Bambang Suharno (kanan) bersama Bob Sadino dan Wan Hasim |
Tentu saja, peserta seminar dari berbagai perguruan tinggi terkejut dan sekaligus tertarik dengan pengusaha yang hadir di forum resmi dengan celana pendek. Topik bahasan pada sesi itu adalah deregulasi dan debirokratisasi pertanian. Ketika ditanya dampak deregulasi pada bisnisnya, Bob dengan gaya bicaranya yang tajam dan tanpa basa basi berkata,” saya tidak tahu binatang apa itu deregulasi. Bagi saya yang penting adalah bagaimana bisnis ini harus berkembang”.
Sejak itulah saya menjadi tertarik dengan sosok Bob yang cara berpikirnya unik, di luar kebiasaan. Belakangan di berbagai forum ia sering mengkritik sistem pendidikan Indonesia yang banyak memasukkan sampah ke otak mahasiswa. Sebenarnya saya pun merasakan betapa banyak pola pendidikan yang tidak efektif. Bayangkan, orang Indonesia harus belajar Bahasa Inggris dari SMP sampai perguruan tinggi, tapi nyatanya hanya sedikit yang benar-benar bisa Bahasa Inggris . Jadi seberapa efektifkah belajar Bahasa Inggris di pendidikan formal?
Ketika saya lulus kuliah dan pergi ke Jakarta, saya bertemu dengan sahabat dekat Bob yang bernama H Abdul Karim Mahanan, seorang pengusaha obat hewan dan pendiri Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI). Karena kedekatan ini, saya menjadi punya kesempatan beberapa kali ketemu Bob. Suatu hari saya ke rumah Bob di Lebak Bulus. Dalam perbincangan itu ia berkata, “Karim Mahanan itu sama dengan saya. Suka ngerjain orang hehehe ”. Ya, saya pikir ada benarnya juga. Hampir setiap ketemu orang, apalagi mahasiswa, Karim maupun Bob langsung menggertak dengan kritik tajam. Tapi habis itu ia menjadi sangat akrab. Bedanya, bob suka bicara “kalian goblok”, Karim berkata “You nggak ada gunanya kalau cuman gitu”.
Suatu hari, ketika krisis tahun 1998, saya silaturahmi ke rumah Bob di Lebak Bulus untuk wawancara bagaimana menghadapi krisis ekonomi. Bob waktu itu menjawab,”orang lain menghadapi krisis, saya menerima krisis!”.
“Dari cara berpikir saja saya sudah beda kan. Dan saya lebih santai,” ujarnya dengan nada khas, santai , tegas dan sekali-kali diselingi canda. Belakangan saya sadar, jelas saja ia menerima krisis, karena nilai rupiah melemah, sementara Bob mengekspor sayuran dengan nilai dollar. Tak terbayang betapa berlipat untung yang ia terima dari krisis ekonomi yang mengubah US dollar dari Rp 2500 menjadi di atas Rp. 10.000. Benar-benar ia menerima krisis hehehe.
Suatu kali di tahun 2000an saya ikut sebagai panitia seminar bisnis unggas dan saya mengundang Bob sebagai pembicara. Di situlah dua sahabat, Bob dan Karim bertemu begitu akrab. Mungkin itulah pertemuan terakhir dua sahabat yang sama-sama sebagai perintis bisnis perunggasan modern Indonesia. Bob dikenal sebagai salah satu perintis yang mengenalkan telur ayam ras. Karim aktif di organisasi perunggasan yang memperkenalkan cara-cara budidaya ayam yang modern. Karim yang usianya 2 tahun lebih tua dari Bob Sadino, berpulang tahun 2004 di usia 74 tahun.
Beberapa tahun lalu saya menghadiri seminar Andrie Wongso, dimana Bob hadir sebagai peserta. Saya mengira ia menjadi pembicara tamu yang diundang Andrie Wongso, ternyata tidak sama sekali. Andrie Wongso sendiri heran. “Bob kok mau-maunya ikut seminar saya,” katanya. Jadinya seminar ini bertambah heboh, karena Andrie Wongso mengajak Bob ke podium di akhir sesi seminar, dan seperti biasanya, ia menggoblok-goblokan orang kuliah.
Andrie Wongso sebagai motivator yang getol menanamkan pentingnya pendidikan menanggapi omongan Bob dengan berbicara,” kita perlu hati-hati mencerna saran om Bob. Beliau kan dari kecil sudah kaya, nggak seperti saya yang dari keluarga miskin. Kalau sekolah nggak penting, trus gimana kalau mau jadi dokter, mau jadi pilot, mau jadi ahli teknik. Itu semua didapat dengan sekolah.”
Saya pikir, betul juga kata Andrie,”jangan menelan mentah-mentah petuah om Bob”. Itulah terakhir kali saya bertemu dan berkomunikasi Bob Sadino. Saat itu ia masih sempat mengenang Karim Mahanan sebagai sahabat yang sama-sama merintis usaha perunggasan. Ia juga menyampaikan maaf tidak hadir saat pemakaman alm Karim Mahanan, karena mendengar kabar duka belakangan.
Sekilas Riwayat Bob Sadino
Bob Sadino lahir di Lampung, 9 Maret 1933. Pemilik jaringan usaha Kemfood dan Kemchick ini lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.
Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.
Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.
Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.
Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam ras atau ayam negeri untuk melawan depresi yang dialaminya. Teman yang dimaksud adalah Sri Mulyono Herlambang, seorang pensiunan jenderal angkatan udara yang menjadi salah satu perintis usaha ayam ras dan dikenal sebagai pendiri dan pimpinan Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI). Waktu itu ayam ras belum begitu populer dan Bob langsung tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.
Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.
Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, pembantu orang asing sekalipun. Namun Bob dan istri cukup bersabar dan justru berkaca pada diri sendiri, untuk memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.
Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.
Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.
Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob terampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.
Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.
Bob Sadino meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Senin 19 Januari 2015 pukul 17.30 WIB, pada usia 82 tahun. Masyarakat Indonesia kehilangan seorang tokoh yang menjadi teladan dalam dunia bisnis dan kewirausahaan.
Selamat jalan Om Bob. Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat terbaik dan menerima semua amal ibadahmu. Aamiin ***
Dari berbagai sumber, disusun oleh Bambang Suharno, Pemred Majalah Infovet,