Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Bahaya Stress Panas (Heat Stress) pada Sapi dan Cara Mendeteksinya

Upaya jangka panjang mengatasi heat stress dapat dilakukan dengan seleksi ternak secara konvensional maupun tingkat DNA melalui kajian mendalam. (Sumber: noticiascalabozo.com)
Gejala stress panas (heat stress) dapat terjadi pada sapi akibat gangguan pada proses metabolisme tubuh karena cekaman panas yang tinggi. Stress panas pada sapi dapat menurunkan produktivitas pada ternak sehingga harus diatasi. Bangsa sapi Bos indicus memiliki daya tahan panas (heat tolerant) yang baik dibandingkan dengan sapi Bos taurus (Gantner et al., 2011). Hal itu disebabkan karena bangsa sapi Bos taurus tidak memiliki kemampuan homeostatis yang baik pada cuaca panas (Blackshaw dan Blackshaw, 1994).

Beberapa sapi lokal di Indonesia seperti sapi Bali, Madura dan Pasundan juga memiliki daya tahan panas yang baik (Atmadilaga, 1959; Putra et al., 2014). Zona aman untuk bangsa sapi Bos taurus adalah pada suhu 5-20oC (perah) dan 15-25oC (potong). Selain itu, zona aman untuk bangsa sapi Bos indicus pada suhu 16-27oC (Polsky dan von Keyserlingk, 2017). Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim panas, sehingga heat stress dapat terjadi pada beberapa bangsa sapi eksotik (Bos taurus) atau persilangannya yang dipelihara di Indonesia.

Gejala Heat Stress
Tanda-tanda gejala heat stress dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala yang terlihat (visible sign) dan gejala yang tidak terlihat (invisible sign).

Gejala yang terlihat pada sapi yang mengalami heat stress antara lain sebagai berikut:
a. Dalam kandang koloni, sapi cenderung saling merapat satu sama lain (bunching).
b. Sapi lebih sering berdiri dan terlihat gelisah.
c. Sapi sering menyerang dengan tiba-tiba (slobbering).
d. Sapi bernafas dengan cepat dan mulut terbuka (panting).
e. Daya keseimbangan sapi berkurang dan terlihat gemetar (trembling).
f. Sapi lebih banyak minum.
g. Konsumsi pakan dan proses ruminasi berkurang.
h. Sapi lebih sering mengeluarkan urine.

Gejala yang tidak terlihat pada sapi yang mengalami heat stress antara lain sebagai berikut:
a. Kadar PH di dalam rumen sapi rendah.
b. Motilitas mikroba di dalam rumen berkurang.
c. Pembuluh darah perifer membesar.
d. Mineral elektrolit (Ca, K, Na) dan senyawa bikarbonat (HCO3) di dalam tubuh berkurang.
e. Produksi hormon reproduksi terganggu.
f. Daya tahan terhadap penyakit parasit dan non-parasit berkurang.
g. Perkembangan sel telur dan sperma terganggu.

Monitoring Heat Stress
Salah satu cara untuk mendeteksi gejala heat stress pada sapi adalah dengan melihat tanda-tanda respirasinya. Tingkat respirasi pada sapi dapat dikelompokkan menjadi empat kategori seperti pada tabel.

Tabel Tingkat Respirasi pada Sapi
Score
Deskripsi
0
Respirasi normal (sekitar 60 sampai 90 kali per menit)
1
Respirasi mulai meningkat (sekitar 80 sampai 110 kali per menit)
2
Respirasi disertai dengan mulut sedikit terbuka dengan sedikit lendir saliva (sekitar 100 sampai 130 kali per menit)
3
Respirasi disertai dengan mulut yang terbuka lebar dengan lendir saliva yang banyak (sekitar 120 sampai 140 kali per menit)
4
Kondisi respirasi seperti pada score 3, tetapi disertai dengan lidah yang menjulur keluar (>140 kali per menit) dan kepala tertunduk ke bawah

Sumber: Marder et al., (2006).

Sapi dengan ciri score 2 perlu diwaspadai terjadi heat stress. Sapi yang mengalami heat stress dengan score 4 dapat menyebabkan kematian. Contoh sapi yang terkena gejala heat stress tersaji pada Gambar 1. Monitoring heat stress dalam suatu peternakan dapat dilakukan berdasarkan suhu udara (dry bulp temperature) dan kelembaban udara (relative humidity).

Nilai yang diperoleh dari kedua parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk mengetahui nilai Temperature Humidity Index (THI) seperti pada Gambar 2. Nilai THI terdiri dari lima kategori, yaitu normal (THI <75), aware (70-74), alert (75-78), danger (79-83) dan emergency (THI >83).

Sifat heat tolerant secara kuantitatif dapat diukur dengan menghitung nilai koefisien Benezra dan koefisien Rhoad dengan rumus persamaan menurut Soeharsono (2008), sebagai berikut:




Keterangan:
IA : Index Adaptability (koefisien Benezra)
HTC : Heat Tolerant Index (koefisien Rhoad)
RTI : Suhu tubuh siang hari
RTO : Suhu tubuh pagi hari 
NRI : Frekuensi respirasi siang hari
NRO : Frekuensi respirasi pagi hari

Seekor sapi yang memiliki nilai IA = 2,00 menunjukkan bahwa sapi tersebut memiliki sifat heat tolerant. Nilai IA yang lebih tinggi atau lebih rendah dari 2,00 menunjukkan bahwa sifat heat tolerant semakin rendah. Sementara itu, nilai HTC = 100 menunjukkan bahwa sapi memiliki sifat heat tolerant yang optimal. Semakin rendah nilai HTC maka sifat heat tolerant pada sapi semakin rendah.

Sapi Pasundan memiliki nilai IA sebesar 2,05-2,24 sedangkan nilai HTC sebesar 89,20-94,60 (Putra et al., 2016). Rata-rata nilai IA dan HTC pada sapi Bali masing-masing sebesar 2,20 dan 93,00 (Muin et al., 2013; Atmadilaga, 1959). Nilai HTC pada sapi tropis berkisar antara 64-95 (Huitema, 1986).

Cara Mengatasi Heat Stress 
Permasalahan heat stress pada sapi pernah diulas di majalah Infovet edisi 232-November 2013 dengan judul “Heat Stress Sapi Perah dan Cara Mengatasinya” yang ditulis oleh Drh Joko Susilo. Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa heat stress pada sapi dapat diatasi dengan beberapa cara antara lain:
a. Menyiasati pakan, feed additive dan obat.
b. Mengusahakan atap kandang agar tetap dingin.
c. Membuat saluran ventilasi melalui pipa bawah tanah (under ground pipe).
d. Menyediakan kolam untuk berendam (dipping).
e. Memasang exit lane sprinklers dan cooling fan pada kandang.

Upaya untuk mengatasi heat stress tersebut memerlukan modal yang besar dan hanya dapat diaplikasikan pada peternakan skala industri. Upaya jangka panjang untuk mengatasi heat stress dapat dilakukan dengan seleksi ternak secara konvensional maupun tingkat DNA (molekuler) melalui kajian yang lebih mendalam.

Sebab, sifat heat tolerant pada sapi bersifat heritable (dapat diwariskan), sehingga seleksi ternak dapat dilakukan berdasarkan nilai IA dan HTC pada masing-masing individu. Seleksi molekuler pada sifat heat tolerant dapat dilakukan melalui identifikasi genotip (genotyping) pada beberapa kandidat gen yang mempengaruhi sifat heat tolerant, antara lain gen Bovine Heat Shock Protein 70 (bHSP70) dan Bovine Na/K adenosin triphosphatase alpha 1 (bATP1A1).

Muin et al. (2013), melaporkan bahwa genotip AA pada gen HSP70 sapi Bali merupakan genotip yang paling banyak ditemukan (dominan) pada sapi Bali. Genotip AA pada gen HSP70 sapi Bali diduga merupakan gen yang mempengaruhi heat tolerant pada sapi Bali.

Gambar 1. Salah satu ciri sapi yang mengalami gejala stress panas dengan score 1 (A),
score 2 (B), score 3 (C) dan score 4 (E). (Sumber: ag.ndsu.edu)
Gambar 2. Temperature humidity index (THI) pada sapi. (Sumber: Reynolds, 2016)

Widya Pintaka Bayu Putra, S.Pt., M.Sc.
Peneliti Bidang Genetika dan Pemuliaan Ternak,
P2 Bioteknologi - LIPI
Email: widya.putra.lipi@gmail.co.id 

Kongres One Health : FAO dan Kementan Bawa Poster Penggunaan Antibiotik


Drh Ni Made Ria Ria Isriyanthi PhD berpose di papan poster hasil riset penggunaan antibiotik (Foto: Istimewa)

Kongres One Health yang berlangsung di Saskatoon, Kanada pada 22 - 25 Juni 2018, Food and Agricultural Organization (FAO) Emergency Centre for Transboundary Animal Disease (ECTAD) serta Direktorat Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian membawa isu resistensi antimikroba dan One Health dalam bentuk poster.

Kepala Sub Direktorat Pengawasan Obat Hewan Kementan RI, Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD yang mewakili Indonesia dalam kongres ini mengatakan poster yang dibawa dalam kongres ini berupa hasil riset penggunaan antibiotik di peternakan broiler skala kecil dan menengah di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan sebagai pusat produksi peternakan ayam broiler di Indonesia.

Ni Made Ria Isriyanthi (kanan) bercengkrama dengan peserta kongres
Implementasi rencana aksi nasional pengendalian resistensi antimikroba 2017- 2019 kerja sama dengan FAO melibatkan lintas kementerian yakni Kementerian Perikanan dan Kelautan, Kemenristekdikti, Kementerian Pertahanan, BPOM, WHO, dan FAO.

Dalam rencana aksi ini meliputi peningkatan kesadaran dan pemahaman resistensi antimikroba, meningkatkan pengetahuan melalui surveilance dan penelitian, mengoptimalkan penggunakan antimikroba secara bijak pada manusia dan hewan, serta meningkatkan investasi temuan obat alat diagnostik dan vaksin baru untuk menurunkan penggunaan antimikroba.

Pemerintah Indonesia, kata Ni Made, telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan berlaku efektif mulai 1 Januari 2018. Kementerian Pertanian memperketat pengawasan terhadap peternak dan menyiapkan sanksi bagi yang melanggar.

Larangan penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan terdapat dalam Pasal 16 Permentan Nomor 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Pasal 17 menjelaskan percampuran obat hewan dalam pakan untuk terapi sesuai dengan petunjuk dan di bawah pengawasan dokter hewan. Larangan tersebut mengacu pada UU No 41/2014 Jo. UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan.

Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif. Satu di antara contoh dari resistensi antimikroba adalah dalam penggunaan antibiotika.

Bahaya lain resistensi antimikroba juga mengancam kemampuan tubuh dalam mengobati penyakit sehingga menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Jika tubuh kebal terhadap antimikroba, maka prosedur medis seperti transplantasi organ, kemoterapi, pengobatan diabetes, dan operasi besar menjadi sangat berisiko.

Dokter Hewan Pebi Purwo Suseno dari Direktorat Kesehatan Hewan mengatakan, poster untuk One Health dalam kongres ini menyampaikan berbagai program yang telah dilakukan Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan satu di antara negara terbaik dalam implementasi pendekatan ini. Untuk skala Asia Tenggara, Pebi berani menyatakan Indonesia adalah yang terbaik.

“Karena implementasi One Health kita hingga tingkat lapangan sudah baik. Negara lain masih sekadar konsep, kita sudah mengimplementasikannya,” katanya.

Isu Global

Isu resistensi antimikroba atau antimicrobial agents and resistance (AMR), menurut Chief Technical Advisor FAO ECTAD, Luuk Schoonman menjadi persoalan global yang dibahas dalam Kongres One Health tahun ini. AMR dibahas dalam sesi khusus di Kanada yang melibatkan para akademisi kampus.

The 5th International One Health Congress
Sesi khusus tersebut di antaranya membicarakan tentang penggunaan agen antimikroba, penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan, makanan dan pertanian, serta hubungan antara AMR dan dampak lingkungan. Satu di antaranya adalah Jaap Wagenaar dari Universitas Utrecth Belanda. Jaap Wagenaar mengenal baik Indonesia karena pernah menjadi konsultan tentang vaksinasi dan AMR.

Semua anggota PBB, termasuk Indonesia, punya komitmen mengurangi bakteri antimikroba. AMR menjadi penting karena berhubungan dengan pemenuhan produksi daging oleh binatang dan konsumsi manusia. “Menjadi persoalan di Indonesia adalah penggunaan antibiotik yang berlebih,” terang Luuk.

FAO menekankan semua negara menggunakan perannya untuk mengatasi resistesi antimikroba, misalnya mendorong peternak menerapkan biosekuriti untuk melawan berbagai serangan penyakit pada hewan dan vaksinasi.

Ketika terjadi AMR, maka produksi pangan terganggu dan membahayakan manusia. Penggunaan antibiotik berlebihan pada ternak seperti ayam broiler dan petelur membahayakan tubuh manusia. One Health  menggunakan pendekatan kesehatan hewan, kesehatan manusia, dan lingkungan.

FAO dan WHO sebagai bagian dari PBB berkolaborasi melalui One Health untuk mengatasi AMR. Fokus FAO adalah memastikan ketersediaan pangan dan kesehatan hewan ternak. Pada kesehatan hewan ternak, misalnya, mengantisipasi penyakit. “Keamanan produksi pangan dan konsumsi yang sehat harus dijamin sepenuhnya,” tegas Luuk. (Tempo/NDV)


Gubernur Aher Resmikan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Unpad

Momen peresmian Rumah Sakit Hewan Pendidikan di Unpad

Gubernur Jawa Barat Dr Ahmad Heryawan atau Aher meresmikan awal pembangunan Rumah Sakit Hewan Pendidikan di Universitas Padjadjaran (Unpad) Kampus Jatinangor, Sabtu (9/6/2018). Peresmian ini ditandai dengan peletakan batu pertama bersama Rektor Unpad, Tri Hanggono Achmad.

Aher menyampaikan sejarah kelahiran Program Studi Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Unpad. Pada Idul Adha 2015, kata dia, ditemukan cacing di dalam hati sapi kurban. Saat itu juga Aher mengerahkan dokter hewan dan dinas terkait untuk memeriksa semua hewan kurban.

"Saat itu saya melihat betapa penting peran dokter hewan. Jumlah dokter hewan di kita ternyata sedikit. Di situ saya menilai harus memperbanyak jumlah dokter hewan dengan membuka Jurusan Kedokteran Hewan," ungkapnya Aher.

Kata Aher, di Indonesia waktu itu hanya terdapat tujuh Jurusan Kedokteran Hewan dan hanya bisa menghasilkan 400 dokter hewan per tahun. Menurutnya, kebutuhan dokter hewan di Indonesia 1.200 dokter per tahun.

Oleh karenanya, tahun 2016 Program Studi Kedokteran Hewan pun dibuka di Universitas Padjadjaran yang berlokasi di Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Dalam waktu yang bersamaan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga membuka rumah sakit hewan di Lembang dan akhirnya menjadi rumah sakit hewan pertama di Indonesia.

“Kesehatan hewan peliharaan dan hewan ternak harus dijamin kesehatannya demi kesehatan manusia,” tegasnya.

Penghargaan dari PDHI  

Komitmen dan perhatiannya dalam mendukung peningkatan dokter hewan di Jawa Barat dan Indonesia, Aher menerima penghargaan “Manusya Mriga Satwa Sewaka” dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Pemberian anugerah diberikan langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar PDHI, Dr drh Heru Setijanto.

Ketua PDHI (kiri) memberi penghargaan untuk Aher
Aher tercatat telah mempelopori Jurusan Kedokteran Hewan di Unpad, mendirikan Rumah Sakit Hewan di Lembang yang merupakan yang pertama di Indonesia, dan mendirikan Rumah Ssakit Hewan Pendidikan di Unpad.

Dia menuturkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengucurkan dana Rp 20 miliar untuk pembangunan tahap awal RSHP Unpad.

Lanjutnya, tidak hanya untuk menjamin kesehatan hewan ternak, tenaga kesehatan hewan pun dibutuhkan untuk menjamin kesehatan hewan peliharaan bahkan hewan liar. Provinsi Jawa Barat, ujarnya, harus mencegah penularan TBC dan rabies dari anjing atau monyet ke manusia.

Sementara itu, Rektor Unpad menyatakan apresiasinya kepada Aher yang menaruh perhatian begitu besar pada bidang pendidikan serta kesehatan.

"Unpad pun tengah berupaya untuk meratakan persebaran dokter di Jawa Barat dengan program beasiswa," pungkasnya. (Antara/Unpad)

Rawan Hijauan Pakan, (Masihkah) Silase jadi Solusi

Bahan baku seperti rumput raja, dedak padi dan molasses. (Foto: Dok. pribadi)

((Ketahanan pakan bukan melulu soal sukses menyediakan, tetapi juga soal kemampuan bertahan menghadapi segala kemungkinan.))

Teknologi silase, terdengar bukan sebagai penemuan kekinian. Puluhan tahun yang lalu teknologi ini sudah diperkenalkan, khususnya di negara-negara subtropis dengan empat pola musim. Bagi mereka, silase hijauan pakan ruminansia adalah keniscayaan untuk ketahanan pakan pada musim dingin, di mana sulit ditemukan cadangan pakan hijauan di lahan yang tertutupi salju.

Hijauan Fermentasi di Indonesia
Di Indonesia, teknologi silase atau yang biasa disebut hijauan pakan fermentasi, didengungkan sebagai solusi mengatasi kerawanan hijauan di musim kemarau. Namun, realita di lapangan hingga kini, jarang ditemukan peternak dan kelompok peternak yang secara masif memproduksi silase sebagai kebutuhan pokok untuk mempertahankan ketahanan pakan. Berbagai penyuluhan yang diberikan kepada mereka, dari tahun ke tahun, tidak diimplementasikan secara berkesinambungan. Hal ini bisa jadi disebabkan karena kekayaan sumber daya alam Indonesia. Berbagai jenis hijauan pakan mudah ditemukan dan tumbuh subur. Bahkan beberapa daerah disebut sebagai lumbung pakan hijauan. Kondisi kekeringan di musim kemarau pun dianggap masih aman, karena masih bisa ditemukan beberapa spesies tanaman tahan kering seperti lamtoro, ada masih cukupnya suplai hijauan yang didatangkan dari daerah lumbung pakan. Sehingga lumrah, bila masyarakat masih enggan memproduksi silase terus-menerus sebagai kebutuhan, karena menambah biaya produksi mereka.

Berbeda dengan masyarakat peternak, justru industri peternakan ruminansia yang kerap memanfaatkan teknologi silase untuk efisiensi produksi pakan. Limbah industri pertanian kerap di-mix dengan berbagai bahan pakan sumber serat, untuk difermentasi menjadi silase komplit. Satu jenis ransum komplit tersebut lebih menjamin ketersediaan pakan sepanjang musim produksi, menjamin kestabilan kualitas pakan, serta efisiensi penggunaan tenaga kerja.

Pembuatan hijauan fermentasi secara sederhana.
(Foto: Dok. pribadi)
Tantangan Kerawanan Pakan Hijauan
Urgensi ketersediaan pakan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, bukan lagi hanya disebabkan karena semakin menurunnya jumlah lahan hijauan pakan yang tergerus cepatnya arus pembangunan pemukinan dan industri, namun juga karena faktor bencana alam. Betul, negara ini memang harus bersahabat dengan alam dan memahami bahwa wilayah Indonesia adalah wilayah rawan bencana, seperti gempa bumi dan tanah longsor, serta banjir mampu meluluh-lantakkan lahan pertanian, demikian juga dengan letusan gunung merapi. Awal Mei kemarin, Yogyakarta dan sekitarnya kembali merasakan hujan abu akibat erupsi freatik Gunung Merapi. Abu yang di keluarkan gunung berapi terbang dan menyelimuti seluruh kehidupan, termasuk lahan pertanian. Kondisi ini mengingatkan pada erupsi Gunung Kelud dan Merapi beberapa tahun sebelumnya, yang terjadi hingga lebih dari tiga hari. Namun, pengaruh dari abu vulkanik yang menempel pada permukaan tanaman bertahan hingga sebulan lebih, yang menyebabkan gagal panen dan kelangkaan hijauan pakan. Peternak ruminansia mengeluhkan kondisi ini, di mana palatabilitas ternak terhadap hijauan pakan tercemar abu vulkanik menurun drastis. Saat itu, penggunaan konsentrat ditingkatkan untuk mengganti kehilangan nutrien hijauan yang tidak terkonsumsi. Akibatnya peningkatan biaya pakan menjadi tak terhindarkan.

Alasan kepemilikan rojo koyo seperti sapi, kerbau, kambing dan domba oleh peternak di pedesaan, lebih sebagai ternak tabungan, yang siap diuangkan bila mereka membutuhkan uang. Faktor hitung-hitungan produksi belum menjadi konsen pokok, apalagi efisiensi prosesnya. Sehingga wajar bila teknologi sederhana silase tidak tersentuh secara berkesinambungan. Namun, hampir di setiap daerah, para peternak menghimpun diri dalam kelompok peternak, yang memperhatikan struktur organisasi dan menjalankan unit usaha. Kelompok ini mampu menjembatani peternak dengan segala keterbatasan yang tidak bisa diraih bila dilakukan sendiri-sendiri, termasuk di dalam usaha mempertahankan ketahanan pakan sepanjang musim dengan biaya yang semakin efisien. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan dibentuknya unit usaha produksi hijauan fermentasi.

Beberapa konsep dapat diterapkan. Misal, peternak yang umumnya mempunyai lahan hijauan, meski terbatas, dapat menyetor kelebihan hijauan pada musim hijauan melimpah (misal saat penghujan) kepada unit usaha di kelompok. Kemudian, unit usaha tersebut memproduksi hijauan fermentasi dari bahan baku yang dibeli dari peternak, atau dapat kulakan dari daerah lumbung hijauan pakan. Peternak dapat kembali memanfaatkan hasil panen hijauan fermentasi yang diproduksi oleh kelompok mereka, setiap saat, terutama pada saat kesulitan mendapatkan hijauan segar seperti pada saat musim kemarau, bahkan saat terjadinya hujan abu vulkanik. Pembelian pun dapat dilakukan dengan cara kekeluargaan yang mengedepankan kebijakan masing-masing kelompok, seperti pembelian secara tunai, pembayaran dengan harga dipotong setoran bahan baku hijauan, atau pembayaran kredit yang dibayar berkala atau menggunakan pupuk kandang.

Konsep kerakyatan seperti ini perlu dikelola oleh pengurus yang mengerti aspek usaha, aspek teknologi yang digunakan, yang juga akan mendapatkan hasil dari unit usaha yang dikelolanya untuk kesejahteraan mereka. Sehingga, dapat tercipta kondisi saling membantu dalam rangka efisiensi produksi yang dilakukan secara komunal antara peternak dan pengurus kelompok, bukan lagi berjuang sendiri-sendiri.

Contoh Fakta Menarik di Indonesia
Sebagai contoh di D.I. Yogyakarta, jumlah ternak ruminansia tercatat pada 2013 (Dinas Pertanian DIY) di Kabupaten Gunungkidul mencapai 40% dari total ruminansia di DIY (Tabel. 1), jauh lebih tinggi dari Kabupaten Sleman yang hanya mencapai 18% dari total ruminansia di DIY. Keadaan ini berbanding terbalik dengan luas lahan pertanian sawah yang notabene menyumbang hijauan dan sisa pertanian sebagai sumber pakan hijauan (Tabel. 2). Karena ironisnya, Kabupaten Gunungkidul hanya mempunyai luas lahan pertanian sawah 14% dari total sawah di DIY, sementara Sleman mempunyai sawah paling luas hingga mencakup 40%. Ditambah lagi bahwa sebagian besar sawah di Kabupaten Gunungkidul merupakan sawah tadah hujan, yang mengalami masa-masa bero. Hal ini mengindikasikan bahwa ada indikasi kerawanan pakan hijauan di Kabupaten Gunungkidul, dan wajar saja, bila lazim ditemui truk-truk pengangkut tebon (tanaman) jagung dan rumput raja datang ke kabupaten yang mempunyai kontur berbukit-bukit ini setiap harinya.

Faktanya, setiap musim kelangkaan pakan hijauan, hampir seluruh peternak di Kabupaten Gunungkidul tidak enggan untuk membeli hijauan yang didatangkan dari kabupaten tetangga, dengan harga 2-3 kali lipat lebih mahal dibanding jika mereka bisa menanam sendiri. Berdasarkan perhitungan penulis dan pengalaman pendampingan di lapangan, kelompok peternak yang mau memproduksi silase bagi kebutuhan anggota kelompoknya, mampu menekan biaya pakan hijauan hingga separuhnya, dibanding bila para anggota membeli hijauan segar secara eceran di pedagang hijauan. Hal ini karena, sub unit yang dimiliki kelompok dapat memotong jalur pemasaran hijauan pakan dengan membeli (kulakan) hijauan dari daerah lain dengan tonase yang lebih besar dan dapat dipergunakan anggota di setiap saat, sehingga meningkatkan nilai produk dari segi waktu pemanfaatan, dengan harga per kilogram menjadi lebih rendah.

Produksi hijauan fermentasi. (Foto: Dok. pribadi)
Silase (Masih) Sangat Berpotensi
Silase hijauan pakan bukan lagi komoditas internal kelompok peternak, namun kini merambah menjadi komoditas bisnis di hulu peternakan ruminansia. Para pengusaha penggemukan, stocking untuk pemotongan, serta kurban dan aqiqah service akan berpikir dua kali untuk menanam hijauan sendiri. Mereka lebih memilih membeli hijauan fermentasi (jika ada), bahkan dibanding dengan membeli hijauan segar yang mempunyai masa simpan hijauan terbatas (hanya 1-2 hari). Beberapa orang sudah menangkap peluang ini, seperti Kabupaten Magelang yang mempunyai sumber daya rumput luar biasa tinggi, yang mulai menjual hijauan silase ke D.I. Yogyakarta.

Kembali ke silase itu sendiri. Silase hijauan dianggap dapat menjawab tantangan kerawanan pakan hijauan. Membantu peternak menyediakan pakan hijauan berkualitas, berkesinambungan, sepanjang masa dan menjadi teknologi terapan yang mampu menjawab tantangan bencana alam, keterbatasan lahan hijauan dan tuntutan efisiensi sistem usaha peternakan. Jadi sudah tidak ada lagi cerita ketika turun hujan abu vulkanik, lalu sapi dan domba tidak makan, bukan? Jayalah peternak Indonesia.

Awistaros A. Sakti
Peneliti Bidang Pakan dan Nutrisi Ternak
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada






Lampiran Tabel

Tabel 1. Jumlah Ternak Ruminansia D.I. Yogyakarta Tahun 2013
Kabupaten/Kota
 Jumlah Ternak Ruminansia
D.I. Yogyakarta Tahun 2013** (ekor)
 Sapi Potong
Sapi Perah
Kerbau
Kambing
Domba
Total
Kab. Kulonprogo
45.595
    150
120
89.725
22.062
157.652
Kab. Bantul
50.552
    153
271
74.462
52.085
177.523
Kab. Gunungkidul
138.134
      35
45
171.530
10.918
320.662
Kab. Sleman
38.216
 3.954
 541
33.625
71.412
147.748
Kota Yogyakarta
297
     34
5
388
383
1.107
Total D.I. Yogyakarta
272.794
4.326
 982
369.730
156.860
804.692
**Dinas Pertanian D.I. Yogyakarta.


Tabel 2. Luas Lahan Pertanian D.I. Yogyakarta Tahun 2016
Kabupaten/Kota
Luas Lahan Pertanian
D. I. Yogyakarta Tahun 2016* (ha)
Sawah
Bukan Sawah
Kab. Kulonprogo
10.366
34.933
Kab. Bantul
15.150
12.923
Kab. Gunungkidul
7.875
117.332
Kab. Sleman
21.841
20.617
Kota Yogyakarta
60
16
Total D.I. Yogyakarta
55.292
185.821
*Badan Pusat Statistik D.I. Yogyakarta

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer