Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini sapi potong | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Pelatihan Pembiakan dan Manajemen Sapi Komersial

Foto bersama pembukaan pelatihan pembiakan manajemen sapi komersial (Foto: Unpad) 

Universitas Padjadjaran (Unpad) melalui Fakultas Peternakan (Fapet) memfasilitasi pelatihan pembiakan dan manajemen sapi komersial di Indonesia, pada 16-28 September 2018. Pelatihan ini digelar Indonesia-Australia Partnership on Food Security in the Red Meat and Cattle Sector (The Partnership), pada  16 - 28 September 2018.

Seeperti dikutip dari situs www.unpad.ac.id, program pengembangan keterampilan ini bertujuan untuk mendorong transfer pengetahuan dan kapabilitas bagi pemerintah dan industri sapi potong komersial di Indonesia.

Kegiatan tersebut diikuti oleh sejumlah peserta dari perusahaan pembiakan sapi potong dan perusahaan kelapa sawit yang memiliki usaha pembiakan sapi potong terintegrasi. Secara keseluruhan, kegiatan ini digelar di Indonesia dan Australia, 16  September hingga 6 Oktober 2018.

Pelatihan berisi kegiatan kelas di Provinsi Banten dan Lampung, serta  kunjungan lapangan ke sejumlah perusahaan peternakan sapi.

Kunjungan dilakukan ke PT Lembu Jantan Perkasa di Kota Serang, Banten, juga perusahaan mitra dari Program kemitraan Indonesia dan Australia untuk Pembiakan Sapi secara Komersial (IACCB) yaitu PT. Buana Karya Bhakti dan PT Cahaya Abadi Petani di Kalimantan Selatan, serta PT Superindo Utama Jaya dan KPT Maju Sejahtera di Lampung.

“Program pelatihan ini didukung sepenuhnya pemerintah Australia melalui program the Partnership yang sudah dimulai sejak tahun 2013 dengan alokasi pendanaan mencapai $60 juta. Melalui program ini, Indonesia dan Australia berupaya untuk meningkatkan rantai pasokan daging merah dan sapi potong di Indonesia dan mempromosikan investasi dan perdagangan yang stabil diantara kedua negara,” ujar George Hughes sebagai perwakilan Kedutaan Besar Australia di Indonesia, saat acara pembukaan.

Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Joni Liano, menyampaikan bahwa program pelatihan ini menunjukkan komitmen pemerintah Australia dalam mendukung pengembangan industri sapi potong di Indonesia, khususnya dalam hal hal pembiakan.

Peserta pelatihan yang sudah berjalan dua angkatan ini adalah para “champion” dari perusahaan masing-masing dan diharapkan ilmu yang didapat dapat diterapkan untuk meningkatkan efiseiensi program pembiakan di perusahaan masing-masing.

Mewakili Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Dr Unang Yunasaf menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada pemerintah Australia - Kemitraan Indonesia Australia, serta atas kepercayaannya pada Fapet Unpad yang ditunjuk sebagai fasilitator pelatihan ini. Dr Unang menambahkan harapannya agar kerja sama lainnya juga bisa dikembangkan ke depannya. 


Selanjutnya, pelatihan di Australia Utara akan dilaksanakan pada 30 September - 6 Oktober 2018, difasilitasi oleh The Northern Territory Department of Primary Industry and Resources (DPIR), bertempat di Katherine Research Station. Kegiatan training di Australia meliputi kegiatan teori dan praktik kunjungan lapangan ke beberapa peternakan di Katherine, Australia Utara. ***


UNS Bantu Peternak Sapi dengan Ilmu Ini


Ilustrasi


Kelompok Peternak sapi potong di Desa Kenteng, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali gembira bobot ternak mereka meningkat. Sukses menerapkan manajemen pakan, sapi potong mereka mengalami peningkatan bobot. Manajemen pakan tersebut dikembangkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan Gizi dan Kesehatan Masyarakat LPPM Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Tim terdiri atas Ir Sudiyono MS, Sutrisno Hadi Purnomo SPt MSi PhD dan Shanti Emawati SPt MP (dosen Prodi Peternakan ) serta Prof Dr Ir Suwarto MSi (staf pengajar Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian). Langkah ini menjadi titik terang bagi petani ternak untuk memenuhi pasokan kebutuhan daging di pasar.

Karena Desa Kenteng salah satu yang dijadikan contoh untuk pengembangan sapi potong di Jawa Tengah. ”Sebelumnya peternak menghadapi permasalahan produktivitas ternak sapi potong cukup rendah dikarenakan manajemen pakan yang kurang memenuhi persyaratan,” kata Koordinator Tim, Sudiyono.

Terkait persoalan itu, lanjutnya, tim menawarkan solusi yakni manajemen pakan dan manajemen pemeliharaan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peternak. Peternak juga diberikan pelatihan penyusunan formulasi ransum pakan dan jerami padi fermentasi, serta dibantu pengadaan mesin pemotong rumput (chooper).

Melalui kegiatan itu kesejahteraan petani ternak diharap bisa terangkat. Melalui Program Pengembangan Desa Mitra (PPDM) yang didanai Kemenristekdikti tahun anggaran 2018 tim menggandeng mitra Kelompok Tani Ternak (KTT) Sumber Makmur, kemudian KTT Taruban Mulyo dan KTTNgudi Mulyo. Setelah mengembangkan manajemen pakan dalam tiga bulan terjadi kenaikan bobot sapi. ”Sapi milik anggota KTT di tempat percontohan atau demplot dalam tiga bulan terjadi peningkatan bobot badan,” jelas Sudiyono.

Kenaikan bobot itu menjawab persoalan yang dihadapi peternak bahwa produktivitas ternak sapi potong cukup rendah. Salah satu penyebabnya manajemen pakan yang kurang memenuhi persyaratan. (sumber:suaramerdeka.com)

Empat Perusahaan Raih Sertifikat Pembiakan Sapi Kemitraan Indonesia Australia



Penyerahan sertifikat kepada empat perusahaan pembiakan sapi berlangsung di Hotel Raffles, Jakarta. 

Penyerahan sertifikat keberhasilan kepada empat perusahaan pembiakan dan koperasi peternak sapi, menjadi salah satu agenda acara pada Simposium Program Pembiakan Sapi Potong Indonesia dan Australia, Rabu (12/9/218) di Jakarta.

Empat perusahaan tersebut diantaranya PT Buana Karya Bhakti, PT Kalteng Andinipalma Lestari, Sentra Peternakan Rakyat Megajaya, dan PT Bio Nusantara Teknologi.  

Keberhasilan ini menandai pencapaian penting bagi keempat perusahaan ersebut untuk menjadi perusahaan pembiakan sapi yang komersial dan berkelanjutan. Terutama dalam produktivitas ternak, pengendalian biaya dan pengelolaan iklim usaha yang kondusif, setelah lebih dari 18 bulan bekerja sama dengan Program Pembiakan Sapi Komersial Indonesia Australia (Indonesia Australia Commercial Breeding Program/IACCB).

Keempat perusahaan tersebut berbagi data dan pembelajaran sehingga semakin banyak pihak dapat belajar, berinvestasi dan berhasil di sektor ini. Tiga mitra IACCB lain sedang menjalani proses untuk mendapatkan sertifikat keberhasilan yang sama.

“Indonesia mengundang lebih banyak investor untuk berkontribusi dalam pencapaian target Indonesia, demi meningkatkan populasi sapi dan memperluas perdagangan dan investasi ke negara lain,” ungkap Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal BKPM, Wisnu Wijaya Soedibjo.

Kegiatan Simposium yang diadakan Indonesia Australia Partnership on Food Security in the Red Meat and Cattle Sector (Partnership) dan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), bekerjasama dengan BKPM ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang praktisi dan akademisi di bidang daging merah dan ternak sapi.

Diantaranya termasuk perwakilan industri dan petani seperti PT Lembu Jantan Perkasa, PT Sulung Ranch, dan tujuh perusahaan pembiakan yang telah bermitra dengan IACCB selama 18 bulan terakhir.

Simposium ini bertujuan untuk menyediakan platform bagi para praktisi dan akademisi untuk bertukar pikiran mengenai tantangan dan peluang pembiakan sapi pada skala komersial di Indonesia, untuk berkontribusi positif terhadap ketahanan pangan serta iklim investasi Indonesia.

ISPI sebagai mitra pelaksana simposium sangat mengapresiasi acara ini sebagai ajang untuk mendapatkan masukan dan pembelajaran dari industri peternakan sapi.

“Pembelajaran dan pengalaman dari industri akan memberikan masukan berharga dalam upaya pembiakan sapi dengan skala komersial dan peningkatan populasi sapi di Indonesia,” kata Ir Didiek Purwanto, Sekretaris Jenderal PB ISPI. (NDV)


Simposium Program Pembiakan Sapi Indonesia - Australia


Simposium Program Pembiakan Sapi Indonesia - Australia digelar Rabu (12/9/2018) di Jakarta.

Lebih dari 200 praktisi dan akademisi di sektor daging merah dan ternak sapi memenuhi Ballroom A, Hotel Raffles, Jakarta, Rabu (12/9/2018). Para undangan ini hadir dalam kegiatan Simposium Program Pembiakan Sapi Potong Indonesia dan Australia.

Acara ini diselenggarakan Indonesia Australia Partnership on Food Security in the Red Meat and Cattle Sector (Partnership) dan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM).

Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal BKPM yang juga merupakan Co-Chair Indonesia untuk Partnership, Wisnu Wijaya Soedibjo menyatakan Indonesia sedang berupaya untuk menuju bisnis yang lebih berkelanjutan secara komersial dalam sektor daging merah dan sapi.

“Indonesia memiliki potensi luar biasa di sektor ini, namun investasi domestik dan asing masih perlu ditingkatkan. Kami mengundang para pelaku bisnis, baik dari dalam maupun luar negeri untuk berpartisipasi dan menumbuhkan iklim investasi di Indonesia,” ajak Wisnu.

Berdasarkan data BKPM, investasi dalam negeri di sektor daging merah dan sapi di Indonesia hanya 
sekitar 0,32% dari total investasi domestik pada tahun 2017, sementara investasi asing dalam sub sektor peternakan pada tahun 2016 hanya 0,48% dari total investasi asing.

Allaster Cox,  Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia mengemukakan melalui Partnership, para pengambil keputusan dari Indonesia dan Australia akan meningkatkan produktivitas, keberlanjutan dan daya saing sektor ternak sapi di Indonesia. (NDV)
  

Sandekala Bisnis Feedlot

Oleh: Rochadi Tawaf
Dosen Fakultas Peternakan Unpad dan Penasehat PP Persepsi

Bisnis penggemukan sapi potong (feedlot) mulai diintoduksikan di negeri ini sekitar awal tahun 1980-an.  Bisnis ini, tumbuh dan berkembang, setelah usaha rancher yaitu usaha ternak sapi potong berbasis padang penggembalaan  gulung tikar di era tahun 1970-an. Bisnis rancher kala itu, telah berhasil melakukan ekspor ternak sapi bali ke Hongkong. Usaha rancher tersebut tersebar di Sumatera Selatan (PT Gembala Sriwijaya) dan di Padang Mangatas Sumatera Barat, di Sulawesi Selatan (PT Bina Mulia Ternak dan PT Berdikari United Livestock), Serta  di NTT (PT Timor Livestock Co). Kehancuran bisnis rancher waktu itu, diduga kuat karena ketidak-mampuan bersaing dengan peternakan rakyat dan masuknya sapi kuning dari daratan China ke Hongkong.

Bisnis Feedlot
Bisnis feedlot tumbuh dan berkembang dengan cepat, karena daya dukung sumber daya yang kondusif. Utamanya, bahwa negeri ini menghasilkan produk ikutan dari industri perkebunan dan pertanian yang melimpah ruah. Murahnya harga bahan baku pakan tersebut, telah mendorong korporasi di sentra produksi industri pertanian, memanfaatkan peluang ini mendirikan usaha penggemukan sapi potong. Pada awal pertumbuhnnya, bahan baku sapi bakalan berasal dari sentra peternakan sapi di Jawa Timur. Namun karena kesulitan keberlanjutan ketersediaan sapi bakalan di dalam negeri, para pengusaha feedlot mulai melakukan importasi ternak dari Australia di awal tahun 1990-an.

Setelah sepuluh tahun sejak diintroduksikannya yaitu disekitar awal tahun 1990-an bisnis ini berkembang pesat, yang ditandai lahirnya Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) di tahun 1994. Dalam euphoria pertumbuhannya, asosiasi ini beranggotakan sekitar 65 perusahaan feedlot. Situasi perbankan sangat mendukung bisnis ini, kala itu. Bayangkan saja, hanya dengan modal 10% dari volume impor, pengusaha feedlot bisa mendapatkan fasilitas kredit perbankan dalam bentuk Usance L/C dengan lama pengembalian enam bulan. Bisnis ini, telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian di perdesaan. Misalnya, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan limbah dan penyediaan pupuk kandang bagi usaha tani.

Krisis Ekonomi
Booming bisnis feedlot ternyata tidak berjalan lama, hanya sekitar tujuh tahunan. Pada  tahun 1997-1998, merupakan tahun bencana bagi bisnis ini untuk pertamakalinya. Pasalnya, pada saat krisis ekonomi di tahun 1997 telah terjadi penurunan nilai tukar Rupiah terhadap USD yang sangat signifikan. Kondisi ini, telah memorak-porandakan bisnis feedlot yang menggantungkan hidupnya dari sapi bakalan impor. Bayangkan saja, di awal tahun 1997 sebelum krisis ekonomi nilai tukar rupiah sebesar Rp 1.750-2.000 per USD, bergerak menjadi sekitar Rp 15.000-17.500 per USD di akhir tahun 1998. Semua bisnis yang mengandalkan impor kolaps, para pengusaha feedlot kala itu mengalami kesulitan membayar kepada perbankan paling tidak sekitar 3 juta USD/perusahaan. Jumlah ini diperhitungkan dari enam shipment @500 ribu USD/shipment, berdasarkan fasilitas Usance L/C yang belum dibayar.

Feedlot. (Foto: beefcentral.com)
Bisnis Feedlot Kondusif
Pasca krisis ekonomi di tahun awal 2000-an bisnis feedlot cepat terecovery, pasalnya iklim usaha yang kondusif dan sistem perbankan serta tingginya permintaan konsumen akan daging sapi yang meningkat. Namun, para pengusaha feedlot pun mulai terseleksi secara alamiah. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah anggota APFINDO yang hanya tinggal sekitar 30 perusahaan. Dengan berubahnya pola usaha yang semula berorientasi terhadap kualitas daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), saat itu berubah menjadi BASUH (Bayar Aman Sehat Utuh dan Halal). Hal ini diakibatkan berubahnya kebijakan perbankan yang tidak ada lagi memberikan fasilitas kredit (L/C) dengan tenggang waktu enam bulan.

Di periode tahun (2000-2010), pemerintah melahirkan program swasembada daging sapi. Dalam program ini, pemerintah memberikan peran penting terhadap bisnis feedlot dan importasi daging. Bisnis ini sempat booming kembali di tahun 2009, dengan omzet usaha sekitar Rp 2,7 triliun/tahun dan berdampak positif bagi pembangunan ekonomi secara nasional. Di era ini pembangunan bisnis feedlot masih mengacu kepada konsep Soehadji (1994/1996) yaitu program Gaung Lampung atau “tiga-ung dari lampung”. Program ini, mengatur rasio peran peternakan rakyat (sebagai tulang punggung), industri feedlot (sebagai pendukung) dan impor daging sapi (sebagai penyambung). Pada 2012, pemerintah melakukan pengetatan impor sapi bakalan. Hal ini dilakukan berdasarkan sensus BPS (2011), bahwa populasi ternak sapi saat itu berada pada kondisi swasembada. Maka, sejak itu dimulainya kondisi harga daging melambung tinggi. Namun, kala itu Menteri Pertanian Suswono, secara jantan mengakui bahwa kegagagalan swasembada daging sapi 2010 karena salah hitung.

Sandekala
Karut-marut masalah daging sapi terus berlanjut hingga saat ini. Di era pemerintahan Jokowi, kemelut ini bertambah ruwet dan tidak menentu arahnya. Pemerintah menggelontorkan dana triliunan rupiah tidak lagi berorientasi dan berpihak kepada usaha peternakan sapi potong di dalam negeri, tapi lebih berorientasi kepada importasi daging. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang tidak memberikan kesempatan hidup kepada peternakan rakyat maupun industri feedlot yang ada. Indikasi dan dampaknya terhadap pembangunan ekonomi tampak jelas, yaitu pemerintah telah menetapkan standarisasi harga daging yang berada di bawah biaya produksi dan membuka keran impor dari berbagai negara seluasnya tanpa perhitungan dan perlindungan terhadap kondisi peternakan di dalam negari. Kondisi ini lah yang disebut sebagai “sandekala” bisnis feedlot di dalam negeri. pasalnya, dari kebijakan tersebut peternak rakyat dan perusahaan feedlot merugi, sebagian besar (50%) telah menurunkan volume impor dan usahanya bahkan tidak lagi melakukan importasi. Namun importasi daging beku dari India meningkat tajam (100%). Peternakan rakyat tidak lagi mampu menyuplai rumah potong hewan, karena pangsa pasarnya di intervensi oleh daging beku impor asal India. Selain itu, program pemerintah dalam bentuk Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting, menjadi tiada artinya karena harga produknya tidak merangsang peternak untuk meningkatkan produksi.

Akan mampu bertahan berapa lama lagi kah usaha peternakan sapi potong di dalam negeri untuk bangkit kembali? Atau akan muncul model bisnis baru integrasi sapi potong dengan industri pertanian? Namun, semuanya sangat bergantung kepada keberpihakan pemerintah terhadap usaha ternak rakyatnya itu sendiri, semoga industri ini cepat pulih. ***

Indonesia dan ACIAR Luncurkan IndoBeef, Targetkan Kesejahteraan Smallholder




Lombok – INFOVET. Bertujuan utama meningkatkan populasi ternak sapi potong sejalan dengan program nasional swasembada daging pada 2026, demikian disampaikan Sekretaris Badan Litbang Pertanian Dr Ir Prama Yufdy MSc saat membuka peluncuran IndoBeef Project di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Selasa (30/1/2018).

IndoBeef merupakan proyek kerjasama di bidang penelitian pertanian dan peternakan antara Australia melalui Australian Centre For International Agricultural Research ( ACIAR) dengan Indonesia.

Menurut Dr Ir Prama Yufdy MSc, Indonesia mempunyai peluang besar dalam industri kelapa sawit dan areal luas untuk padi sawah. “Indonesia punya pengalaman dalam memelihara sapi di kedua agroekosistem ini, kenapa tak kita kembangkan. Sementara Australia memiliki expert memadai soal sapi,” ujarnya.

Lanjut dia, selama ini kelapa sawit dan padi sawah sumber yang masih terabaikan, padahal potensinya sangat besar untuk pakan.

Peter Horne, General Manager ACIAR menegaskan kerjasama ACIAR dengan Indonesia melalui IndoBeef ini menargetkan tercapainya kesejahteraaan bagi para peternak kerakyatan atau peternak dengan skala pemilikan kecil (smallholder).


Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Puslitbangnak) Dr Ir Atien Priyanti MSc menambahkan proyek ini melibatkan institusi seperti Balitbangtan, BPTP NTB, BPTP NTT, Balitnak, Loka Penelitian Sapi Potong, serta beberapa peneliti dari perguruan tinggi seperti Universitas Mataram dan Universitas Lambung Mangkurat.

“Puslitbangnak dalam hal ini sebagai Coordinator Communicate dari beberapa institusi tersebut,” imbuhnya. (nu) 


NUSAKAMBANGAN DIKEMBANGKAN JADI SENTRA TERNAK SAPI

Penandatangan kerjasama Dirjen Permasyarakatan Kemenkumham I Wayan K. Dusak
dengan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita, Jakarta (23/1).
JAKARTA 23 Januari 2017, Bertempat di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Dirjen Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkumham berencana menjadikan Pulau Nusakambangan sebagai sentra peternakan sapi. Lahan seluas 20 hektar telah disiapkan. Per tahun diharapkan 14 ribu ekor sapi dikembangbiakkan disana dengan para napi menjadi pengelolanya.
Untuk mencapai tujuan itu, Dirjen PAS menjalin kerjasama dengan Kementerian Pertanian.
"Kami ingin menjadikan Pulau Nusakambangan menjadi setra ternak sapi. Sedikitnya 14 ribu ekor sapi dalam setahun akan dikembangbiakan di lahan seluas 20 hektar. Di lahan tersebut juga akan dibangun pabrik pakan untuk memenuhi kebutuhan sapi di sana," terang Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham I Wayan K. Dusak di Kantor Ditjen Pemasyarakatan, Jakarta.
Dikatakan Wayan, dalam kerjasama ini pihaknya mencoba memanfaatkan lahan di Nusakambangan. Karena proyek ini terbilang besar yang membutuhkan permodalan besar, pihaknya akan menggandeng pihak swasta.
"Proyek ini akan menggunakan skema kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Maka butuh pihak swasta. Saat ini penjaringan investor telah masuk pada public market dan direncanakan bisa dilakukan lelang pada tahun ini," paparnya.
Dikatakan Dusak lebih jauh, sebelumnya di Nusakambangan telah dilakukan pengembangbiakan sapi melalui program CSR BNI dan juga APBN. BNI akhir tahun lalu memberi 8 ekor sapi untuk dikelola sekitar 20 narapidana Lapas Nusakambangan.  Saat ini, pihaknya sedang mengembangkan proyek 150 ekor sapi yang dananya berasal dari APBNP.
"Proyek tersebut dikerjakan oleh 100 orang warga binaan di Lapas Nusakambangan. Dengan begitu,  program pemerintah dalam pemenuhan daging sapi dan menekan harga daging dapat terwujud. Ketahanan pangan bisa diterapkan di LP hutan seluruh Indonesia," ujar dia.
Ditambahkan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementan Drh. I Ketut Diarmita, MP kerjasama saling menguntungkan ini dilakukan untuk mengoptimalkan peran sumber daya domestik dalam rangka meningkatkan populasi dan produksi ternak, terutama untuk pemenuhan kebutuhan protein asal ternak di dalam negeri.
Selain itu juga untuk meningkatkan kapabilitas SDM Petugas Pemasyarakatan dan Warga Binaan Pemasyarakatan, melalui optimalisasi masing-masing sumberdaya di dua lembaga tersebut. Kita harus bertumpu pada keanekaragaman protein hewani, bukan hanya sapi tetapi kelinci, domba, kambing, unggas, telur dan susu.
I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa Ditjen PKH melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawahnya yaitu Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden telah berkoordinasi dan bersinergi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM melalui Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan untuk melakukan pendampingan teknis produksi ternak dan pakan ternak.
Lokasi Pulau Nusa Kambangan yang terpisah dan memiliki keragaman sumber pakan ternak memiliki peluang dan potensi sebagai zona pembibitan dan produksi ternak yang bebas penyakit. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan pendampingan teknis produksi ternak dan pakan ternak pada Lembaga Pemasyarakatan yang diwadahi dengan Nota Kesepahaman antara Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang akan ditandatangani pada hari ini.
"Dengan adanya dokumen Nota Kesepahaman tersebut diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk mewujudkan Pulau Nusa Kambangan sebagai kawasan penghasil bibit dan sapi siap potong guna memenuhi kebutuhan pangan asal ternak," ungkap I Ketut Diarmita.
Adapun ruang lingkup Nota Kesepahaman tersebut mencakup: 1). Pendampingan produksi ternak dan pakan ternak; 2). Peningkatan SDM Petugas Pemasyarakatan dan Warga Binaan Pemasyarakatan; dan 3). Sosialisasi pelaksanaan kegiatan kerjasama.
"Besar harapan saya dengan adanya kegiatan kerjasama ini akan dapat saling menguntungkan semua pihak" ungkap Dirjen PKH. Lebih lanjut I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa kegiatan kerjasama ini, terutama akan dapat meningkatkan kemampuan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di bidang teknis peternakan dan kesehatan hewan, sehingga memperoleh manfaat sebagai berikut: 1). Diterima kembali secara utuh dan menjadi pribadi yang produktif setelah mereka keluar dari rumah tahanan; 2). Mampu berperan aktif dalam pembangunan dirinya sehingga dengan kemampuan teknis di bidang peternakan dan kesehatan hewan; dan 3). Memperoleh sumber pendapatan untuk kehidupan yang layak sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.
"Saya meminta kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan dan Kepala BBPTU-HPT Baturraden sebagai pelaksana pilot project kegiatan ini agar dapat mengimplementasikan kegiatan ini dengan sebaik-baiknya sekaligus sebagai contoh yang menginspirasi Unit Pelaksana Teknis lainnya termasuk Lembaga Pemasyarakatan lain di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia," tambahnya. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer