongole (SO) adalah sapi ongole asli Indonesia berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan perawakan seperti sapi ongole (Jawa), warna asli putih, memiliki rangka dan perfoma produksi yang lebih baik dari sapi ongole. Frame yang tinggi panjang, bertanduk, perototan dan pertulangan kuat.

Di daerah asalnya sapi ini dipelihara dalam lahan penggembalaan (ranch) dengan panasnya sinar matahari di area ribuan hektar, pemilik sapi biasanya memiliki ratusan ekor sapi dan menandai sapinya dengan sobekan di telinga atau dengan cap bakar di paha.
 
Kelebihan pemeliharaan system ranch di sana adalah mendukung pembentukan rangka yang panjang karena sapi bisa exercise dengan cukup, mendapatkan vitamin D cukup dari sinar matahari, dan mendapatkan sebagian mineral (Ca) dari tanah atau bebatuan di sekitar ranch.  Kelemahan dari  system ranch adalah tingginya kejadian inbreeding, recording reproduksi dan produksi relatif susah, susahnya kontrol penyakit parasiter (cacing), sapi kecil akan selalu kalah dalam kompetisi perebutan pakan.
 
Pada musim kemarau, ranch akan sangat kekurangan air, akibat dari asupan air yang rendah akan terjadi kekurangan rumput, rendahnya perfoma reproduksi dan produksi, meningkatnya kematian pedet karena susu induk yang kurang mencukupi. Kurangnya rumput dan air pada musim kemarau menyebabkan menurunnya kondisi fisik sapi sehingga kejadian penyakit meningkat seperti demam tiga hari (Bovine Epiferal Fever), kekurusan (skinny) dan weakness (kelemahan). Saat musim kemarau terjadi peningkatan kejadian masuknya benda asing (kain, plastik, kayu, lidi, paku, kawat) ke dalam tubuh sapi yang dapat mengganggu fungsi alat pencernakan, jantung, paru paru dan system organ lain.

Penggemukan SO
Mobilisasi sapi Sumba Ongole dari Sumba ke Jawa untuk tujuan penggemukan sudah berjalan lebih dari 20 tahun yang lalu. Sapi dibawa melalui kapal laut melewati pelabuhan di Surabaya, dan dibawa ke Jawa, di Jawa Barat penampungan sementara sapi banyak dilakukan di Tambun, Bekasi sebelum dibawa ke feedlot masing masing antara lain di Subang, Bandung, Sukabumi, Bogor, atau Banten.
 
Para pengusaha penggemukan memilih sapi SO untuk penggemukan karena memiliki beberapa keuntungan seperti: sapi SO mudah beradaptasi dengan pakan penggemukan dengan sistem koloni, sapi dalam koloni baru dalam pen akan cepat mengenal kawan dalam satu koloni, tidak banyak terjadi perkelahian antar sapi (hanya 1-2 hari). Tahap awal penggemukan dimulai dari penimbangan masing masing sapi untuk menentukan grade berdasarkan berat badan, pen, dan target pakan.
 
Pemberian multi vitamin dan obat cacing sangat membantu meningkatkan kecernaan pakan yang dikonversi menjadi daging. Fase pakan dibedakan menjadi 3 yaitu starter (DOF 1 – 10), grower (11-60 hari), dan Finisher (60 hari – waktu jual). Persentase hijauan tinggi pada saat starter dan akan terus dikurangi sampai finisher/waktu jual, pakan konsentrat diberikan sebaliknya yaitu dari sedikit dan meningkat secara bertahap. 
 
Pada awal 2008, sapi yang dikelola di feedlot mempunyai rangka yang panjang panjang dan bobot badan awal 400 – 600 kg (masuk dalam kelas Heavy – ekstra Heavy). Kecilnya angka penyusutan karena transportasi (< 2%) dan average feed intake yang selalu meningkat dari hari ke hari (2,3 % - 2,6 % dry matter intake) menghasilkan perfoma yang luar biasa. Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat badan 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yang dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO karena selain % karkas tinggi juga tekstur daging yang padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah  yang sangat pas untuk produksi bakso. Pada 2008 harga sapi SO jantan masih berkisar Rp. 22.500 – Rp. 23.000 dan indukan (cow) Rp. 18.000 – Rp. 19.000 /kg berat badan hidup. Pada saat itu harga karkas masih sekitar Rp. 45.000,00, sehingga apabila sapi berat 400 kg (400 X Rp. 22.500 = Rp.9.000.000,00) dipotong mendapatkan 53% karkas (212 kg) seharga Rp. 9.540.000,00 artinya ada keuntungan Rp. 540.000,00 / ekor bagi jagal. 

Akhir akhir ini, sapi bakalan yang datang dari Sumba relative lebih kecil kecil (250 kg) dan kondisi badan yang kurang ideal. Sapi dengan berat 250 – 300 kg ini termasuk dalam kategori  light – ekstra light, membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih lama yaitu di atas 120 hari. Kenaikan berat badan yang dihasilkan lebih rendah hanya sekitar 1.0 – 1.1 kg/ekor/hari, begitu juga karkas yang didapatkan hanya 50% saja. Makin rendahnya grade sapi bakalan yang masuk ke kandang penggemukan mengindikasikan telah terkurasnya sapi bakalan dengan bobot besar, meningkatnya kejadian inbreeding, atau populasi ternak tidak diimbangangi jumlah pakan yang tersedia terlebih pada musim kemarau.

Pengembang biakan SO (Breeding)
Semakin menurunnya kualitas sapi SO dan makin tingginya kebutuhan sapi lokal untuk bakalan penggemukan, menuntut pengusaha ternak untuk mengembangbiakan sapi SO dengan system intensif melalui perbaikan managemen pemeliharaan, perkawinan, pakan dan budidaya. Pengembangbiakan sapi SO secara intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih menggunakan perkawinan alami. Sapi SO memiliki perfoma reproduksi yang sangat baik, hasil budidaya yang kami dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, mas produktif sampai 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan. Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio seperti yang pernah kami lakukan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yang dihasilkan meliputi pertumbuhan yang lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat badan 280 kg, dan berat badan indukan bisa mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat jelek di daerah yang dingin di dataran tinggi.
 
Pemberian pakan untuk breeding tidak membutuhkan pakan dengan kualitas terbaik. Hal ini selain untuk memperkecil biaya untuk produksi pedet juga karena sapi SO memiliki kecernaan yang baik terhadap pakan yang diberikan. Pakan untuk pemeliharaan sapi breeding yang kami berikan meliputi konsentrat 1- 3 kg ( protein kasar 10-11 %, TDN 65%  ) dan rumput lapangan atau jerami fermentasi dengan sedikit supplement vitamin E dan Selenium sudah sangat mencukupi.
 
Dalam dialognya di media electronic beberapa waktu yang lalu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sekda NTT, KTNA, dan para ahli peternakan dan pertanian berkomitmen penuh untuk memajukan pengembangan sapi Sumba Ongole. Dalam penjelasannya, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatakan akan mengkombinasikan manajemen pemeliharaan dan bionutrisi untuk mengdapatkan hasil optimal, sementara factor kekeringan pada musim kemarau yang bisa membuat kematian pedet hingga 60% akan ditanggulangi dengan pembuatan sarana dan prasarana sumber air. Balai Inseminasi Buatan di daerah atau milik kementrian pusat juga sudah waktunya untuk memproduksi semen beku SO sehingga akan cepat menyebar luas ke seluruh pesosok Indonesia. Semoga kerja keras yang sinergis mampu mengangkat Sumba Ongole menjadi problem solving bagi ketergantungan Import. Amieen..

Penulis adalah  Medis Veteriner 
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Lampung
Direktorat Kesehatan Hewan, Dirjennak Keswan
Kementrian Pertanian RI

Tantangan Bisnis Perunggasan Indonesia Kian Beragam

ASOHI kembali menghadirkan Seminar Perunggasan ke-8 pada 18 Oktober lalu. Inilah seminar yang selalu dinantikan kalangan pebisnis obat hewan dan bisnis unggas tentunya. Mengusung tema “Peran Indonesia Dalam Percaturan Bisnis Perunggasan Dunia”, turut menghadirkan pembicara Mr Gordon Butland, konsultan perunggasan internasional.

Krissantono, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU)  menilai prospek pertumbuhan industri perunggasan di 2013 diprediksi naik 8%, maka setidaknya DOC yang dibutuhkan untuk peternak ayam pedaging akan mengalami penambahan menjadi 2,2 miliar dari tahun sebelumnya 1,9 miliar ekor. “Itu baru untuk ayam pedaging saja, belum untuk ayam petelur,” ujar Krissantono.

Sementara itu FX Sudirman Ketua Umum Asosiasi Produsen Pakan Indonesia, bencana kekeringan di Amerika dan beberapa sentra produksi jagung dan kedelai berpengaruh sangat besar terhadap melambungnya harga bahan pakan. Terhambatnya transportasi di Argentina juga berakibat pada kelanggakaan bungkil kedelai di pasar domestik. “Kenaikan harga bahan baku ini menyebabkan pula naiknya harga pakan,” katanya.
 
Meski demikian, Sudirman optimis tahun 2013 industri perunggasan nasional akan tumbuh. Hal ini ditandai dengan adanya investasi pabrik pakan yang gencar, baik pemain lama sebagai ekspansi, maupun dari investor atau pendatang baru.
 
“Masa depan industri pakan sangat baik, seiring dengan pertumbuhan industri peternakan, khususnya industri perunggasan,” ucapnya. Lanjutnya, produksi jagung nasional tahun 2012 cukup bagus, sehingga volume impor jagung menurun secara signifikan.
 
Berpijak dari tahun 2012, harga broiler sangat tergantung pada suplai. “Perlu diperhitungkan secara cermat, seberapa besar kenaikan produksi untuk memenuhi potensi kenaikan permintaan, sehingga terjadi keseimbangan yang membentuk harga ekonomi bagi seluruh sektor,”jelas Sekjen Pinsar, Ir Eddy Wahyudin. Eddy menambahkan, harga pakan dan bibit yang naik akan mempengaruhi kenaikan HPP sehingga menyebabkan harga broiler dan telur juga mengalami gejolak.
 
Eddy menuturkan, perlu antisipasi untuk mengatasi gangguan cuaca yang berpotensi mengganggu produksi dan distribusi broiler serta telur. Ancaman penyakit masih berpotensi menghambat secara langsung proses produksi broiler dan telur. Hal ini berdampak pada kenaikan harga bibit, karena terjadi gangguan produksi pembibitan.
 
Performa harga telur sepanjang tahun 2012, cukup bagus. Rata-rata harga jualnya yang melebihi HPP yaitu Rp 14.161/kg berbanding Rp 13.273/kg. Kendala yang dihadapi peternak layer tahun ini, salah satunya adalah kenaikan harga DOC layer mencapai Rp 13.000/ekor.
 
Sementara Mr Gordon Butland pada sesi kedua menyampaikan bahwa telah terjadi kekeringan yang melanda AS pada pertengahan 2012, di kawasan bagian mild west yang merupakan penghasil jagung dan kedelai terbesar sangat mempengaruhi harga pakan ternak dunia. Begitu juga dengan kedelai mengalami gagal produksi.
 
Permintaan kedelai dunia terus merangkak naik, sehingga cadangan kedelai menjadi rendah dan mengakibatkan mahalnya harga bungkil kedelai. Harga bungkil kedelai yang semula hanya Rp 4.000/kg pada awal tahun melesat mencapai Rp 7.000/kg saat ini. Kita ketahui, jagung dan bungkil kedelai merupakan bahan baku utama untuk ransum unggas. Penggunaannya berkisar antara 60-80 % dalam total ransum.
Hal penting yang dikemukakan Gordon yaitu negara Brazil dan Thailand saat ini giat mengekspor produk unggasnya. Selain itu akan banyak perusahaan asing menjadikan India, Indonesia, China, dan negara di bagian Asia untuk target pasar ekspor. 

BANGUN KEPERCAYAAN HADAPI TANTANGAN GLOBAL

Di kesempatan lain pada Kongres XI GPPU mengusung tema ‘Membangun Kepercayaan Menuju Efisiensi Produksi untuk Memenuhi Gizi Masyarakat Madani’ dengan sub tema ‘GPPU Siap Menghadapi Tantangan Nasional dan Global’, dihadiri 46 peserta anggota GPPU dan pada saat acara pembukaan dihadiri sekitar 75 peserta termasuk dari FMPI, GAPPI, ASOHI, GPMT, PPUN, GOPAN, PPAB, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali.

Agar para peserta kongres terinspirasi akan keindahan dan kekhusukan Pulau Dewata, oleh Krissantono, Ketua Umum BPP GPPU Indonesia menyatakan, “Dari Kongres XI ini diharapkan bisa menghasilkan putusan-putusan Kongres yang dapat lebih menyatukan para pembibit dengan insan perunggasan lainnya, dan lebih meningkatkan produktivitas kita semua,” ujar Krissantono.

Dengan demikian, sudah tepat Bali dijadikan sebagai tuan rumah kali ini, walaupun Bali belum memiliki Komda yang mensyaratkan telah memiliki minimal dua breeding dan/atau hatchery. Krissantono berprihatin, bahwa konsumsi per kapita penduduk Indonesia masih rendah dibanding Negara-Negara tetangga, kita masih sekitar 7 kg/orang/tahun atau konsumsi per orang 1 ekor ayam untuk setiap 3 bulan, sementara di Malaysia per orang 3 ekor ayam untuk setiap bulan. Dan, konsumsi telor ayam per orang 1,6 butir telor setiap minggu, sementara di Malaysia 1 butir telor setiap hari.
 
Inilah tantangan untuk kita para pembibit dan tantangan untuk seluruh pelaku bisnis perunggasan. Andaikata kita bisa meningkatkan menjadi 15 kg/orang/tahun, perlu penjabaran detail berapa DOC harus kita produksi, GPS yang diimpor, PS dan FS yang diproduksi, kandang yang harus dibangun, ton pakan yang harus diproduksi, obat yang tersedia, peternak yang handal harus kita siapkan dan lain-lain permasalahan.
Tantangan ini baru dari sisi konsumsi perkapita. Secara jujur harus kita akui bahwa daya saing perunggsan kita masih masih rendah. Produktivitas masih relatif rendah, hampir 90 % bahan baku pakan tergantung dari luar, supply bibit masih impor dan struktur pasar masih belum efisien.
 
Dengan demikian tentang adanya panggung industri yang belum kuat, dapat membuat kita kecut dan kecil hati. Tetapi, sebaliknya suasana itu harus dapat memicu dan memacu seluruh unsur yang terlibat supaya dapat lebih merapatkan barisan bergandengan tangan dan sama-sama merancang policy bersama antara pebisnis,  Pemerintah dan  Akademisi, dengan koordinator FMPI.
 
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Ir. Syukur Iwantoro, MS dalam sambutannya yang dibacakan oleh Ir. H. Abubakar, SE, MM, menyatakan bahwa industri perunggasan saat ini tumbuh cukup pesat mulai dari hulu sampai hilir. Produksi DOC broiler final stock tahun 2012 diprediksi mencapai 1,9 milyar atau setara dengan produksi daging ayam ras sekitar dua juta ton.
 
Indonesia dapat dikatakan sudah berswasembada ayam dan telur, dari segi produksi jauh lebih banyak ketimbang angka konsumsi yang masih rendah. Kontribusi terbesar yang memasok daging di dalam negeri adalah ayam ras 51,4 % disusul sapi 18,9 %. Di balik keberhasilan itu, masih dirasakan berbagai permasalahan yang masih dihadapi industri perunggasan yaitu penyediaan bibit ayam ras Grand Parent Stock (GPS) yang sepenuhnya 100 % masih impor dan sebagian Parent Stock (PS) impor. Dengan adanya ketidakseimbangan supply and demand, Dirjen berharap GPPU dapat mengatasi lewat Kongres XI kali ini.
 
Tantangan Nasional perunggasan yang turun naik, diharapkan GPPU siap bersatu untuk menyelesaikan persoalan bisnis perunggasan di Indonesia. Diharapkan perusahaan breeding dan hatchery yang belum bergabung bisa masuk menjadi anggota GPPU. Dan, menurut informasi yang didapat Infovet dari pengurus, ada dua perusahaan besar dan sekitar 15 perusahaan menengah yang belum menggabungkan diri ke organisasi GPPU.
 
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah low trust society, yaitu suatu kondisi yang sangat kronis yang tidak ada kepercayaan masyarakat terhadap komponen yang satu dengan lainnya. Ada lingkaran setan antar pembibit dengan peternak, peternak dengan pabrik pakan, dan seterusnya sehingga akan muncul energi negatif. Nah, kalau terjadi energi negatif akan terjadi hukum alam dan kita tinggal menunggu kehancuran. Jika energi habis, kita akan tepar dan tamu akan datang masuk ke Indonesia untuk mengincar peluang. Indonesia lelah, asing akan masuk.
 
Ingat, Indonesia merupakan pasar yang sangat seksi. Chicken Leg Quarter (CLQ), Chicken Wing (CW) dari AS, bahkan kalkun dan bebek dari Brazilia sudah mengintip Indonesia. Kini tinggal sisi akademisi perlu diberdayakan. Banyak Profesor dan Doktor dilahirkan dari Perguruan Tinggi yang mumpuni. Koleksi dan berdayakan potensi mereka. Mengapa Pemerintah kurang memberdayakan mereka untuk diajak kerja bareng dari sisi scientific, kalau Pemerintah pernah berkata cara menangkal sudah habis karena keterbatasan.
Di era globalisasi, penolakan produk hanya bisa ditujukan dari sisi ilmiah, bukan dengan alasan lainnya. 

Thailand saat ini sudah bebas dari AI karena kerja bareng dari berbagai pihak, sehingga bisa masuk pasar global Eropa dan Indonesia. Ini merupakan proses pembelajaran bagi kita semua dan merupakan pekerjaan rumah utama yang harus diselesaikan secepatnya.
 
Sementara itu, Don Utoyo dari Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), mengingatkan, Indonesia jangan ekspor dulu, tetapi memperbesar pasar dalam negeri. Pemerintah membuat regulasi yang baik dan kondusif untuk menghadapi tantangan importasi peternakan. Beda pendapat boleh saja yang penting dapat memperbaiki kondisi peternakan. Faktor pendukung berupa pengadaan lahan serta bahan baku pakan perlu diperhatikan dan Pemerintah sebaiknya tidak hanya bicara target saja.

Akhir dari acara Kongres XI GPPU, Dirjen melantik pengurus GPPU periode 2012-2016, yang masih tetap dikomandani oleh Krissantono. (Mas Djoko R/Bali )/Infovet nov 12

PEMBERANTASAN RABIES PERLU PERAN SERTA BANYAK PIHAK


"Tuntutan atas kualitas vaksin rabies yang baik menyeruak seiring dengan sulitnya rabies diberantas di daerah endemik."
- Prof. Bambang Sektiari, FKH UNAIR.


Rabies merupakan penyakit paling mematikan yang bersumber dari hewan, maka di Indonesia jika hanya mengandalkan peran dari satu instansi/lembaga Pemerintah, sudah pasti akan sangat sulit untuk me­ngatasinya sampai kapanpun. Apalagi untuk memberantas hingga tuntas, akan memakan waktu yang lama dan panjang. Untuk itu peran serta banyak pihak secara sinergis akan membuahkan hasil yang jauh lebih cepat, lebih konkrit, dan lebih baik.

Peran serta Sanbe Group dalam hal ini PT Caprifarmindo Laboratories, jelas merupakan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam usaha pemberantasan rabies terutama di negeri ini agar dapat segera mendeklarasikan sebagai negara atau setidaknya daerah yang bebas dari penyakit Rabies.

Demikian cuplikan wawancara singkat dengan Prof. Dr. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA dengan Infovet usai presentasinya di forum Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional ke-12 di Hotel Saphir Yogyakarta.
Menurut Prof Bambang, Rabies sebagai penyakit zoonosis sudah lama diketahui ada di muka bumi ini. Korban tewas yang ditimbulkannya sudah terlalu banyak, maka jika tidak ada inisiatif dan peran nyata dari masyarakat dan pihak-pihak swasta, maka kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan. 

“Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa dalam setahunnya korban meninggal karena tertular penyakit Rabies mencapai 55.000 orang di seluruh belahan bumi ini. Terbanyak berada di benua Asia dan Afrika,” papar Prof Bambang yang merupakan seorang ayah dari 4 orang anak ini.

Selanjutnya Doktor lulusan Universitas Rene Descartes (Paris V), Perancis 1997, mengungkapkan bahwa benua Asia dan Afrika masih merupakan daerah endemis yang menyeramkan. Di Indonesia sendiri sampai saat ini, hampir sebagian besar provinsinya masih merupakan daerah tertular dan belum bebas dari penyakit itu. Menurut catatan dari Kementerian Pertanian RI, hanya Jawa Tengah dan Jawa Timurlah yang dinyatakan sebagai daerah yang bebas dari penyakit itu.

Di Indonesia problema klasik dalam pemberantasan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis adalah kompleks. Koordinasi antar instansi terkait belum sinergis, dan diperparah dengan kurangnya ketersediaan vaksin yang memadai dan berkualitas. Koordinasi memang gampang diucapkan, namun pada realitas di lapangan merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan.

Instansi yang kompeten membuat dan menyediakan vaksin untuk kasus penyakit itu, ternyata belum mampu untuk secara signifikan berkontribusi terhadap permasalahan klasik ini.  Peran serta banyak pihak memang menjadi sebuah keharusan agar penyakit zoonosis itu dapat dienyahkan, atau setidaknya semakin dipersempit kawasan geografis yang menjadi daerah endemis.

Berbicara masalah produk vaksin yang mempunyai peran penting dalam pemberantasan penyakit Rabies di Indonesia ini, menurut Prof Bambang yang juga Koordinator Bidang Akreditasi Pusat Penjaminan Mutu dan Mantan Ketua LPPM Universitas Airlangga Surabaya itu, bahwa ketersediaan terkait jumlah dosis mungkin dapat diatasi, namun terkendala dalam distribusi dan aplikasi di lapangan.

“Selain itu mungkin yang pa­ling memprihatinkan adalah kualitas vaksin yang ada di lapangan. Tuntutan mutu vaksin yang berkualitas agar menghasilkan tingkat proteksi yang optimal dari hewan yang divaksinasi akan semakin meningkat. Bukan saja untuk memberikan perlindungan, namun juga aspek lama proteksi yang didapatkan,” ujar pria yang tahun ini genap berusia 50 tahun ini.

Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia yang selama ini terpublikasi, bahwa kegagalan vaksinasi rabies tidak hanya disebabkan karena level proteksi yang rendah dan program pelaksanaannya yang belum optimal. Namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah produk vaksinnya yang belum mampu memberikan proteksi dalam jangka lama.

Ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan titer antribodi pasca vaksinasi yang rendah meskipun dalam jangka waktu yang pendek pasca vaksinasi. Atas kondisi tersebut mendesak munculnya inovasi yang menghasilkan vaksin rabies dengan potensi proteksi yang tinggi dan efek proteksi bertahan lama.

Dengan demikian tutur pria kelahiran Surabaya, 11 Agustus 1962 yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Klinik Veteriner pada Januari 2009 silam, peran serta pihak manapun dalam rangka untuk meredam ancaman penyakit hewan yang zoonosis itu harus diterima dengan tangan terbuka dan didukung penuh oleh semua pihak, khususnya Pemerintah.

PT Caprifarmindo Laboratories, sebagai perusahaan nasional yang berskala internasional, akhirnya mampu menjawab problema kompleks dari pemberantasan penyakit rabies ini. Melalui produk vaksin rabiesnya CAPRIVAC RBS®, vaksin produksi Capri ini telah sesuai dengan harapan Prof. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA.

Vaksin ini memiliki standar kualitas melebihi kualitas vaksin yang selama ini beredar di pasaran. Apalagi didukung sistem distribusi yang mampu menjangkau wilayah Indonesia yang luas.

Dari hasil pengujian dibuktikan vaksin rabies Caprifarmindo mampu memberikan proteksi yang optimal serta bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga aman untuk aplikasi di lapangan.

Presentasi Prof Bambang, menjadi sangat istimewa oleh karena dipaparkan dalam forum yang sangat berkelas bagi para dokter hewan praktisi di Indonesia, yaitu KIVNAS yang berlangsung sejak tanggal 10-13 Oktober 2012 di Yog­yakarta. (iyo/infovet nov 12)

VAKSINASI KOLERA JARANG DILAKUKAN?

Guna melacak jejak Kolera unggas atau Fowl Cholera, Infovet Jawa Timur menembus pegunungan Malang Barat melalui jalan panjang yang berliku-liku, lewat berbagai peternakan hingga di kota Malang bertemu dengan Drh Setyono Al Yoyok Direktur Poultry Shop Pakarvet di Kabupaten Malang. Apa statement yang didapatkan dalam wawancara di poultry shop berlanjut di rumah dokter hewan yang juga membuka praktek dokter hewan ini?

”Di lapangan tidak begitu menjadi masalah. Selama pegang program pullet jarang terjadi,” kata Drh Setyono Al Yoyok sang direktur Pakarvet Malang. Intinya, tindakan yang dibutuhkan, katanya, ”Persiapan kandang, brooding atau pemanas pengindukan buatan, biosecurity.”

Vaksinasi bakterial tidak terlalu diperhatikan dan jarang dipakai dalam penanganan Kolera Unggas dan umumnya penyakit bakterial. Berbeda dengan vaksinasi bakterial untuk penyakit Coryza. Ya, Coryza saja yang diperhatikan. Sedangkan vaksinasi parasit Koksidiosis, jarang divaksin walau ada vaksin Koksi. Demikian menurut Drh Setyono Al Yoyok.

Berdasar pemantauan lapangan oleh sumber Sentral Ternak, vaksin yang banyak beredar di lapangan dan banyak digunakan pada ayam umumnya untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus. ”Karena virus tahan terhadap obat antibiotika,” kata sumber Sentral Ternak. Vaksin tersebut antara lain vaksin AI, Gumboro, ND, Cacar, IB dan Mareks.

Namun perhatikan statement ini, ”Ada juga beberapa vaksin untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti vaksin Kolera dan Coryza.” Ya, memang vaksin bakterial ini ada, cuma penggunaannya yang menurut Drh Yoyok jarang.

Bagaimana sesungguhnya ihwal vaksin Kolera Unggas, Infovet mendapatkan data dari Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner Bogor yang telah memproduksi vaksin ini. Sumber Bbalitvet mengungkap telah diproduksi vaksin bivalen isolat lokal untuk pengendalian penyakit kolera unggas Vaksin Kolera Unggas.

Vaksin tersebut adalah vaksin bivalen inaktif yang dikembangkan dari isolat lokal  Kolera Unggas sendiri adalah penyakit bakterial yang menyerang ayam dan itik, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Komposisi vaksin dibuat dalam bentuk inaktif yang terdiri dari dua isolat (bivalen).
 
Drh Rondius Solfaine MP Staf pengajar bagian patologi anatomi FKH Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dalam artikel untuk FKH Blog berpendapat tentang vaksinasi Kolera ini, ”Apabila memungkinkan, vaksin dapat digunakan untuk pencegahan infeksi penyakit Kolera unggas.” Menurutnya beberapa jenis vaksin dapat digunakan baik vaksin aktif (kuman Pasteurella dilemahkan) dan vaksin inaktif (kuman Pasteurella dimatikan).
 
”Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam hal cara pemakaian, daya proteksi dan titer antibodi yang dihasilkan. Hal tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi peternakan yang bersangkutan,” kata Drh Rondius. Bagaimana kenyataan lapangan?
 
Dari banyak program vaksinasi peternakan, memang tidak didapatkan adanya program vaksinasi Kolera ini. Ambillah salah satu contoh jadual vaksinasi pada ayam petelur suatu peternakan. Pada saat ayam umur 2-3 minggu divaksin IB dan ND. Umur 6 minggu divaksinasi IB dan ND lagi. Umur 10 minggu ILT dan Cacar Ayam. Umur 6-16 minggu divaksin AE (Avian Encephalomyelitis). Mana yang untuk Kolera? Tidak tercantum.
 
Majalah Kesayangan Anda Infovet pernah memberitakan bahwa Kolera unggas telah lama ada di Indonesia dengan kejadian pertama dilaporkan Bubberman pada 1912. Pernah ada letupan di Bogor-Jawa Barat, pada ayam petelur dan itik. Dan, ada anjuran, diperlukan vaksinasi apabila ditemukan dengan jelas penyakit Koleranya. Tentang hal ini mesti dikonsultasikan dengan dokter hewan anda untuk meneguhkan diagnosa. Waktu vaksinasi yang dianjurkan adalah pada saat ayam umur 6–8 minggu dan diulang umur 8–10 minggu.
(Yonathan/Infovet Nov 12)

KOLERA, ANTISIPASI SAMPAI AKHIR

Antisipasi peternak sudah tergolong bagus? Bila ayam sudah mengalami kembung, berarti sudah banyak bakteri yang berkembang di dalam tubuh ayam.
Menurut Drh Dyah Mei Anggraini dari PT Tekad Mandiri Citra wilayah kerja Jawa Timur kebanyakan penyakit Kolera jarang ditemukan. Meski, akhirnya ia mengakui kepada Infovet, pernah menjumpai penyakit yang gejalanya antara Kolera dan AI di daerah Pakis Malang. Begitupun secara umum diakui penyakit Kolera jarang ditemukan.

Satu kunci penting untuk terciptanya kondisi sebagus itu menurut Drh Dyah adalah, dilihat kesehatan waktu ayam kecil atau umur muda (umur 3 hari sampai 1 minggu). Hal ini dilambari antisipasi peternak menurutnya sudah tergolong bagus, “Dengan penyemprotan kandang,” katanya, “Ayam mau masuk, kandang disemprot lagi dengan antiseptik atau desinfektan.”

Seorang peternak yang mengaku telah puluhan tahun bergelut dengan ayam mengatakan, “Pelihara ayam dari starter sampai dengan grower jangan di kandang tanah. Karena alas kandang seperti sekam bila basah atau lembab dapat menjadi media penularan yang baik bagi berbagai macam penyakit.”

Tegasnya, serangan Kolera dapat dihindari bila pemeliharaan ayam diatur dengan baik. “Litter harus sering dibolak-balik agar tidak menggumpal,” kata seorang peternak menerangkan kiatnya dalam mencegah timbulnya penyakit ini di kandang.

Adapun untuk peternak yang tidak mau repot melakukan pekerjaan membolak-balik sekam pada lantai pertama kandang, ia lebih memilih kandangnya kandang panggung, bahkan ada yang mendirikan kandang di atas kolam. Dalam kandang kolam ini, kotoran ayam pun langsung jatuh jadi santapan ikan yang dipelihara dalam kolam.

Selain itu juga menjaga kebersihan tempat pakan dan minum dengan seri dicuci dan dibilas dengan desinfektan.

Kemudian kalau toh kasus Kolera terjadi juga, dengan angka kejadian Kolera pada 5-10 ekor dari 3000 ekor ayam, menurut kesaksian Drh Dyah, cirinya langsung mati secara mendadak. Berdasar pengalamannya pula, diagnosa serangan Kolera Unggas ini pada pemeriksaan bedah bangkai dengan mengamati perubahan yang terjadi pada organ-organ tubuh adalah paru-baru membengkak dan mengalami nekrosis.

“Biasanya serangan Kolera terjadi pada ayam usia 27-30 hari pada broiler atau lebih dari 30 hari pada ayam jantan,” ujar seorang praktisi. Masa inkubasi penyakit Kolera sendiri berlangsung selama 3-9 hari. Seorang praktisi yang banyak mengamati kasus kolera pada ayam petelur di Blitar mengatakan, “Serangan kolera terjadi pada umur lebih dari 4 bulan. Kadang-kadang ayam mati tanpa gejala klinis yang jelas, biasanya pada malam hari.” 

Diagnosa banding Kolera berak ayam berwarna hijau keruh, tidak seperti ND yang hijau muda. Beda lagi dengan serangan NE (Necrotic Enteritis) yang beraknya berwarna merah. 

Untuk mengetahui ayam terserang Kolera, tanda-tandanya adalah ayam berak hijau yang tampak pada warna kotorannya yang mengotori air, pakan dan lain-lain, keluar cairan dari mulut dan tubuh ayam, nafsu makan ayam turun yang dapat dilihat juga, pial bengkak berwarna biru. Pada saat bangkai ayam dibedah, tampak hatinya membesar, perdarahan pada hati, lambung (proventrikulus).

Dengan memperhatikan tanda-itu disertai dengan penurunan produksi, adanya telur yang pecah di dalam perut ayam serta hati yang terlihat seperti belang-belang, dicurigai telah terjadi kasus  Kolera. 

Kematian akibat serangan Kolera kelihatan dengan memastikan melalui pembedahan bangkai. Sebaliknya, adalah penting untuk memastikan ayam sudah sembuh dari penyakit Kolera yang dideritanya setelah tahap-tahap pengobatan yang tepat.

Bila menghadapi kasus Kolera ayam di lapangan yang lebih sering muncul karena permasalahan air, di mana pada musim penghujan, sekam kandang acapkali basah, treatment sekam harus diperhatikan. Bila ayam sudah mengalami kembung, berarti sudah banyak bakteri yang berkembang di dalam tubuh ayam. Dianjurkan peternak memberikan antibiotik pada ayam, pada kasus pencernaan ayam yang jelek ini.
(Yonathan/Infovet Nov 2012)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer