Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Tingkatkan Daya Saing Produk Olahan Peternakan, Kementan Gandeng Badan POM



Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) menggandeng Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk olahan peternakan milik UMKM Indonesia.

Menghadirkan narasumber dari BPOM dan Universitas Mataram, Ditjen PKH menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Implementasi Standar Mutu dan Keamanan Pangan Bimtek yang dihadiri oleh 56 orang peserta yang terdiri dari 40 orang Pengurus dari 20 Unit Pengolahan Hasil Peternakan (UPH) di 10 kabupaten/kota se-Provinsi NTB dan 16 orang petugas teknis Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota.

Peserta yang hadir merupakan pelaku pengolah hasil peternakan meliputi susu (sapi, kerbau dan kuda liar), permen susu kerbau, daging berupa dendeng sapi, abon (daging sapi, kuda, ayam, daging rusa), ayam ungkep, bakso daging sapi, sosis daging sapi dan nugget daging ayam, serta kerupuk kulit sapi, yang pada umumnya belum memiliki izin edar dari BPOM.

Bimtek yang diselenggarakan pada 27 Februari hingga 1 Maret 2018 di Mataram, Nusa Tenggara Barat ini merupakan tindaklanjut dari MoU kesepakatan kerjasama antara Ditjen PKH dengan Deputi III Bidang Pengawas Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Fini Murfiani mengatakan tujuan diselenggarakan Bimtek ini adalah untuk meningkatkan kompetensi Pengolah hasil peternakan dan para pendamping teknis dinas dalam implementasi standar mutu dan keamanan pangan, guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk hasil peternakan baik untuk pasar domestik maupun internasional.

Pada kesempatan tersebut Fini mengungkapkan, Indonesia mempunyai potensi besar sebagai negara pengekspor pangan olahan yang bercitarasa etnik seperti rendang yang kelezatannya sudah dikenal di dunia. Oleh karena itu, Ia berharap agar Unit Pengolah Hasil Peternakan yang merupakan UMKM untuk semakin mengembangkan diri, sehingga dapat menjangkau pasar ekspor.

"Saat ini kita akan terus mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan daya saingnya, sehingga bisa menembus ekspor," pungkasnya. (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan)


Permentan Nomor 26 Tahun 2017 Wujudkan Kemandirian Pangan



Pemerintah tengah berusaha keras mewujudkan kemandirian pangan dan meningkatkan kesejahteraan peternak sapi perah. Salah satu upaya dilakukan dengan menerbitkan Permentan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.

“Permentan Nomor 26 ini mengatur pemenuhan kebutuhan protein hewani, mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan produksi susu nasional dan meningkatkan kesejahteraan peternak,” kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Fini Murfiani pada acara Sosialisasi Pedoman Teknis Pelaksanaan Permentan No. 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu, Senin (19/2/2018) di Auditorium Gedung D, Kementerian Pertanian.

Fini menegaskan, untuk mewujudkannya, maka kontribusi pemanfaatan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) harus ditingkatkan,” ujarnya kepada peserta yang hadir.

Sebanyak 150 orang peserta yang hadir berasal dari Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Pertanian, Industri Pengolahan Susu (IPS), Importir Susu dan Produk Susu, Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Asosiasi atau Yayasan yang bergerak dibidang peternakan ataupun perlindungan konsumen, Tim Nilai Tambah dan Daya Saing Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, dan beberapa Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan.

Menurut Fini, dunia persusuan nasional pernah mengalami masa kejayaan sehingga pada tahun 1990-an SSDN dapat berkontribusi sebesar 41% atas kebutuhan susu nasional. Ia sebutkan, seiring diberlakukannya INPRES No 4/1998 kontribusi SSDN menurun tahun demi tahun, hingga pada tahun 2017 produksi SSDN hanya mampu memasok sebesar 20,74% (BPS) atau 922,97 ribu ton dari total kebutuhan nasional sebesar 4.448,67 ribu ton setara susu segar.

“Untuk mememenuhi kebutuhan tersebut, kekurangannya sebesar 3.525,70 ribu ton (79,26 %) harus dipenuhi melalui importasi,” imbuhnya.

Sejak penerbitan INPRES Nomor 4 tahun 1998, pemerintah seolah-olah tidak hadir dalam dunia persusuan nasional. Peternak bergelut sendiri memecahkan permasalahan mereka hingga pada titik dimana beternak sapi perah bukan lagi usaha yang menjanjikan secara ekonomi.

Peternak perlahan meninggalkannya untuk usaha bidang lain, ternak mulai dijual atau dijadikan ternak potong atau dikawinkan dengan sapi jenis lain agar dapat lebih bernilai ekonomi. Keadaan itu menyebabkan penurunan jumlah peternak, penurunan populasi sapi perah yang berdampak pada penurunan produksi SSDN.

Produktivitas dan kualitas susu menurun karena kurangnya pembinaan dan bimbingan teknis sehingga posisi tawar peternak sapi perah melemah, harga susu tidak dapat menutup biaya produksi. Sementara itu harga susu internasional lebih rendah, sehingga Industri Pengolahan Susu (IPS) lebih mengutamakan penggunaan susu impor untuk bahan baku produksinya.

“Keadaan ini harus diperbaiki dengan tools yang paling memungkinkan adalah melalui program Kemitraan yang dituangkan dalam Permentan Nomor 26 tahun 2017,” kata Fini.

Dijelaskan, sebagai implementasinya telah diterbitkan Pedoman Teknis Penyediaan dan Peredaran Susu yang menjadi acuan dalam: 1). pelaksanaan kemitraan; 2). pelaksanaan penghitungan supply demand susu; dan 3) pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan implementasi Permentan dimaksud.

Kemitraan diatur secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan peternak/gapoknak/koperasi, pembobotan sesuai kesepakatan, penilaian tergantung target dan realisasi.

“Penilaian kemitraan dilakukan oleh Tim Analisis Penyediaan dan Kebutuhan Susu dengan memperhatikan kelayakan dari kemitraan tersebut,” tambahnya.

Pada dasarnya IPS dan importir bahan baku susu dan produk susu mendukung program kemitraan sebagai salah satu kontribusi mereka dalam memajukan bidang persusuan di Indonesia. 

“Beberapa IPS telah menjalankan kemitraan selama puluhan tahun dengan kelompok peternak/gapoknak/koperasi, sehingga dengan adanya pedoman teknis ini kemitraan yang telah dilaksanakan dapat lebih terarah dan terukur dalam pengembangan persusuan nasional, terutama untuk mencapai kesejahteraan peternak,” urainya.

Namun demikan, Fini mengungkapkan bahwa bagi importir, kemitraan merupakan hal baru sehingga perlu panduan dan sinergi dari semua pihak agar kemitraan dapat dijalankan dengan efektif dan efisien.

Fini menyebutkan, Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan juga siap melaksanakan kegiatan kemitraan antara pelaku usaha dan kelompok peternak/gapoknak/koperasi dalam hal pembinaan dan pengawasan, serta pelaporan.

Selain itu, di katakan pula bahwa Gabungan Koperasi Seluruh Indonesia juga siap membantu program kemitraan dalam berkoordinasi dengan pelaku usaha dan kelompok peternak/gapoknak/koperasi agar kemitraan berjalan sesuai kebutuhan dan terarah.

Penerimaan proposal rencana kemitraan dari pelaku usaha diterima paling lambat  pada akhir Februari 2018 dan akan dievaluasi oleh Tim Analisis Penyediaan dan Kebutuhan Susu pada Bulan Maret 2018 untuk diimplementasikan mulai Maret 2018.

“Kemitraan yang memiliki prinsip saling ketergantungan, saling menguntungkan dan saling membutuhkan dalam konteks penyediaan dan peredaran susu adalah kemitraan yang output kegiatannya akan meningkatkan produksi SSDN yang berefek pada peningkatan kesejahteraan peternak baik melalui peningkatan produktivitas ternak, peningkatan kualitas susu, kemudahan akses permodalan, dan kemudahan pengembangan usaha,” pungkasnya. (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan)


Menantang Peluang Usaha Integrasi Sawit-Sapi

Integrasi usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha budidaya sapi potong
memberikan harapan meningkatnya produksi dan produktivitas kedua komoditas tersebut.

((Perkebunan kelapa sawit merupakan lumbung pakan yang melimpah. Dengan pola pemeliharaan ekstensif, yakni dengan digembalakan, maka sangat mungkin untuk bisa menghasilkan sapi bibit atau bakalan. Dengan pola pemeliharaan intensif atau semi intensif, yakni dengan program penggemukan, dapat menghasilkan daging.))

Integrasi ternak dalam suatu usaha tani tanaman adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktvititas tanaman, bahkan dengan adanya ternak diantara tanaman, harus dapat meningkatkan produktivitas tanaman sekaligus produksi ternaknya. Integrasi ternak tersebut bertujuan agar terjadi sinergi saling menguntungkan dan pada akhirnnya dapat membantu mengurangi biaya produksi.

Dalam sebuah pelatihan tentang budidaya sapi di kebun sawit di Banjarmasin, Kalimantan Selatan beberapa waktu lalu, Pengurus Pusat Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Dr Mursid Ma’sum, menjelaskan integrasi usaha sawit-sapi, tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit melalui pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk organik, meningkatkan pemanfaatan hasil samping kebun kelapa sawit sebagai pakan, membantu pekebun dalam pemeliharaan kebun dengan memanfaatkan ternak sebagai tenaga kerja.

Tujuan lainnya adalah melakukan efisiensi biaya produksi kebun dengan memanfaatkan pupuk kandang, serta dapat mengembalikan kesuburan tanah. Integrasi ini juga dimaksudkan agar dapat tercapai kesejahteraan pekebun dengan adanya pertambahan kepemilikan ternak. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan yakni konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia perkapita relatif masih rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Proporsi konsumsi daging sapi terhadap keseluruhan daging sebagai hasil ternak, relatif kecil, yaitu hanya 19%. Bandingkan dengan daging ayam yang mencapai 52%. Selain itu, keterbatasan lahan di Jawa dengan terkonsentrasinya kebun sawit di pulau Sumatera dan Kalimantan, telah membuka kemungkinan berkembangnya usaha budidaya sapi terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Usaha budidaya sapi memerlukan lahan dan perkebunan sawit menyediakan lahan tersebut, baik sebagai basis ekologis budidaya sapi maupun penyediaan pakannya.

Perkebunan kelapa sawit bahkan merupakan lumbung pakan yang melimpah. Dengan pola pemeliharaan ekstensif, yakni dengan digembalakan, maka sangat mungkin untuk bisa menghasilkan sapi bibit atau bakalan. Dengan pola pemeliharaan intensif atau semi intensif, yakni dengan program penggemukan, dapat menghasilkan daging. Penelitian tentang integrasi sawit-sapi pun telah banyak menghasilkan, utamanya dalam hal penyediaan pakan, baik menyangkut jumlahnya maupun kandungan nutrisinya. Begitu juga, telah tersedia teknologi pengolahan produk samping industri sawit, seperti batang, pelepah dan daun, tandan kosong, lumpur sawit dan bungkil inti sawit, menjadi bahan pakan ataupun pakan.

Mursyid mengungkapkan, penelitian tentang potensi pakan yang tersedia dari usaha perkebunan sawit dan pabrik pengolahan sawit telah banyak dilakukan. Penelitian ini tidak saja menyangkut jumlah (kuantitas) pakan yang dapat dihasilkan, tetapi juga kandungan nutrisi untuk masing-masing jenis bahan pakan yang berasal dari kelapa sawit. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa satu ha perkebunan sawit dapat menampung dua ekor sapi. Namun, banyak diantara kita “menyederhanakan” perhitungan potensi kapasitas tampung lahan sawit ini hanya berdasarkan pada luas perkebunan sawit. Sehingga, potensi sapi yang bisa dibudidayakan di perkebunan sawit mencapai sekitar 23 juta ekor sapi (11,91 juta ha x 2 ekor sapi).

Konsentrasi perkebunan sawit 95% ada di luar Jawa, yaitu Sumatera 62,46% (sekitar 7,0 juta ha) dan Kalimantan 32,99% (sekitar 3,7 juta ha). Data per regional (pulau) dapat dilihat pada table berikut:

Luas Perkebunan Sawit, Populasi Sapi dan Pemotongan Sapi
No
Regional
Kebun Sawit
Populasi Sapi
Pemotongan Sapi
Luas (ha)
%
Ekor
%
Ekor
%
Ekor/hari
1
Sumatera
7.032.856
62,46
3.075.135
19,94
459.643
21,14
1.259
2
Jawa
33.367
0,30
6.699.037
43,44
1.140.619
52,45
3.125
3
Bali-Nusra
0
0
2.498.189
16,20
152.554
7,02
418
4
Kalimantan
3.714.292
32,99
507.960
3,29
155.477
7,15
426
5
Sulawesi
367.877
3,27
2.294.530
14,88
222.571
10,23
610
6
Maluku-Papua
111.883
0,99
344.832
2,24
43.796
2,01
120
Nasional
11.260.275
100,00
15.419.719
100,00
2.174.660
100,00
5.958

Sumber: AINI, diolah dari Statistik Perkebunan (2016) dan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2016).

Potensi perkebunan sawit yang dapat diintegrasikan dengan budidaya sapi adalah berdasarkan luas tanaman yang telah menghasilkan (TM). Saat ini, luas tanaman TM secara nasional adalah sekitar 7,8 juta ha. Sedangkan proyeksi tahun 2018 sekitar 7,9 juta ha dan 8,1 juta ha untuk 2019 mendatang, atau sekitar 66,6% dari luas perkebunan sawit seluruhnya. Jadi, berdasarkan luasan tanaman sawit yang telah menghasilkan tersebut, maka potensi ternak sapi yang bisa diintegrasikan dengan perkebunan sawit berkisar antara 15-16 juta ekor.

Dari tabel terlihat bahwa terjadi kesenjangan antara wilayah perkebunan sawit (sebagai sumber pakan) dengan konsentrasi populasi sapi saat ini. Luas perkebunan sawit di Jawa hanya 0,3% mempunyai populasi sapi 43,4 %. Sementara pulau Sumatera yang mempunyai luas kebun sawit sebesar 62,46% memiliki populasi sapi hanya 19,94%. Begitu juga Kalimantan, yang mempunyai luas kebun sawit 32,99%, populasi sapinya hanya 3,29%. Tabel tersebut juga menggambarkan perbandingan antara populasi sapi per regional (pulau) dengan jumlah pemotongan sapi (sebagai representasi permintaan daging sapi ataupun pasar sapi). Di sini,  menunjukkan proporsi distribusi pasar yang tidak merata. Pasar sapi ataupun dagingnya masih terkonsentrasi di pulau Jawa (52,45%) dan Sumatera 21,14%.

Integrasi sawit-sapi makin menjadi usaha yang diharapkan dan pemerintah pun mendorong terlaksananya usaha integrasi ini dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 105 tahun 2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong. Regulasi tersebut diperkuat dengan permentan yang baru,  yakni Peraturan Menteri Pertanian No. 49 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Negara. Peraturan tersebut menetapkan bahwa importir sapi bakalan diwajibkan memasukkan sapi indukan dengan rasio 20% bagi pelaku usaha dan 10% bagi koperasi peternak dan kelompok peternak. Peraturan ini mengakibatkan praktisi feedloter harus mencari cara yang paling efisien agar tidak rugi dalam memelihara sapi indukan.

Dalam simulasi perhitungan kasar dari beberapa ahli menunjukkan, bahwa pemeliharaan sapi indukan akan rugi sebanyak minimal Rp 3.000.000 per ekor per sembilan bulan jika dipelihara secara intensif. Dengan demikian, praktisi feedlot yang impor sapi sebanyak 10.000 ekor akan mengalami kerugian sebesar 30 milyar rupiah per sembilan bulan.

Sementara itu, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Dalam kajian yang dilakukan oleh AINI, setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini terjadi peningkatan luasan area perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 46%, dengan luas area pada 2015 mencapai 11.300.370 ha. Peningkatan ini tentunya diikuti dengan meningkatnya kebutuhan pupuk dan herbisida untuk pemberantasan gulma. Jika diteliti lebih lanjut, perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi sebagai penyedia pakan bagi ruminansia. Pakan dapat tersedia dari vegetasi tanaman sela atau hijauan antar tanaman/bagian bawah pohon yang bersifat gulma, daun kelapa sawit dan pelepah batang kelapa sawit.

Untuk meningkatkan efisiensi pemeliharaan sapi indukan sekaligus meminimalkan biaya pupuk sawit, maka sistem integrasi sapi-sawit merupakan konsep yang tepat. Konsep ini memberikan keuntungan bagi praktisi feedlot diantaranya harga pakan menjadi murah, biaya tenaga kerja berkurang, sapi menjadi sehat dan mudah beranak. Dari segi animal welfare, dapat dikatakan bahwa sapi dalam tingkat sejahtera. Bagi pihak perkebunan sawit juga mendapatkan keuntungan diantaranya mengurangi biaya pemupukan, mengurangi biaya herbisida dan upah tenaga kerja. Selain itu, perkebunan sawit dalam jangka panjang dapat menghasilkan minyak organik.

Integrasi usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha budidaya sapi potong memberikan harapan meningkatnya produksi dan produktivitas kedua komoditas tersebut. Walaupun usaha ini telah menjadi program pemerintah untuk mendukung kedaulatan pangan, Mursyid menandaskan, tentang masih banyak tantangan yang dihadapi oleh para pelaku di lapangan agar program ini berhasil dengan baik. Oleh karena itu, upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh perusahaan kelapa sawit swasta, BUMN, pekebun rakyat untuk melakukan usaha integrasi sawit-sapi ini secara empiris bisa menjadi basis lesson learn bagi semua pihak. Begitu juga hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai perguruan tinggi maupun balai atau pusat penelitian, bisa dijadikan landasan teori untuk menerapkan integrasi sawit-sapi.


Andang S. Indartono
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI) 
IG: @and4ng
email: andang@ainionline.org


INFOVET-MSD ADAKAN SEMINAR PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBAGAI TERAPI MELALUI PAKAN




Tangerang – INFOVET. Menggandeng Majalah Infovet, PT MSD Animal Health memfasilitasi stakeholder peternakan untuk bertemu dengan pembuat kebijakan dalam Seminar ‘Permentan No 14 Tahun 2017 dan Implementasinya dalam Penggunaan Antibiotik di dalam Pakan’.

Sebanyak 80 peserta  memenuhi undangan seminar yang berlangsung Senin (19/2/2017) di Hotel Mercure, Alam Sutera, Tangerang.   

Drh Hartalina Karo Karo selaku Managing Director PT MSD Animal Health mengatakan kegiatan seminar ini dapat terlaksana karena banyaknya permintaan dari customer.

“Sebuah kehormatan bagi kami dapat mengundang para stakeholder dan pembicara diantaranya  Prof Dr Ir Budi Tangendjaja MSc, M Appl dan Kasubdit Pengawasan Obat Hewan Drh Ni Made Isriyanthi PhD,” tuturnya.




Diharapkan usai seminar, peserta banyak membawa pulang tambahan ilmu serta mengurangi kerisauan usai diterbitkannya Permentan No 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, ungkap Drh Hartalina. Pada Permentan tersebut tercantum pelarangan antibiotika imbuhan pakan atau yang dikenal dengan AGP. (ndv)   

KONTROL SUHU DAN KELEMBAPAN SAAT BROODING

Peran brooder sangat penting untuk menjaga suhu dalam kandang saat masa brooding,
agar ayam nyaman dan pertumbuhannya bisa optimal.
Untuk mencapai sukses pada periode awal pemeliharaan ayam (periode starter), apakah ayam bibit (breeder), ayam pedaging (broiler) atau ayam petelur (layer), kontrol suhu dan kelembaban sekitar anak ayam (DOC) sangat penting dilakukan di samping kualitas pakan, air minum dan ventilasi udara. Sistem thermoregulator ayam atau sistem pengaturan suhu tubuh ayam yang bersifat hometermik (suhu tubuh bersifat relatif stabil) berada pada kisaran tetentu yaitu suhu 40-41C. Namun saat ayam berumur 0-5 hari, ayam belum mampu mengatur suhu tubuhnya sendiri, karena pertumbuhan bulu sebagai salah satu kelengkapan pengatur suhu tubuh belum lengkap. Ayam baru mulai mampu mengatur suhu tubuhnya sendiri secara optimal sejak umur dua minggu. Oleh karena itu, peranan brooder (pemanas) sangatlah penting untuk menjaga suhu kandang tetap dalam zona nyaman, seperti yang disajikan pada Tabel 1 berikut:


Tabel 1: Suhu dan Kelembaban Udara yang Nyaman Bagi Ayam
Ayam pedaging
Ayam petelur
Umur (hari)
Suhu (oC)
Kelembaban (%)
Umur (hari)
Suhu (oC)
Kelembaban (%)
1
32-29
60-70
0-3
33-31
55-60
3
30-27
60-70
4-7
32-31
55-60
6
28-25
60-70
8-14
30-28
55-60
9
27-25
60-70
15-21
28-26
55-60
12
26-25
60-70
21-24
25-23
55-65
≥15
24-25
60-70
≥25
25-23
55-65
Sumber: Ross Manual Management (2009) & ISA Brown Manual Management (2007).

Di samping suhu, kelembaban udara (kadar air yang terikat di dalam udara) juga perlu diperhatikan, karena akan memengaruhi suhu yang dirasakan ayam, yang ada kaitannya dengan pengeluaran suhu tubuh pada ayam adalah melalui painting (membuka mulut), di mana semakin tinggi kelembaban udara, maka suhu efektif yang dirasakan ayam akan semakin tinggi pula. Sebaliknya ayam akan merasakan suhu yang lebih dingin dibanding suhu lingkungan saat kelembaban rendah, seperti pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2: Pengaruh Kelembaban Terhadap Suhu yang Dirasakan Ayam
Suhu efektif yang dirasakan ayam (oC)
Kelembaban kandang pada Thermohygrome-ter (%)
40%
50%
60%
70%
80%
Suhu kandang pada Thermo-hygrometer (oC)
30
36,0
33,2
30,8
29,2
27,0
28
33,7
31,2
28,9
27,3
26,0
27
32,5
29,9
27,7
26,0
24,0
26
31,3
28,6
26,7
25,0
23,0
25
30,2
27,8
25,7
24,0
23,0
24
29,0
26,8
24,8
23,0
22,0
Sumber: Ross Manual Management (2009).

Pengaruh Terhadap Produktivitas
Disaat kondisi suhu dan kelembaban tidak nyaman, maka ayam akan merespon/bereaksi dengan berbagai cara, diantaranya:

Saat Suhu Terlalu Dingin: Otak ayam akan merespon dengan meningkatkan metabolisme untuk menghasilkan panas tubuh. Efek suhu dingin ini terhadap anak ayam (DOC) pada masa brooding, jelas lebih tampak dibanding ayam remaja/dewasa, karena sistem thermoregulator-nya belum optimal. Suhu dingin ini bisa disebabkan berbagai faktor, antara lain suhu brooding yang terlalu rendah, litter yang dingin karena basah atau air minum yang terlalu dingin. Sebagai peternak dapat mengamati dan menganalisa penyebab suhu dingin ini dari tingkah laku ayam, di mana bila DOC berkerumun di bawah brooder, ayam berdiam diri, meringkuk, serta kondisi kaki yang basah, berarti suhu brooder terlalu rendah dan perlu dinaikkan, atau kemungkinan litter basah dan dingin. Secara alamiah bila ayam (DOC) nyaman dengan suhu kandang, maka dalam waktu 15 detik setelah disebar di bawah brooder, akan terjadi aktivitas biologis selanjutnya seperti bergerak/berlari, makan dan minum.
Saat Suhu Terlalu Panas: Pada kondisi ini ayam akan terlihat painting sebagai usaha tubuh mengeluarkan panas yang berlebih. Sebelumnya ayam akan berusaha dengan melakukan perluasan area permukaan tubuh (melebarkan/menggantungkan sayap) dan melakukan peripheral vasodilatation, yaitu meningkatkan aliran darah perifer terutama di jengger, pial dan kaki. Efek lanjutan pada kondisi ini ialah konsumsi pakan menurun dari biasanya sedang konsumsi air minum meningkat tajam, sehingga terjadi mencret (kotoran berair) dan pertambahan bobot badan terhambat akibat dari asupan nutrisi tidak terpenuhi dan metabolisme tubuh terganggu. Bila painting tidak mampu menurunkan suhu tubuh, maka ayam akan mengalami kematian mendadak.

Perlunya Database Suhu dan Kelembaban
Database suhu dan kelembaban di dalam kandang perlu dibuat, berupa pencatatan tentang kedua unsur tersebut baik kondisi pagi hari, siang, sore dan malam atau dini hari terutama mengingat Indonesia yang beriklim tropis. Catat juga respon ayam apakah ada painting, dan berdasarkan recording ini peternak bisa cepat bertindak apabila terjadi sesuatu di luar kondisi normal dan ideal.

Dalam satu kandang, minimal ada 3-5 titik untuk mengukur suhu dan kelembaban, yaitu bagian depan, tengah, belakang, atas (dekat genting) dan lantai kandang, dengan menempatkan alat otomatik (Thermohygrometer) di tiap kandang. Untuk kandang brooder, alat Thermohygrometer digantungkan di chick guard (pembatas lingkaran brooder), sedang pada kandang postal tanpa brooder bisa di tempatkan di bagian tengah kandang dengan ketinggian 40-60 cm.

Manajemen suhu dan kelembaban ini, juga harus melibatkan, 1) Pengaturan kepadatan. 2) Pemberian vitamin dan elektrolit. 3) Manajemen buka tutup tirai. 4) Penambahan kipas angin. 5) Sistem hujan/kabut buata. 6) Modifikasi konstruksi kandang. 7) Penggunaan closed house (kandang tertutup) jika ayam berjumlah ratusan ribu sampai jutaan ekor.

Semoga ulasan ini dapat membantu peternak untuk memberikan kondisi lingkungan yang nyaman bagi ayam, agar produktivitas ternak bisa tercapai secara optimal. (Sjamsirul. A)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer