
Perkembangan populasi kelinci di Bogor mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah tersebut karena adanya permintaan dari masyarakat. Terpilihnya pengembangbiakkan kelinci di wilayah Desa Gunung Mulya, didukung dengan alasan kuat.
“Sejak puluhan tahun lalu, warga Desa Gunung Mulya sudah memelihara kelinci. Beternak kelinci di sini sudah turun-temurun dalam anggota keluarga,” tutur Drh Prihatini Mulyawati MM, Kepala Bidang Produksi Ternak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor ketika dijumpai dalam acara Temu Koordinasi Kehumasan Dirjen Peternakan dan Keswan, Rabu (28/11).
Ia menambahkan, lokasi geografis Gunung Mulya dengan sumber bahan pakan hijauan melimpah juga menjadi faktor dibangunnya Kampoeng Kelinci. Terdapat 300 ekor kelinci dari bermacam jenis yang akan kita jumpai ketika berkunjung ke Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya. Seperti kelinci Rex, Lop, New Zealand, English, Netherland Dwarf (ND), dan lainnya.
Kelompok peternak kelinci Desa Gunung Mulya merupakan anggota aktif Koperasi Peternak Kelinci (Kopnakci). Kopnakci terbentuk pada 17 Mei 2011. Pembentukan Kopnakci diharapkan akan menjadi wadah dalam menjalankan usaha ternak kelinci, sebagai pusat informasi, akses pemasaran, serta berorientasi pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Apa saja produk yang dihasilkan dari integrasi usaha ternak kelinci dalam wadah Kopnakci ini? Selain bibit unggul dan ternak siap potong, tersedia olahan daging kelinci seperti nugget, bakso, sosis, dan burger. Telah dioperasikan juga pabrik pakan konsentrat dalam bentuk mess dan pellet, terdapat pula pupuk organik cair dan kompos. Jika Anda berkunjung ke Kampoeng Kelinci, dapat menjumpai aksesoris seperti tas maupun sandal.
menjumpai peternak yang mundur dari Kampoeng Kelinci, namun ketika ada yang pergi banyak juga yang datang kepadanya. Ia menyebutnya sebagai seleksi alam.Saat ini terdapat 4 kelompok peternak yang tergabung dalam Kopnakci. Antara lain Watak (Pembibitan), Budi Asih (Pabrik Pakan), Cimanggu (Pengolahan Limbah), dan Bina Lestari (Pembudidaya).
Lebih lanjut, Wahyu menyampaikan untuk mengubah paradigma masyarakat mengenai jual beli (anakan) menjadi budidaya ternak daging kelinci masih membutuhkan waktu. Memang selama ini peternak setempat masih menerapkan metode-metode tradisional yaitu menjual anakan kelinci.
Memelihara kelinci sebenarnya tidak sulit, diperlukan kecermatan. Contohnya dalam soal memberikan pakan untuk kelinci. “Sebaiknya jangan memberikan pakan hijauan jika dalam keadaan basah,” terang Wahyu.
Di masa mendatang, Wahyu berharap semoga ada peningkatan akses jalan dan transportasi yang lebih memadai agar para wisatawan dapat menjangkau Kampoeng Kelinci dengan nyaman.
Daging Kelinci, Mau Coba?
Jakarta kota ku indah dan megah…Di situlah aku di lahirkan…Rumahku di salah satu gang…Namanya gang kelinci…
Lagu populer di era 1960-an itu seolah sudah menjadi lagu wajib untuk dinyanyikan dalam setiap acara tembang kenangan. Membawa kita pada si binatang yang dikenal imut-imut, yakni kelinci.
Jakarta kota ku indah dan megah…Di situlah aku di lahirkan…Rumahku di salah satu gang…Namanya gang kelinci…
Lagu populer di era 1960-an itu seolah sudah menjadi lagu wajib untuk dinyanyikan dalam setiap acara tembang kenangan. Membawa kita pada si binatang yang dikenal imut-imut, yakni kelinci.
Memelihara kelinci memang menyenangkan. Selain imut, binatang ini terlihat jinak dan bersahabat. Sebagian besar masyarakat merasa tidak tega jika harus memotong sekaligus menyantap daging kelinci. Sesungguhnya, nilai gizi yang dimiliki si imut ini juga tidak kalah dengan daging ayam maupun sapi.
Menurut Ir Wignyo Sadwoko MM Kasubdit Ternak Potong Direktorat Budidaya Dirjen Peternakan dan Keswan kelinci berkembang biak dengan cepat. Kelinci beranak 6-8 kali per tahun, lalu 2-11 anak per kelahiran. Selain itu, kelinci mampu memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian atau limbah pangan.
Ir Wignyo menyebutkan permasalahan yang dihadapi dari aspek budidaya kelinci satu diantaranya adalah belum tersedianya pusat pembibitan. “Setelah pasca panen, masalah yang kami hadapi diantaranya produk tidak tersedia dalam jumlah dan mutu yang memadai, sementara di masa produksi berlimpah, dikhawatirkan pasar tidak menyerap,” ungkap Ir Wignyo. “Kurangnya promosi dan kondisi psikis terhadap daging kelinci juga menjadi hambatan,” imbuhnya. (nung)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus