Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini broiler | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Kunci Utama Ayam Sehat dan Produktif

Kontrol terhadap amonia. (Dok. Pribadi)

Di zaman now, kemunculan kasus penyakit dalam suatu lingkungan peternakan ayam tidaklah terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi secara bertahap, sesuai dengan interaksi antara agen penyakit yang ada dengan ayam yang dipelihara. Kunci mendapatkan ayam produktif adalah bagaimana membuat ayam tetap sehat walaupun dengan kondisi tantangan agen penyakit yang semakin tinggi.

Ibarat sebuah rumah yang memiliki pagar dan pintu rumah, dibudidaya ayam, pagar tersebut diibaratkan adalah sistem biosekuriti dan vaksinasi, sedangkan pintunya adalah sistem pernapasan bagian atas. Faktanya saat ini ayam broiler modern sangat rentan sekali terjadi ayam nyekrek di umur 15 hari ke atas dan kondisi tersebut dapat menjadi predisposisi agen penyakit masuk ke dalam sistem tubuh.

Melihat anatomis sistem pernafasan ayam, mengapa makhluk ini sangat rentan terhadap munculnya penyakit pernafasan dan sulit untuk disembuhkan?

• Sistem pernafasan ini merupakan saluran tertutup yang ujungnya di kantung hawa dan yang menyebar di seluruh rongga tubuh, sehingga memudahkan penyebaran bibit penyakitnya keseluruh organ tubuh penting lainnya.

• Kantung hawa sangat minim pembuluh darah, sehingga antibiotik akan sulit untuk mencapainya jika terjadi infeksi sekunder dan pengobatan sangat mustahil untuk menghilangkan 100% mikrobanya.

• Pada broiler modern, proporsi sistem pernafasan ini dari periode ke periode semakin mengecil dibandingkan berat tubuhnya akibat perkembangan genetik yang sangat progresif. Dengan kata lain sistem kekebalan di sistem pernafasan bagian atas makin kecil proposinya.

Untuk mengendalikan kasus pernafasan ini, langkah yang paling penting adalah menjaga integritas sistem pernafasannya dari gangguan berbagai faktor utama pemicunya. Hal ini dapat tercapai jika mampu menjaga sistem mukosiliaris dari saluran pernafasan tersebut. Sistem ini merupakan gabungan dari silia sel epitel pernafasan dan mukus, yang dihasilkan oleh sel mukus yang terdapat di sel epitel trakhea. Sistem mukosialiaris ini menjadi...

oleh: Drh Sumarno
Sr Mgr Animal Health
PT Sierad Produce, Tbk

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi November 2018.

Bahan Baku Pakan Berkualitas, Produktivitas Ternak Optimal (Bag. I)

Bahan baku pakan ternak. (Foto: Infovet/Wawan)

Tidak dapat dipungkiri bahwa produksi ternak optimal harus sejalan dengan ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas. Bicara soal kecukupan pakan, sudah dimaklumi bersama bahwa ada perbedaan pemberiannya berdasarkan umur pemeliharaan ternak per ekor per hari. Hal ini berarti bahwa pemberian pakan harus didasarkan pada kondisi fisiologi ternak yang disesuaikan dengan umurnya masing-masing.

Pakan tidak hanya dimaknai dengan cukup jumlahnya saja, namun kualitas pakan juga harus diperhatikan. Pentingnya pemberian pakan yang cukup jumlah dan bagus kualitasnya, menurut Apriadi Pasaribu, Supervisor Farm PT Peternakan Ayam Manggis Farm 4 Cianjur, Jawa Barat, ayam yang diberi pakan berkualitas dapat berproduksi optimal dengan bobot telur sesuai standar yang diharapkan. Hal serupa juga dikatakan Reski Susanto, Supervisor Hatchery di perusahaan yang sama. “Jika bobot rata-rata telur sesuai standar, dipastikan persentase telur menetas juga optimal.”

Pakan sendiri diartikan sebagai suatu bahan atau campuran dari berbagai macam bahan yang diformulasikan berdasarkan ISO protein dan ISO energi, sumber nutrien, seperti air, energi, protein, lemak, serat kasar, vitamin dan mineral.

Menurut Dr Roni Ridwan, Peneliti Madya Nutrisi Ternak dan Mikrobiologi Terapan di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong, kualitas pakan yang diberikan pada ternak harus mengikuti aturan, seperti bahan baku pakan tersedia sepanjang waktu, memiliki kandungan nutrien mencukupi, murah harganya dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Selain itu, kata dia, bahan baku pakan juga harus bebas dari toksin, sehingga tidak membahayakan, baik bagi ternak maupun konsumen yang mengonsumsi produk ternak tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa ada persyaratan lain yang diperlukan, yakni kadar air dan kecernaan masing-masing bahan baku pakan.

“Kadar airnya perlu diketahui dan diperhatikan, karena terkait dengan penggudangan, soal kecernaan juga sangat penting. Artinya, jika punya bahan pakan melimpah, tapi kecernaan dari bahan pakan itu rendah, percuma karena tidak dapat dimanfaatkan ternak sesuai fungsinya, ternak mengonsumsi pakan namun tidak tumbuh dengan baik, peternak rugi,” ujar Dr Roni kepada Infovet.

Kebaikan bahan baku pakan sampai saat ini masih menjadi perdebatan, terutama terkait dengan bahan baku yang ketersediaannya minim di pasaran, seperti bahan baku pakan sumber protein, energi dan mineral yang masih harus diimpor. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudirman, Dewan Pembina Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), bahwa sekitar 35% bahan baku pakan ternak masih impor. “Benar bahwa Indonesia masih importasi bahan baku pakan ternak sumber protein, yakni bungkil kedelai dan nilai impor tertinggi itu ada di bahan baku pakan tepung daging dan tulang (Meat Bone Meal/MBM),” kata Sudirman, seperti dikutip detik.com.

Mengacu pada pernyataan Sudirman, nilai impor yang 35% dipandang cukup besar jika dikalkulasikan dalam bentuk rupiah. Namun, kebijakan impor tetaplah dilakukan, hal ini mengingat bahwa kebutuhan kedua bahan baku pakan tersebut cukup tinggi, apalagi adanya efek domino penggunaannya, terutama kedelai yang juga harus memenuhi kebutuhan manusia.

“Ketersediaan kedelai dan/atau bungkil kedelai itu sendiri untuk bahan baku pakan jelas tidak memungkinkan, mengingat adanya kompetisi dengan manusia yang mengonsumsi dalam bentuk pangan olahan, seperti tahu, tempe dan kecap,” kata Sudirman.

Terkait itu, ada baiknya mengingat kembali jenis dan fungsi bahan baku pakan ternak itu sendiri. Hal ini sedikit memberikan edukasi kepada peternak, terutama self mixing.

Jenis dan Fungsi Bahan Baku Pakan 
Pengelompokan bahan baku pakan ternak setidaknya didasarkan atas empat kelompok. Hal ini karena untuk menspesifikasi bahan pakan ternak dimaksud agar dalam penggunaan tidak menimbulkan over penggunaan atau hal lain yang tidak diinginkan. Dalam buku Principles of Animal Nutrition karya Guoyao Wu (2018), menyebutkan jika didasarkan atas asalnya, maka bahan baku pakan itu sendiri ada yang nabati dan hewani.

Bahan baku pakan asal nabati merupakan bahan baku pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan pakan ini biasanya memiliki serat kasar tinggi. “Benar, jika tumbuh-tumbuhan dijadikan bahan pakan ternak, khususnya untuk ruminansia, maka itu sudah tepat. Bahan pakan asal tumbuhan, seperti rumput dan lainnya, mengadung serat kasar tinggi, di atas 18-20%, ini cocok untuk ruminansia, mereka punya mikroba rumen yang cukup untuk mengolah serat kasar untuk pertumbuhan dan fungsi tubuh lainnya,” kata Dosen Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB, Dr Ir Muhammad Ridla kepada awak Infovet.

Bahan baku pakan seperti itu tidak hanya didominasi oleh jenis rumput-rumputan saja, namun juga dedaunan, dedak halus, bahkan pelepah daun sawit dapat dikelompokkan ke dalam bahan baku asal nabati.

Di samping itu, bahan baku pakan nabati sebagian juga ada yang mengandung protein tinggi, seperti bungkil kelapa, bungkil kedelai dan bahan asal kacang-kacangan atau leguminosa, sedangkan untuk jagung, disebut sebagai bahan pakan asal nabati tinggi energi.

Selanjutnya bahan baku pakan asal hewani, yakni bahan pakan yang umumnya berasal dari limbah industri, sehingga penggolongannya dapat disebut sebagai bahan baku pakan yang memanfaatkan limbah atau produk samping industri pengolahan pangan asal hewan. Menurut Dr Ridla, bahan baku pakan ini mengandung protein cukup tinggi, sehingga disebut juga sebagai bahan pakan tunggal atau untuk penyusun konsentrat.

“Bahan pakan dari produk samping industri pengolahan ikan, sapi, kambing, domba dan ayam, serta jenis ternak lainnya, biasanya dikelompokkan ke dalam bahan pakan tinggi protein, dengan kandungan protein di atas 20%,” ucap dia.

Namun demikian, dalam memformulasikannya ke dalam pakan ternak, bahan pakan ini memiliki keterbatasan, karena adanya batas maksimum protein di dalam pakan, misalnya untuk ruminansia sekitar 16,20% dan unggas kisaran 18-23%, baik broiler maupun layer. “Batasan ini diperlukan mengingat nilai ekonomi dari pakan itu sendiri, artinya ketika pakan tinggi protein, maka kaitannya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan itu sendiri juga tinggi,” kata Dr Ridla.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika dikelompokkan berdasarkan bentuk, dibedakan atas empat golongan. Pertama, bentuk butiran, disukai oleh unggas dengan nilai ekonomis sampai 25%. Bahan baku pakan ini adalah jagung, gandum, sorgum, kedelai dan lainnya. Kedua, bentuk tepung, biasanya digunakan untuk unggas fase awal pemeliharaan. Bentuk bahan baku pakan ini memiliki nilai ekonomis 25-35%. Ketiga, bentuk pilih, tidak jauh berbeda dengan bentuk butiran, hanya saja nilai ekonomis mencapai 10-25%. Keempat, bentuk cairan, berupa minyak ikan, minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil/VCO) dan minyak kedelai, dengan nilai ekonomis 0,5% yang berfungsi untuk pembentukkan asam lemak bebas.

Sementara itu, jika dilihat dari sumbernya, bahan baku pakan dimasukkan ke dalam tiga kelompok. Pertama, bahan baku pakan sumber energi, yakni semua bahan baku pakan ternak yang kandungan protein kasarnya tidak lebih dari 20% dan kandungan serat kasar di bawah 18%. Bahan pakan ini pun dibedakan lagi atas empat golongan, yakni kelompok serealia atau biji-bijian, kelompok produk samping dari penggilingan biji-bijian, kelompok umbi-umbian dan kelompok hijauan.

“Bahan baku pakan sumber energi secara umum dapat digunakan untuk semua ternak, namun perlu dibatasi penggunaannya terutama untuk unggas, ini terkait dengan efeknya, misalnya pada pakan ayam broiler, biasanya pakan sumber energi yang berlebihan dapat dimobilisasi untuk pembentukkan lemak abdomen,” kata Randi Mulianda, Mahasiswa Program Doktoral di Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fapet IPB.

Kedua, bahan baku pakan sumber protein, biasanya dari bahan pakan yang kandungan proteinnya di atas 20%, dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Menurut Randi, bahan baku pakan sumber protein dapat berasal dari kelompok hijauan, produk samping industri pertanian dan perkebunan, serta kelompok bahan yang diproduksi dari hewan (peternakan dan perikanan) berupa MBM, tepung darah, tepung ikan dan lainnya, baik yang didapat dari RPH, RPU maupun produk samping industri pangan berbahan dasar produk perikanan dan peternakan.

Ketiga, bahan baku pakan sumber vitamin dan mineral, keberadaan dua jenis nutrien ini sangat umum, dapat dijumpai dihampir seluruh bahan baku pakan, baik dari tumbuhan maupun hewan. Perlu diingat, bahwa bahan baku pakan yang diperuntukkan sebagai sumber vitamin dan mineral perlu diperhatikan dalam pemanenan, umur panen, pengolahan dan penyimpanan, serta jenis dan bagian-bagiannya yang akan diberikan kepada ternak, seperti yang ditulis McDonald et al. (2011), dalam bukunya Animal Nutrition, perlakuan apapun yang diberikan kepada bahan baku pakan dapat berpengaruh terhadap nilai nutrien yang dikandungnya, terutama vitamin dan mineral.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika kelompokkan menurut kelaziman penggunaannya dibedakan atas bahan baku pakan konvensional dan non-konvensional. Menurut Guoyao Wu (2018), bahan baku pakan konvensional adalah bahan pakan umum dan sering digunakan untuk ternak. Bahan baku pakan ini memiliki kandungan nutrien lengkap, terutama protein dan energi sebagai dasar formulasi pakan.

Sedangkan bahan baku pakan non-konvensional disebut belum umum dipakai untuk bahan pakan tunggal atau dijadikan bahan pakan dalam formulasi pakan. Biasanya bahan pakan non-konvensional lebih banyak digunakan untuk unggas, karena nilai nutriennya mumpuni untuk kebutuhan unggas selama periode pemeliharaan.

“Pakan non-konvensional lebih disarankan penggunaannya karena tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, namun perlu kajian-kajian spesifik, misalnya kandungan nutrien atau non-nutriennya yang dapat dieksplorasi untuk bahan pakan kaya nutrien dimasa depan,” kata Ketua Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia, Prof Nahrowi.

Terkait dengan fungsi dari bahan-bahan baku pakan, banyak informasi yang dipublikasikan, yakni secara umum, fungsi bahan pakan dan pakan untuk semua makluk hidup adalah untuk pemeliharaan tubuh, pertumbuhan, produksi dan perkembangbiakkan atau reproduksi. Namun perlu diingat, pemberian pakan yang tidak sesuai dengan tujuan pemeliharaan, umur dan kondisi fisiologi ternak, dampaknya dapat berupa ternak rentan terhadap penyakit, sehingga dengan sendirinya dapat menurunkan produktivitas ternak, bobot badan panen menurun dan akhirnya keuntungan yang didapat juga ikut menurun. Bersambung... (Sadarman)

Pakan Bebas Toksin Performa Terjamin

Jagung sebagai bahan baku pakan ternak. (Foto: Infovet/Ridwan)

Apa yang terbersit oleh semua orang ketika mendengar kata toksin? Sudah pasti mereka membayangkan suatu zat yang berbahaya. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia pakan ternak, berbagai jenis toksin siap mengontaminasi pakan ternak.

Dalam dunia medis, toksin diartikan sebagai zat beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dunia veteriner sepakat menggunakan terminologi biotoksin, karena toksin diproduksi secara biologis oleh mahluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan).

Dalam dunia pakan ternak sering kali didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh cendawan/kapang/jamur). Hingga kini kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih menjadi momok yang sangat menakutkan, tidak hanya di Negeri ini tetapi juga di seluruh dunia.

Mikotoksin, Klasik dan Berbahaya
Setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang menjadi “tokoh utama”, mereka sering kali mengontaminasi pakan dan menyebabkan masalah pada ternak. Singkatknya seperti dijabarkan pada Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Ragam Jenis Mikotoksin
No.
Jenis Toksin
Organisme Penghasil Toksin
Efek Terhadap Ternak & Manusia
1
Aflatoksin
Aspergillusflavus, Aspergillusparasiticus
Penurunan produksi, imunosupresi, bersifat karsinogen, hepatotoksik
2
Ochratoksin
Aspergillusochraceus
Penurunan produksi, kerusakan saraf dan hati
3
Fumonisin
Fusarium spp.
Penurunan produksi, kerusakan ginjal dan hati, gangguan pernafasan
4
Zearalenon
Fusariumgraminearum, Fusariumtricinctum, Fusariummoniliforme
Mengikat reseptor estrogen (feminisasi), menurunkan fertilitas
5
Ergot Alkaloid
Clavisepspurpurea
Penurunan produksi pertumbuhan, penurunan produksi susu, penurunan fertilitas
6
Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin
Fusarium spp.
Penurunan produksi, kerusakan kulit
7
T-2 Toksin
Fusarium spp.
Penurunan produksi, gastroenteritis hebat
Sumber: Mulyana, 2013.

Menurut Drh Sudirman, mantan Ketua Umum GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas. “Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pengolahan jagung yang salah,” ujar Sudirman.

Maksudnya adalah, di Indonesia kebanyakan petani jagung hanya mengandalkan iklim dalam mengeringkan hasil panennya, dengan bantuan sinar matahari/manual, biasanya petani menjemur jagung hasil panennya. Mungkin ketika musim panas hasil pengeringan akan baik, namun pada musim basah (penghujan), sinar matahari tentu tidak bisa diandalkan. “Jika pengeringan tidak sempurna, kadar air dalam jagung akan tinggi, sehingga disukai oleh kapang. Lalu kapang akan berkembang di situ dan menghasilkan toksin,” tuturnya.

Masih masalah iklim menurut Sudirman, Indonesia yang beriklim tropis merupakan wadah alamiah bagi mikroba termasuk kapang dalam berkembang biak. “Penyimpanan juga harus diperhatikan, salah dalam menyimpan jagung artinya membiarkan kapang berkembang dan meracuni bahan baku kita,” kata Sudirman.

Menurut data dari FAO pada 2017, sekitar 25% tanaman biji-bijan di seluruh dunia tercemar oleh mikotoksin setiap tahunnya. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tercemarnya bahan baku pakan dan pangan oleh mikotoksin berupa penurunan produksi daging dan telur unggas, penurunan produksi bahan pakan dan pangan, penurunan performa ternak, serta meningkatknya biaya kesehatan akibat mikotoksikosis pada hewan dan manusia.

“Di Amerika dan Kanada saja kerugian akibat tercemarnya mikotoksin mencapai USD 225 milyar, bayangkan betapa merugikannya mikotoksin ini, oleh karenanya kita harus selalu waspada,” imbuhnya. Tak lupa Sudirman mengingatkan kembali bahwa sifat alamiah dari mikotoksin adalah tahan terhadap suhu tinggi, sehingga “awet” pada kondisi pelleting saat proses pembuatan pakan dan sangat sulit untuk dieradikasi.

Sudirman juga menilai bahwa pemerintah... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 291 Oktober 2018.

Manajemen Pengendalian Mikotoksin Terbaik pada Broiler Modern

Pembuatan pakan ternak dengan mesin. (Foto: Infovet/Wawan)

Fenomena ancaman terhadap bahaya mikotoksin masih menghantui peternak jaman now yang justru masih terjadi di era harga jagung semakin melambung tinggi. Payahnya harga jagung yang tinggi tidak otomatis diikuti oleh kualitas yang prima. Untuk mengendalikan mikotoksin yang menghinggapi bahan baku seperti jagung maupun pakan jadi, perlu adanya manajemen pengendalian terhadap mikotoksin yang baik, khususnya dalam budidaya ayam broiler modern.

Kasus mikotosikosis tentu sangat berhubungan erat dengan imunitas atau kekebalan ayam. Hal tersebut menjadi faktor yang paling fundamental terkait pengendalian terhadap tantangan penyakit unggas akibat serangan mikotoksin dan patogen lainnya.

Mikotoksin merupakan kontaminan alami yang memiliki dampak negatif tehadap keamanan pangan dan pakan secara global. Mikotoksin adalah komponen yang diproduksi oleh jamur yang telah terbukti bersifat toksik (beracun) dan karsinogenik terhadap manusia dan hewan. Kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembaban yang tinggi, investasi serangga, proses produksi, panen dan penyimpanan bahan baku dan/atau pakan yang kurang baik akan menyebabkan tingginya konsentrasi mikotoksin, sehingga dapat menyebabkan timbulnya wabah penyakit.

Melihat fenomena tersebut, mikotoksin perlu menjadi perhatian utama peternak unggas karena faktor sebagai berikut:
• Hampir selalu ditemukan dalam pakan.
• Tidak memiliki symptoms yang spesifik.
• Berinteraksi dengan lingkungan usus halus – bakteri dan toksin bakteri.
• Pada unggas dengan periode produksi panjang akan lebih terdampak paparan dengan manifestasi penurunan kekebalan tubuh, kerusakan usus halus, gangguan kemampuan reproduksi.

Hati yang terpapar mikotoksin. (Dok. Pribadi)

Upaya untuk penanggulangan dan pengendalian mikotoksin telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik petani jagung maupun peternak. Namun terdapat berbagai hambatan dalam proses penanggulangannya, yaitu kondisi iklim tropis Indonesia saat ini yang berfluktuatif, penanganan pasca panen yang belum optimal, penyimpanan bahan baku yang juga belum optimal, adanya impor bahan baku pakan sehingga fungi dan mikotoksin dapat ditransfer dari negara lain, adanya pencemaran toksin yang bersifat ganda, struktur kimia mikotoksin yang sangat stabil dan kurang memadainya fasilitas pengeringan seperti corn dryer, penyimpanan dan mesin giling (storage dan milling). Sedangkan terkait hal yang paling... (Drh Sumarno)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 291 Oktober 2018.

Peternak Diminta Bentuk Koperasi Agar Berdaya Saing

Ternak petelur merupakan salah satu penghasil protein hewani yang harus terus diperjuangkan. (Foto: Infovet/Bams)

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, mengimbau peternak membentuk kelompok ekonomi agar lebih berdaya saing dan memiliki posisi tawar dalam mengembangkan usahanya.

Menurut Ketut, hal tersebut dinilai penting untuk mengatasi penurunan harga telur ayam ras di tingkat peternak karena oversupply dan keluhan biaya produksi yang membengkak akibat harga DOC dan pakan tinggi.

Untuk meminimalisir itu, Ketut bersama jajarannya turun langsung ke sentra produsen ayam petelur terbesar di Jawa Timur, yakni Kabupaten Blitar untuk berdialog dengan peternak pada Senin (1/10). Dalam dialog yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Blitar, sekitar 140 peternak mengeluhkan penurunan harga telur ditingkat peternak.

“Kami sarankan agar peternak bersatu dalam wadah koperasi. Hal ini untuk memudahkan kami dalam memfasilitasi peternak untuk mendapatkan DOC secara langsung dari perusahaan pembibit, sehingga harganya normal,” kata Ketut Diarmita dalam keterangan persnya, Sabtu (6/10).

Ketut membantah bahwa harga DOC mahal karena kelangkaan. Menurutnya, berdasarkan data yang ada, produksi DOC FS layer Januari-Agustus 2018 rata-rata per bulan sebanyak 14.831.383 ekor dan DOC FS broiler sebanyak 243.250.971 ekor atau per minggu sebanyak 57.916.898 ekor. Pasokan justru sangat berlebih dan karenanya dilakukan eskpor.

Ia mengemukakan, ada kemungkinan peternak mengorder DOC secara individu dan dengan jumlah sedikit, sehingga sulit untuk dilayani dan akhirnya mendapat DOC dengan harga tinggi dari pihak ketiga. Apalagi setelah dilakukan pengecekan harga DOC ditingkat pembibit masih normal.

Kendati demikian, peternakan ayam petelur sudah menjadi urat nadi bagi perekonomian Kabupaten Blitar, karena itu nasib peternak layer harus diperjuangkan. “Kita akan ambil sikap bersama agar peternak tidak rugi. Apa yang menjadi keluhan peternak soal kesulitan mendapatkan DOC kita carikan jalan keluar, agar biaya produksi turun dan peternak bisa bersaing,” tegas Ketut.

Soal adanya kelebihan pasokan, ia mengungkapkan, semestinya ditanggapi dengan positif. Sebab, lebih baik kelebihan daripada kekurangan. Solusinya adalah terus mendorong pelaku usaha meningkatkan ekspor, selain mendorong kerjasama pemasaran antara produsen telur seperti Blitar dengan daerah lain.

Sementara, terkait pemenuhan kebutuhan jagung untuk pakan ternak, Ketut meminta Pemerintah Kabupaten Blitar memanfaatkan lahan milik pemerintah yang belum produktif untuk penanaman jagung. “Penanaman ini bisa juga dilakukan oleh BUMD, sehingga dapat menambah Pendapatan Asli Daerah yang akhirnya juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Blitar,” pungkasnya. (RBS)

Trik Membebaskan Bahan Baku dan Pakan dari Ancaman Toksin

Jagung yang merupakan salah satu pakan ternak unggas. (Foto: Infovet/Ridwan)

Indonesia yang terletak di iklim tropis memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau. Musim hujan yang biasanya mulai datang pada bulan Oktober, dalam beberapa tahun terakhir seringkali meleset. Begitu pula pada musim kemarau, tidak jarang hujan tiba sewaktu-waktu. Namun secara umum, pada Oktober-Maret sering digolongkan ke dalam musim penghujan dan sebaliknya pada bulan April-September dianggap musim kemarau.

Pada saat pergantian musim banyak dijumpai berbagai kasus penyakit yang menyerang peternakan ayam pedaging (broiler) dan ayam petelur (layer), salah satunya penyakit yang disebabkan cendawan/jamur dan toksin/racun cendawan antara lain Aspergillosis, Candidiasis, Favus, Aflatoxicosis, Ochratoxicosis dan Fusarium T-2 Mycotoxicosis. Hal ini terjadi disebabkan adanya perubahan temperatur dan kelembaban, dimana saat itu memicu berkembang-biaknya cendawan, kapang dan berbagai kuman di lapangan atau kandang.

Memasuki musim penghujan, intensitas cahaya matahari menurun dan curah hujan meninggi, yang akan menyebabkan kelembaban meningkat dan temperatur rendah, disamping angin bertiup kencang dengan arah yang berubah-rubah, fluktasi suhu dan kelembaban yang tajam, serta perbedaan suhu yang menyolok antara siang dan malam dengan perbedaan lebih dari 4°C. Kondisi ini memicu peningkatan jumlah cendawan, kapang dan berbagai bakteri dan virus yang berbuntut pada rentannya ayam terhadap penyakit, lambatnya pertumbuhan, rendahnya keseragaman (uniformity) dan kegagalan vaksinasi.

Pembebasan Bahan Baku dan Pakan Ayam
Kondisi Indonesia yang beriklim tropis terbukti mendukung pertumbuhan cendawan/jamur/kapang, terlebih lagi jika kadar air bahan pakan melebihi standar (≥ 14%). Oleh karena itu, harus diusahakan penyimpanan bahan baku pakan harus di tempat/gudang yang kering/bebas dari kebocoran atap dan lembabnya dinding dan lantai, disamping pemberian anti jamur/mold inhibitor pada bahan pakan tersebut yaitu Asam propionat.

Saat jamur telah mengontaminasi maka dipastikan bahan pakan akan tercemar toksin/racun yang dihasilkan cendawan. Cendawan/jamur yang mengontaminasi tersebut dapat dengan mudah diatasi, namun tidak demikian dengan toksinnya, yang akan sangat sulit dihilangkan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Oleh karena itu, suplementasi (imbuhan) mold inhibitor pada bahan pakan dan toxin binder pada pakan merupakan strategi yang banyak dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontaminasi mikotoksin. Prinsip kerja toxin binder adalah mengikat toksin yang masuk ke dalam pencernaan, sehingga tidak terserap ke dalam aliran darah, lalu mengeluarkannya bersama kotoran. Beberapa jenis toxin absorben dapat dilihat pada Tabel 1 berikut... (SA)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Oktober 2018.

Pentingnya Sanitasi di Hatchery

Hatchery harus menerapkan program biosekuriti dan pemberian desinfektan yang tepat untuk menghasilkan DOC yang berkualitas. (Foto: Istimewa)

Kemajuan perunggasan Nasional tidak terlepas dari peran operasional di penetasan/hatchery yang tersebar di seluruh Tanah Air, karena dari sinilah awal dihasilkannya bibit (DOC) berkualitas dan bebas dari penyakit, sehingga dapat diharapkan menjadi produk unggas yang Halal, Aman, Utuh dan Sehat (HAUS). Terbukanya peluang ekspor produk unggas (daging dan telur) harus dimulai dari pembenahan sistem  higienitas  dan operasional hatchery yang sesuai dengan standar internasional.

Munculnya penetasan-penetasan kecil yang menggunakan mesin penetas manual/sederhana tidak dapat dipungkiri, namun perlu di-upgrade dalam masalah sanitasinya hingga tidak menimbulkan masalah penyakit di masa sekarang dan mendatang bagi produk yang dihasilkannya.

Hatchery ibarat “rumah bersalin” berperan sangat vital pada suatu peternakan pembibitan (breeding), baik tingkat GGPS (Great Grand Parent Stock), GPS (Grand Parent Stock) maupun PS (Parent Stock). Hal ini disebabkan hatchery merupakan awal munculnya kehidupan seekor ayam dan disaat yang sama berkembangnya berbagai mikroorganisme patogen (Salmonellosis, Chronyc Respiration Disease, Collibacillosis, Staphylococosis, Streptococosis, Aspergillosis dan sebagainya), serta merupakan salah satu sarana penting dalam operasional produksi anak ayam.

Oleh karena itu, hatchery dituntut untuk menerapkan sistem biosekuriti yang lebih ketat dibandingkan dengan perkandangan (farm). Akibat sistem biosekuriti yang asal-asalan akan menyebabkan kegagalan dalam pencapaian akhir usaha breeder, yaitu tidak menghasilkan DOC yang berkualitas, daya tetas yang rendah dan tidak tercapainya target jumlah yang diharapkan.

Hatchery adalah produk ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan mutakhir, yang perlu ditunjang keterampilan dan disiplin para pelaku/petugas di lingkungan hatchery tersebut, sehingga operasional hatchery sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang digariskan. Sebab, suatu produk teknologi jika tidak ditunjang sumber daya manusia yang terampil dan disiplin, akan mengalami kegagalan dan berakhir dengan kerugian yang tidak sedikit.

Perhatikan Isolasi Hatchery
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada isolasi di hatchery, yaitu layout bangunan, isolasi, kualitas telur, penyimpanan telur, ventilasi ruangan, sistem pembuangan sampah penetasan dan pengenalan desinfektan.

1. Layout bangunan Hatchery (hatchery design). Hatchery harus dirancang agar setiap aktivitas yang bisa dilakukan  di ruang yang berbeda seperti ruang seleksi dan grading telur, ruang colling, ruang setter, ruang hatcher dan ruang cuci, dengan tujuan menghindari pencemaran antara ruangan. Juga dirancang jalur masuk dan keluar bagi petugas/orang dan barang di tempat yang berbeda.
2. Isolasi. Hatchery harus terisolasi dari berbagai penyakit ayam (free disease) yang dibawa oleh manusia/petugas, maupun kendaraan dan barang dari luar, dengan cara melewati shower berdesinfektan. Orang yang masuk diwajibkan mengganti pakaian setelah melalui shower tersebut.
3. Kualitas telur (egg quality). Dimana telur yang tiba di hatchery perlu diseleksi ulang baik tingkat kekotorannya, bobot dan bentuknya. Telur yang kotor dan tidak masuk standar segera diafkir dari lingkungan hatchery (dikonsumsi atau dimusnahkan).
4. Penyimpanan telur (eggs storage). Dimana telur yang sudah diseleksi dan di-grading disimpan dalam ruang pendingin (colling room) dengan suhu 18°C (65°F) dan RH (kelembaban relatif) 75%, dengan tujuan menahan kehilangan berat telur secara drastis.
5. Ventilasi ruangan (room ventilation), perlu diatur sesuai dengan fungsi tiap ruangan, seperti pada Tabel 1 berikut.


Tabel 1: Kebutuhan Ventilasi, Suhu dan Kelembaban Tiap Ruang di Hatchery
Area
Kecepatan Ventilasi
Temperatur
Relative Humidity
(cfm/1.000)
(m3/jam/1,000)
°C
%
Penerimaan dan penyimpanan telur
1
1,7
18-20
60-65
Ruang setter
5
8,5
24-27
55-62
Ruang hatcher
16
27
24-27
55-62
Ruang penyimpanan DOC
16
27
22-24
85-70
Ruang pengambilan DOC dan ruang cuci
16
27
22-24
65-70
Ruang cuci peralatan
0
0
22-24
N/A
Lorong (hallway)
0
0
24
N/A

Sumber: Cobb Hatchery Management Guide, USA, 2002.

6. Pembuangan sampah hatchery. Dimana bila daya tetas (hatchability 85%), maka sampah yang harus dibuang sebanyak 15% berupa telur yang tidak menetas (unhatch), kerabang telur, DOC afkir dan bulu-bulu halus DOC. Sampah-sampah tersebut harus segera dibuang dari lingkungan hatchery ke tempat sampah sementara. Bulu-bulu kecil DOC dibersihkan dengan cara disedot menggunakan vaccum atau disemprot dengan power spray kemudian dilakukan sanitasi.
7. Pengenalan desinfektan. Seluruh staf hatchery harus melakukan penyimpanan, penanganan dan pencampuran desinfektan yang dibutuhkan secara benar sesuai dengan petunjuk. Hatchery Manager harus merespon dan benar-benar mengenal setiap bahan desinfektan dan setiap petugas mengerti cara penggunaannya. Untuk itu diperlukan Specific Training untuk staf, mengenai bagaimana menggunakan desinfektan yang benar. Desinfektan harus sudah memperoleh izin dari instansi pemerintah yang berwewenang (BPMSOH). Pada Tabel 2 berikut disajikan karakteristik berbagai desinfektan kimiawi yang dipergunakan di hatchery.


Tabel 2: Karakteristik Berbagai Desinfektan Kimiawi Hatchery
Karakteristik
Hypoclorit & Chlorin
Quaternary Ammonium
Phenol
Formal dehid
Iodophors
Glutaral-
dehide
Paracetic
Acid
Cairan
Gas
Bactericidal
+
+
+
+
+
+
+
+
Sporicidal
+
-
±
+
+
+
+
+
Fungicidal
±
±
+
+
+
+
+
+
Virucidal
±
±
±
+
+
+
+
+
Toxic animals & human

±

-

+

+

+

-

±

-
Activity with
Organic Matter
-
-


-
-
±
±
Detergency
-
+
-
-
-
-
-
-
Staining
-
-
±
-
-
+
-
-
Corrosive
±
-
±
-
-
-
-
±
Sumber: Cobb Hatchery Management Guide, USA, 2002.

Keterangan: + = Karakter Positif                         - = Karakter Negatif                ± = Karakter Variasi

Program Higiene Hatchery
Suatu kenyataan bahwa tindakan higiene di penetasan masih jauh dari yang diharapkan, oleh karena itu langkah-langkah berikut perlu diterapkan (Euribrid Netherland, 1984), antara lain:

1. Setiap tahun pekerja hatchery dan pekerja sexing DOC perlu diperiksa kondisi kesehatannya terutama paru-parunya untuk mengontrol ada tidaknya kuman Samonella. Bila terjadi kasus terdapat pekerja yang terkena “penyakit Influeza perut” maka perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan ekstra. Demikian pula karyawan/pekerja baru perlu diperiksa dahulu kondisi kesehatannya, jangan sampai menjadi “pembawa penyakit”.
2. Untuk menekan tingkat pencemaran maka wajib diterapkan sistem dan peraturan lalu lintas orang dan barang masing-masing satu jalur di ruang hatchery. Hindari lalu lintas silang.
3. Pintu-pintu di hatchery perlu selalu dalam kondisi tertutup.
4. Tembusan antara ruang inkubator (setter) dan ruang penetasan (hatcher) hanya dipakai untuk transfer (memindahkan) telur dan pintu selalu tertutup.
5. Sistem yang ideal adalah membagi hatchery menjadi tiga wilayah, dimana masing-masing wilayah memiliki warna pakaian dan sepatu pekerja yang berbeda.
6. Pada waktu memasuki hatchery baik pekerja maupun tamu wajib mandi, mengganti pakaian dan sepatu, serta mencuci tangan dengan cairan desinfektan.
7. Disetiap ruangan perlu tersedia fasilitas cuci tangan berdesinfektan dan lap/tisu sekali pakai.
8. Pakaian dan peralatan petugas sexer tidak boleh ikut terbawa keluar tempat tugasnya dan keluar-masuk wajib mandi dengan sabun antiseptik.
9. Setiap kali selesai suatu penetasan DOC maka tiap ruangan dibersihkan, dicuci dengan penyemprotan tegangan tinggi, serta didesinfeksi/fumigasi.
10. Kardus/boks DOC hanya boleh dipakai satu kali saja dan truk pengangkutnya harus didesinfeksi sebelum dimuat.
11. Hewan liar seperti anjing, kucing, tikus dan berbagai jenis serangga harus dicegah memasuki area hatchery.
12. Kantong pembungkus limbah hatchery harus memakai yang telah disediakan pihak hatchery sendiri, dilarang memakai pembungkus dari luar.
13. Telur yang dikirim ke hatchery harus didesinfeksi/difumigasi dulu di farm sebelum tiba di hatchery.
14. Lakukan vaksinasi Marek’s untuk DOC yang menetas dan sudah terseleksi.

Beberapa Peraturan Penting Desinfeksi
Diantara beberapa peraturan penting agar sanitasi dan desinfeksi  berhasil dengan baik, bisa dilakukan:

1. Pastikan bahwa semua peralatan sudah benar banar bersih.
2. Pergunakan deterjen dan desinfektan (lihat Tabel 2 diatas) yang cocok dengan tujuan sanitasi.
3. Bila memakai campuran deterjen dengan desinfektan (kombinasi), maka harus diyakini bahwa kombinasi tersebut tidak akan menambah efektivitas desinfektan.
4. Senyawa yang mengandung 25% Ammonium akan menjadi in-aktif apabila tercampur dengan residu sabun yang kontras dengan senyawa Chlorida.
5. Bacalah petunjuk yang ada pada kemasan desinfektan dan ikutilah dalam penggunaannya, seperti kadar kepekatan/konsentrasi, suhu, kelembaban dan lamanya waktu penggunaannya.
6. Perhatikan tindakan pengamanan bagi petugas seperti keharusan penggunaan masker, sarung tangan, topi, sepatu dan kacamata.
7. Gunakan sabun alkali untuk mencuci tangan.
8. Hindari pencemaran ulang (rekontaminasi).

Demikianlah sekilas tentang sanitasi di hatchery yang penting diketahui para pelaku perunggasan, sehingga bisa menambah wawasan menuju profesionalisme serta modernisasi khasanah perunggasan Indonesia. (SA)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer