Rabies atau penyakit anjing gila merupakan penyakit zoonotik yang
keberadaannya meresahkan di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia masih berjuang
untuk dapat bebas dari satu dari Sembilan penyakit hewan menular strategis
tersebut.
Sejarah
dan Perjalanan Rabies di Indonesia
Kemunculan rabies di Indonesia terjadi pada akhir
tahun 1880-an, tepatnya dengan ditemukannya kasus rabies pada hewan pertama
yang terdokumentasi pada masa pendudukan Hindia-Belanda pada tahun 1884. Kasus
tersebut terjadi pada seekor kuda di Jawa Barat.
Pada tahun 1889, lima tahun kemudian, kejadian rabies
padaa kerbau juga terjadi di wilayah yang sama. Kasus yang serupa sebenarnya sudah
dilaporkan sebelumnya dan terjadi pada sapi di tiga daerah di Kabupaten Bekasi.
Selain itu, terdapat laporan mengenai dua kasus rabies pada anjing yang terjadi
sekitar 3–4 bulan sebelumnya, yang mengakibatkan kematian dua orang.
Laporan kerja di
Institut Pasteur memberikan gambaran tentang manifestasi klinis dan kelainan
yang terlihat yang sesuai dengan diagnosis klinis rabies; namun, tidak ada
informasi mengenai hasil pengujian laboratorium pada saat itu karena uji
diagnosis rabies di Institut Pasteur baru tersedia pada tahun 1895 di Jakarta.
Gambar 1. Peraturan
untuk Institut Pasteur terkait dengan penyakit rabies yang dicetak pada tahun
1895. (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Setelah laporan kejadian rabies di Jawa Barat,
terdapat laporan kasus dugaan rabies pada manusia di 22 lokasi di Pulau Jawa, 5
lokasi di Pulau Sumatera, dan di Sulawesi pada tahun 1897. Kasus dugaan rabies pertama
juga tercatat di Sulawesi Utara pada tahun 1903; Ambon pada tahun 1904;
Kalimantan pada tahun 1906; dan Ternate pada tahun 1907. Beberapa tahun
setelahnya, pada tahun 1912, empat kejadian rabies pada manusia muncul di
Lombok, dan pada tahun yang sama, tercatat satu kejadian lagi terjadi di Papua
(Tabel 1 di bawah).
Namun demikian,
laporan menunjukkan bahwa pasien yang berasal dari Lombok tidak mengalami
gigitan anjing rabies, dan pada saat itu tidak diketahui informasi adanya kasus
rabies di pulau ini. Sementara itu, di Nusa Tenggara Timur, Institut Pasteur
juga menerima laporan adanya tiga kasus pada manusia di Pulau Timor pada tahun
1903, 1908, dan 1913, dan satu kasus dilaporkan berasal dari Flores pada tahun
1910.
Tabel 1. Kejadian Rabies di Indonesia
(Sumber : Kementan 2023)
Periode
pemerintahan
|
Tahun
|
Pulau
|
Lokasi
|
Hindia-Belanda
|
1884
|
Jawa
|
Jawa Barat
|
|
1897
|
Sumatera
|
Bangka Belitung, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Utara, dan
Aceh
|
|
1897
|
Sulawesi
|
Sulawesi Selatan
|
|
1903
|
Timor
|
Nusa Tenggara Timur
|
|
1904
|
Ambon
|
Maluku
|
|
1906
|
Kalimantan
|
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat
|
|
1907
|
Ternate
|
Maluku Utara
|
|
1910
|
Flores
|
Nusa Tenggara Timur
|
|
1912
|
Lombok
|
Nusa Tenggara Barat
|
|
1912
|
Papua
|
Papua Barat
|
Penjajahan Jepang
|
-
|
-
|
-
|
Indonesia
|
1953
|
Jawa
|
Jawa Tengah, Jawa Timur
|
|
1953
|
Sumatera
|
Sumatera Barat
|
|
1958
|
Sulawesi
|
Sulawesi Selatan
|
|
1974
|
Kalimantan
|
Kalimantan Timur
|
|
1997
|
Flores
|
Nusa Tenggara Timur
|
|
2008
|
Bali
|
Bali
|
|
2010
|
Nias
|
Sumatera Utara
|
|
2010
|
Larat
|
Maluku
|
|
2012
|
Dawera
|
Maluku
|
|
2019
|
Sumbawa
|
Nusa Tenggara Barat
|
|
2023
|
Timor
|
Nusa Tenggara Timur
|
Gambar 2. Persebaran kasus rabies di Indonesia
pada masa Pemerintah Hindia-Belanda periode 1897-1916 (Sumber : Kementan 2020).
Masih
Terus Berulang
Berdasarkan data yang
tersedia, tercatat bahwa antara tahun 1903 dan 1916, terdapat peningkatan yang
signifikan pada jumlah pasien yang mencari pengobatan karena infeksi rabies.
Demikian pula, terdapat adanya peningkatan laporan kasus rabies pada hewan. Di
antara kasus paparan rabies pada manusia, anjing merupakan penyebab 6.797 dari
6.973 kasus paparan rabies pada manusia atau sekitar 97,5%.
Catatan medis juga menunjukkan
bahwa terdapat paparan rabies dari kucing (100 kasus), sesama manusia (34),
monyet (18), sapi (12), kuda (9), dan babi (2) yang dicurigai atau
terkonfirmasi terinfeksi rabies. Sedangkan dari 4.215 kasus yang dilaporkan
pada hewan, 4.123 (97,8%) terjadi pada anjing.
Hingga periode Perang Dunia
I, keberadaan rabies pada hewan tercatat di gugusan Kepulauan Sunda Besar
(Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi), serta di sejumlah pulau kecil di
nusantara.
Sejak itu, rabies menjadi kondisi
umum di wilayah Hindia-Belanda dan dianggap sebagai penyakit serius baik oleh
pemerintah maupun masyarakat Eropa yang ingin tinggal menetap di Hindia-Belanda.
Beruntungnya, vaksin rabies pertama untuk manusia berhasil diproduksi di dalam
negeri pada periode tersebut. Vaksin ini dibuat menggunakan otak monyet (Macacus
gynomolgus) dan pertama kali diproduksi di Bandung, ibu kota Jawa Barat, pada
tahun 1916.
Saat itu, tercatat adanya peningkatan frekuensi lalu
lintas secara bertahap, khususnya lalu lintas tentara yang membawa hewan
pendamping, terutama anjing, dari Pulau Jawa ke wilayah lain. Hal ini diyakini
berkontribusi terhadap penyebaran penyakit rabies di Hindia-Belanda.
Sebenarnya, upaya pengendalian rabies telah dilaksanakan sejak tahun 1889;
namun, hal tersebut masih belum banyak didokumentasikan secara komprehensif.
Peraturan yang mengatur lalu lintas hewan peliharaan (khususnya anjing, kucing,
dan monyet) di dalam negeri, serta impor hewan peliharaan, ditetapkan pemerintah
pada tahun 1890. Peraturan tersebut kemudian diubah pada tahun 1906 dan
diperkuat kembali pada tahun 1915.
Peraturan tersebut (Official Gazette/Peraturan Negara
Nomor 302) dikeluarkan pada tanggal 1 Oktober 1915 untuk menangani penyakit rabies
dan mencakup unsur-unsur penting sebagai berikut: “1) pada daerah yang bebas
rabies, dilarang membawa masuk anjing, kucing, dan monyet; 2) anjing, kucing,
atau monyet yang digigit hewan rabies harus disuntik mati, dibakar, atau
dikuburkan pada kedalaman minimal 1,5 meter; 3) jika ada kasus rabies yang
dilaporkan di suatu wilayah, wajib bagi semua pemilik anjing untuk memakaikan Brangus
untuk anjing peliharaannya saat berada di luar ruangan, baik di halaman rumah
sendiri atau saat jalan ke luar; selain itu, lalu lintas anjing, kucing, dan
monyet dari wilayah administratif tersebut juga dilarang; 4) pada wilayah yang
tidak memiliki persyaratan lisensi anjing, semua anjing wajib memakai kalung
sebagai tindakan untuk mengurangi populasi anjing liar”. Namun demikian,
peraturan-peraturan ini tidak ditegakkan secara konsisten atau secara tegas.
Tabel
3. Jumlah kasus rabies pada hewan pada periode Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1903-1916. (Sumber : Kementan 2020)
Tahun
|
Anjing
|
Kucing
|
Monyet
|
Sapi
|
Kuda
|
Babi
|
1903
|
213
|
3
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1904
|
312
|
5
|
1
|
1
|
-
|
-
|
1905
|
295
|
4
|
-
|
-
|
2
|
-
|
1906
|
256
|
4
|
1
|
-
|
-
|
-
|
1907
|
244
|
7
|
-
|
1
|
1
|
-
|
1908
|
290
|
3
|
-
|
1
|
-
|
-
|
1909
|
350
|
10
|
3
|
-
|
1
|
-
|
1910
|
351
|
3
|
4
|
-
|
-
|
-
|
1911
|
302
|
2
|
-
|
-
|
2
|
-
|
1912
|
321
|
5
|
3
|
2
|
-
|
1
|
1913
|
390
|
4
|
-
|
1
|
1
|
-
|
1914
|
512
|
8
|
3
|
-
|
-
|
-
|
1915
|
Tidak ada
data
|
Tidak ada data
|
Tidak ada data
|
Tidak ada data
|
Tidak ada data
|
Tidak ada data
|
1916
|
287
|
2
|
1
|
-
|
1
|
1
|
Total
|
4,123
|
60
|
16
|
6
|
8
|
2
|
Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1926,
pemerintah Hindia-Belanda memperketat peraturan rabies dengan memberlakukan Ordonansi
Pasal 451 dan 452 tentang pengendalian rabies.
Berdasarkan peraturan tersebut, Departemen Pertanian
beserta lembaga kesehatan hewan di bawahnya bertanggung jawab untuk
mengendalikan rabies pada hewan. Di sisi lain, Departemen Kesehatan Masyarakat
bertanggung jawab menangani kasus gigitan anjing dan korbannya, di mana pendekatan
ini tidak berubah hingga saat ini. Setelah diberlakukannya undang-undang tahun
1926, sebuah program nasional dilaksanakan untuk menangani rabies, yang
mencakup pemusnahan massal anjing-anjing liar dan vaksinasi massal terhadap
anjing, kucing, dan monyet berpemilik menggunakan vaksin kultur jaringan yang
diproduksi secara lokal.
Selama periode perang dunia pertama hingga perang
dunia kedua, tidak banyak data tersedia mengenai rabies dan penanganannya di
Indonesia. Pelaporan rabies kemudian kembali dilakukan pasca kemerdekaan
Indonesia, di mana kasus rabies terdeteksi pada tahun 1953 di Provinsi Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Barat. Kemudian, rabies muncul kembali di Pulau
Sulawesi dan Kalimantan masing-masing pada tahun 1958 dan 1974.
Dua dekade setelah
kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1967, pemerintah Indonesia
mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan hewan: Undang-undang
No. 6 Tahun 1967 yang secara jelas mengatur cara-cara pengendalian dan
pemberantasan rabies. Beberapa tahun kemudian, sebuah kolaborasi dilakukan pada
tahun 1978 oleh Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan tujuan untuk menetapkan
surat keputusan bersama yang didasarkan pada undang-undang yang disahkan pada
tahun 1926 dan 1967.
Meskipun peraturan
pemberantasan sudah diperkuat, rabies terus merajalela di Indonesia. Pada
pertengahan tahun 1980-an, tepatnya pada tahun 1985 hingga tahun 1986, dilaporkan
terjadi wabah rabies di Provinsi Jawa Tengah, di mana daerah tersebut sebenarnya
telah bebas rabies selama 10 tahun sebelumnya. (WFH)
Oleh : Wahid Fakhri Husein – praktisi manajemen kesehatan
hewan dan One Health; Direktur Sahabat Anti Rabies*