Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini babi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BANGKAI BABI CEMARI SUNGAI DI SUMATERA UTARA


Bangkai babi yang dibuang ke sungai oleh masyarakat (sumber : okezone.com)


Penyakit hog cholera mewabah di sejumlah daerah di Sumatera Utara (Sumut). Sampai saat ini 4.682 ekor babi menjadi hog cholera, dari jumlah populasi babi di Sumut sebanyak 1,2 juta ekor.Ada 11 kabupaten/kota yang ditemukan ternak babi mati karena hog cholera, yakni di Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, Deliserdang, Medan,Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Samosir.
 
Bahkan ratusan bangkai babi beberapa hari terakhir ditemukan di sejumlah sungai di Kota Medan misalnya saja di Sungai Bedera. Bangkai babi yang dibuang ke sungai telah menimbulkan bau busuk.Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengimbau para bupati/wali kota untuk cepat tanggap mengantisipasi penyebaran virus hog cholera tersebut serta melaporkan temuan kasus ke Posko Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut.
 
"Para bupati/wali kota kami mengimbau untuk cepat tanggap menyikapi kasus ini, dan segera melaporkannya jika ditemukan kasus hog cholera di daerahnya masing-masing," ujar Edy. Dirinya mengingatkan warga agar tidak membuang ternak babi yang mati ke aliran sungai, karena itu melanggar Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
 
"Dilarang membuang ternak babi yang mati ke sungai atau ke hutan dan segera menguburnya. PPNS kita akan bekerja sama dengan kepolisian siap menindak siapa saja yang melanggarnya," ujar Gubernur.Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut M Azhar Harahap mengatakan Tim Unit Reaksi Cepat Pencegahan dan Penanganan Peredaran Virus Hog Cholera Babi telah turun ke lapangan dan melakukan sejumlah pengujian.

"Kesimpulannya, virus ini hanya menyerang babi, dan belum ditemukan menginfeksi manusia. Namun, ternak yang terinfeksi virus hog cholera tidak bisa diobati. Kita hanya bisa melakukan upaya pencegahan virus dengan melakukan sanitasi terhadap kandang, dan pemberian vitamin, serta vaksin pada ternak yang sehat," paparnya.
 
Azhar menjelaskan, bahwa virus ini pertama kali ditemukan 25 September 2019, lewat surat yang disampaikan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Dairi. "Kami pun langsung menyikapi serius laporan tersebut dengan melakukan pengambilan sampel darah babi, di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Deliserdang, dan hasil dari laboratorium mengatakan itu positif hog cholera," paparnya.

Untuk penanganan bangkai babi yang terinfeksi virus hog cholera, Azhar mengimbau jangan menunda untuk menguburkan. "Untuk ternak yang telah mati, harus segera dilakukan pemusnahan ternak babi yang telah mati, lakukan penguburan dan pemusnahan dengan dibakar, jangan dibuang ke sungai atau pun di buang ke hutan," tambahnya.

Kepala Dinas Kesehatan Sumut Alwi Mujahid juga menegaskan bahwa virus hog cholera hanya menular dari babi ke babi, tidak ada kasus virus tersebut menular pada ternak lain ataupun manusia."Sampai saat ini virus tersebut hanya dari babi ke babi, belum ada laporan bisa menginfeksi ternak lain, namun dengan adanya pembuangan bangkai babi ke sungai maka akan terjadi pencemaran air, yang bisa menimbulkan penyakit diare, namun saat ini juga belum ditemukan kasus karena pencemaran air tersebut," tambahnya.

Ia juga mengharapkan agar bangkai yang telah dibuang ke sungai atau pun hutan agar segera dievakuasi."Kami pun berharap agar bangkai babi ini segera dievakuasi dari sungai sehingga air aliran sungai tidak tercemari lagi, dan kemudian mengubur bangkai tersebut, sehingga wabahnya tidak menimbulkan penyakit lain," tambahnya.(CNN/CR)


IMBAUAN PEMKAB TOBA TERKAIT AFRICAN SWINE FEVER

Salah satu gejala penyakit ASF yaitu ternak babi kehilangan nafsu makan (Foto: scmp.com)


Pemerintah Kabupaten Toba Samosir melalui Kepala Dinas Ketahanan Pangan Toba, Darwin P Sianipar SPt, MSi, Jumat (25/10/2019) mengeluarkan imbauan terkait penyakit babi ASF (African Swine Fever) yang sedang mewabah.

Imbauan diantaranya menerangkan penyakit ASF adalah penyakit menular dan mematikan pada ternak babi yang disebabkan oleh virus African swine fever.

ASF awalnya dibawa dari Afrika Timur ke Georgia oleh produk babi yang terkontaminasi seperti sosis dan bakso hingga menyebar sampai ke Jepang, bahkan di Jepang telah disita sebungkus sosis dari seorang pelancong dari Cina.

Adapun gejala penyakit ASF ini mirip dengan gejala penyakit hog cholera antara lain demam dengan suhu tinggi (>41°C) pada ternak babi kemudian kehilangan nafsu makan, ternak babi muntah-muntah dan sulit bernafas.

Gejala lainnya yatu ternak babi diare dan mengalami kelumpuhan atau sulit berjalan lalu timbul bintik-bintik merah disekitar paha, perut dan leher ternak babi.

Jika menemukan gejala tersebut segera melapor kepada ke Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Penyuluh Pertanian Kecamatan dan ke Dinas Pertanian Kabupaten Toba Samosir.

Selanjutnya warga diimbau beberapa hal yaitu menghindari mengonsumsi makanan olahan daging babi yang bercampur darah dan bagian dalam dari ternak babi seperti sangsang, panggang dan tanggo-tanggo.

Disebutkan juga daging babi yang tersedia dalam menu pesta adat maupun dikonsumsi keluarga, jika harus memakannya dianjurkan agar memasak daging tersebut dengan suhu minimal 100°C atau memasaknya selama 30 menit.

Ini disebabkan karena virus ASF dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam daging olahan dan beberapa tahun dalam daging babi beku.

Selanjutnya menghindari makanan atau produk olahan daging babi yang diimpor seperti sosis, meat ball, meat slice dan produk kaleng lainnya.

Waspada ketika membeli daging babi dipasar tradisional. Jika tidak meyakinkan jangan dibeli dan apabila harus dibeli maka daging tersebut dimasak selama 30 menit dalam suhu 100°C.

Menyemprot kandang hingga 100 meter sekitar kandang minimal setiap dua kali seminggu dengan desinfektan (pembasmi hama), dan dapat juga menggunakan air deterjen.

Selain itu, Ikut serta memantau keluar masuknya ternak babi ke Kabupaten Toba Samosir. 

Jika ditemukan ada yang membawa ternak babi memiliki gejala ASF untuk segera melaporkan ke Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Penyuluh Pertanian Kecamatan dan ke Dinas Pertanian Kabupaten Toba Samosir. (Rilis/INF)

PEMERINTAH SIAP ANTISIPASI WABAH ASF

Dirjen PKH : Pemerintah siap mengantisipasi ASF


Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita angkat bicara mengenai African Swine Fever (ASF) dalam sebuah acara Seminar International mengenai ASF di Bogor, Sabtu (19/10). Pada kesempatan itu, dirinya menjelaskan upaya peningkatan kewaspadaan penyebaran wabah. "Tindakan kewaspadaan terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis yang meliputi pengamatan/deteksi cepat, pelaporan cepat dan pengamanan cepat” tegas I Ketut Diarmita.

Diarmita menambahkan, ASF bersifat highly pathogenic pada babi ternak dan babi hutan, serta menyebabkan kematian yang tinggi, dampak dari penyakit tadi berupa kerugian ekonomi yang sangat tinggi. “Negara seperti Cina saja sudah dibuat ketar – ketir dengan penyakit ini, Indonesia walaupun mayoritas muslim dan tidak banyak konsumsi babi, tapi kan babi ini sumber devisa, tidak ada alasan untuk tidak waspada,” tuturnya.

Dengan upaya yang dilakukan Kementan bersama stakeholders yang berkepentingan, Diarmita menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan langkah cepat dan eksekusi bila penyakit ASF terjadi. Menurutnya, upaya yang dilakukan selama ini sebenarnya sudah tepat. Namun dalam mengamati perkembangannya,  penyakit ini yang sangat cepat dan mendekati perbatasan wilayah Indonesia.

Artinya potensi ancaman masuknya ASF ke Indonesia sangat besar. Terkait dengan kondisi tersebut, tindakan kewaspadaan dini terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis. Indonesia termasuk wilayah yang terancam, mengingat populasi babi yang sangat tinggi di beberapa wilayah antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, NTT, Bali, Papua, dan Papua Barat.

Oleh karena itu, pemerintah sedang menyiapkan pedoman kesiapsiagaan darurat veteriner ASF (Kiatvetindo ASF). Ada empat tahapan penanggulangan yaitu : 1.Tahap Investigasi 2. Tahap Siaga 3.Tahap Operasional dan 4. Tahap pemulihan.Hal lain adalah sosialisasi terkait ASF di wilayah-wilayah risiko tinggi, membuat bahan komunikasi, informasi dan edukasi untuk di pasang di bandara, pemantauan dan respon terhadap kasus kematian babi yang dilaporkan melalui iSikhnas, membuat penilaian risiko masuknya ASF ke Indonesia sehingga membantu meningkatkan kewaspadaan.

Karantina Siaga
Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Agus Sunanto juga menegaskan Badan Karantina Pertanian (Barantan) akan turut melakukan upaya antisipatif. Hal yang dilakukan diantaranya memperketat serta meningkatkan kewaspadaan pengawasan karantina di berbagai tempat pemasukan negara.

Beberapa kali Barantan berhasil menggagalkan masuknya komoditas yang berpotensi membawa virus ASF, seperti daging babi, dendeng, sosis, usus dan olahan babi lainnya. Sebagai contoh, Karantina Pertanian Bandara Intenasional Soekarno Hatta sepanjang 2019 hingga bulan September telah menyita komoditas petensial sebanyak 225,28 kg yang berasal dari barang bawaan penumpang.

Selain melakukan pengawasan, Agus menjelaskan pihaknya merangkul semua instansi, baik di bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara, seperti Bea dan Cukai, Imigrasi, unsur airlines, agen travel serta dinas peternakan di daerah. Menurut Agus, Kementan telah menghitung potensi kerugian kematian akibat ASF. Apabila dihitung 30 persen saja populasi terdampak, maka kerugian peternakan babi dapat mencapai Rp7,6 triliun.

Selain itu, Indonesia akan kehilangan pasar ekspor dan potensinya, baik untuk babi maupun produknya. Saat ini Indonesia memiliki banyak peternakan babi, dan merupakan salah satu pemasok utama bagi pasar Singapura. (CR)



PEMBELAJARAN WABAH ASF DI CHINA DAN VIETNAM


 
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD sebagai salah satu pembicara seminar ASOHI Jateng (Foto: Istimewa)

Virus African Swine Fever (ASF) disebut-sebut sebagai top killer industri babi. Suatu penyakit virus yang menyerang babi dan ditemukan pertama kali di Kenya pada 1921. Virus ASF membunuh babi dengan menyebabkan demam hemoragik yang ekstrim dan menghancurkan limfosit secara masif dalam jaringan limfa.

Pembahasan ASF dikupas secara menarik dan mendalam dalam Seminar “Strategi Antisipasi Penyebaran Virus ASF” di Studio Dreamlight World Media, Ungaran yang diselenggarakan ASOHI Jateng dan PDHI. Seminar berlangsung pada Sabtu, 12 Oktober 2019. 

Pembicara dari Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menerangkan penyebab ASF adalah virus yang unik, satu-satunya anggota keluarga Asfarviridae yaitu virus DNA yang dapat ditularkan oleh caplak (tick-borne DNA virus).

“Genom yang besar, dengan setengah dari proteinnya tidak diketahui fungsinya. Siklus penularan yang unik di antara babi-babi domestik, babi hutan liar dan caplak lunak, belum lagi virus ini punya daya tahan (survivability) in vitro yang tinggi,” lanjutnya.

Lebih lanjut Tri Satya Putri Naipospos memaparkan presentasinya yang berjudul "African Swine Fever: Pembelajaran dari Wabah di China dan Vietnam".  

Sejak ditemukan pada Agustus 2018, ASF menyebar ke setiap provinsi di daratan China. ASF diperkirakam menjangkiti 150-200 juta ekor babi, dugaan kerugian produksi daging babi mencapai 30%.

Penyebab penyebaran ASF di China diantaranya lalu lintas jarak jauh babi hidup dan produk babi 16,3%, transportasi kendaraan dan orang 40.8%, sisa-sisa makanan untuk babi (swill feeding) 42,9%. Uraian presentasi Tri Satya bersumber dari Dr Shengqiang Ge dari China Animal Health and Epidemiology Center.

Pembangunan kembali industri babi di China akan berjalan lambat dan butuh bertahun-tahun. Produsen akan tetap waspada mengingat resiko kontaminasi ulang dan difokuskan kepada peningkatan biosekuriti pada operasi yang tersisa.

Populasi babi di China sekitar 440 juta ekor babi, lebih dari 90% rumah tangga di China memelihara babi.  

“Seringkali dengan biosekuriti terbatas, sedikit atau tidak ada mekanisme pengendalian yang dapat digunakan untuk memastikan virus tidak ditularkan lewat truk, melalui pakaian orang yang masuk ke peternakan, atau dalam pakan dimana virus bertahan untuk jangka waktu lama,” jelasnya.

Sementara kasus wabah ASF di Vietnam pada Februari 2019 pertama terdeteksi di Provinsi Thai Binh dan Hung Yen, yang lokasinya di tenggara ibukota Hanoi kira-kira 160 km dari perbatasan China.

Vaksin yang dikembangkan di National University of Agriculture menunjukkan sukses awal dalam memerangi ASF, tapi para ahli skeptis dan mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Dr Sauland Sinaga SPt, MS sebagai narasumber berikutnya memaparkan presentasi berjudul “Strategi Manajemen Pemeliharaan Mencegah ASF”.

Imbauan AMI dalam mewaspadai penyebaran ASF antara lain negara harus menghentikan impor babi dan olahan dari negara terduga, peternak menghindari membawa olahan babi di kandang, bandara harus menghanguskan sisa makanan pesawat di pelabuhan dan di bandara yang berasal dari negara terduga.

Diuraikan juga lima elemen biosekuriti diantaranya isolasi/pemisahan, sanitasi dan desinfeksi, pengendalian lalu-lintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai babi. (NDV)

KEMENTAN SAMPAIKAN CARA MENCEGAH PENYAKIT DEMAM BABI AFRIKA

Penyakit ASF diketahui mengakibatkan kerugian ekonomi tinggi di sektor peternakan babi (Foto: Dok. Kementan)



Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerjasama dengan instansi terkait serta Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) terus memperkuat kolaborasi dalam menanggapi kemungkinan terjadinya penyakit demam babi Afrika (ASF) di Indonesia. Hal ini didasari dengan sudah mewabahnya virus ASF di China, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Filipina, dan Timor Leste. Informasi tersebut disampaikan Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Rabu (16/10/2019).

Menurutnya penyakit demam babi Afrika (ASF) adalah penyakit virus menular yang menyerang babi. Penyakit ini menyebabkan kematian hingga 100 persen pada babi yang diternakkan (domestikasi), juga dapat menulari babi liar yang lebih tahan dan dapat menjadi reservoir virus

Penyakit babi ini diketahui dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi pada sektor peternakan babi. Virus ASF dapat menyebar dengan mudah, baik melalui melalui kontak langsung dengan babi ataupun ektoparasit (caplak) yang terkontaminasi, pemberian pakan babi yang berasal dari sisa daging babi atau produk olahannya yang tidak dimasak sempurna, material pembawa (fomites) termasuk pekerja, pengunjung, petugas, peralatan peternakan, dan kendaraan serta pakan mentah yang terkontaminasi.

Untuk menilai potensi risiko masuk dan menyebarnya ASF di Indonesia, Fadjar menyampaikan bahwa Kementan sebelumnya telah melakukan pertemuan antar sektor tingkat daerah dan nasional di Sumatera Utara pada tanggal 7 – 8 Oktober 2019. 

Pertemuan tersebut bertujuan untuk merancang rekomendasi mitigasi risiko pengendalian kasus apabila terjadi dikemudian hari. Berbagai sektor dari lingkup Kementerian Pertanian seperti Direktorat jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor serta Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, bersama-sama dengan pemerintah daerah di provinsi Sumatera Utara, pihak bandara, pelabuhan dan peternak babi ikut serta melakukan analisis risiko dan estimasi risiko dari wabah ASF.

"Risiko terjadinya ASF harus kita petakan dan nilai, sehingga Indonesia siap untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mencegah masuknya penyakit, dan juga siap untuk mengendalikan apabila nanti terjadi" ungkapnya.

Rekomendasi Mitigasi Risiko

Fadjar juga menjelaskan bahwa mitigasi risiko yang efektif, komprehensif, dan terintegrasi antar sektor terkait merupakan kunci untuk mencegah masuk dan menyebarnya virus ASF di Indonesia. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk tim surveilans untuk melakukan pengawasan dan respon penyakit secara partisipatif bersama masyarakat dengan edukasi, pendampingan peternak/rumah tangga peternak babi.

Fadjar Sumping Tjatur Rasa
Lebih lanjut, Fadjar menyampaikan pentingnya melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada bupati/walikota untuk penerbitan peraturan bupati/ walikota untuk pembatasan lalu lintas babi dan produk babi, penutupan wilayah serta mengupayakan dana tanggap darurat pada pemerintah kabupaten/kota.

"Kita juga harus melakukan tindakan mencegah masuknya ASF ke wilayah dan peternakan yang belum tertular dengan memperketat kebijakan impor, dan mengontrol setiap produk babi yang masuk ke Indonesia," tambahnya. Selain itu diperlukan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) untuk peningkatan pengetahuan yang baik di kalangan peternak dan masyarakat umum terutama di daerah dengan populasi babi yang banyak.

Hal penting lain menurut Fadjar adalah pentingnya pemahaman tentang ASF dan penerapan biosekuriti yang ketat dan berkelanjutan oleh peternak babi dan peternakan komersial. Ini dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui bimbingan teknis terstruktur.

"Pemerintah daerah juga harus mulai mengidentifikasi dan meregistrasi pedagang/pengepul dan pemotong babi serta alat angkut yang digunakan. Hal ini diperlukan agar tidak ada kontaminasi oleh virus ASF dan mengurangi risiko penularan/penyebatan," jelasnya.

Menghindari keresahan masyarakat terhadap bahaya ASF, Fadjar menegaskan bahwa penyakit ini tidak berbahaya bagi manusia atau bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat (non-Zoonosis).

Namun demikian, virus ini dapat bertahan lama dalam suhu dingin maupun panas dan relatif tahan terhadap disinfektan serta sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif melawan virus ASF. 

"Setelah babi terinfeksi, cara paling efektif untuk mencegah penyebaran adalah dengan memusnahkan populasi babi yang tertular," pungkasnya. (Rilis Kementan) 

HOG CHOLERA MENYERANG, PULUHAN BABI JADI KORBAN

Hog Cholera, penyakit yang mematikan pada babi


Nasib naas menghampiri  puluhan ekor babi yang mati di Kabupaten Tapanuli utara, Sumatera Utara. Penyebab kematian diduga adalah virus Hog Cholera. Kabid Peternakan Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Tapanuli Utara, Ronny A. Hutasoit, menyatakan penyakit tersebut menyerang babi di Kecamatan Tarutung dan Kecamatan Siatas Barita.

"Dari pemeriksaan, gejala yang muncul indikasinya mengarah ke penyakit hog cholera. Kami masih menunggu hasil uji laboratorium dari Medan," kata Hutasoit, Selasa (15/10/2019). Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah babi yang mati akibat virus ini sudah lebih dari 50 ekor di dua kecamatan tersebut. Namun jumlah pasti kini masih dalam proses pendataan.

"Petugas perkecamatan masih mendata jumlah yang mati per desa," kata Hutasoit. Terkait dengan masalah ini, kata Hutasoit, pihaknya sudah melakukan penanganan di lapangan, yaitu melakukan tindakan pengobatan di lokasi ternak yang sakit serta antisipasi di daerah yang masih aman dengan vaksinasi. Diketahui kasus babi yang mati mendadak juga terjadi di Kabupaten Dairi dan Humbang Hasundutan. Diduga kasus ini juga dipicu penyakit yang sama. (CR)


KEMATIAN TERNAK BABI DI DAIRI MASIH DISELIDIKI PEMERINTAH



Ilustrasi babi (Foto: Pixabay)


Penyebab kematian ternak babi yang terjadi di Sumatera Utara masih dalam proses penyelidikan Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping Tjatur Rasa.

Termasuk, atas laporan kematian puluhan ternak babi di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Saat ini, kata Fadjar, pemerintah masih menunggu hasil uji laboratorium. Fadjar menegaskan, kewaspadaan harus ditingkatkan karena saat ini sedang merebak virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika di sejumlah negara di dunia, termasuk Asia Tenggara. 

"Upaya yang bisa dilakukan adalah biosekuriti dan vaksinasi. Kecuali, jika ASF suda masuk, tidak ada vaksinnya. Sampai saat ini, kami belum bisa menyatakan akibat ASF karena dari hasil pengujian masih ada positif Hog Cholera. Seperti kejadian di Minahasa, ternyata karena Hog Cholera. Namun, meski demikian, kita harus waspada karena ASF sudah masuk di Filipina, yang dekat ke Sulawesi Utara," kata Fadjar, Minggu (13/9).

Sementara itu, Ditjen PKH Kementan telah mengadakan pelatihan termasuk analisis risiko kepada Dinas Kabupaten di seluruh Sumatera Utara pada 7-8 Oktober 2019.

"Mengingat urusan kesehatan hewan sudah menjadi otonomi dan kewenangan daerah, kami hanya bisa melalui pemerintah daerah (dinas yang membidangi PKH). Meski demikian, kami selalu berkoordinasi dan bekerja bersama pemda, melalui dinas yang menangani kesehatan hewan. Khusus Provinsi Sumatera Utara dan pemerintah kabupaten/ kota, kami telah bersama-sama melakukan upaya untuk membantu para peternak babi yang terkena musibah kematian ternak," tutur dia.

Saat ini masih terus dilakukan pemantauan serta telah dikirimkan bantuan tambahan disinfektan, alat semprot, alat pelindung diri (APD), serta membentuk tim untuk di lapangan.

 "Kami masih menunggu konfirmasi hasil laboratorium dan nanti rapat dengan komisi ahli kesehatan hewan. Jadi, intinya terhadap kasus kematian babi ini harus segera dilakukan upaya biosekuriti dan pengawasan lalu lintas ternak babi dan produknya. Serta, menjaga tidak ada penyebaran penyakit ke daerah lainnya. Sambil mewaspadai ASF yang sulit dikendalikan karena belum ada vaksinnya,” terang Fadjar.  

Apalagi, virus ASF sangat tahan dan bisa terbawa oleh hewan, produk hewan segar dan olahan, terbawa sepatu, baju dan alat alat peternakan, serta alat angkut/kendaraan yang keluar masuk peternakan atau daerah tertular ASF," kata Fadjar. (Sumber: Investor Daily)



WABAH DEMAM BABI AFRIKA SUDAH SAMPAI TIMOR LESTE


Sejauh ini belum ada vaksin yang dapat mencegah penularan virus demam babi Afrika (Foto: Pixabay)


Kematian ratusan babi akibat wabah demam babi Afrika, Kamis (3/10/2019) melanda Timor Leste. Sejak kasus pertama dilaporkan pekan lalu, penyakit tersebut kini sudah merenggut nyawa 405 ekor babi milik peternak rumahan di Dili.

Berdasarkan data sensus pada 2015, jumlah babi yang diternak di wilayah terjangkit wabah mencapai 44.000 ekor. Hingga saat ini, pihak kementerian belum menemukan bagaimana wabah tersebut bisa masuk Timor Leste.

Demam babi Afrika merupakan virus yang tidak berbahaya bagi manusia, tetapi mematikan untuk babi. Sejauh ini, belum ada vaksin yang dapat mencegah penularan virus tersebut.

Untuk kasus Asia, virus itu pertama kali menjangkit Tiongkok lebih dari satu tahun yang lalu. Wabah kemudian meluas ke Kamboja dan Vietnam.

Tiongkok, produsen daging babi terbesar dunia, jadi salah satu negara yang cukup parah terdampak wabah. Virus itu tidak hanya mengganggu produksi babi di Negeri Tirai Bambu, tetapi juga komoditas lain yang menjadi pakan babi seperti jagung dan bungkil kedelai (soymeal)

Kementerian pertanian Timor Leste menyatakan telah bekerja sama dengan mitranya dari Australia untuk menyelidiki penyebaran penyakit ini.

“Sejak 19 September, kementerian telah mengumpulkan informasi tentang kematian 400 ekor babi,” katanya.

Virus ini tidak berbahaya bagi manusia tetapi menyebabkan demam berdarah pada babi yang hampir selalu berakibat fatal. Belum ada obat penawar atau vaksin dan satu-satunya cara yang diketahui untuk mencegah penyebaran penyakit adalah pemusnahan massal ternak yang terkena dampak.

Bulan lalu, Korea Selatan melaporkan kasus demam babi Afrika yang pertama, sementara ternak babi Tiongkok turun sekitar 40%. Kekurangan pasokan babi telah mendorong harga daging pokok negara itu naik setidaknya setengahnya.

Satu laporan Rabobank memperingatkan Tiongkok bisa kehilangan 200 juta ekor babi selama epidemi. Awal tahun ini, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menyatakan hampir lima juta babi di Asia telah mati atau dimusnahkan karena penyebaran penyakit tersebut. (Sumber: beritasatu.com) 




INDONESIA SIAP PERBESAR PANGSA EKSPOR BABI



Meluasnya persebaran virus flu babi Afrika, Indonesia jajaki peluang perbesar ekspor babi. (Foto: Pixabay)


Seiring meluasnya persebaran virus African Swine Fever (ASF) atau flu babi Afrika di sejumlah negara produsen, Indonesia tengah giat menjajaki peluang untuk memperbesar pangsa pasar ekspor babi. Sejauh ini, kasus kematian akibat virus tersebut belum ditemukan di Indonesia meski telah ditemukan di negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja.

"Peluang untuk memperluas ekspor sangat besar. Kami sedang dalam upaya ke arah itu," kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Fini Murfiani, Kamis (22/8).

Fini tak merinci negara mana saja yang masuk dalam daftar penjajakan ekspor. Namun, tak memungkiri terdapat peluang ke negara-negara yang tengah menghadapi koreksi produksi akibat wabah virus flu babi Afrika.

"Produksi babi sendiri tentunya surplus. Negara tujuan ekspor mana pun, selama ada peluang kami akan kejar," sambung Fini.

Pasar utama ekspor babi baik dalam bentuk hidup maupun daging sendiri masih dipegang Singapura. Kementerian Pertanian mencatat nilai ekspor babi ke negara tersebut sejak 2014 sampai semester I/2019 mencapai nilai Rp3,04 triliun.

Sementara nilai total ekspor babi hidup yang telah dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai Rp4,31 triliun (kurs Rp14.000/US$) sepanjang sepanjang 2013-2017.

Berdasarkan dat BPS, rata-rata konsumsi daging babi di Indonesia berkisar di angka 0,22 kg per kapita per tahun selama periode 2013-2017 dengan konsumsi tertinggi pada 2017 di angka 0,26 kg per kapita per tahun.

Terlepas dari statistik tersebut, konsumsi daging babi tak bisa dibilang sedikit. Ketua Gabungan 
Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali Ketut Hari Suyasa menyebutkan konsumsi daging babi juga merupakan bagian dari budaya yang tak terpisah dari masyarakat Bali.

Hal ini terlihat pula pada tren konsumsi di sejumlah provinsi sentra produksi daging babi seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Rencana untuk memperluas pasar ekspor pun disambut baik oleh Hari selaku peternak. Kendati demikian, dia mengharapkan pemerintah dapat memberi bimbingan lebih kepada peternak rakyat agar manfaat perluasan pangsa ekspor tersebut tak hanya dirasakan segelintir pelaku usaha. (Sumber: bisnis.com)


African Swine Fever di Cina Semakin Memburuk

Foto: Pixabay

African Swine Fever (ASF), flu babi Afrika, menjangkiti sebuah peternakan besar di kota Suihua, Cina. Peternakan yang memiliki 73 ribu babi itu dimiliki oleh Heilongjiang Asia-Europe Animal Husbandry Co, Ltd. Sebuah perusahaan peternakan yang didirikan di tahun 2016. Sebanyak 4.686 babi terinfeksi ASF dan 3.766 babi mati.

Seperti dilansir dari Reuters, sejak Agustus 2018 hampir 100 peternakan di Cina terinfeksi ASF. Lebih dari 200 ribu ekor babi yang terinfeksi dimusnahkan dan jumlahnya masih akan bertambah.

Daging babi merupakan daging yang paling banyak dikonsumi di Cina. ASF menyebabkan terganggunya suplai dan di beberapa wilayah harga daging babi menjadi naik.

“Situasi African Swine Fever semakin memburuk. Pertanian kecil, peternakan besar, rumah pemotongan hewan, pakan - seluruh rantai produksi pada dasarnya terdampak,” kata Yao Guiling, analis dari China-America Commodity Data Analytics.

Beijing telah melarang pemberian limbah dapur kepada babi, dan membatasi transportasi babi hidup dan produk dari daerah yang terinfeksi.

Tetapi ASF sekarang telah menyebar di 23 provinsi dan kota di Cina. Penyakit ini mematikan bagi babi tetapi tidak mempengaruhi manusia.

“Kebijakannya bagus, tetapi meningkatnya wabah menunjukkan bahwa mungkin ada beberapa masalah dengan eksekusi di tingkat pemerintah daerah,” kata Yao Guiling.

Kementerian pertanian Cina mengatakan rumah pemotongan hewan harus melakukan tes pada produk babi mereka sebelum menjualnya ke pasaran.

Rumah pemotongan hewan harus memotong babi yang berasal dari daerah berbeda secara terpisah, dan hanya dapat menjual produknya jika hasil tes darah dari kelompok babi yang sama menunjukkan negatif dari ASF.

Jika virus ASF terdeteksi, rumah pemotongan hewan harus memusnahkan semua babi yang akan disembelih dan menunda operasi selama setidaknya 48 jam, menurut peraturan yang akan berlaku mulai 1 Februari 2019. (NDV)

Kolaborasi Ditjen PKH dan AMI Bahas Tantangan Penyakit African Swine Fever (ASF)



Forum AMI diadakan usai makan siang hingga sore hari (Foto: Infovet/Bams)


Para pembicara workshop (Foto: Infovet/Bams)
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menggelar Workshop Nasional Penyakit African Swine Fever (ASF), Rabu (30/10/2018). Bertempat di Indraprastha Hall UNS Inn, kegiatan ini dibuka Direktur Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD.

Lebih dari 150 orang dari kalangan peternak babi, perusahaan pakan, obat hewan, utusan dinas peternakan kesehatan hewan,  perguruan tinggi, karantina hewan dan lembaga terkait lainnya menjadi peserta workshop.

Lebih dari 150 peserta mengikuti workshop ASF. (Foto: Infovet/Bams)

Acara workshop menghadirkan pembicara Drh Tri Satya Putri Naipospos PhD, Prof Dr drh Widya Asmara PhD, Prof Dr drh Ida Bagus Komang Ardana MKes (ADHMI), dan Drh. Andro Jati Kusuma (FAO ECTAD Indonesia).

“Kegiatan workshop ini diadakan dalam upaya menindaklanjuti munculnya wabah ASF di Republik Rakyat Tiongkok bulan Agustus lalu, sebagai salah satu langkah kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini untuk mencegah serta mengantisipasi menyebarnya agen penyebab ASF di Indonesia,” jelas Fadjar.

Usai makan siang, kegiatan dilanjutkan dengan Forum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) yang diikuti oleh anggota AMI dan beberapa utusan perusahaan maupun pemerintah. AMI adalah organisasi yang menghimpun pelaku usaha peternakan hewan monogastrik khususnya babi serta pelaku usaha pendukung serta kalangan ilmuwan. Organisasi ini didirikan oleh penggagas Dr. Rachmawati Siswadi dari Fakultas Peternakan Unsoed didukung oleh para pengurus ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia)  pada saat itu antara lain H. Abdul Karim Mahanan, Drh. Tjiptardjo SE, Drh. Sri Dadi Wiryosuhanto, serta Bambang Suharno dari majalah Infovet.

Pada saat berdiri, ditetapkan Dr. Rachmawati sebagai Ketua Umum AMI dan selanjutnya pada pemilihan pengurus tahun 2014  terpilih Dr. Sauland Sinaga (pakar babi dari Unpad) sebagai ketua umum dan Rachmawati sebagai penasehat. Kegiatan AMI antara lain menjembatani kepentingan pelaku usaha peternakan babi dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya. Adanya workshop dan forum ini, Ketua AMI Sauland Sinaga menyampaikan apresiasinya kepada pemerintah khususnya Direktorat Kesehatan Hewan yang dengan cepat merespon keresahan peternakan babi tentang ancaman masuknya ASF. Melalui acara ini para peternak maupun pihak terkait menjadi lebih paham langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk mencegah masuknya ASF.


Pada acara Forum AMI, Ketua AMI Dr Sauland Sinaga bertindak sebagai moderator didampingi Penasehat AMI Dr Rahmawati dan wakil dari pemerintah Drh Arif Wicaksono MSi (Kasubdit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan /P3H).

Forum AMI menghasilkan beberapa rekomendasi untuk pemerintah diantaranya perlunya kepastian hukum mengenai lokasi peternakan babi. Selain itu, peternak babi juga mengungkapkan kesulitannya dalam mendapatkan jagung untuk bahan baku pakan. Situasi yang dialami para peternak babi ini sama seperti yang dirasakan peternak unggas self-mixer.

Mengenai tindak lanjut seminar, direncanakan akan diadakan kerjasama lanjutan antara Ditjen PKH khususnya Direktorat Kesehatan Hewan dengan AMI dalam membina peternak melalui program pelatihan biosekuriti. (NDV/bams)

PEMERINTAH SUSUN ROADMAP PENGENDALIAN HOG CHOLERA

Sebagai upaya mengembangkan komoditas unggulan ekspor, yakni ternak babi di Provinsi NTT, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, Drh I Ketut Diarmita, mengatakan pentingnya pengendalian dan pemberantasan penyaki Hog Cholera pada Babi. Hal tersebut ia sampaikan pada acara seminar dan lokakarya multipihak di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT (Nusa Tenggara Timur), Senin (6/11).
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, saat acara seminar dan lokakarya
penyusunan roadmap pengendalian Hog Cholera.
“Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan berpengaruh secara ekonomi, untuk itu perlu segera dikendalikan dan diberantas,” kata Diarmita. Karena itu pihaknya bekerjasama dengan dinas peternakan setempat menyusun roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera.
Menurutnya, penyakit Hog Cholera cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala umur. Morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi mencapai 95-100%. Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) atau juga dikenal dengan Sampar Babi, merupakan penyakit yang disebabkan virus yang masuk salah satu dari daftar 25 jenis penyakit hewan menular strategis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis.
Karena menjadi penyakit strategis, roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera ditujukan untuk meningkatkan populasi ternak babi, mengamankan daerah sumber bibit ternak babi, meningkatkan pendapatan dari hasil usaha peternakan babi, meningkatkan perdagangan ternak babi baik domestik maupun eskpor dan meningkatkan pendapatan daerah.
“Saya sarankan agar pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera difokuskan ke daerah-daerah tertentu saja, seperti  Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara,” ucapnya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain, potensi daerah sebagai produsen ternak babi, kepadatan populasi, penyakit Hog Cholera sudah menjadi endemis, daerah tersebut berisiko menyebar Hog Cholera ke daerah lain, komitmen pemerintah daerah cukup tinggi dan sudah memiliki program pengendalian.
Sebab, kata dia, pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera menjadi sangat penting, sebab komoditi ternak babi merupakan aset ekonomi bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia, adanya perkembangan peningkatan populasi babi dalam lima tahun terakhir, komoditi ternak babi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu di Indonesia, komoditi ternak babi merupakan salah satu sumber daging dan pemenuhan sumber protein hewani yang sangat efisien bagi masyarakat tertentu di Indonesia dan ternak babi sudah menjadi komoditi ekspor.
“Meningkatnya produksi daging babi di Indonesia dan terbatasnya segmentasi pasar daging babi, menjadi peluang peningkatan ekpor daging babi,” tukasnya. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer