-->

Seberapa Pentingkah Vaksinasi Pada Ikan?

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus adalah penyebab penyakit yang paling merugikan bagi para petani ikan. Oleh sebab itu, pengendalian penyakit bakterial dan virus merupakan usaha yang harus dilakukan. Vaksinasi merupakan satu langkah penting untuk diambil.
 
Menurut Dr Ir Murwantoko, MSi, staf pengajar Fakultas Pertanian, Jurusan Perikanan UGM, dalam prakteknya vaksinasi ikan memang masih dianggap hal yang baru. “Penyebaran informasi mengenai vaksinasi belum merata,” ungkapnya. “Pada beberapa kelompok petani, mereka aktif menggali pengetahuan tentang vaksin dan di mana bisa memperolehnya. Selain itu, terdapat kelompok pembenih ikan yang siap menghasilkan benih ikan tervaksin,” urai pria kelahiran Sleman ini.
 
Keuntungan yang dirasakan dengan memanfaatkan vaksinasi diantaranya aman, ramah lingkungan, dan memberi perlindungan lama. Aman, karena bahan vaksin merupakan racun yang membahayakan ikan. “Jika terjadi kesalahan dalam pemberian dosis misalnya terlalu banyak, juga tidak menyebabkan gangguan fisiologis pada ikan,” katanya.
 
Bahan vaksin juga ramah terhadap lingkungan dan manusia serta tidak meninggalkan residu berbahaya. Vaksinasi juga menjanjikan waktu perlindungan yang lebih lama, sekitar 2 hingga 3 bulan.
 
Metode pemberian vaksin yang umum dilakukan yaitu melalui suntikan, rendaman, lewat oral, maupun pakan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan jka ditinjau dari efektivitas vaksin serta teknik pemberiannya. Cara suntikan memberikan efektifitas vaksinasi yang paling baik, tetapi untuk melakukan cara ini diperlukan keterampilan dan jumlah tenaga kerja yang banyak. Sedangkan, metode secara oral mudah dilakukan, namun tingkat efektifitasnya kecil.
 
“Vaksin itu ada yang berupa sel utuh, komponen sel, atau protein. Seberapa jumlah vaksin yang dibutuhkan untuk tiap ekor ikannya sangat tergantung dari jenis vaksin, cara pemberian, dan ukuran ikan.” Dr Murwantoko juga menjelaskan penentuan banyaknya vaksin yang diperlukan ini didasarkan pada hasil penelitian. Umumnya untuk dilakukan secara suntikan sebanyak 107 sel per ikan. Sementara untuk rendaman dilakukan pada konsentrasi 108 sel/ml. Untuk protein sub unit dilakukan pada dosis 25 μg per ikan.
 
Sosialisasi vaksinasi pada ikan harus menjadi sebuah kebijakan, bukan hanya di pemerintah pusat tapi juga dinas yang ada di daerah. Dinas-dinas di daerah perlu menyampaikan informasi pentingnya vaksinasi kepada para penyuluh atau kelompok petani.
 
Sementara secara teknis, bisa meminta kepada para pakar penyakit ikan baik yang ada di perguruan tinggi maupun di UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya yang harus dipersiapakan adalah infrastruktur berupa vaksinator. Keberhasilan vaksinasi sangat ditentukan oleh tenaga yang melakukan vaksinasi. Para tenaga vaksinator ini nantinya diharapkan bisa melayani serta mendampingi petani ikan saat melakukan vaksinasi.
 
Hasil pengujian yang dilakukan Dr Murwantoko bersama rekannya menunjukkan vaksinasi mmberikan perlindungan yang nyata. Ikan yang telah divaksin kemudian diinfeksi dengan penyakit memberikan tingkat kehidupan ikan yang lebih tinggi. Uji di lapangan juga memperlihatkan ikan yang divaksin sanggup bertahan terhadap infeksi alami yang terjadi di lingkungan budidaya. Secara umum pemberian vaksinasi dapat memberi kelulushidupan sekitar 30% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin.
 
Vaksin-vaksin yang sudah ada selama ini baru sebatas produk uji coba yang sebagian besar diproduksi oleh laboratorium. Idealnya, ke depan vaksin akan diproduksi secara industri dan ada ketentuan harga yang pasti. Jadi, harga produk vaksin saat ini belum bisa dijadikan dasar perhitungan riil biaya yang dibutuhkan petani.
 
Masalah teknis vaksinasi juga berpengaruh pada komponen harga. “Seperti sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa cara vaksinasi berpengaruh kepada efektivitas vaksin. Semakin efektif teknisnya, semakin sedikit jumlah vaksin yang diperlukan dan otomatis semakin kecil biaya komponen vaksin,” ujar doktor lulusan Nara Institute of Science and Technology, Jepang itu kepada Infovet dalam wawancara tertulisanya.
 
Produsen vaksin masih menemui kendala dalam mengembangkan vaksin di Indonesia. Pertama, terkait dengan pengembangan dan desain vaksin. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah penelitian-peneltian untuk mencari sumber vaksin baru, peningkatan efektivitas vaksin, dan lain-lain. Untuk segmen ini bisa dilakukan oleh perguruan tinggi maupun institusi penelitian.
 
Produksi vaksin dalam hal ini  lebih banyak untuk uji coba dan prototype produksi. Setelah dari segmen tersebut idealnya vaksin diproduksi secara industri untuk produksi dalam skala missal. Supaya bisa diproduksi dan dipasarkan, perlu memperoleh ijin sebagai obat. Pengajuan ijin produksi obat harus dilakukan oleh produsen. Hal tersebut adalah prosedur yang lazim di manapun. Sehingga bukan hambatan, yang lebih tepat adalah bagaimana kerjasama dan sinergisitas antara para kelompok peneliti dengan industri harus lebih ditingkatkan. (nung)

SUKSES DI BISNIS LAYER DENGAN PERBAIKAN MANAJEMEN

Agus Susanto - Krida Permai Farm

Jangan gampang kendor dan tetap memelihara semangat. Itu cara sederhana Agus Susanto dalam menjalankan bisnis layernya yang ia tekuni sejak tahun 1982. Kini pendiri dan pemilik Krida Permai Farm, Cianjur ini sedang terus melakukan ekspansi ke beberapa kawasan di Bandung Barat seperti Saguling dan Rajamandala.
 
“Awalnya, saya ikut paman bekerja di Semarang. Waktu itu dia buka toko emas,” kenang Agus mengawali wawancara saat ditemui Infovet di Cianjur, Jumat 28 Desember 2012.
 
“Saya tidak begitu bisa mengelola toko emas,” sambungnya sambil tertawa. Hingga akhirnya tahun 1982, Agus pun memantapkan hatinya untuk beternak ayam petelur di Semarang dengan populasi 3.000 ekor sebagai permulaan.
 
Tahun 1990, peternakan Agus semakin maju pesat dengan populasi 60.000 ekor. Setelah menikah, ia menetap di Bandung dan saham yang ada di Semarang ia lepas. Ia pun membuka Krida Permai Farm di Cianjur, Jawa Barat.
 
“Saat ini populasi ayam yang ada di Krida Permai sebanyak 400.000 ekor. Sementara yang tersebar di 10 lokasi Krida Permai Grup, lebih kurang populasinya mencapai 1,8 juta ekor,” terang Agus.

Dibantu Tim Sanbe Grup
Untuk mencapai keberhasilan seperti saat ini, tentu banyak cobaan dan problem yang menghalangi. Salah satunya pada sisi produksi layernya yang masih belum sesuai standar dari pembibit. 
 
Sebelumnya ia sudah mencoba mencari solusi ke berbagai tempat. Semua ahli dan pakar sudah ditemui untuk dimintai saran dan diikuti. Namun hasilnya tetap sama saja, tiap mau mencapai puncak, produksi telurnya malah drop.
 
Hingga pada suatu kesempatan ia curhat ke Drh Sugeng Pujiono, General Manager Sanbe Grup. Ia sampaikan problem dipeternakan layernya secara detil dan Sugeng pun menjanjikan segera akan mengirim Tim Sanbe Grup untuk mengevaluasi dan me­ngoreksi dimana titik lemah dalam fase produk­si layernya.
 
Tak disangka janji itu dipenuhi Sugeng, Agus pun dengan tangan terbuka menyambut Tim Sanbe Grup. Semua program baik untuk manajemen tata laksana, kesehatan hingga pengaturan karyawan diikuti. Hasilnya sungguh tak diduga, layer farmnya berhasil mencapai produksi seperti yang didambakan. Bahkan saat ini hampir semua kandangnya telah mencapai puncak produksi sesuai standar pembibit diatas 90%.
 
Hikmah kerjasama dengan Sanbe Grup ini berdampak pada cara pandang Agus terhadap vaksin buatan lokal. Kalau yang selama ini dia selalu fanatik dengan vaksin impor untuk mengamankan investasi layernya. Kini dengan mata kepala sendiri ia membuktikan bahwa vaksin lokal mempunyai kualitas yang tidak kalah, bahkan dengan harga yang jauh lebih kompetitif.
 
“Selain itu, layanan dari Tim Teknis Sanbe Grup sangatlah profesional sesuai dengan kebutuhan. Mereka tidak semata mengejar omzet dengan memaksakan peternak mengambil obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan ayamnya. Diagnosa mereka jelas, rasional dan tepat, sehingga saat ini saya sudah menggunakan program kesehatan Sanbe Grup secara full,” terang Agus.

Perbaikan Manajemen dan Pendampingan
Agus menguraikan pendapatnya mengenai kondisi perunggasan di Tanah Air. Menurutnya, terkadang kita sebagai peternak masih sering menyalahkan penyakit, mutu DOC, pakan jelek, serta lingkungan yang kurang baik atas jeleknya performa produksi ayam kita.
 
“Sebenarnya semua itu tergantung pada manajemen kandang yang diterapkan,” tegas Agus. “Manajemen kandang harus tertata lebih baik sesuai kebutuhan, sehingga tidak sepenuhnya dirombak secara total,” imbuhnya.
 
“Sebagaimana yang dilakukan Tim Sanbe Grup pada farm saya. Mereka tidak merombak secara total melainkan hanya memperbaiki tata kelola yang sudah berjalan supaya hasil­nya sempurna. Selain itu, pendampi­ngan yang rutin diberikan Tim Sanbe Grup membuat kami selaku pemilik, hingga level anak kandang dibawah merasa selalu mendapat perhatian,” kata Agus menjelaskan.
 
Sehingga lanjut Agus, “Dengan pelayanan yang excellent ini, kita jadi selalu merasa dekat dan akrab dengan Tim Sanbe Grup, baik dari atasan hingga ke bawah. Kami sudah seperti teman akrab saja,” katanya sembari tersenyum.
 
Kembali ke soal manajemen, menurut Agus manajemen yang tertata rapi contohnya adalah penempatan 2 orang pegawai untuk 1 kandang, baik siang maupun malam. Agus juga tak sungkan menyediakan bonus yang setimpal untuk karyawannya yang rajin dan mampu menembus target yang ditetapkan. Semua itu dilakukan agar karyawannya betah dan bekerja penuh semangat.
 
Karena sekarang ini cukup sulit mencari sumber daya manusia terlatih yang mau bekerja dikandang 24 jam. Tuntutan penghasilan tenaga kerja di Indonesia juga semakin naik. “Di China, buat ngurusi ayam saja, pegawai digaji 5 juta,” ungkap ayah dari 3 anak ini.
 
Agus menambahkan, untuk mereka yang bekerja di pabrik dibayar 3 juta. “Kenyataannya adalah sekarang siapa yang mau berkotor-kotor ria berada di kandang ayam, kalau kerja di pabrik gajinya sudah 3 juta di China,” kata Agus.
 
Oleh sebab itu dalam mempekerjakan karyawannya, Agus juga sering menjumpai pegawainya yang keluar masuk tanpa ada pemberitahuan. “Sudah maklum melihat ada pegawai yang keluar masuk. Mereka yang sudah keluar terus kembali kerja lagi di Krida Farm, kita terima aja dengan tangan terbuka,” ujarnya.
 
Menurut Agus, jika berniat menjadi peternak harus mau menjadi karyawan atau jangan karena menganggap kita bos lalu tidak membaur dengan yang lain. Bagi Agus, kita tidak dapat menerima kesuksesan tatkala me­nyombongkan diri. “Siap-siap saja tinggal di perkampungan kalau mau jadi peternak ayam,” katanya.

Mulai Beralih ke Closed House
Selain ekspansi usaha ke berbagai wilayah melalui grupnya, saat ini Krida Permai sedang bersiap menuju usaha pembuatan kandang semi closed house. Untuk investasi kandang­nya, Agus sudah memperbandingkan perhitungannya.
 
Ia menyebutkan, investasi closed house sudah termasuk peralatan isi kandang di Eropa mencapai Rp 75.000/ekor. Apabila memakai hitungan Malaysia berkisar Rp 50.000/ekor, sedangkan China hanya Rp 25.000/ekor. Bahkan dengan ba-ngunan beton yang sudah dicor, Agus mematok bisa dengan investasi Rp 20.000/ekor.
 
Perbincangan Infovet dengan Agus terasa mengasyikkan ketika ia bercerita mengenai pengamatannya tentang perunggasan di negara yang ia datangi. Kunjungan Agus ke kawasan peternakan di beberapa negara menginspirasi dia untuk semakin giat memajukan usahanya.
 
“Metode perkandangan yang lama kita ubah sesuai perkembangan dan tuntutan zaman. Untuk memberikan perlindungan, kenyamanan dan agar ayam berproduksi lebih optimal tiada lain adalah kandang closed house solusinya,” tukasnya.
 
“Tak perlu langsung menerapkan full closed house, tapi bisa dengan semi closed house. Kalau yang sebelumnya open house 1 pegawai hanya sanggup pegang 2.000 ekor. Maka dengan sis­tem semi closed house 1 pegawai bisa pegang hingga 10 ribu ekor,” lanjut Agus.
 
Dengan menerapkan closed house, Agus yakin akan lebih banyak meng­hemat pengeluaran semisal pakan, listrik, biaya pengobatan, dll. Karena semua terbayar dengan performa produksi yang meningkat jauh lebih baik dibanding kandang open house.
 
Diakhir wawancara, tanpa bermak­sud berpromosi, Agus kembali menekankan pengalamannya menggunakan obat dan vaksin lokal khususnya produk-produk dari Sanbe Farma dan Caprifarmindo. Bahkan tanpa malu ia sudah menyebarkan pengalamannya ini ke teman-temannya sesama peternak ayam.
 
“Saya sarankan ke teman-teman untuk pakai vaksin maupun obat dari lokal saja, seperti obat dari Caprifarmindo,” pungkasnya sambil tersenyum. (nunung/wan)

Lingkaran Setan dan Lingkaran Malaikat

DI sebuah forum, Wawan (bukan nama sebenarnya), seorang pengusaha mainan anak-anak, mengisahkan masalah berat yang dihadapi tatkala puluhan tokonya mengalami kerugian. Hutang ke supplier menumpuk hingga miliaran rupiah dan tidak dapat dibayar akibat barang yang tersedia di toko sudah tidak diminati pelanggan.  Kesalahan memprediksi kebutuhan pelanggan menjadi penyebab utama dari masalah ini.
 
Ia menghadapi pilihan yang sangat sulit. Kalau puluhan toko ditutup dan semua barang dijual, ia tetap tidak dapat membayar hutang, karena harga jual barang sudah turun drastis. Jika tetap buka, biaya operasional terus meningkat tidak sebanding dengan penjualan yang mengalami penurunan. Kalau barang dagangan ditambah dengan produk baru yang sedang ngetrend, modal tidak punya, pinjam ke bank tidak bisa, apalagi pinjam ke perusahaan pemasok tidak dipercaya lagi.
“Saya menghadapi lingkaran setan,” ujarnya.
 
Untunglah dia kemudian berpikir kreatif.  “Karena ini lingkaran setan, maka saya harus mengakhiri dengan menemukan lingkaran malaikat,” katanya mengisahkan pengalaman pahitnya, disambut senyum dan tawa hadirin yang mendengar istilah baru; lingkaran malaikat. Tampaknya hadirin mulai penasaran, ingin tahu seperti apa lingkaran malaikat hingga ia dapat kembali pulih dari kebangkrutan dan bisnis menjadi lebih maju pesat.
 
Wawan melanjutkan kisahnya. Berhari-hari ia mencari solusi bagaimana menemukan lingkaran malaikat. Namun pikirannya buntu. Tak ada yang dapat diajak diskusi.  Bertanya ke orang lain tak didapat jawaban yang kongkrit. Paling hanya disuruh tawakal, atau malah disalahkan karena tidak mampu memprediksi trend perubahan pasar mainan anak-anak yang berubah sangat cepat.
 
Akhirnya yang ia lakukan kemudian adalah pekerjaan yang semua orang lakukan ketika terbentur kebuntuan, yaitu berdoa, mohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa.  Sementara itu pemasok barang dengan gigih terus menagih hutang berkali-kali, meskipun mereka juga tahu pasti bahwa jawabannya tidak memuaskan, hanya janji-janji saja.
 
Kondisi toko makin sepi pembeli. Karyawan makin merosot motivasi kerjanya. Karena motivasi karyawan menurun, toko juga makin bertambah sepi pembeli.  Tak ada jalan lain, kecuali langsung menghadapi pemasok barang.  Saat itu kondisi keuangan sudah sangat parah. Semua mobil sudah dijual, sehingga ia naik angkutan umum dari rumahnya di Bekasi ke daerah Cawang Jakarta Timur. Dari situ ia berjalan kaki ke daerah Tebet, Jakarta Selatan tempat kantor perusahaan pemasok. Jalan kaki sejauh 5 km dalam panas terik pasti bukan peristiwa biasa baginya dan juga bagi kebanyakan orang di Jakarta.
 
Sepanjang perjalanan menuju Tebet itulah ia berdoa agar diberikan jalan keluar dari kemelut bisnis yang tengah ia hadapi. “Ya  Allah hanya Engkau yang bisa menolongku,” ucapnya berulang-ulang. Sampai di lokasi, ia belum juga punya ide apa yang akan ditawarkan ke perusahaan pemasok untuk menyelesaikan semua hutangnya.
 
Manager perusahaan pemasok menerima kehadirannya. Pembicaraan diawali dengan pernyataan manager yang menohok dirinya. “Pak, saya diminta oleh bos saya agar kami tidak memasok barang lagi ke toko Bapak sebelum Bapak menyelesaikan persoalan hutang”, kata manager tersebut.
 
Kalimat pembuka ini terasa membuat situasi bertambah buntu. Namun entah mengapa, justru inilah yang menjadi titik awal ia menemukan lingkaran malaikat.
 
“Begini Pak, saya mengalami kejadian ini bukan karena korupsi, ini semata-mata masalah  kesalahan manajemen. Bapak tahu, kami belum bisa membayar hutang saya. Saat ini saya tidak dapat berjualan karena tidak ada produk yang diminati pasar. Jika Bapak dapat memberi pinjaman lagi, niscaya ada harapan saya bisa  menyicil hutang. Sebaliknya jika tidak dipasok barang, maka perusahaan anda juga rugi karena saya sangat sulit membayar hutang”, urai Wawan.
 
Penjelasan demi penjelasan ia sampaikan. Intinya, dengan memasok produk baru yang sedang diminati pelanggan, toko akan dapat kembali memutar uang, dan cicilan hutang sudah dapat dimulai.
 
Dengan alasan yang logis itulah, manager kembali menyampaikan, “Pak saya tadi dipesan oleh Bos saya agar tidak memasok barang lagi sebelum Pak Wawan membayar hutang. Tapi penjelasan tadi akan coba saya sampaikan ke Bos saya”.
 
Sungguh di luar dugaan ternyata manager langsung menelpon bosnya dan segera menyampaikan beberapa alasan agar bisa segera membantu memasok barang agar ada harapan piutang dapat ditagih secara bertahap. Ajaibnya lagi, bos menyetujui usulan manager.
 
Mulai saat itulah ditemukan lingkaran malaikat yang mampu menyelamatkan bisnisnya. Lingkaran malaikat itu adalah pemasok kembali mengirim barang, selanjutnya toko sudah mulai menjual produk yang sedang ditunggu para pelanggan, dengan penjualan yang berkembang ini, karyawan makin termotivasi bekerja lebih baik dan hutang sudah mulai dicicil. Satu langkah dapat merubah semuanya, bagai langit dan bumi.
 
Jika Anda tengah menghadapi lingkaran setan, segeralah cari satu langkah yang dapat membuat lingkaran malaikat. Dan mintalah pertolongan dari  Yang Maha Kuasa.***

PENYAKIT AYAM YANG DOYAN KUNJUNGI KANDANG

Oleh:  Drh. Hernomoadi MVS, APVet 

Berternak ayam untuk produksi akan menguntungkan bila tidak diganggu oleh permainan harga jual beli, lingkungan yang ekstrim, dan atau satu lagi yaitu munculnya penyakit ayam. Yang terakhir ini peternak tidak saja memerlukan dokter hewan dan ahli peternakan, tetapi juga segala je­nis obat, vaksin, suplemen, imunomodulator, serta tidak lupa narasumber yang punya kemampuan membaca masa depan penyakit ayam.
Untuk menggampangkan prediksi, penyakit ayam dikelompokan jadi tiga: yang infeksius ditularkan oleh mikroba/parasit seperti ND, CRD, dan Cocci. Ada pula yang tidak menular seperti gangguan produksi oleh perubahan pada pakan, keracunan mycotoxin, pemanas tidak optimal; dan kelompok penyakit tersering muncul adalah gabungan kedua diatas, se­perti penyakit infeksius CRD dapat timbul karena dipicu oleh gangguan faktor manajemen pemeliharaan (mis-manajemen).
 
Untuk prediksi penyakit dua kelompok terakhir, amat bergantung pada kelihaian dinamika manajemen pemeliharaan dan stabilnya mutu pakan. Jadi bila tahun ini produksi terganggu dan faktor mis-manajemen sudah dipecahkan maka penyakit yang sama tidak perlu terjadi di tahun depan. Manajer peternakan mesti mempelajari kembali (evaluasi) laporan akhir dari flok ayam kandang yang telah kosong, sebelum mempersiapkan kedatangan flok baru di kandang yang sama.
 
Dalam mengantisipasi munculnya penyakit infeksius, perbaikan-perbaikan manajemen pemeliharaan serta mutu pakan saja tidak cukup, karena sumber penyakit (bakteri, virus, jamur, parasit) harus diketahui berasal dari mana. Dengan mengetahui asalnya, diketahui pula jalan masuk bibit penyakit/rantai biosecurity mana yang jebol, barulah perbaikan-perbaikan bisa dilakukan. Dengan demikian untuk tahun mendatang manajer peternakan dapat membuat prediksi bahwa penyakit ayam yang sama tersebut tidak akan datang.
 
Dibawah ini adalah kumpulan penyakit ayam infeksius yang masih dapat mengunjungi kandang peternak tahun ini dan tahun-tahun mendatang, dengan frekuensi yang berbeda-beda di tiap lokasi/ daerah.
 
Penyakit yang selalu berulang ada setiap tahun di kandang-kandang produksi adalah CRD (peternak bilang kena Ngorok), akibat ulah infeksi bakteri Mycoplasma dan E. coli. Kalau umur dibawah 2 minggu sudah kena ngorok, umumnya Mycoplasma bawaan dari indukan dan E. coli sejak dari penetasan.
 
Indikator CRD dibawah 2 minggu adalah meningkatnya kasus omphalitis, infeksi yolk sac dan pantat cepel di umur minggu pertama. CRD muncul di minggu 3-4 sering dipicu (didahului) oleh stress pasca vaksinasi dengan virus live, kadar ammonia dan kepadatan kandang yang tinggi atau saat ayam sedang menderita kondisi imunosupresi.
 
Ayam kena CRD saat dalam kondisi imunosupresi dapat berakibat muka/ kepala membengkak oleh ada­nya infeksi sekunder Avian pneumovirus (Swollen Head Syndrome).
 
Penyakit mycoplasmosis yang lain sering terlihat sebagai arthritis dan synovitis di hock joint dan sendi-sendi jari kaki. Pada ayam dara dan layer baik jenis broiler maupun layer, mycoplasma yang dominan adalah M. synoviae (MS). Disaat bertelur, MS menimbulkan kerabang telor menjadi pucat dan benjol (dan tipis) pada ujung lancipnya. Sama seperti M. gallisepticum (CRD), bakteri ini dapat ditularkan secara vertikal dan horizontal.
 
Reoviral tenosynovitis oleh infeksi Reovirus menimbulkan synovitis tendo flexor diatas hock joint. Penyakit ini lebih memilah breed broiler baik breeder maupun komersial. Ayam pincang, sulit ambil pakan, kerdil atau tidak bisa kawin. Virus Reo menular dapat vertikal dan horizontal, selain itu mereka menimbulkan kondisi imunosupresi bagi penderitanya.
 
Penyakit Aspergillosis organ respirasi anak ayam (Brooder pneumonia) hanya kadang-kadang terlihat pada ayam umur dibawah 2 minggu pertama. Kondisi jarang ditemukannya kasus aspergillosis itu dimungkinkan oleh diberlakukannya bio­security dan fumigasi mesin tetas yang ketat di hatchery. Kapang Aspergillus fumigatus merupakan kontaminan kerabang telor, dapat menjadi penyakit bawaan bagi DOC.
 
Gumboro penyakit viral oleh infeksi virus IBD, juga sebagai penyakit ayam yang muncul dari tahun ke tahun. Gumboro oleh infeksi virus lapang ganas sebagai penyakit akut yang dapat mematikan (terutama pada layer) sudah jarang terdengar karena program vaksinasi yang ketat. Tetapi Gumboro yang imunosupresi, terutama bila kena pada ayam umur dibawah 3 minggu masih sering terjadi.
 
Virus Gumboro lapang sulit hilang dari kandang dan sumber virus Gumboro adalah insek kumbang “franky”. Manifestasi klinis oleh virus Gumboro tersebut sebagai kasus munculnya infeksi sekunder  seperti penyakit ND viscerotropik, Coccidiosis, Necrotik enteritis (NE), CRD, atau bahkan HPAI.
 
Penyakit ND viserotropik oleh virus ND (Newcastle disease) velogenik yang di Asia/Indonesia masuk dalam kelompok geno-7 menghantui dunia peternakan ayam sejak dulu (sebelum tehnik pemeriksaan virus berdasarkan genetik ditemukan) sampai kini; penulis meyakini juga tahun-tahun mendatang ND akan masih mudah ditemukan. Popularitas ND sebagai penyakit mematikan meskipun telah menggunakan program vaksinasi, membuat vaksin NDV asal dalam dan luar negeri selalu laris dipasaran.
 
Sejak 2003 popularitas penyakit ND agak berkurang oleh munculnya wabah HPAI H5N1, tetapi frekuen­si munculnya ND tiap tahun tidak berkurang. Kerugian peternak tidak hanya dari kematian tetapi juga deplesi oleh afkir karena infeksi NDV viserotropik yang velogenik ini me­nimbulkan gejala syarap/teleng karena tidak bisa makan dengan normal, sehingga menjadi kurus, tidak bisa kawin/bertelur.
 
Coccidiosis adalah penyakit parasitik pada ayam oleh infeksi beberapa jenis Eimeria di bagian dalam dinding usus halus maupun usus besar. Penyakit yang menimbulkan enteritis ini muncul apabila coccidiostat (anti coccidia) pakan kurang dosisnya, atau nafsu makan ayam turun dan juga ayam sedang sakit ditambah alas kandangnya basah. Enteritis oleh coccidia yang amat ringan sekalipun dapat menimbulkan kondisi kekerdilan.
 
Komplikasi lainnya dari coccidi­osis usus adalah timbulnya NE (Necrotic enteritis) oleh infeksi secondary bakteri Clostridium perfringens; ayam akan mati oleh biakan kuman Clostridium yang memproduksi toxin yang sistemik.
 
Penyakit ayam oleh infeksi HPAI (highly pathogenic avian influenza) H5N1 yang mematikan masih didapatkan pada tahun ini dan demikian juga tahun-2 dimuka, meskipun lebih sedikit dari tahun-2 sebelumnya baik dari jumlah kasus maupun kerugiannya. Hal ini dimungkinkan oleh telah digunakannya vaksin inaktiv dengan seed HPAI H5N1 secara berulang-ulang, dan juga gejala klinis menjadi tidak spesifik seperti sebelumnya. Di­laporkan November ini (2012), Australia menghadapi AI dengan serotype H7, yang berdampak pada distopnya ekspor ayam dan telur oleh negara importir, padahal penanganannya sudah langsung de­ngan stamping out.
 
Penyakit ayam oleh infeksi virus yang masih tergolong sering ditemukan adalah Marek. Virus Marek hidup dalam debu bulu (dandruf) akan terhi­rup pernafasan ayam yang peka (tidak memiliki kekebalan cukup), virus berbiak di paru dan menyebar sistemik. Virus Marek yang amat ganas menyukai syarap kaki, sayap, pencernakan, dan otak, sehingga pada ayam dara menimbulkan gejala kelumpuhan, tremor dan yang parah sampai teleng-teleng.
 
Di saat periode bertelur sering dijumpai pembentukan tumor Marek di hati, limpa, ginjal dan ovary. Selain itu penyakit Marek menimbulkan kondisi imunsupresi sehingga yang menonjol adalah gejala klinis akibat penyakit infeksi sekunder. Di Indonesia vaksinasi Marek diberlakukan pada DOC breeder dan layer betina. Ayam broi­ler komersial dan jantan layer tidak divaksin Marek, demikian pula beberapa jenis ayam kampung yang dipelihara dikandangkan sebagai ayam produksi. Dengan demikian mere­ka peka kena Marek yang berakibat gangguan pertumbuhan.
 
Penyakit infeksi IB (Infectious Bronchitis) pada ayam oleh infeksi virus IB yang termasuk dalam coronavirus. IB di tahun 2010-2011 menghebohkan peternak produksi telur dan DOC oleh serangan virus lapang jenis baru/variant. Tentu saja karena memiliki perbedaan dengan virus IB lokal maka program vaksinasi biasa kurang dapat menghambat gejala klinis akibat infeksi oleh IB variant ini. Kerugian peternak terutama oleh kerusakan organ reproduksi betina seperti ovary dan saluran  telur, sehingga ayam tidak bertelur, banyak krabang yang tipis, retak, keriput, dan pucat.
 
Selain itu sering dijumpai hydrosalping (oviduct tipis berisi cairan), sehingga betina tersebut jalannya mirip burung pinguin. Berbagai variasi vaksin IB digunakan tetapi tidak terlalu menolong kerugian peternak. Di akhir 2012 kemungkinan telah banyak ayam produksi yang terinfeksi virus IB variant dan telah menstimuli timbulnya kekebalan sehingga kasusnya menurun. Akan sangat mungkin di tahun berikut virus variant tersebut menjadi virus IB lapang lokal dengan tingkat keganasan yang kurang merugikan.
 
Penyakit Infectious Coryza (Snot) pada layer oleh infeksi bakteri Haemophilus paragallinarum mudah dikendalikan dengan program 2x vaksinasi. Hanya bila peternak memiliki kandang-kandang yang ’multi ages’ terlalu berdekatan, maka Snot masih bisa timbul. Snot juga mudah timbul saat memasukan ayam pendatang baru (ayam dara dari kandang grower/ baru beli dari luar).
 
Pox kulit sebagai penyakit dipandang tidak merugikan, sehingga meskipun peternak melihatnya, tidak dipandang sebagai musuh. Vaksinasi 1x seumur ayam layer sudah dirasa cukup. Jangan lupa pada kondisi imunsupresi (Gumboro, Marek, Aflatoksikosis), pox kulit bisa menjadi pox basah/diphtheritic pox yang menyerang rongga mulut dan fatal  karena menyumbat pernafasan. Beberapa vaksin rekombinan yang ”nebeng” pada virus pox bisa berkurang potensinya gara-gara ayamnya sudah punya kekebalan terhadap pox.
 
Penyakit kecacingan cacing pita dan ascariasis masih mudah ditemukan pada layer. Diagnosa dengan bedah bangkai dan membuka usus halus ayam sample. Keberadaan cacing dewasa jelas mengganggu produksi dan menjadi indikator kapan harus diberi anthelmentica serta insektisida (anti vektor kecacingan).
 
BAGAIMANA??,  Apakah  penyakit-penyakit diatas punya korelasi de­ngan peternakan dan daerah anda pada tahun 2012, sehingga siap-siap diantisipasi pada tahun 2013 ?
***

CATATAN KANDANG Versus PREDIKSI KASUS

Oleh:  Tony Unandar
       (Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)

Tahun Baru Dengan Paradigma Baru. Peningkatan persentase angka penularan (morbiditas) dan kecepatan penyebaran kasus infeksius pada peternakan ayam moderen menuntut suatu paradigma baru dalam pengawasan penyakit di lapangan. Analisa rinci secara proaktif dari catatan kandang terhadap sejarah kemunculan dan jenis kasus penyakit yang pernah terjadi misalnya, tentu saja dapat meningkatkan kepekaan dalam mendeteksi kasus penyakit yang akan muncul. Dengan demikian, kontaminasi lingkungan peternakan dan kerugian secara ekonomis dapat dicegah sedini mungkin.


Dalam industri perungga­san secara global, laju perbaikan faktor efisiensi terus berlangsung sampai hari ini. Adanya dinamika perbaikan genetik ayam dan tata laksana pemeliharaan yang sangat progresif, secara tidak sengaja akan mengakibatkan kemampuan ayam untuk melawan bibit penyebab penyakit mengalami perubahan.  Tegasnya, terjadi erosi kemampuan ayam untuk melawan bibit penyakit yang ada. 

Problem penyakit infeksius yang terjadi cenderung lebih bervariasi, kompleks, serta tidak mengikuti “trend” perjalanan penyakit yang lazim merupakan suatu bukti akan hal ini.  Dalam kondisi demikian, mengandalkan diagnosa yang hanya berdasarkan gejala klinis dan bedah bangkai semata sering kali terlambat, atau bahkan keliru.  Oleh sebab itu, analisa sejarah kasus, termasuk analisa kondisi serta penampilan (performance) ayam dalam dunia peternakan ayam modern tidak bisa lagi dianggap enteng, dan harus dilakukan secara terus menerus.   
 
Serangan bibit penyebab penyakit dalam suatu peternakan ayam mo­dern biasanya melalui suatu proses yang membutuhkan waktu. Bukan suatu proses revolusi. Ada semacam tarik menarik alias adu kekuatan antara daya tahan tubuh ayam dengan daya invasi bibit penyakit yang ada. Selama masa inkubasi penyakit (masa dari masuknya bibit penyakit dalam jaringan tubuh ayam sampai kemunculan gejala klinis), beberapa gejala umum biasanya sudah muncul, namun sering kali tidak terdeteksi atau malah diabaikan.  Beberapa contoh mengenai hal ini, misalnya:
Adanya gangguan tingkat konsumsi pakan (feed intake).  Kelainan ini bisa dideteksi dengan menganalisa jumlah pakan yang dikonsumsi per-ekor ayam per-hari apakah sudah sesuai dengan standar strain yang ada atau tidak.  Selain itu, menganalisa waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sejumlah pakan yang diberikan per-hari juga dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi gangguan tingkat konsumsi pakan. Pengamatan yang kedua ini sangat penting terutama pada ayam petelur dan ayam bibit. Berkurangnya tingkat konsumsi nutrisi yang dibutuhkan akibat adanya gangguan tingkat konsumsi pakan jelas akan memperburuk kondisi umum ayam.
Walaupun gejala klinis atau perubahan bedah bangkai belum tampak, terjadinya peningkatan kematian ayam dapat juga diartikan ada suatu problem yang akan muncul di peternakan yang bersangkutan. Evaluasi perlakuan beberapa hari sebelum terjadinya peningkatan kematian dan monitoring lanjut atas kematian yang ada sangat penting untuk medeteksi kasus yang mungkin timbul. Menghubungkan tingkat kematian dengan kondisi umum ayam yang mati kadang kala dapat mengarahkan diagnosa, problem infeksius atau bukan. Problem infeksius biasanya akan mengakibatkan kondisi umum ayam yang mati secara rata-rata menurun.
Pada ayam petelur atau ayam bibit, analisa rata-rata bobot telur per-butir pada ayam umur tertentu juga tidak bisa diabaikan begitu saja.  Pada kasus Infectious Bronchitis (IB) misalnya, bobot telur per-butir umumnya mengalami penurunan beberapa hari sebelum gejala klinis secara klasik muncul, misalnya penurunan persentasi produksi telur, ataupun perubahan ekternal maupun internal telur yang dihasilkan. Jika flok ayam yang bersangkutan pernah divaksinasi dengan vaksin IB, maka selang waktu alias tempo antara penurunan produksi telur dengan penurunan bobot telur rata-rata tersebut relatif lama dan sangat variatif, tergantung status kekebalan terakhir dan kekuatan tantangan virus lapangan.
Melakukan monitoring hasil pemeriksaan titer antibodi (mi­salnya ND) tentu saja dapat membantu menganalisa dinamika tantangan penyakit yang ada dalam suatu lokasi peternakan. Terjadinya perubahan titer dari biasanya atau adanya peningkatan keragaman titer antibodi dapat merupakan indikasi awal adanya tantangan bibit penyakit tertentu secara dini.

Ihwal catatan kandang biasanya dianggap suatu pekerjaan tambahan bagi karyawan kandang. Hal-hal yang serupa seolah dicatat berulang-ulang setiap hari. Pada hal, sebenarnya, di situlah letak rahasia dinamika interaksi antara ayam dengan bibit penyakit bisa digali. Termasuk juga interaksi antara perlakuan yang diberikan dengan penampilan (performance) produksi ayam yang diperoleh. Walaupun gejala-gejala spesifik belum tampak, adanya gangguan dalam fungsi-fungsi fisiologis normal ayam jelas akan mempengaruhi tingkah laku ayam.
 
Ada cara untuk mengatasi keengganan karyawan kandang membuat catatan kandang.  Yang pen­ting adalah prosesnya harus dibuat sesederhana mungkin.  Perlu disediakan lembaran kertas dengan kolom-kolom yang dapat diisi dengan cepat dan harus ditabulasikan secara harian.
 
Ada beberapa hal penting yang harus dicatat dalam catatan kandang. Pada ayam potong, misalnya jumlah ayam, jumlah kematian ayam per-hari, pakan yang diberikan per-hari, bobot badan pada akhir setiap minggu, termasuk beberapa perlakuan penting yang diberikan (vaksinasi/medikasi, angkat pemanas, ganti sekam, buka layar, pindah kandang dsb.) harus dicacat. Catatan kandang sebaik­nya dievaluasi oleh kepala atau penyelia (supervisor) kandang setiap hari.  Dengan demikian, “keanehan” yang muncul dapat dideteksi sedini mungkin.
 
Kejujuran adalah suatu aspek penting dalam membuat catatan kandang.  Kecerobohan dalam proses pencatatan atau adanya manipulasi data yang dicatat tentu saja dapat menyesatkan para pengambil keputusan.  Secara tidak sengaja, tindakan tersebut sangat merugikan perusahaan dan memberi kesempatan pada bibit penyebab penyakit lapangan untuk beradaptasi, melakukan perbanyakan diri dan menggerogoti penampilan ayam. Kondisi ini tentu saja dapat mengakibatkan kerugian lanjut yang jauh lebih besar.
 
Kemampuan untuk menganalisa catatan kandang juga merupakan suatu aspek yang tidak boleh diabaikan.  Kematangan wawasan teknis dan pengalaman lapang yang cukup merupakan dua hal yang sama pen­ting. Karyawan kandang yang mempunyai tanggung jawab untuk me­nganalisa catatan kandang sebaiknya selalu membuka diri untuk berdiskusi dengan pihak manapun. Pengalaman di tempat lain, tentu saja sangat berharga sebagai referensi dalam menganalisa data yang ada.  Ketertutupan dalam hal ini tentu saja sangat mahal biayanya.
 
Catatan kandang bukan merupakan suatu barang “haram” untuk ditunjukkan pada orang lain sebagai partner dalam berdiskusi.  Ada suatu “stigma” yang tidak tersurat, membuka catatan kandang pada orang lain berarti membuka aib alias dapat mempengaruhi “performance” hasil karya karyawan yang bersangkutan.  Kondisi ini tentu saja dapat menyesatkan jalannya diskusi dan ujung-ujungnya adalah hasil diskusi yang tidak tuntas atau bahkan salah.
 
Pada tahap selanjutnya, hasil analisa catatan kandang perlu dikomunikasikan secara terus-menerus kepada karyawan kandang yang secara langsung berhadapan dengan ayam setiap hari. Informasi hasil analisa catatan kandang tentu saja akan memberikan motivasi lanjut pada individu yang bersangkutan untuk membuat catatan kandang dengan baik.  Dengan demikian, setiap perubahan sekecil apapun dapat dideteksi dengan baik.  Dengan kata lain, kedatangan penyakitpun dapat dicegah sedini mungkin. Adanya catatan kandang ternyata tidak membuat proses peternakan jadi mundur, bukan begitu? 
***

BEF DAN HELMINTHIASIS MASIH JADI MOMOK PETERNAK PEDESAAN

Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan Helminthiasis adalah 2(dua) jenis penyakit yang masih diperkirakan menjadi gangguan kesehatan pada sapi. Sedangkan diare, kembung dan helminthiasis pada jenis ternak kambing adalah yang akan selalu mengancam.
 
Menurut Drh Heru Tri Susilo, staf pada Dinas Pertanian Kotamadya Magelang Jawa Tengah, bahwa ancaman gangguan kesehatan dari penyakit penyakit itu adalah yang sebenarnya merupakan jenis penyakit sangat konvensional.
 
Mengapa begitu, tiada lain oleh karena sepanjang tahun 2012, penyakit itu nyaris menduduki rang­king tertinggi dalam hal laporan para petugas kesehatan hewan di lapa­ngan.
 
Sebagai penyakit sangat konvensional, akhirnya memang seolah menjadikan prediksi di tahun 2013 mendatang masih akan menjadi gangguan kesehatan ternak yang terus berulang. Namun demikian menurut Heru, yang juga bergiat sekali melakukan pendampingan secara langsung terhadap para peternak di pedesaan, problem itu sangat rumit sekali.
 
Lebih lanjut, menurut ayah 2 anak yang juga alumni dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini, bahwa berbicara masalah penyakit pada hewan ternak yang dikelola oleh peternak skala rakyat di pedesaan, tidak hanya bicara pada status kesehatan ternak semata. Namun akan selalu berhubungan dan terkait erat dengan perilaku dan budaya masyarakatnya.
 
Sebagai contoh tentang Helminthiasis, para peternak skala rakyat meskipun tingkat kesadaran terhadap ternaknya sudah lumayan baik dan lebih maju, namun demikian ternyata masih banyak yang sama sekali tidak mau menjalankan program pemberantasan agen penyakit itu secara rutin dan terprogram.
 
Umumnya jika  mereka dalam sebuah kawasan yang tergabung dalam sebuah kandang kelompok kawasan tertentu, maka jauh akan lebih mudah untuk megikuti program pemberantasan penyakit itu. Namun demikian, untuk peetrnak yang masih soliter atau mandiri dalam lokasi kandang pemeliharaan, dapat dipastikan sulit sekali untuk menerima program itu.
 
Padahal sebagaimana diketahui, bahwa program pemberantasan itu haruslah bersifat massif dan terja­dwal dengan baik. Oleh karena itu jika saja, ada satu atau beberapa peternak yang belum mau menerima program pemberantasan sebagai sebuah kebutuhan, sudah pasti akan mempengaruhi tingkat keberhasilan secara menyeluruh.
 
Mengapa demikian???  Oleh karena jika ditilik dari siklus hidup agen penyakit yang satu ini, maka program pengendalian berupa memutus siklus hidup adalah jalan terbaik dan termurah.
 
“Memotong siklus hidup agen penyakit dari Helminthiasis adalah jalan paling efektif dan jelas lebih murah. Namun jika masih ada beberapa peternak yang enggan dan tidak mau menerapkan program pemberantasan secara rutin dan massif maka akan menemui ke­gagalan penuntasannya,” jelas Heru yang juga aktif memberikan penyuluhan terhadap kelompok peternak di Magelang ini. 
 
Heru menuturkan, itulah  salah satu bukti dari perilaku dan budaya masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi besar atas gagalnya pengendalian penyakit.
 
Demikian juga dengan penyakit BEF. Penyakit yang sebenarnya termasuk dalam katagori ringan namun intensitas dan frekuesinya cukup tinggi, tidak akan terlepas dari perilaku dan budaya masyarakat peternak. Sebagai penyakit dengan penyebab berupa agen virus, maka potensi penyebarannya menjadi sangat cepat dan sulit terkontrol jika tidak segera dilakukan penanganannya.
 
Meskipun peternak itu memelihara ternaknya secara soliter, terpisah,  namun, tetap saja mampu menyebarkan agen penyakit itu ke kawasan kandang kelompok dengan berbagai cara dan mekanisme penularan.
 
Heru memberikan contoh nyata tentang sulitnya memberantas penyakit yang disebabkan oleh virus yang se famili dengan virus penyebab Rabies, yaitu Rhabdovirus ini. Sebenarnya penyakit yang juga dikenal sebagai penyakit demam tiga hari ini, relatif mudah untuk dikendalikan jika saja ada kebersamaan dari para peternak dalam suatu kawasan. Gejala klinis yang muncul seharusnya segera dilaporkan kepada petugas kesehatan/Dokter Hewan. Dan kemudian bagi peternak lain yang ternaknya dalam suatu kawasan semuanya harus siaga melalu langkah perbaikan kualitas pakan dan kebersihan lingkungan.
 
Penyakit cukup merugikan karena membuat peternak skala rakyat harus sering mengeluarkan ongkos pengobatan. Maka untuk mencegahnya, menurut Heru harus ada kesadaran bersama untuk menghadapi penyakit itu. Hanya sayangnya memang, butuh waktu lagi untuk merubah pola fikir dan pemahaman akan beberapa penyakit yang meski ringan namun selalu merugikan secara finansial.
 
Berbicara penyakit pada kambing dan domba, menurut Heru memang hanya ada 3 jenis gangguan keseha­tan yang potensial meresahkan peternak pada tahun 2012 dan juga diperkirakan masih akan terulang pada tahun 2013 mendatang. Helminthiasis pada kambing, nyaris sama kasusnya pada ternak sapi, sedangkan kembung dan diare justru berbeda dan termasuk ancaman serius terhadap kesehatan ternak kambing dan domba.
 
Mengapa demikian? Oleh karena kambing dan domba adalah jenis ternak ruminansia yang paling rentan dan berdampak kefatalan. Kefatalan yang dimaksud adalah berupa kematian yang sangat tinggi akibat dari jenis gangguan kesehatan itu. Prevalensi mortalitas hamper lebih dari 70-80% pada kambing dan domba yang terkena gangguan kesehatan kembung dan diare.
 
Menurut Heru, demikian tinggi­nya ancaman gangguan kesehatan itu oleh karena sifat penyakitnya. Pada kasus kembung akan berjalan sangat akut. Sedangkan pada diare meskipun sub akut dan cenderung kronis pada kambing dan domba, namun umumnya penanganannya sering terlambat. Sehingga akhirnya selalu berakhir dengan kematian ternak itu.
 
Atas dasar perilaku dan budaya masyarakat pada umumnya dalam budidaya ternak Sapi, Kerbau, Kam­bing serta Domba di daerah pedesaan, maka menurut Heru tiada lain langkah dan peran Dokter Hewan sangatlah penting dan dibutuhkan sekali. Peran praktisi Dohe di lapa­ngan, kini tidak hanya sekedar memberikan tindakan medis semata, namun juga harus sedikit demi sedikit mempengaruhi pola pikir dan perilaku para peternak. Sehingga bukan saja akan sangat membantu para praktisi Dohe dalam menjalankan tugas, namun sudah pasti akan sangat berpengaruh terhadap kualitas peternak dalam budidaya ternaknya.
(iyo) 

GENJOT POPULASI SAPI 2013 DENGAN PENGENDALIAN PENYAKIT REPRODUKSI DAN PARASIT

Program swasembada daging sapi dan kerbau 2014 sudah diambang mata, namun berbagai masalah masih menjadi hambatan dalam pencapaian program Pemerintah ini. Diantaranya adalah gangguan reproduksi  dan infeksi parasit. Hal itu disampaikan Drh Rosalia Ariyani saat memberikan presentasinya dihadapan puluhan peternak sapi potong dan perah yang tergabung dalam Forum Peternak Sapi Indonesia (FPSI) wilayah Jakarta, Jabar dan Banten di Sentul Bogor, Sabtu (3/10).
 
Acara ini dihadiri juga oleh Direktur Budidaya Ternak Ruminansia Kementerian Pertanian, Ir Fauzi Luthan dan Kepala Balai Inseminasi Buatan Lembang Drh Maidaswar MSi. Pada kesempatan tersebut Drh Rosalia juga didampingi Tim Sanbe Group lain diantaranya Puji Hartono, S. Pt. dan Drh Sofyar.
 
Dalam paparannya Drh Rosalia menguraikan dari data hasil rilis awal PSPK 2011 Kementerian Pertanian bahwa populasi sapi potong tahun pada 2003 sebesar 10.177.299 ekor, sementara pada tahun 2011 berdasarkan sensus berjumlah 15.402.188 ekor. Sehingga diketahui angka pertumbuhan sapi potong per tahun mencapai 653.000 ekor/tahun atau 5,32% per tahun.
 
Sementara jika ditilik dari pola penyebaran sapi potong, Pulau Jawa menjadi yang terbesar dengan jumlah populasi mencapai 7,5 juta ekor atau 50,74%. Disusul Sumatera de­ngan 2,7 juta ekor (18,40%), Bali dan Nusa Tenggara dengan  2,1 juta ekor (14,19), Sulawesi dengan 1,8 juta ekor (11,97%) dan sisanya tersebar di Kalimantan, Maluku dan Papua.
 
Lebih lanjut Drh Rosalia menjelaskan seputar akselerasi produktivitas untuk sapi potong dan sapi perah. Dimana untuk sapi potong lebih bertumpu pada program pembibitan dan penggemukan, sementara untuk sapi perah selain bertumpu pada program pembibitan juga pada peningkatan manajemen untuk meningkatkan produksi susu.
 
Drh Rosalia menguraikan secara lebih gamblang soal penyebab bebe­rapa faktor yang turut menghambat produktivitas. Diantaranya adalah jumlah sapi betina non produktif di Indonesia yang jumlahnya mencapai 50% sapi betina dewasa. Berbagai gangguan reproduksi yang umum ditemui diantaranya adalah silent estrus, anestrus, cystic ovary, mumifikasi fetus, sindroma metritis mastitis, dll. Semua gangguan penyakit tersebut menyebabkan angka service per conception (S/C) yang tinggi, calving internal yang panjang dan kematian pedet pra sapih yang tinggi.

Kerugian Nasional Capai 8,2 Trilyun/Tahun Akibat Cacingan
Di lain pihak infeksi cacing pada sapi juga menimbulkan dampak yang tidak kalah merugikan, mulai dari gangguan pencernaan,      malabsorbsi, turunnya intake pakan, dehidrasi, anemia, turunnya daya tahan tubuh, kurus, diare, dan menurunnya kualitas karkas dan fertilitas.
 
“Menurut penelitian Siregar tahun 2003, infeksi cacing menyebabkan keterlambatan berat badan per hari 40% dari sapi normal (potong) dan penurunan produksi susu 15% (pe­rah),” jelas Drh Rosalia.
 
Rosa menjabarkan potensi kerugian akibat cacingan ini adalah kehilangan penambahan berat badan yaitu 0,6 kg/ekor/hari  x 40% = 0,24 kg/ekor/hari. Maka kerugian untuk skala 1000 ekor sapi adalah = 1.000 ekor x 0,24 kg/ekor/hari x 25% = 60 kg/hari. Sehingga dalam setahun (365 hari) mencapai 21.900 kg daging sapi hi­dup. Jika diasumsikan harga daging hidup per kg adalah Rp 30.000, maka kerugian per 1.000 ekor sapi mencapai 1,68 Milliar/tahun.
 
Lebih jauh, Rosa juga menghitung potensi kerugian secara nasional dengan populasi sapi potong berdasarkan hasil sensus 2011 yaitu 15 juta ekor, maka akan didapat potensi kerugian secara nasional yaitu (15 juta ekor x 0,24 kg/ekor/hari x 25%) x 365 hari = 328.500.000 kg da­ging sapi hi­dup/tahun. Yang apabila diasumsikan harga daging hidup per kg adalah Rp 30.000 maka kerugian secara nasional mencapai  Rp 9.855.000.000.000/tahun atau Rp 9.8 Trilyun/tahun.
 
Untuk itu dalam rangka penanggulangan sistem reproduksi Drh Rosalia menganjurkan pe­ngobatan gangguan hormonal sapi betina de­ngan hormon prostaglandin (CAPRIGLANDIN®). Selain itu untuk me­ngatasi infeksi saluran reproduksi sapi betina pasca melahirkan dilakukan dengan pengobatan kemoterapeutik/antibiotik topikal (COLIBACT® Bolus).
 
Sementara untuk memberantas penyakit cacing pada sapi potong dapat digunakan obat cacing berspek­trum luas (VERM-O®, FLUKICIDE®, dan KLOSAN®) yang diberikan setiap 3-6 bulan sekali.
 
Menurut Rosalia pemberian CAPRIGLANDIN® dapat mening­katkan angka kelahiran dari 50% menjadi 75%. Sementara pemberian COLIBACT® Bolus dapat mencegah endometritis dan infeksi bakteri sa­luran reproduksi serta meningkatan S/C (keberhasilan kebuntingan per konsepsi). Sementara obat cacing dari Sanbe yang disarankan adalah VERM-O® juga terbukti mampu mengembalikan pertambahan berat badan menjadi normal.

Mastitis Bikin Untung Semakin Tipis
Pada kesempatan yang sama Rosa juga mengulas tentang penyakit mastitis atau radang ambing yang menyebabkan kerugian paling besar dalam peternakan sapi perah akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya pera­watan dan pengobatan yang mahal.
 
Menurut Rosa, Penyebaran penyakit mastitis dapat melalui peme­rahan yang tidak mengindahkan kebersihan, alat pemerahan, kain pembersih puting, dan pencemaran dari lingkungan kandang yang kotor. Mastitis dapat disebabkan oleh beberapa bakteri, antara lain adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, dan E. Coli. Mastitis merupakan inflamasi pada ja­ringan ambing yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Mikroorganisme yang biasa menyebabkan mastitis adalah bakteri yang masuk dalam ambing, berkembangbiak dan memproduksi toksin dalam glandula ambing seperti Staphylococcus aureus dan E. Coli.
 
Mastitis sangat rawan terjadi saat setelah pemerahan, awal masa laktasi, dan awal masa kering kandang. Persentase kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia mencapai 95-98%, sedangkan 2-3% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi.
 
Namun saat ini peternak tidak perlu khawatir karena Sanbe dapat membantu memberikan solusi pe­ngobatan dan pencegahannya. Diantaranya dengan pengobatan mastitis saat kering kandang menggunakan DRYCLOX® untuk mengobati mastitis pada sapi yang disebabkan infeksi bakteri gram positif dan negatif. Sementara untuk pengobatan mastitis saat laktasi, Sanbe memiliki CLOXALAK® dan MASTILAK® 
 
Rosa juga mencontohkan potensi kerugian akibat mastitis subklinis dengan populasi 1.000 ekor, rata-rata produksi susu 15 liter/ekor/hari, penurunan produksi susu akibat mastitis subklinis 15% dan asumsi harga susu/liter Rp 3.800. Maka, kerugian bisa mencapai Rp  1.346.625.000 atau Rp  1.35 Milyar.
 
Sementara biaya program pencegahan mastitis menggunakan DRYCLOX® atau CLOXALAK® dari Sanbe tidak lebih dari 10 % dari biaya kerugian tersebut, sehingga dapat mening­katkan produksi air susu sapi yang lebih besar.
 
Drh Rosalia juga menganjurkan agar pengendalian mastitis lebih berhasil peternak dituntut untuk selalu menjaga kebersihan/higienis dalam tata laksana pemeliharaan, misal :
  • Kebersihan kandang
  • Kebersihan sapi termasuk membersihkan daerah lipat paha sapi yang akan diperah
  • Kebersihan peralatan perah (ember, alat takar, milk can dll)   
  • Kebersihan/mencuci mesin peme­rah atau tangan pemerah sebelum dan sesudah pemerahan
  • Mencuci ambing dengan air bersih dan lap dengan kain bersih, kain untuk masing-masing am­bing
  • Program tits dipping sebelum dan sesudah pemerahan
  • Monitor mastitis menggunakan  CMT.
  • Pengobatan mastitis
“Dengan upaya yang lebih fokus sapi potong dan sapi perah dapat le­bih ditingkatkan produktivitasnya,” pungkas Drh Rosalia Ariyani.
 (wan)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer