-->

Gangguan Metabolik Dominasi Masalah Kesehatan pada Sapi

Semakin bersemangatnya para peternak sapi skala rakyat de­ngan menambah populasi, tidak terlepas dari membaiknya kondisi harga jual sapi potong di pasar pada awal tahun 2013 ini. Hal itu secara langsung telah semakin menggairahkan dunia peternakan Indonesia. Dinamika pembanguan peternakan  rakyat, memang begitu terasa sekali tergambar di masyarakat akar rumput.

Ketika pasokan daging impor berlebih dan masuknya sapi bakalan dari luar negeri, maka secara langsung telah membuat peternak skala rakyat frustasi. Begitu keluar kebijakan untuk menutup atau mengurangi kran impor daging serta sapi bakalan, maka bagi peternak skala rakyat, seolah dunia semakin ceria dan cerah.  Seperti yang terjadi saat ini

Kali ini, seolah angin, memang sedang bertiup me­ngarah ke rakyat. Gairah dan animo peternak untuk memelihara dalam jumlah yang lebih dari biasanya. Meskipun sebenarnya, pada saat ini harga bibit sapi bakalan sudah termasuk sangat tinggi, namun justru pasar ternak sapi begitu bergairah dan ramai. Semoga saja, dalam waktu dekat atau setidaknya kurun waktu 5 tahun ke depan, pemerintah tetap konsisten untuk mengontrol de­ngan ketat volume impor daging sapi  dan sapi bakalan. Sebab jika ada perubahana kebijakan dan kemudian impor daging dibuka secara berlebih maka tentu saja akan membuat peternak sapi skala rakyat akan kembali terlukai dan mungkin patah arang untuk beternak lagi.
 
Konsekuensi dari semangat besar para peternak skala rakyat, maka nampak jelas dengan kebutuhan akan konsentrat dan bekatul di warung sapronak. Permintaan yang meningkat dari pakan jenis itu erat terkait dengan asumsi para peternak, bahwa untuk menggenjot pertumbuhan sapi  dan cepat panen, konsentrat dan bekatul adalah kuncinya.
 
Itulah hasil pengamatan Drh Yusuf Arrofik seorang praktisi Kesehatan Hewan Ternak dan Suradi seorang peternak sapi.
 
Meskipun asumsi itu tidak benar secara keseluruhan, namun juga tidak salah. Hanya kurang tepat memaknai­nya. Menurut Yusuf, akibat dari asumsi itu telah membawa dampak yang kurang baik di dalam aplikasi di lapangan. Orientasi peternak yang menggebu untuk menghasilkan sapi cepat gede dan kurang mendapatkan informasi yang benar secara keilmuan, akhirnya kemudian banyak dijumpai muncul gangguan kesehatan yang justru bukan dengan penyebab agen infeksius (virus, bakteri, jamur dan parasit) akan tetapi justru karena malnutrisi.
 
Malnutrisi alias salah ransum sehingga berakibat buruk terhadap ternaknya, bukan saja oleh karena aspek kekurangan pakan saja, namun  kini justru pengertian malnutris bergeser kearah salah memberikan ransum yang benar. Dalam konteks ini volume pakan justru tersedia berlebih hanya salah dalam memberikan proporsinya.
 
Suradi pun mengakui, bahwa akibat salah menerima informasi, para peternak kemudian lebih mengutamakan pemberian konsentrat dan menihilkan pemberian jerami apalagi hijauan. Namun dirinya sudah melalui fase itu, dan sudah tidak lagi bernafsu dengan jalan yang keliru. Beberapa tahun yang lalu, memang ia juga melakukan hal yang sama yaitu memberikan secara berlebih konsentrat ataupun bekatul. Namun terbukti justru telah membuatnya menanggung kerugian besar. Sapinya bukan menjadi cepat gede, namun sapi ambruk oleh karena susah defekasi bahkan ada sapinya yang kolik sehingga berujung dengan kematian.
 
Aplikasi informasi yang salah itu, kini kembali terjadi ketika para peternak begitu bergairah sekali untuk segera secara cepat mendapatkan keuntungan. Terutama dari selisih harga beli dan harga jual dalam tempo yang semakin singkat.
 
Menurut Yusuf pola pikir itu sudah benar. Bahwa sebaiknya waktu memelihara sesingkat mungkin, dengan hasil sapi cepat gede. Dan menurut  pemahaman  peternak cara tempuh agar sapi cepat gede adalah diberikan ransum konsentrat saja. Sebab metoda itu dianggap  yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.
 
Pola pikir peternak yang sudah benar itu dan hanya caranya yang keliru, akhrinya justru berbuah sapinya mengalami gangguan kesehatan yang berupa gangguan metabolis yang bersifat akut. Untuk mengatasi masalah itu bukanlah perkara yang mudah, oleh karena wajar jika kemudian selalu berakhir dengan kematian yang didahului dengan sapi ambruk.
 
Suradi juga mengakui kasus kematian pada sapi miliknya saat mengaplikasikan pemberian pakan yang keliru, kala itu. umumnya selalu didahului dengan kesulitan defekasi, sapi gelisah yang sangat tanpa mau makan, hanya minum terus menerus, sampai akhirnya perutnya membuncit, kembung dan ambruk . Dan akhirnya mati secara cepat.
 
Setelah mendapatkan informasi akan penyebab kematian dari seorang Dokter Hewan akhirnya Suradi tidak lagi melakukan langkah keliru ransum. Menurutnya, sapi itu menu dasarnya rumput, maka tidak bisa dihilangkan begitu saja, menu rumputnya. Sedang­kan menurut Yusuf, bisa saja sapi tidak diberikan menu rumput, namun harus dengan latihan yang lama dan pakan penggantinya haruslah juga berupa daun daunan. “Hijauan rumput atau jerami dapat ditiadakan namun harus ada pakan substitusi, dan selain itu sebaiknya memang konsentrat untuk penguat dan pemacu pertumbuhan.”
 
Problema gangguan metabolis pada sapi, ternyata menurut Yusuf juga mendominasi gangguan kesehatan pada sapi perah. Hal ini terkait dengan menu pakan sapi perah yang mana peternak juga cenderung memberikan porsi berlebih pada konsentrat dan mengurangi hijauan rumputnya.
 
Selanjutnya menurut Yusuf, dalam mengatasi masalah gangguan metabolis yang selalu bersifat  akut itu, ada beberapa upaya dan langkah. Pertama yang paling utama adalah merombak ransum menu yang keliru. Kedua, mengatur jadwal pemberian konsentrat secara benar dengan pemberian hijauan rumput atau jeraminya. Terutama proporsi antar hijauan rumput dan jerami dengan konsentrat. Ketiga, adalah melakukan tindakan injeksi preparat yang membantu memacu secara cepat proses metabolis di dalam lambung/rumen sapi. Keempat, membantu proses defekasi melalui pemberian suppositoria di dalam rectum dan anus. Kelima, oleh karena gangguannya bersifat akut, maak injeksi preparat penguat tubuh menajdi suatu keharusan agar sapi tidak lemas dan berakhir dengan kematian. (iyo)

Potensi Sapi di Kebun Sawit Mempawah Provinsi Kalimantan Barat

Gebrakan Dahlan Iskan Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentang perlunya memanfaatkan potensi kawasaan perkebunan milik Negara (PTP) Sawit, Tehh, Kopi Karet dan Coklat untuk budidaya ternak Sapi, memang diacungi jempol oleh banyak fihak. Terkait dengan ide yang begitu cemerlang itu, bukan saja kemudian telah terjadi effek domino yaitu berbagai fihak baik itu instansi pemerintah maupun swasta seolah saling bersahut merespon dengan langkah nyata.
 
Bukan lagi wacana atau hanya sekedar gagasan mulia, namun  kini nyaris banyak yang langsung mengimplementasikan ide itu. Sebut saja PTP di Beng­kulu yang menjadi pionir awal dan kemudian bahkan pada awal Desember 2012 sudah melakukan panen hasil budidaya sapi di dalam kawasan Perusahaan Perkebunan milik Negara itu. tidak tanggung-tanggung, tidak tanggung-tanggung Meneg BUMN , Dahlan Iskan kala itu justru memilih mengikuti panen dan proses penjualan sapi hasil PTP itu, dari pada memenuhi Undangan dari Komisi VII DPR untuk Acara Rapat De­ngar Pendapat (RDP).
 
Akhirnya beberapa PTP Provinsi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat pun langsung tancap gas mengikuti langkah yang telah diambil oleh PTP di Bengkulu itu. Bahkan beberapa perusahaan perkebunan sawit milik swasta juga tergiur dengan kegiatan usaha sampingan itu.
 
Efek domino nyata dari gagasan itu adalah terjadinya permintaan pasar akan ternak sapi dari sentra sentra ternak sapi di Jawa, NTB dan NTT. Jika saja Provinsi Bali juga merupakan sentra ternak sapi itu, memberikan izin untuk dapat dikeluarkan ternak sapi dari pula Bali, maka sudah pasti juga akan terjadi lonjakan harga yang tinggi di pulau dewata itu. Sehingga wajar, jika pada periode pertengahan tahun 2012 sampai memasuki awal tahun 2013 ini harga ternak sapi di 3(tiga) sentra pemasok ternak sapi, masih saja cukup tinggi.
 
Di satu sisi membuat para peternak sapi mendapatkan keuntungan, oleh karena adanya kenaikan harga yang fantatstis. Namun di lain fihak banyak pemerintah daerah di 3 (tiga) provinsi itu khawatir sekali dengan laju pengiriman ternak yang begitu banyak dari waktu ke waktu. Kecemasan aparat teknis di daerah sentra ternak sapi potong itu, oleh karena akan semakin menggerus populasi, terutama jika tidak dapat lagi dikendalikan laju pengiriman keluar daerah.
 
Salah satu pejabat teknis bidang peternakan di Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat, Drh Buntaran kepada Infovet mengungkapkan bahwa proses berdatangannya ternak sapi dari jawa , NTT dan NTB, telah membuat populasi ternak sapi melonjak drastiss. Di satu sisi telah membuat gairah para pedagang sapi antar pulau, namun disi yang lain juga menyebabkan membuat kecemasan baru para peternak yang lebih dahulu berbudidaya, jika akhirnya berujung harga ternak sapi potong akan melorot jatuh.
 
Untuk mengantisipasi hal itu, maka sebagai salah satu daerah yang sedang giat mendorong pemanfaatan lahan perkebunan untuk dioptimalkan menjadi kawasan usaha budidaya peternakan, maka pemerintah kabupaten Mempawah memberikan dukungan dan support penuh kepada fihak fihak yang berniat menginvestasikan dalam bidang peternakan pada umumnya. Dukungan itu antara lain berupa kemudahan perizinan, dan bahkan bantuan teknis dari aparatnya untuk memberikan  bimbi­ngan teknis.
 
Dengan dukungan itu, maka akan semakin mendorong para pemilik modal untuk terstimuli membenamkan modalnya di daerah ini. Selain itu juga dalam rangka mencegah keresahan social dan kemungkinan potensi friksi antara peternak lama dengan para pelaku usaha budidaya ternak sapi yang baru, direkomendasikan pola kemitraan yang setara. Ini penting agar jaminan harga jual dan potensi memburuknya harga akibat kelebihan pasokan dapat dicegah atau ditekan sekecil mungkin.
 
Potensi yang demikian besar dari adanya perkebunan Sawit di Kabupaten Mempawah dan juga luas wilayah lahan bekas kawasan hutan industry yang terbengkelai, merupakan jaminan prospek usaha budidaya ternak sapi. Tersedianya lahan yang luas, dengan hijauan tanaman rumput liar, merupakan asset yang sangat besar namun belum termanfaatkan.
 
“Luas satu Kecamatan Di Mempawah mungkin dapat jauh lebih luas daripada sebuah kabupaten di Pulau Jawa. Maka dapat dibayangkan jika begitu masih luasnya lahan bekas  kawasan hutan industri itu, dimana saat ini tidak ada yang memanfatkannya. Karena tingkat kesuburan tanah yang rendah, maka jika dilepas sapi, akan melahirkan simbiose mutualisme” ujar Buntaran, yang juga Kepala Bidang Urusan Kesehatan Hewan .
 
Sedangkan potensi di kawasan perkebunan sawit milik perusahaan swasta maupun perseorangan, selama ini juga tidak dan belum dimanfatkan untuk menghasilkan yang produktif. Dengan hasil nyata dari PTP di Bengkulu, tutur Buntaran, maka seolah semakin menguatkan niat para pemilik perkebunan Sawit untuk juga beternak sapi potong di dalam kawasan lahan miliknya.
 
Menurut Buntaran, sampai saat ini data tentang jumlah ternak sapi yang masuk ke dalam wilayah kabupaten Mempawah masih dalam proses verifikasi ulang. Sebab begitu bersemangatnya para pelaku usaha perkebunan sawit untuk melakukan budidaya ternak sapi potong, sehingga agar validitas data akurat, terus dilakukan verifikasi dan update secara terus menerus tiap hari. Namun yang jelas nyata, kini di daerah itu kawasan perkebunan sawit sudah banyak ditemukan sapi. Sangat berbeda jika dibandingkan tahun tahun yang lalu, sama sekali tidak dijumpai ternak sapi berada di dalam kawasan perkebunan.
 
Bahkan Buntaran, memperkirakan Kabupaten Mempawah dalam waktu tidak terlalu lama akan menjadi salah satu lumbung atau sentra penghasil sapi potong untuk Propinsi Kalimantan Barfat, bahkan mampu memenuhi untuk pulau Kalimantan.
 
“Jika saja dukungan banyak fihak, lintas sektoral  dalam cakupan Kabupaten ataupun Provinsi dan juga dipermudah urusan pengangkutan ternak sapi antar pulau, maka Kabupaten Mempawah akan mampu menjadi Gudang Ternak Sapi bagi provinsi Kalimantan Barat, bahkan untuk seluruh Pulau Kalimantan” ujar Buntaran yang pernah mengenyam pendidikan bidang peternakan di Philiphina ini.
 
Keyakinan Buntaran itu, memang tidak berlebihan mengingat begitu besar potensi sumber daya alam dan manusia untuk menunjang peternakan sapi potong. Sebagaimana dia ungkapkan bahwa luas lahan di daerahnya yang sama sekali belum termanfaatkan, dan aspek kultural yang berupa adanya jiwa dan semangat bekerja keras para petani di kabupaten ini. Jika saja ternak sapi dilepas begitu saja, lanjut Buntaran, bahkan tanpa diberi makan tambahan lagi, maka sapi akan tumbuh jauh lebih cepat dan jauh lebih besar daripada sapi yang saat ini berada di Jawa.
 
Oleh karena itu optimisme untuk mendukung lahirnya sentra ternak sapi potong, memang sudah layak mendapatkan dukungan dari manapun. Namun yang jauh lebih penting nampaknya adalah tetap harus memperhatikan aspek kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya.
 (iyo)

Bisnis Kelinci Amat Menjanjikan

RABBIT CORNER - Meroketnya harga daging sapi di penghujung akhir 2012, pemerintah memberikan alternatif kepada masyarakat untuk mengonsumsi daging kelinci. Harga daging kelinci segar saat ini dijual berkisar Rp 55.000 - Rp. 75.000/kg. Apa yang sesungguhnya mampu mengalihkan perhatian masyarakat untuk melirik daging kelinci?
 
Rasanya sayang sekali jika melewatkan daging kelinci meng­ingat dagingnya lebih sehat, rendah lemak serta kolesterol, protein yang tinggi dan teksturnya yang lembut. Bulunya pun bermanfaat untuk bahan pembuatan pakaian, tas, sendal maupun aksesoris lainnya. Feses dan urine kelincipun sangat baik sebagai pupuk organik.
 
Kita mengenal dua jenis kelinci yaitu kelinci hias dan kelinci pedaging. Masing-masing mempunyai karakteristik berbeda dalam pena­nganan peternakan dan bisnis­nya. Menurut Ketua Himpunan Ma­syarakat Perkelincian Indonesia (Himakindo), Yono C Rahardjo permintaan akan daging kelinci dari tahun ke tahun semakin tinggi namun minim pasokan. “Peluang bisnis kelinci seungguhnya masih terbuka lebar dan menjanjikan,” tutur Yono.
 
“Seperti hotel-hotel di Bali, saat ini sudah menghidang­kan sajian daging kelinci, cuma supply terbatas. bahkan banyak rumah sakit mulai menyediakan menu daging kelinci karena lebih menyehatkan dibanding daging lainnya.” ungkap Yono yang juga seorang ahli kelinci di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Bogor.
 
Saat ini China merupakan penghasil daging kelinci terbesar di dunia dengan populasi potong 700 juta ekor/tahun dan diestimasi tahun 2020 akan mencapai 24 milyar/tahun. Sementara di Vietnam sekitar 5-7 juta ekor/tahun dan di estimasikan pada 2016 mencapai 16 juta ekor/tahun.
 
Pemeliharaan kelinci pedaging tidak jauh berbeda de­ngan kelinci pada umumnya. Bisa dengan dilepas pada area tertentu atau dikandang­kan. Jika bertujuan untuk usaha ternak sebaik­nya menggunakan sistem kandang. Kandang yang digunakan ada beberapa macam. Kandang baterai untuk indukan dan kandang koloni untuk anakan yang lepas sapih.
 
Yono menjelaskan pengembang­biakan dan pertumbuhan kelinci sangat cepat. “Dalam setahun misalnya, seekor induk kelinci mampu menghasilkan 12 - 88 ekor anakan setara dengan 40 kg bobot hidup pada pola tradisional dan 120 kg dengan pola intensif,” terang Yono.
 
Sedikit berbeda dengan kelinci hias yang pemberian pakannya bertujuan untuk kualitas pertumbuhan bulu yang bagus, maka pakan untuk kelinci pedaging bertujuan untuk menghasilkan daging yang berkualitas bagus. Pakan utama kelinci adalah rerumputan, bisa ditambah dengan pakan buatan pabrik atau pellet kelinci,  ampas tahu, dan sayur-sayuran.
 
Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai jenis produk olahan, sama seperti produk yang terbuat dari daging ayam maupun sapi yang dijual di supermarket. “Sosis, bakso, nugget, abon, dendeng juga bisa dibuat dari daging kelinci,” kata Yono.
 
Sekitar pertengahan 2012 lalu, pemerintah telah mengembang­kan konsep peternakan kelinci di 5 lokasi Indonesia yakni Kerinci (Jambi), Tondano (Manado), Bedugul (Bali), Batu (Malang) dan Malino (Sulsel). 

Disampaikan Yono, kampung industri kelinci usaha berbasis kelompok ini memang berorientasi komersial. Ia berharap, masyakarat pedesaan yang bersedia beternak kelinci bisa memper­oleh asupan gizi yang baik dan pendapatan tambahan.
 
Drh Syahroni Djaidi GM Pet Food Business CP Prima berharap de­ngan digalakkannya promosi mengenai potensi kelinci sebagai sumber protein hewani dan pet, dapat meningkatkan pe­ngetahuan masyarakat tentang kelinci. “Untuk rencana ke depan, kami me­ngajak Prof Yono untuk berkolaborasi lebih jauh guna menghasilkan produk pakan kelinci dengan formulasi yang sesuai dan harga yang terjangkau,” tutur Roni. (*)

Untuk konsultasi dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Drh Syahroni Djaidi, Pet Food Business CP Prima
Hp: +62 816 835 849 atau email : Syahroni.Djaidi@cpp.co.id

Kualitas Dokter Hewan Indonesia Bagus

Profil Prof Dr Drh Retno D Soejoedono MS

Prof Dr Drh Retno Damajanti Soejoedono Ms yang pada 22 Desember 2012 lalu dikukuhkan sebagai guru besar tetap Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, siap dengan program pelayanan pada masyarakat. Kepada Infovet, istri dari drh R Roso Seojoedono S MPH ini mengaku dulunya seusai lulus SMA, dirinya berminat untuk menjadi dokter gigi.
 
“Pilihan pertama saya adalah fakultas kedokteran gigi. Karena saya tumbuh dan besar di Bogor, pilihan kedua adalah kuliah di IPB dan saya memilih FKH,” ungkapnya. Apabila diminta memilih, Prof Retno lebih senang menimba ilmu di Bogor dibandingkan dengan bersekolah di Kota Jakarta yang super sibuk dan macet. “Walaupun pada kenyataannya sekarang, perjalanan menuju kawasan Dramaga saja juga macet,” ujarnya diselingi tawa.
 
Pada orasi pengukuhan guru besar yang lalu, Prof Retno menitikberatkan pada pemanfaatan telur sebagai pabrik biologis yang dapat digunakan untuk memproduksi imunoglobulin Y (Ig-Y) di dalam kuning telur. Penelitian yang dilakukan oleh Prof Retno bersama rekan sesama tim peneliti FKH IPB membuahkan hasil berupa telur ayam anti AI subtipe H5N1. “Telur anti flu burung ini sedang dalam proses pendaftaran hak patennya,” tutur Prof Retno.
 
Terkait dengan ramainya kasus flu burung yang menyerang itik di kawasan Brebes, pada tahun 2007 Prof Retno pernah mengeluarkan jurnal berjudul “Potensi Unggas Air Sebagai Reservoir Virus HPAI Subtipe H5N1. “Waktu itu kami tim peneliti menemukan adanya virus H5N1 pada unggas air , yang tidak semua itik terserang flu burung,” katanya. “Virus tersebut hanya bersifat reservoir yang artinya ada dalam tubuh unggas air, namun tidak memperlihatkan gejala klinis, sehingga saat itu tim peneliti lebih mencurahkan keberadaan virus H5N1 pada ayam baik komersial maupun ayam kampung,” jelas Prof Retno.
 
Dalam perjalanannya sebagai dosen pengajar sekaligus peneliti, Prof Retno pun aktif menjadi narasumber dalam berbagai seminar maupun pelatihan. Salah satunya pernah diundang sebagai narasumber dalam pelatihan pengurus ASOHI di Palembang pada 2007 silam.
 
Prestasi yang Prof Retno pernah raih diantaranya penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Satya Lencana Karya Satya 10,20 th., di tahun 2005. Lalu prestasi yang dicapai Prof Retno baru-baru ini adalah “104 Inovasi Indonesia 2012 Prospek Inovasi” dengan penemuan antigen AI H5N1 standar sebagai rujukan untuk monitoring titer antibodi hasil vaksinasi AI di industri peternakan ayam. Penghargaan tersebut diraih Prof Retno bersama rekannya seperti Murtini, K Zarkasie, dan I Wayan T Wibawan.
 
“Saya tidak menemui kendala apapun selama menjalankan tugas di FKH-IPB. Semua sarana dan prasarana baik untuk proses pengajar maupun penelitian sudah tersedia dan tinggal melaksanakan serta mengatur jadwal yang berhubungan dengan waktu,” terang Prof Retno.
 
Kini sebagai seorang guru besar maupun sebagai dosen dan peneliti, Pof Retno akan terus melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu mengajar pada tingkat S1, S2 dan S3. Kemudian melakukan penelitian-penelitian yang tidak hanya terpaku pada virus AI saja, tetapi juga pada penyakit virus yang menyerang pada unggas, unggas air, serta burung liar (wild bird, migratory birds). Selain itu, melaksanakan pelayanan pada masyarakat terutama pada para peternak berupa konsultasi di bidang kesehatan unggas yang berhubungan dengan hasil vaksinasi unggas.
 
Kesibukannya yang luar biasa padat, tidak menghalangi Prof Retno untuk berkumpul bersama keluarga tercinta. “Keluarga mendukung aktivitas saya baik sebagai dosen maupun peneliti ataupun melaksanakan kegiatan pelayanan pada masyarakat. Karena suami juga sebagai dosen di Bagian Kesmavet di FKH IPB dan anak saya juga sudah berkeluarga dan dia juga bekerja sebagai  salah satu staf di Bank Indonesia di Jakarta,” urai Prof Retno yang telah menjadi nenek dari dua cucu ini.
 
Ketika senggang, Prof Retno gemar sekali membaca novel dan berenang. “Saya juga suka mengisi teka-teki silang serta memelihara ikan dan tanaman di rumah,” katanya.
 
Menurut Prof Retno, kualitas lulusan dokter hewan di Indonesia sudah sangat bagus dan tidak kalah dengan lulusan luar Indonesia. “Saat ini di negara kita juga sudah ada ujian kesetaraan di antara FKH,” tukasnya. 

“Harapan saya lebih banyak mahasiswa FKH agar di Indonesia lebih sejahtera, karena sektor peternakan semakin meningkat,” imbuhnya.
 
Keberhasilan yang telah Prof Retno capai hingga sekarang, semua  dapat dilaksanakan dengan baik, ditekuni secara maksimal, dan dilakukan di jalan yang diridhohi Allah SWT. “Pekerjaan harus dilakukan secara seimbang, antara keluarga dan sebagai tenaga pendidik PNS,” tegasnya mengakhiri perbincangan dengan Infovet. (nunung)

ASOHI GELAR PPJTOH Angkatan XI

PELATIHAN Penanggung Jawab Teknis Perusahaan Obat Hewan (PPJTOH) angkatan ke XI diadakan selama 2 hari, pada Rabu dan Kamis tanggal 19-20 Desember 2012 di BBPMSOH Gunung Sindur Bogor. Kegiatan ini terselenggara berkat kerjasama ASOHI dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Yang istimewa pada PPJTOH kali ini ada tambahan materi tentang Sosialisasi Pengisian Dokumen Pendaftaran Obat Hewan dari Tim POH. Peserta pelatihan adalah dokter hewan dan apoteker yang bertugas sebagai penanggung jawab teknis pada perusahaan produsen, importir, eksportir, distributor obat hewan dan pabrik pakan yang mencampur obat hewan.

Setiap peserta mendapatkan Sertifikat Pelatihan PJTOH yang diakui pemerintah. Sertifikat ini juga menjadi salah satu syarat yang selalu ditanyakan oleh Tim Penilai apabila produsen ingin mendapatkan CPOHB.

Pada hari pertama, Drh H Pudjiatmoko PhD hadir mengisi pelatihan dengan membawa tema “Sistem Kesehatan Hewan Nasional”. PPJTOH hari itu juga dihadiri Kasubdit POH Drh Bahruddin Syahroni MSi, Kepala Pusat Karantina Hewan Drh. Sujarwanto, MM, serta Drh Abadi Soetisna MSi.

Hari kedua pelatihan dibuka dengan presentasi dari Kepala BBPMSOH, Drh Enuh Rahardjo Djusa PhD. Dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Drh. Lies Parede, MSc., PhD mengenai jenis-jenis sediaan biologik dalam upaya pencegahan sekaligus pemberantasan penyakit hewan ternak.

Disusul oleh pemateri lain yaitu Drs Soeryadi Hardjopangarso APT MM, Kepala Subdit POH 2001-2006. Ia menjelaskan seputar tugas tanggung jawab penanggung jawab teknis perusahaan obat hewan.

Selanjutnya materi dari Kepala Biro Hukum & Informasi Publik Suharyanto SH, Ketua Umum PB PDHI Drh Wiwiek Bagdja, dan pihak BBPMSOH Drh Sumadi M.Si. Rangkaian acara PPJTOH ditutup oleh pengurus ASOHI serta foto bersama seluruh peserta. (nung) 

Yuk Wisata..ke Kampoeng Kelinci!

Pemerintah Kabupaten Bogor sedang mengembang­kan ternak kelinci dalam upaya mendukung ketahanan pangan. Melalui program pengembangan berbasis kawasan dan kelompok peternak, telah dibangun pusat Kampoeng Kelinci di Desa Gunung Mulya, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.

Perkembangan populasi kelinci di Bogor mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah tersebut karena adanya permintaan dari masyarakat. Terpilihnya pengembangbiakkan kelinci di wilayah Desa Gunung Mulya, didukung dengan alasan kuat.
 
“Sejak puluhan tahun lalu, warga Desa Gunung Mulya sudah memelihara kelinci. Beternak kelinci di sini sudah turun-temurun dalam anggota keluarga,” tutur Drh Prihatini Mulyawati MM, Kepala Bidang Produksi Ternak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor ketika dijumpai dalam acara Temu Koordinasi Kehumasan Dirjen Peternakan dan Keswan, Rabu (28/11).
 
Ia menambahkan, lokasi geografis Gunung Mulya dengan sumber bahan pakan hijauan melimpah juga menjadi faktor dibangunnya Kampoeng Kelinci. Terdapat 300 ekor kelinci dari bermacam jenis yang akan kita jumpai ketika berkunjung ke Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya. Seperti kelinci Rex, Lop, New Zealand, English, Netherland Dwarf (ND), dan lainnya.
 
Kelompok peternak kelinci Desa Gunung Mulya merupakan anggota aktif Koperasi Peternak Kelinci (Kopnakci). Kopnakci terbentuk pada 17 Mei 2011. Pembentukan Kopnakci diharapkan akan menjadi wadah dalam menjalankan usaha ternak kelinci, sebagai pusat informasi, akses pemasaran, serta berorientasi pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
 
Ketua Kopnakci, Ir Wahyu Darsono mengatakan pencanangan Kampoeng Kelinci ini bertujuan mempromosikan potensi serta peluang usaha ternak kelinci sebagai penyedia daging guna memenuhi sumber protein hewani bagi keluarga.
 
Apa saja produk yang dihasilkan dari integrasi usaha ternak kelinci dalam wadah Kopnakci ini? Selain bibit unggul dan ternak siap potong, tersedia olahan daging kelinci seperti nugget, bakso, sosis, dan burger. Telah dioperasikan juga pabrik pakan konsentrat dalam bentuk mess dan pellet, terdapat pula pupuk organik cair dan kompos. Jika Anda berkunjung ke Kampoeng Kelinci, dapat menjumpai aksesoris seperti tas maupun sandal. 
 
menjumpai peternak yang mundur dari Kampoeng Kelinci, namun ketika ada yang pergi banyak juga yang datang kepadanya. Ia menyebutnya sebagai seleksi alam.Saat ini terdapat 4 kelompok peternak yang tergabung dalam Kopnakci. Antara lain Watak (Pembibitan), Budi Asih (Pabrik Pakan), Cimanggu (Pengolahan Limbah), dan Bina Lestari (Pembudidaya).
 
Lebih lanjut, Wahyu menyampaikan untuk mengubah paradigma masyarakat mengenai jual beli (anakan) menjadi budidaya ternak daging kelinci masih membutuhkan waktu. Memang selama ini peternak setempat masih menerapkan metode-metode tradisional yaitu menjual anakan kelinci.
 
Memelihara kelinci sebenarnya tidak sulit, diperlukan kecermatan. Contohnya dalam soal memberikan pakan untuk kelinci. “Sebaiknya jangan memberikan pakan hijauan jika dalam keadaan basah,” terang Wahyu.
 
Di masa mendatang, Wahyu berharap semoga ada peningkatan akses jalan dan transportasi yang lebih memadai agar para wisatawan dapat menjangkau Kampoeng Kelinci dengan nyaman.

Daging Kelinci, Mau Coba?

Jakarta kota ku indah dan megah…Di situlah aku di lahirkan…Rumahku di salah satu gang…Namanya gang kelinci…

Lagu populer di era 1960-an itu seolah sudah menjadi lagu wajib untuk dinyanyikan dalam setiap acara tembang kenangan. Membawa kita pada si binatang yang dikenal imut-imut, yakni kelinci.

Memelihara kelinci memang menyenangkan. Selain imut, binatang ini terlihat jinak dan bersahabat. Sebagian besar masyarakat merasa tidak tega jika harus memotong sekaligus menyantap daging kelinci. Sesungguhnya, nilai gizi yang dimiliki si imut ini juga tidak kalah dengan daging ayam maupun sapi.

Menurut Ir Wignyo Sadwoko MM Kasubdit Ternak Potong Direktorat Budidaya Dirjen Peternakan dan Keswan kelinci berkembang biak dengan cepat. Kelinci beranak 6-8 kali per tahun, lalu 2-11 anak per kelahiran. Selain itu, kelinci mampu memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian atau limbah pangan.               
                   
Ir Wignyo menyebutkan permasalahan yang dihadapi dari aspek budidaya kelinci satu diantaranya adalah belum tersedianya pusat pembibitan. “Setelah pasca panen, masalah yang kami hadapi diantaranya produk tidak tersedia dalam jumlah dan mutu yang memadai, sementara di masa produksi berlimpah, dikhawatirkan pasar tidak menyerap,” ungkap Ir Wignyo. “Kurangnya promosi dan kondisi psikis terhadap daging kelinci juga menjadi hambatan,” imbuhnya. (nung)


Potensi Pemanfaatan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia

Diasuh oleh : Drh. Abadi Soetisna MSi.

Di dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 400 spesies dimanfaatkan sebagai obat tradisional.

Data WHO tahun 2005 menyebutkan, sebanyak 75-80 persen penduduk dunia pernah menggunakan herbal. Di Indonesia, penggunaan herbal untuk pengobatan dan obat tradisional sudah dilakukan sejak lama. Ini diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi dan juga tertulis pada daun lontar dan kepustakaan keraton.

Minat masyarakat dalam menggunakan herbal terus meningkat berdasarkan konsep back to nature (kembali ke alam). Ini dibuktikan dengan meningkatnya pasar obat alami Indonesia. Pada 2003 pasar obat herbal sekitar Rp 2,5 triliun, pada 2005 sebesar Rp 4 triliun, dan pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 8 triliun.

Dari pengertiannya obat herbal adalah obat yang zat aktifnya dari tanaman (daun, batang, akar, kayu, buah, ataupun kulit kayu). Obat herbal terkadang juga sering disebut sebagai jamu. Bagaimana dengan pemanfaatan obat herbal di industri kesehatan hewan Indonesia.

Peluang ini sangat terbuka lebar karena diketahui 60% bahan baku obat hewan Indonesia semua dipenuhi dari impor. Pertanyaannya kenapa tidak diambil dari alam Indonesia saja yang melimpah? Karena asumsi pemanfaatan obat herbal dari sektor perunggasan Indonesia tahun 2013 saja sudah sangat besar. Contohnya populasi ayam breeder yang diperkirakan mencapai 20,8 juta ekor, broiler 2,2 milyar ekor, layer 114,7 juta ekor, dan layer jantan yang mencapai 80,3 juta ekor.

Dari Tabel diatas diketahui jika penggunaan obat herbal sudah mencapai ± 5% saja, maka sedikitinya terdapat potensi pasar penggunaan herbal sebesar (5% x Rp. 3.293.395.250.000) = Rp. 164.669.762.500.
Kemudian untuk pemanfaatan bahan herbal ini kita juga harus tahu faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk penggunaan dan pemasaran obat herbal untuk hewan. Seperti misalnya Penggelompokan Obat Hewan golongan Farmasetika, Biologik, Premix, atau Obat Alami. Serta tujuan penggunaan obat apakah untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, pemacu pertumbuhan, atau kosmetika.

Dari sisi regulasi Kementerian Pertanian telah mengatur pembuatan – penyediaan – peredaran obat untuk hewan? Dan tentu saja ini juga berlaku untuk obat herbal yang diperuntukkan untuk hewan yaitu harus aman bagi hewan, manusia dan lingkungan. Kemudian obat tersebut harus memiliki khasiat/efikasi sesuai tujuan pengobatan dan berkualitas dengan standar mutu yang sesuai dengan persyaratan Pemerintah     lolos uji di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH).

Peraturan lain juga harus mengatur bahwa berapa jenis herbal/tanaman yang boleh digunakan dalam satu sediaan obat herbal. Misalnya, paling banyak 10 jenis tanaman. Alasannya, dikarenakan proses pengujiannya susah, lama, tidak mudah, dan tidak murah.

Perlu ditelaah pula bagaimana kemungkinan terjadinya “Drug Interaction” dari setiap jenis tanaman obat. Apakah sinergis, adisi, potensiasi, atau antagonis. Kemudian standarisasi ukuran/dosis yang digunakan. Misalnya, ukuran “segenggam” harus distandarkan dengan disebutkan satuan-satuannya, misal (berat = gram, volume = ml). Dan terakhir standarisasi dosis untuk berapa banyak, berapa lama, berapa kali penggunaan dalam sehari.

Sehingga muncul pertanyaan apakah obat herbal (alami) boleh dicampur dengan obat kimia (farmasetik)? Jawabannya tidak boleh, jangan sampai “membingungkan” khasiat penggunaannya, apakah obat hewan itu yang berkhasiat obat herbalnya atau obat kimianya.

Karena regulasi belum ada dari PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indoensia) tentang penggunaan obat herbal untuk diresepkan oleh Drh? Jangan sampai Drh. yang membuat resep herbal dituduh melakukan malpraktik. Oleh karenanya diperlukan pendidikan dan pelatihan yang menyeluruh tentang penggunaan obat herbal bagi Drh.

Sehingga tak salah jika masih ada pihak-pihak yang meragukan khasiat penggunaan obat herbal. Sebagai contoh adalah proses pengumpulan ekstrak, yakni tanaman segar dijemur di bawah matahari, pengolahan, dan penyimpanan yang menyebabkan potensi dan keamanan berbeda. Atau, karena tidak ada standar khusus untuk peresepan obat herbal, serta sulit untuk memastikan dosis yang sesuai.

Selain itu belum banyak informasi khasiat dan keamanan yang melalui uji klinis, belum ada kompetensi pada dokter hewan, kurangnya perlindungan masyarakat terhadap efek plasebo iklan obat hewan berbahan alam, belum terhimpunnya data mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based, kurangnya koordinasi antarinstitusi dalam penelitian obat bahan alam Indonesia, serta belum ada organisasi profesi kedokteran hewan yang khusus mendalami herbal Indonesia.

Selama ini penggunaan obat herbal untuk hewan hanya berdasarkan pengalaman empiris. Seharusnya sudah dapat diketahui dengan pasti, misalnya setelah penelitian secara menyeluruh mengenai suatu jenis tanaman yang dapat dipakai sebagai antidiare. Contoh : Daun Jambu – karena mengandung tanin, Kunyit – karena mengandung curcumin, Cengkeh – karena mengandung eugenol. Kedepan diperlukan proses standarisasi dari obat herbal tersebut.   

Faktor sosialisasi, selain faktor ilmiah yang sudah disebutkan tadi, perlu juga disosialisasikan ke masyarakat mengenai “kehebatan” dari obat herbal tersebut. Namun juga patut ditelaah secara berimbang betulkah obat herbal lebih aman daripada obat kimia? Yang penting jangan memberi informasi yang berlebihan kepada konsumen.

Faktor pemerintah, sejauh mana dukungan pemerintah terhadap obat herbal. Sampai saat ini obat herbal yang sudah didaftarkan di Kementerian Pertanian – lebih banyak daripada produksi obat herbal di Indonesia. Pemerintah perlu menyiasati agar obat herbal di Indonesia tidak terkalahkan oleh obat hewan impor.

Yang tidak kalah penting adalah “berapa banyak” keuntungan yang didapat bila kita unggul obat herbal untuk obat hewan. Misalnya seberapa besar keuntungan bagi para pengusaha pabrik obat; seberapa besar keuntungan bagi para peternak; seberapa besar pendapatan devisa negara; seberapa besar keuntungan bagi para tenaga kerja. Jangan lupa faktor harga, obat alami harus lebih murah dari obat kimia.

Setelah semua faktor disebutkan, dan secara signifikan obat herbal itu lebih baik dan lebih aman daripada obat kimia (farmasetik), maka kegiatan ini harus di sosialisasikan kepada masyarakat. “Jangan sampai ada dusta diantara kita” dan “Jangan Galau, karena masa depan obat herbal Kemilau”.  ***

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer