Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini african swine fever | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

AFRICAN SWINE FEVER, ANCAMAN BAGI PETERNAKAN BABI DI INDONESIA



Beberapa waktu belakangan ini beberapa Negara di Asia dibuat ketar-ketir dengan penyakit African Swine Fever (ASF). Indonesia termasuk yang ikut siaga perihal datangnya penyakit ini, lalu apakah sebenarnya virus ASF itu?

Sejarah ASF
Pertama kalinya ASF dilaporkan terjadi di Montgomery, Kenya, Afrika pada tahun 1921. Di Kenya, ASF sukses memakan banyak korban babi yang diimpor dari Eropa. Kemudian kejadian ASF di luar Afrika dilaporkan terjadi di Portugal pada tahun 1957, tingkat kematian yang disebabkan oleh ASF pada saat itu mencapai 100%. Tiga tahun kemudian, ASF menyebar sampai ke Semenanjung Iberia (Spanyol, Portugal, dll) sampai kurang lebih 20 tahun Spanyol dan Portugal baru bisa mengeradikasi penyakit tersebut pada 1994 dan 1995. Tentunya dengan mewabahnya ASF di sana pada waktu itu kerugian ekonomi yang diderita amatlah besar.

Agen Penyakit
ASF merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dari family Asfaviridae yang memiliki double stranded DNA. Virus ini hanya menyerang babi dan akan mengakibatkan demam yang disertai dengan perdarahan pada berbagai organ. Tingkat kematian yang dilaporkan pada babi domestik sangat tinggi bahkan mencapai 100%.

Secara patologi anatomis, ASF hampir menyerupai dengan Hog Cholera. Perbedaannya, pada penyakit Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) akan menujukkan gejala khas berupa ginjal yang berubah bentuk seperti telur kalkun dan terjadi lesion button ulcer pada usus. Sedangkan babi yang mati akibat ASF secara patologi anatomis akan menunjukkan kelainan berupa perdarahan hebat pada limpa hingga berwarna kehitaman, dan konsistensi limpa akan rapuh. Virus ASF menyerang secara akut, kematian akan terjadi kurang lebih satu minggu setelah infeksi, bahkan bisa kurang.

Inang alami dari virus ini adalah babi hutan, yang lebih celaka lagi virus ini dapat menular melalui vektor berupa caplak dari genus Ornithodoros yang ada pada babi. Virus ASF juga diketahui sebagai satu-satunya virus DNA utas ganda yang dapat menyebar melalui gigitan vektor. 

Jika pada Hog Cholera sudah tersedia vaksinnya, ASF hingga saat ini belum juga ditemukan vaksinnya. Cara untuk mendeteksi ASF hingga kini adalah dengan menempatkan hewan sentinel (hewan yang sudah divaksin CSF) pada suatu populasi. Ketika ASF menyerang dan babi yang divaksin CSF mati, dapat menjadi bantuan dalam mengindikasikan penyebab kematian babi tersebut. Selain itu, apabila terjadi kematian babi secara mendadak juga direkomendasikan untuk mengambil sampel dan dilakukan uji ELISA. Sampel yang diambil bisa berupa darah maupun organ tertentu seperti limpa dan usus.

Dengan tingkat penularan yang cepat disertai morbiditas dan mortalitas tinggi (hingga 100%) amatlah wajar jika Indonesia mengkhawatirkan penyakit ini. Virus dapat menyebar dan menginfeksi inang dengan cara kontak langsung. Penyebaran virus ASF antar Negara dengan laut sebagai barrier alami adalah melalui swill feeding seperti layaknya PMK. Swill feeding adalah tindakan pemberian ransum yang mengandung bahan baku berupa daging atau organ atau derivat dari hewan yang diberi pakan. Misalnya ransum untuk babi dilarang menggunakan derivat yang berasal dari babi. Belum lagi penularan secara tidak langsung melalui produk olahan babi yang terinfeksi oleh ASF serta kontaminasi virus yang terbawa pada sapronak dan sarana transportasi. Selain itu, virus ASF juga sangat tahan berada di luar hospesnya, sehingga sulit untuk dieradikasi keberadaannya di alam.

Mengapa Indonesia Harus Waspada?
Babi memang bukan ternak utama yang dikonsumsi oleh Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam. Namun begitu, babi berkontribusi tinggi pada devisa Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor babi ternak Indonesia ke Singapura pada Semester I 2019 tercatat 14.893,3 ton atau tumbuh dari 13.194,5 ton. Sedangkan data Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2017, total ekspor babi ternak mencapai 28 ribu ton senilai US$ 59,9 juta.

Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan bahwa Indonesia masih bisa unjuk gigi dalam meningkatkan nilai ekspor babinya ke Singapura. Namun begitu, Indonesia harus bisa mengamankan diri dari ancaman penyakit seperti CSF dan ASF.

“Makanya kami sangat waspada dengan adanya ASF ini, Timor Leste sudah resmi terjangkit ASF, oleh karenanya Indonesia benar-benar harus lebih waspada dan memaksimalkan usaha agar tidak tertular,” kata Fadjar. 

Terkait kabar kematian ribuan ekor babi di Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu, Fadjar mengatakan, hal tersebut bukanlah akibat ASF, melainkan CSF. “Sudah dikonfirmasi bahwa itu Hog Cholera, bukan ASF, jadi tolong jangan bikin rumor-rumor yang tidak jelas,” ucap dia.

Dalam rapat koordinasi Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang digelar di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, pemerintah sudah menyiapkan langkah strategis lintas sektoral, yakni pedoman Kesiapsiagaan Darurat Veteriner ASF (Kiatvetindo ASF). Terdapat empat tahapan penanggulangan, yaitu tahap investigasi, tahap siaga, tahap operasional dan tahap pemulihan. Hal lain adalah sosialisasi terkait ASF di wilayah-wilayah risiko tinggi, membuat bahan komunikasi, informasi dan edukasi untuk di pasang di bandara, pemantauan dan respon terhadap kasus kematian babi yang dilaporkan melalui iSikhnas, membuat penilaian risiko masuknya ASF ke Indonesia sehingga membantu meningkatkan kewaspadaan.

Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Agus Sunanto, menegaskan bahwa Badan Karantina Pertanian (Barantan) akan turut melakukan upaya antisipatif. Hal yang dilakukan diantaranya memperketat serta meningkatkan kewaspadaan pengawasan karantina di berbagai tempat pemasukan negara.

Beberapa kali Barantan berhasil menggagalkan masuknya komoditas yang berpotensi membawa virus ASF, seperti daging babi, dendeng, sosis, usus dan olahan babi lainnya. Sebagai contoh, Karantina Pertanian Bandara Intenasional Soekarno Hatta sepanjang 2019 hingga September kemarin telah menyita komoditas petensial ASF sebanyak 225,28 kg yang berasal dari barang bawaan penumpang.

Selain melakukan pengawasan, Agus menjelaskan pihaknya merangkul semua instansi, baik di bandara, pelabuhan dan poslintas batas negara, seperti Bea dan Cukai, Imigrasi, unsur airlines, agen travel serta dinas peternakan di daerah. Menurut Agus, Kementan telah menghitung potensi kerugian kematian akibat ASF. Apabila dihitung 30% saja populasi terdampak, maka kerugian peternakan babi dapat mencapai Rp 7,6 triliun. (CR)

Negara-negara di Asia yang Terjangkit Wabah ASF

Negara
Terjangkit
Estimasi Populasi Babi
China
Agustus 2018
441.000.000
Monggolia
Januari 2019
50.000
Vietnam
Februari 2019
27.000.000
Korea Utara
April 2019
3.000.000
Kamboja
April 2019
2.000.000
Laos
Juni 2019
4.000.000
Myanmar
Agustus 2019
18.000.000
Filipina
September 2019
12.500.000
Korea Selatan
September 2019
11.000.000
Timor Leste
September 2019
400.000
Populasi Terancam
518.950.000









Berbagai sumber.

IMBAUAN PEMKAB TOBA TERKAIT AFRICAN SWINE FEVER

Salah satu gejala penyakit ASF yaitu ternak babi kehilangan nafsu makan (Foto: scmp.com)


Pemerintah Kabupaten Toba Samosir melalui Kepala Dinas Ketahanan Pangan Toba, Darwin P Sianipar SPt, MSi, Jumat (25/10/2019) mengeluarkan imbauan terkait penyakit babi ASF (African Swine Fever) yang sedang mewabah.

Imbauan diantaranya menerangkan penyakit ASF adalah penyakit menular dan mematikan pada ternak babi yang disebabkan oleh virus African swine fever.

ASF awalnya dibawa dari Afrika Timur ke Georgia oleh produk babi yang terkontaminasi seperti sosis dan bakso hingga menyebar sampai ke Jepang, bahkan di Jepang telah disita sebungkus sosis dari seorang pelancong dari Cina.

Adapun gejala penyakit ASF ini mirip dengan gejala penyakit hog cholera antara lain demam dengan suhu tinggi (>41°C) pada ternak babi kemudian kehilangan nafsu makan, ternak babi muntah-muntah dan sulit bernafas.

Gejala lainnya yatu ternak babi diare dan mengalami kelumpuhan atau sulit berjalan lalu timbul bintik-bintik merah disekitar paha, perut dan leher ternak babi.

Jika menemukan gejala tersebut segera melapor kepada ke Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Penyuluh Pertanian Kecamatan dan ke Dinas Pertanian Kabupaten Toba Samosir.

Selanjutnya warga diimbau beberapa hal yaitu menghindari mengonsumsi makanan olahan daging babi yang bercampur darah dan bagian dalam dari ternak babi seperti sangsang, panggang dan tanggo-tanggo.

Disebutkan juga daging babi yang tersedia dalam menu pesta adat maupun dikonsumsi keluarga, jika harus memakannya dianjurkan agar memasak daging tersebut dengan suhu minimal 100°C atau memasaknya selama 30 menit.

Ini disebabkan karena virus ASF dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam daging olahan dan beberapa tahun dalam daging babi beku.

Selanjutnya menghindari makanan atau produk olahan daging babi yang diimpor seperti sosis, meat ball, meat slice dan produk kaleng lainnya.

Waspada ketika membeli daging babi dipasar tradisional. Jika tidak meyakinkan jangan dibeli dan apabila harus dibeli maka daging tersebut dimasak selama 30 menit dalam suhu 100°C.

Menyemprot kandang hingga 100 meter sekitar kandang minimal setiap dua kali seminggu dengan desinfektan (pembasmi hama), dan dapat juga menggunakan air deterjen.

Selain itu, Ikut serta memantau keluar masuknya ternak babi ke Kabupaten Toba Samosir. 

Jika ditemukan ada yang membawa ternak babi memiliki gejala ASF untuk segera melaporkan ke Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Penyuluh Pertanian Kecamatan dan ke Dinas Pertanian Kabupaten Toba Samosir. (Rilis/INF)

PEMERINTAH SIAP ANTISIPASI WABAH ASF

Dirjen PKH : Pemerintah siap mengantisipasi ASF


Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita angkat bicara mengenai African Swine Fever (ASF) dalam sebuah acara Seminar International mengenai ASF di Bogor, Sabtu (19/10). Pada kesempatan itu, dirinya menjelaskan upaya peningkatan kewaspadaan penyebaran wabah. "Tindakan kewaspadaan terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis yang meliputi pengamatan/deteksi cepat, pelaporan cepat dan pengamanan cepat” tegas I Ketut Diarmita.

Diarmita menambahkan, ASF bersifat highly pathogenic pada babi ternak dan babi hutan, serta menyebabkan kematian yang tinggi, dampak dari penyakit tadi berupa kerugian ekonomi yang sangat tinggi. “Negara seperti Cina saja sudah dibuat ketar – ketir dengan penyakit ini, Indonesia walaupun mayoritas muslim dan tidak banyak konsumsi babi, tapi kan babi ini sumber devisa, tidak ada alasan untuk tidak waspada,” tuturnya.

Dengan upaya yang dilakukan Kementan bersama stakeholders yang berkepentingan, Diarmita menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan langkah cepat dan eksekusi bila penyakit ASF terjadi. Menurutnya, upaya yang dilakukan selama ini sebenarnya sudah tepat. Namun dalam mengamati perkembangannya,  penyakit ini yang sangat cepat dan mendekati perbatasan wilayah Indonesia.

Artinya potensi ancaman masuknya ASF ke Indonesia sangat besar. Terkait dengan kondisi tersebut, tindakan kewaspadaan dini terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis. Indonesia termasuk wilayah yang terancam, mengingat populasi babi yang sangat tinggi di beberapa wilayah antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, NTT, Bali, Papua, dan Papua Barat.

Oleh karena itu, pemerintah sedang menyiapkan pedoman kesiapsiagaan darurat veteriner ASF (Kiatvetindo ASF). Ada empat tahapan penanggulangan yaitu : 1.Tahap Investigasi 2. Tahap Siaga 3.Tahap Operasional dan 4. Tahap pemulihan.Hal lain adalah sosialisasi terkait ASF di wilayah-wilayah risiko tinggi, membuat bahan komunikasi, informasi dan edukasi untuk di pasang di bandara, pemantauan dan respon terhadap kasus kematian babi yang dilaporkan melalui iSikhnas, membuat penilaian risiko masuknya ASF ke Indonesia sehingga membantu meningkatkan kewaspadaan.

Karantina Siaga
Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Agus Sunanto juga menegaskan Badan Karantina Pertanian (Barantan) akan turut melakukan upaya antisipatif. Hal yang dilakukan diantaranya memperketat serta meningkatkan kewaspadaan pengawasan karantina di berbagai tempat pemasukan negara.

Beberapa kali Barantan berhasil menggagalkan masuknya komoditas yang berpotensi membawa virus ASF, seperti daging babi, dendeng, sosis, usus dan olahan babi lainnya. Sebagai contoh, Karantina Pertanian Bandara Intenasional Soekarno Hatta sepanjang 2019 hingga bulan September telah menyita komoditas petensial sebanyak 225,28 kg yang berasal dari barang bawaan penumpang.

Selain melakukan pengawasan, Agus menjelaskan pihaknya merangkul semua instansi, baik di bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara, seperti Bea dan Cukai, Imigrasi, unsur airlines, agen travel serta dinas peternakan di daerah. Menurut Agus, Kementan telah menghitung potensi kerugian kematian akibat ASF. Apabila dihitung 30 persen saja populasi terdampak, maka kerugian peternakan babi dapat mencapai Rp7,6 triliun.

Selain itu, Indonesia akan kehilangan pasar ekspor dan potensinya, baik untuk babi maupun produknya. Saat ini Indonesia memiliki banyak peternakan babi, dan merupakan salah satu pemasok utama bagi pasar Singapura. (CR)



PEMBELAJARAN WABAH ASF DI CHINA DAN VIETNAM


 
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD sebagai salah satu pembicara seminar ASOHI Jateng (Foto: Istimewa)

Virus African Swine Fever (ASF) disebut-sebut sebagai top killer industri babi. Suatu penyakit virus yang menyerang babi dan ditemukan pertama kali di Kenya pada 1921. Virus ASF membunuh babi dengan menyebabkan demam hemoragik yang ekstrim dan menghancurkan limfosit secara masif dalam jaringan limfa.

Pembahasan ASF dikupas secara menarik dan mendalam dalam Seminar “Strategi Antisipasi Penyebaran Virus ASF” di Studio Dreamlight World Media, Ungaran yang diselenggarakan ASOHI Jateng dan PDHI. Seminar berlangsung pada Sabtu, 12 Oktober 2019. 

Pembicara dari Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menerangkan penyebab ASF adalah virus yang unik, satu-satunya anggota keluarga Asfarviridae yaitu virus DNA yang dapat ditularkan oleh caplak (tick-borne DNA virus).

“Genom yang besar, dengan setengah dari proteinnya tidak diketahui fungsinya. Siklus penularan yang unik di antara babi-babi domestik, babi hutan liar dan caplak lunak, belum lagi virus ini punya daya tahan (survivability) in vitro yang tinggi,” lanjutnya.

Lebih lanjut Tri Satya Putri Naipospos memaparkan presentasinya yang berjudul "African Swine Fever: Pembelajaran dari Wabah di China dan Vietnam".  

Sejak ditemukan pada Agustus 2018, ASF menyebar ke setiap provinsi di daratan China. ASF diperkirakam menjangkiti 150-200 juta ekor babi, dugaan kerugian produksi daging babi mencapai 30%.

Penyebab penyebaran ASF di China diantaranya lalu lintas jarak jauh babi hidup dan produk babi 16,3%, transportasi kendaraan dan orang 40.8%, sisa-sisa makanan untuk babi (swill feeding) 42,9%. Uraian presentasi Tri Satya bersumber dari Dr Shengqiang Ge dari China Animal Health and Epidemiology Center.

Pembangunan kembali industri babi di China akan berjalan lambat dan butuh bertahun-tahun. Produsen akan tetap waspada mengingat resiko kontaminasi ulang dan difokuskan kepada peningkatan biosekuriti pada operasi yang tersisa.

Populasi babi di China sekitar 440 juta ekor babi, lebih dari 90% rumah tangga di China memelihara babi.  

“Seringkali dengan biosekuriti terbatas, sedikit atau tidak ada mekanisme pengendalian yang dapat digunakan untuk memastikan virus tidak ditularkan lewat truk, melalui pakaian orang yang masuk ke peternakan, atau dalam pakan dimana virus bertahan untuk jangka waktu lama,” jelasnya.

Sementara kasus wabah ASF di Vietnam pada Februari 2019 pertama terdeteksi di Provinsi Thai Binh dan Hung Yen, yang lokasinya di tenggara ibukota Hanoi kira-kira 160 km dari perbatasan China.

Vaksin yang dikembangkan di National University of Agriculture menunjukkan sukses awal dalam memerangi ASF, tapi para ahli skeptis dan mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Dr Sauland Sinaga SPt, MS sebagai narasumber berikutnya memaparkan presentasi berjudul “Strategi Manajemen Pemeliharaan Mencegah ASF”.

Imbauan AMI dalam mewaspadai penyebaran ASF antara lain negara harus menghentikan impor babi dan olahan dari negara terduga, peternak menghindari membawa olahan babi di kandang, bandara harus menghanguskan sisa makanan pesawat di pelabuhan dan di bandara yang berasal dari negara terduga.

Diuraikan juga lima elemen biosekuriti diantaranya isolasi/pemisahan, sanitasi dan desinfeksi, pengendalian lalu-lintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai babi. (NDV)

ASOHI JATENG SELENGGARAKAN SEMINAR ANTISIPASI PENYEBARAN VIRUS ASF


         
Seminar ASF yang digelar ASOHI Jateng ramai peserta (Foto: Dok. ASOHI Jateng)



Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Jawa Tengah (Jateng), pekan lalu menyelenggarakan Seminar Strategi Antisipasi Penyebaran Virus African Swine Fever (ASF) di Studio Dreamlight World Media, Semarang. 

Kendati belum terindikasi adanya virus ASF di Indonesia, tapi penyakit eksotik pada babi ini telah penyebabkan keresahan para peternak di Jateng.

"Karena apapun, Jateng salah satu penyangga kebutuhan daging babi untuk provinsi yang lain. Maka posisi ini harus dipertahankan untuk kesejahteraan warga di Jateng,"

Hal tersebut diutarakan Drh Abdullah, Kabid Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Provinsi Jateng.

Pada seminar yang diadakan ASOHI Jateng dengan Dreamlight World Media dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) ini, Abdullah menandaskan harus ada kesamaan persepsi dan pola pandang bagaimana mengantisipasi agar ASF tidak masuk ke Jateng.

"Jateng memiliki 10 pos lalulintas ternak yang memeriksa semua ternak, termasuk babi. Kami khawatir jika kendaraan pengangkut ternak ini tidak melalui jalur yang umum. Misalnya jika lewat jalan tol saja, sudah tidak terpantau. Maka dinas akan memperketat izin pengangkutan ternaknya di kabupaten/kota," terangnya. 

Untuk antisipasi ASF, maka dilakukan biosekuriti, yaitu melalui isolasi/pemisahan, sanitasi, pengandalian lalulintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai babi. Virus ASF pertamakali ditemukan di Kenya, Afrika pada 1921 dan belum ada obat maupun vaksinnya. (Sumber: www.suaramerdeka.com/INF) 


KEMATIAN TERNAK BABI DI DAIRI MASIH DISELIDIKI PEMERINTAH



Ilustrasi babi (Foto: Pixabay)


Penyebab kematian ternak babi yang terjadi di Sumatera Utara masih dalam proses penyelidikan Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping Tjatur Rasa.

Termasuk, atas laporan kematian puluhan ternak babi di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Saat ini, kata Fadjar, pemerintah masih menunggu hasil uji laboratorium. Fadjar menegaskan, kewaspadaan harus ditingkatkan karena saat ini sedang merebak virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika di sejumlah negara di dunia, termasuk Asia Tenggara. 

"Upaya yang bisa dilakukan adalah biosekuriti dan vaksinasi. Kecuali, jika ASF suda masuk, tidak ada vaksinnya. Sampai saat ini, kami belum bisa menyatakan akibat ASF karena dari hasil pengujian masih ada positif Hog Cholera. Seperti kejadian di Minahasa, ternyata karena Hog Cholera. Namun, meski demikian, kita harus waspada karena ASF sudah masuk di Filipina, yang dekat ke Sulawesi Utara," kata Fadjar, Minggu (13/9).

Sementara itu, Ditjen PKH Kementan telah mengadakan pelatihan termasuk analisis risiko kepada Dinas Kabupaten di seluruh Sumatera Utara pada 7-8 Oktober 2019.

"Mengingat urusan kesehatan hewan sudah menjadi otonomi dan kewenangan daerah, kami hanya bisa melalui pemerintah daerah (dinas yang membidangi PKH). Meski demikian, kami selalu berkoordinasi dan bekerja bersama pemda, melalui dinas yang menangani kesehatan hewan. Khusus Provinsi Sumatera Utara dan pemerintah kabupaten/ kota, kami telah bersama-sama melakukan upaya untuk membantu para peternak babi yang terkena musibah kematian ternak," tutur dia.

Saat ini masih terus dilakukan pemantauan serta telah dikirimkan bantuan tambahan disinfektan, alat semprot, alat pelindung diri (APD), serta membentuk tim untuk di lapangan.

 "Kami masih menunggu konfirmasi hasil laboratorium dan nanti rapat dengan komisi ahli kesehatan hewan. Jadi, intinya terhadap kasus kematian babi ini harus segera dilakukan upaya biosekuriti dan pengawasan lalu lintas ternak babi dan produknya. Serta, menjaga tidak ada penyebaran penyakit ke daerah lainnya. Sambil mewaspadai ASF yang sulit dikendalikan karena belum ada vaksinnya,” terang Fadjar.  

Apalagi, virus ASF sangat tahan dan bisa terbawa oleh hewan, produk hewan segar dan olahan, terbawa sepatu, baju dan alat alat peternakan, serta alat angkut/kendaraan yang keluar masuk peternakan atau daerah tertular ASF," kata Fadjar. (Sumber: Investor Daily)



INDONESIA SIAP PERBESAR PANGSA EKSPOR BABI



Meluasnya persebaran virus flu babi Afrika, Indonesia jajaki peluang perbesar ekspor babi. (Foto: Pixabay)


Seiring meluasnya persebaran virus African Swine Fever (ASF) atau flu babi Afrika di sejumlah negara produsen, Indonesia tengah giat menjajaki peluang untuk memperbesar pangsa pasar ekspor babi. Sejauh ini, kasus kematian akibat virus tersebut belum ditemukan di Indonesia meski telah ditemukan di negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja.

"Peluang untuk memperluas ekspor sangat besar. Kami sedang dalam upaya ke arah itu," kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Fini Murfiani, Kamis (22/8).

Fini tak merinci negara mana saja yang masuk dalam daftar penjajakan ekspor. Namun, tak memungkiri terdapat peluang ke negara-negara yang tengah menghadapi koreksi produksi akibat wabah virus flu babi Afrika.

"Produksi babi sendiri tentunya surplus. Negara tujuan ekspor mana pun, selama ada peluang kami akan kejar," sambung Fini.

Pasar utama ekspor babi baik dalam bentuk hidup maupun daging sendiri masih dipegang Singapura. Kementerian Pertanian mencatat nilai ekspor babi ke negara tersebut sejak 2014 sampai semester I/2019 mencapai nilai Rp3,04 triliun.

Sementara nilai total ekspor babi hidup yang telah dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai Rp4,31 triliun (kurs Rp14.000/US$) sepanjang sepanjang 2013-2017.

Berdasarkan dat BPS, rata-rata konsumsi daging babi di Indonesia berkisar di angka 0,22 kg per kapita per tahun selama periode 2013-2017 dengan konsumsi tertinggi pada 2017 di angka 0,26 kg per kapita per tahun.

Terlepas dari statistik tersebut, konsumsi daging babi tak bisa dibilang sedikit. Ketua Gabungan 
Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali Ketut Hari Suyasa menyebutkan konsumsi daging babi juga merupakan bagian dari budaya yang tak terpisah dari masyarakat Bali.

Hal ini terlihat pula pada tren konsumsi di sejumlah provinsi sentra produksi daging babi seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Rencana untuk memperluas pasar ekspor pun disambut baik oleh Hari selaku peternak. Kendati demikian, dia mengharapkan pemerintah dapat memberi bimbingan lebih kepada peternak rakyat agar manfaat perluasan pangsa ekspor tersebut tak hanya dirasakan segelintir pelaku usaha. (Sumber: bisnis.com)


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer