Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Mikotoksin | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KESIAGAAN HADAPI MIKOTOKSIN DI MUSIM PENGHUJAN


Saat ini mikotoksin semakin mendapat perhatian serius dan harus diwaspadai karena mikotoksin hampir selalu ditemukan di setiap bahan baku pakan. Mikotoksin meski dalam jumlah rendah namun terus-menerus ada dalam bahan baku pakan, akan menyebabkan penurunan efisiensi produksi dan meningkatkan kepekaan ayam terhadap berbagai jenis infeksi penyakit yang disebabkan melemahnya sistem pertahanan tubuh.

Mikotoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh mikotoksin dan penyakit tersebut timbul jika unggas mengonsumsi pakan atau bahan yang mengandung mikotoksin. Berdasarkan tempat proses tumbuhnya jamur yang memproduksi toksin dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

1. Field Fungi. Jamur yang tumbuh pada masa tanam di ladang/lahan pertanian (contoh: Fusarium).

2. Storage Fungi. Jamur yang tumbuh pada masa penyimpanan di gudang (contoh: Aspergillus sp. dan Penicillium sp.). Pada masa tanam tanaman jagung, kandungan jamur semakin meningkat seiring pertumbuhan tanaman tersebut. Toksin yang dihasilkan jamur semakin meningkat. Pada masa penyimpanan, kandungan jamur meningkat seiring masa penyimpanan dan kondisi yang ideal bagi pertumbuhannya.

Gejala klinis mikotoksikosis biasanya tergantung dari jenis dan kadar mikotoksin. Variasi gejala klinis tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan, gangguan produksi telur, gangguan daya tetas telur, gangguan pencernaan, perdarahan pada kulit, kerusakan jaringan pada paruh, rongga mulut dan gangguan akibat efek imunosupresi.

Mikotoksin akan menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022.

Ditulis oleh: Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, Jakarta
Telp: 021-8300300

SEKILAS TENTANG MIKOTOKSIN

Mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk pertanian seperti jagung untuk pakan ternak. (Foto: Thinkstock)

Mikotoksin adalah metabolit sekunder produk dari kapang berfilamen, dimana dalam beberapa situasi dapat berkembang pada makanan yang berasal dari tumbuhan maupun dari hewan. Fusarium sp, Aspergillus sp dan Penicillium sp merupakan jenis kapang paling umum menghasilkan racun mikotoksin dan sering mencemari pakan ternak. Kapang tersebut tumbuh pada bahan pangan atau pakan, baik sebelum dan selama panen atau saat penyimpanan yang tidak tepat (Binder 2007; Zinedine & Manes 2009).

Kata mikotoksin berasal dari dua kata, mukes yang berarti kapang (Yunani) dan toxicum yang mengacu pada racun (Latin). Mikotoksin tidak terlihat, tidak berbau dan tidak dapat dideteksi oleh penciuman atau rasa, tetapi dapat mengurangi kinerja produksi ternak secara signifikan (Binder 2007).

Sebagai produk metabolisme jamur atau kapang, mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk pertanian seperti kacang tanah, jagung dan sebagainya. Beberapa toksin/racun jamur ini diproduksi pada kelembapan lebih dari 75% dan temperatur di atas 20° C, dengan kadar air bahan baku pakan di atas 16%.

Beberapa jamur/fungi yang diketahui dapat menghasilkan mikotoksin yang sangat berbahaya di peternakan adalah Aspergillus flavus (Aflatoksin B1) dan A. Ochraceus (Okratoksin), Fusarium (Zearalenone/F2, Fumonisin, DON/Dioksinivalenol/Vomitoksin, T2/Trichothecenes dan Penicillium viridicatum atau P. palitans (Okratoksin).

Beberapa jenis kapang dapat memproduksi lebih dari satu jenis mikotoksin dan beberapa mikotoksin diproduksi oleh lebih dari satu spesies kapang (Zain, 2011).  Kapang merupakan bagian normal dari mikroflora.

Ternak dapat terpapar mikotoksin setelah... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2022. (AHD-MAS)

DISKUSI VIRTUAL BIOMIN : FOKUS PADA REDUKSI PENGGUNAAN ANTIMIKROBIAL PADA PAKAN


Biomin menggelar diskusi daring secara interaktif untuk menyelesaikan permasalahan terkait

Jumat (10/12) yang lalu Biomin menggelar diskusi virtual yang bertajuk "Antimicrobial Reduction in Feed, Your Question Answered". Sebelumnya, dalam diskusi tersebut peserta undangan diminta mengirimkan pertanyaan terkait masalah peternakan terutama yang berkaitan dengan penggunaan antimikroba dalam pakan, yang kemudian dijawab oleh para expert dari Biomin.

Hadir sebagai narasumber nama - nama seperti Neil Gannon Regional Product Manager Gut Health, Maia Segura Wang dari divisi R&D Biomin, dan Lorran Gabrado selaku Global Product Manager Mycotoxin Risk Management. Acara tersebut dimoderatori oleh Michele Muccio Regional Product Manager Mycotoxin Management dari Biomin.

Dalam presentasinya yang singkat, Neil Gannon mengatakan bahwa dunia menghadapi permasalahan terkait penggunaan antimikroba yang berlebihan, khususnya di bidang peternakan. Ia menjelaskan bahwasanya residu antimikroba pada produk hewan merupakan masalah yang serius. Hal tersebut berkaitan dengan kualitas produk. Selain itu masalah lain yang ditimbulkan adalah menyebarnya bakteri yang resisten terhadap antimikroba yang menyebar melalui produk hewani yang dikonsumsi oleh manusia, 

"Dengan begitu apabila ada mikroba yang menginfeksi manusia tentunya akan menjadi sulit disembuhkan karena mikroba tersebut resisten terhadap antimikroba, ini masalah yang serius bagi peternakan kita," tutur Neil.

Meneruskan pendapat Neil, Maia Segura mengatakan bahwasanya masalah diperparah dengan performa dan produksi hewan. Menurutnya di era dimana antimikroba sudah tak lagi digunakan, tentunya performa dan produksi dari ternak harus "diakali" sedemikian rupa dan peternak maupun stakeholder yang berkecimpung harus pandai - pandai dalam meracik formulasi pakan baik secara komposisi hingga feed additive yang digunakan.

"Banyak sekali hal yang harus diganti, tadinya kita bisa menggunakan antikoksidia seperti diclazuril, atau Zinc Basitrasin untuk menjaga performa, sekarang mereka tidak dapat lagi digunakan, karenanya dibutuhkan alternatif lain pengganti sediaan tersebut agar performa tetap terjaga," tuturnya.

Sementara itu, Lorran Gabardo memaparkan akan bahaya mikotoksin ditengah isu penggunaan antimikroba tersebut. Menurutnya stakeholder banyak yang "lalai" dan terkesan mengesampingkan keberadaan mikotoksin, padahal mikotoksin dalam pakan juga dapat mempengaruhi performa ternak, bahkan mengganggu program kesehatan yang diterapkan di farm.

"Contohnya DON (Dioxynivalenol) alias vomitoksin yang dihasilkan kapang Fusarium sp. mereka terbukti dapat menghambat efektivitas program vaksinasi pada ternak unggas. Ini juga merupakan masalah yang cukup serius," tutur Lorran.

Dalam sesi tanya jawab secara live, baik Lorran, Neil, dan Maia menjawab berbagai pertanyaan dari para audience terkait mikotoksin, kesehatan saluran pencernaan, serta tips dan trik terkait pemilihan dan penggunaan feed additive pada pakan agar performa lebih maksimal (CR)


MEWASPADAI ANCAMAN BIOTOKSIN PADA AYAM

Webinar relaunch Calibrin Z. (Foto: Istimewa)

Toksin atau racun merupakan hal yang kerap didengar oleh manusia, dalam terminologi dunia peternakan toksin diidentikkan dengan mikotoksin. Pada kenyataannya, peternak belum menyadari betul bahwa toksin baik yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri menyebabkan kerugian yang berdampak negatif pada performa ternak terutama unggas.

PT Novindo Agritech Hutama selaku salah satu perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan melakukan edukasi lebih lanjut kepada masyarakat terutama peternak terkait dampak buruk toksin pada ternak. Kegiatan tersebut berupa webinar yang dilakukan pada Selasa (28/9) melalui daring zoom meeting.

Tony Unandar praktisi senior perunggaan sekaligus anggota dewan pakar ASOHI hadir sebagai narasumber utama. Dalam presentasinya Tony menjelaskan secara mendetail mengenai toksin dan dampak negatifnya pada ternak.

"Toksin tidak hanya dihasilkan oleh jamur saja (mikotoksin) tetapi juga bakteri, banyak peternak yang sering terlambat mendeteksi keberadaan toksin, dan bahkan kadang dokter hewan pun bisa "tertipu" dengan hal ini," kata Tony.

Ia menambahkan bahwa di Indonesia mindset peternak dan dokter hewan terpaku pada mikotoksin saja, sementara toksin bakterial masih luput dari perhatian. Terkait toksin bakteri, Tony menjelaskan mengenai endotoksin dan eksotoksin.

"Toksin bakteri ini bisa jadi lebih berbahaya, misalnya saja yang dihasilkan oleh C. perfringens, dimana ketika bakteri tersebut mati akibat pengobatan dengan antibiotik, toksinnya akan keluar dan memberikan dampak negatif di saluran pencernaan. Celakanya, produk pengikat toksin yang ada rerata belum banyak yang memiliki kapasitas untuk mengikat toksin bakteri ini," papar Tony.

Di sesi kedua, Dr. Kim Huang yang merupakan Regional Technical Service Manager Amlan International lebih lanjut membahas mengenai zat yang dapat mengikat berbagai jenis toksin baik dari jamur maupun bakteri.

"Sebuah unsur mineral yang bernama monmorilonite yang diaktivasi terbukti secara klinis dapat mengikat berbagai jenis toksin dari jamur maupun bakteri. Hal ini tentunya menjadi inovasi yang bagus dalam mengatasi permasalahan ini," tutur Kim Huang.

Kim juga menjelaskan bahwa mineral tersebut merupakan alternatif yang baik dalam substitusi antibiotik growth promoter yang tentunya juga ramah lingkungan. Oleh karenanya dengan penggunaan mineral tersebut, peternak tidak perlu khawatir lagi terkait performa ternaknya. (CR)

PENTINGNYA KENDALIKAN MIKOTOKSIN PADA JAGUNG PAKAN

Webinar pentingnya pengendalian mikotoksin pada jagung pakan. (Foto: Dok. Infovet)

“Pentingnya Pengendalian Mikotoksin pada Jagung Pakan” menjadi bahasan dalam Webinar Suara Agrina yang dilaksanakan pada Rabu (31/3/2021).

Ahli Nutrisi Ternak dan Pakan, Prof Budi Tangendjaja, yang bertindak sebagai narasumber mengemukakan bahwa pemakaian jagung merupakan hal yang utama dalam pembuatan ransum pakan ternak, sehingga kuantitas dan kualitasnya harus sangat diperhatikan.

“Komposisi jagung dan penggantinya dalam ransum pakan ayam maupun babi sebanyak 40-60%. Kualitas jagung harus diperhatikan dari kadar air, berat jenisnya, hingga kandungan aflatoksin di dalamnya. Rusaknya jagung akan berpengaruh pada pakan ternak maupun pangan manusia, karena jagung yang jamuran akan turun nilai gizinya akibat digunakan untuk pertumbuhan jamur,” ujar Budi dalam paparannya.

Ia menjelaskan, ada beberapa tanda-tanda bahwa jagung terserang jamur. Diantaranya bau tidak enak, timbul panas karena metabolisme, jagung menjadi hitam/hijau, peningkatan kadar air selama penyimpanan dan jagung menggumpal.

“Perkembangan jamur bisa terjadi sejak penanaman jagung. Jangan harap jagung yang terkena jamur itu kadar airnya kecil, justru tinggi. Akibat jamur jadi berpengaruh terhadap nutrisi, diantaranya menurunkan kandungan vitamin, asam amino, energi, hingga munculnya mikotoksin,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelaskan, mikotoksin sendiri merupakan senyawa sekunder yang dihasilkan oleh jamur dan beracun bagi ternak. Munculnya mikotoksin tergantung dari stres jagung dan dipengaruhi oleh oksigen dan CO2, suhu, kadar air dan kandungan gizi/substrat.

Adapun beberapa mikotoksin yang banyak diteliti pada pakan ternak yakni aflatoksin, zaeralenone, fumonisin, T2 toksin, vomitoksin, DON, fusarochromanone dan okratoksin.

“Contohnya alfatoksin ini ketika racun tersebut termakan oleh ternak ayam, itu organ hati akan rusak dan mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh, sehingga ayam jadi mudah terserang penyakit. Begitu juga terjadi kerusakan pada organ-organ lainnya,” terang dia.

Oleh karena itu, pengedalian jamur pada jagung menjadi hal utama dan harus dilakukan secara komprehensif mulai dari memilih bibit jagung dan sistem penanaman, panen, hingga pasca panen (penyimpanan, mitigasi mikotoksin, seleksi).

Good Agriculture Practice (GAP) mutlak dilakukan di Indonesia. Kemudian penggunaan teknologi pada saat panen, dryer jagung khususnya di musim hujan, penyimpanan gudang dengan pengapuran dinding untuk mengurangi jamur, maupun penyimpanan menggunakan karung (pakai pallet),” paparnya. Juga mitigasi ketika ada mikotoksin melalui cara fisik dengan pencucian, pengupasan kulit dan pemolesan jagung, kemudian pemisahan jagung, perlakuan heat treatment (autoclaving, roasting, microwave heating) dan lain sebagainya.

“Saya menyarankan setelah jagung dikeringkan langsung masukin silo biar awet dan lakukan pembersihan jagung ketika akan dibuat ransum. Kemudian untuk pengeringan jagung kalau mau lebih lama, kadar airnya harus di bawah 14%, itu kira-kira bisa sampai tiga bulan masa simpannya,” pungkasnya.

Webinar yang dihadiri sebanyak 100 orang peserta juga menghadirkan narasumber lain dari US Grains Council SEA & Oceania Region, Celeb Wurth, yang membahas mengenai produksi, teknologi, panen, pasca panen, penyimpanan, ekspor, program keamanan pakan di Amerika Serikat, hingga jagung sampai ke tangan konsumen. (RBS)

BAGAIMANA AGAR AMAN DARI ANCAMAN TOKSIN?

Menjaga gudang tidak lembap agar jamur tidak tumbuh. (Foto: Istimewa)

Mikotoksin sangat berbahaya bagi kelangsungan performa di peternakan unggas. Kontaminasi mikotoksin pada unit usaha unggas dapat menyebabkan kerugian sangat besar.

Ancaman Serius
Jamur, cendawan, atau kapang tumbuh dimana saja dan kapan saja, terutama ketika kondisi lingkungan menguntungkan mereka. Yang lebih berbahaya lagi, kebanyakan jamur biasanya tumbuh pada tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan baku pakan, sebut saja jagung dan kacang kedelai.

Kedua jenis tanaman tersebut merupakan unsur penting dalam formulasi ransum. Jagung digunakan sebagai sumber energi utama dalam ransum, sedangkan kedelai sebagai sumber protein. Persentase penggunaan jagung dan kacang kedelai dalam suatu formulasi ransum unggas di Indonesia pun sangat tinggi. Jagung dapat digunakan sampai dengan 50-60%, sedangkan kedelai bisa 20%. Bayangkan jika keduanya terkontaminasi mikotoksin.

Sayangnya, kontaminasi mikotoksin dalam bahan baku pakan ternak bisa dibilang tinggi. Data dari Biomin 2017, menununjukkan bahwa 74% sampel jagung dari Amerika Serikat terkontaminasi Deoksinivalenol/DON (Vomitoksin) pada tingkat rata-rata (untuk sampel positif) sebesar 893 ppb. Sedangkan 65% dari sampel jagung yang sama terkontaminasi dengan FUM pada tingkat rata-rata 2.563 ppb. Selain itu, ditemukan 83% sampel kacang kedelai dari Amerika Selatan terkontaminasi dengan DON pada tingkat rata-rata 1.258 ppb. Kesemua angka tersebut di atas sudah melewati ambang batas pada standar yang telah ditentukan.

Jika sudah mengontaminasi bahan baku pakan, apalagi pakan jadi, tentunya akan sangat merugikan produsen pakan maupun peternak. Menurut konsultan perunggasan sekaligus anggota Dewan Pakar ASOHI, Tony Unandar, mikotoksikosis klinis bukanlah kejadian umum di lapangan. Kasus mikotoksikosis subklinis yang justru sering ditemukan di lapangan. Gejalanya klinisnya sama dengan penyakit lain misalnya imunosupresi yang mengarah pada penurunan efikasi vaksin, hati berlemak, gangguan usus akibat kerusakan fisik pada epitel usus, produksi bulu yang buruk dan pertumbuhan yang tidak merata. Kesuburan dan daya tetas telur yang menurun.

“Kita harus berpikir begitu dalam dunia perunggasan, soalnya memang kadang gejalanya mirip-mirip dan kadang kita enggak kepikiran begitu,” ujar Tony.

Dirinya menyarankan agar jika bisa setiap ada kejadian penyakit di lapangan, sebaiknya diambil sampel, baik berupa jaringan dari hewan yang mati, sampel pakan dan lain sebagainya.

“Ancaman penyakit unggas kebanyakan tak terlihat alias kasat mata, dokternya juga harus lebih cerdas, periksakan sampel, cek itu ada apa di dalam jaringan, di dalam pakan, bisa saja penyakit bermulai dari situ, makanya kita harus waspada,” tegasnya.

Meminimalisir Risiko
Beragam alasan mendasari mengapa mikotoksin harus dan wajib diwaspadai. Menurut Technical Manager PT Elanco Animal Health Indonesia, Drh Agus Prastowo, mikotoksin dapat merusak… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2021. (CR)

STRATEGI TERBAIK PENGENDALIAN TOKSIN PADA PAKAN UNGGAS

Mikotoksin adalah komponen yang diproduksi oleh jamur yang telah terbukti bersifat toksik dan karsinogenik terhadap manusia dan hewan. (Foto: Infovet/Ridwan)

Tahun 2020 ditutup dengan kondisi curah hujan tinggi terutama di wilayah Jawa dan Sumatra. Dari pantaun BMKG, untuk Januari dan Februari 2021, akan masih didominasi curah hujan menengah dan tinggi.

Kondisi tersebut berpengaruh terhadap kejadian penyakit lebih tinggi yang bukan hanya didominasi oleh penyakit viral saja, tetapi kejadian Mikotoksikosis juga mengalami tren kenaikan karena kondisi lingkungan yang lebih lembap.

Dari data yang dihimpun tim Ceva, prediksi penyakit di Januari dan Februari 2021menunjukan bahwa mikotoksikosis menduduki peringkat ketiga setelah kejadian penyakit ND dan IBD, seperti diagram di bawah ini:

Prediksi penyakit pada ternak unggas. (Sumber: Ceva)

Fenomena ancaman terhadap bahaya mikotoksin masih menjadi momok menakutkan seiring kondisi lingkungan di atas yang menunjang untuk pertumbuhan jamur yang memproduksi toksin tersebut. Imunitas atau kekebalan ayam adalah hal yang paling fundamental terkait pengendalian tantangan mikotoksin dan patogen lainnya.

Mikotoksin merupakan kontaminan alami yang memiliki dampak negatif tehadap keamanan pangan dan pakan secara global. Mikotoksin adalah komponen yang diproduksi oleh jamur yang telah terbukti bersifat toksik dan karsinogenik terhadap manusia dan hewan. Kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembapan yang tinggi, infestasi serangga, proses produksi, panen dan penyimpanan yang kurang baik akan menyebabkan tingginya konsentrasi mikotoksin pada bahan baku pangan/pakan yang dapat menyebabkan timbulnya wabah penyakit.

Hati yang terpapar mikotoksin. (Sumber: Istimewa)

Melihat fenomena di atas, mikotoksin perlu menjadi perhatian peternak unggas karena faktor sebagai berikut:… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Februari 2021.

Ditulis oleh: 
Drh Sumarno, Senior Manager AHS PT Sreeya Sewu Indonesia
Han, Praktisi Peternak Layer

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer