Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini ekonomi bisnis | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENARUH HARAPAN PADA TERNAK AYAM KUB

Minat beternak ayam KUB mulai tinggi. (Foto: Istimewa)

Ayam kampung unggulan ini mulai digemari masyarakat peternak skala rumahan. Ada juga yang sudah beternak hingga puluhan ribu ekor. Keuntungannya dikabarkan cukup menggiurkan.

Dalam tiga tahun terakhir usaha ternak ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) tampaknya makin digemari masyarakat. Tak hanya di kota sekitar Jakarta, di beberapa kota di Jawa Timur, Jawa Tengah dan luar Jawa, usaha skala kecil unggas ini mulai ramai. Skala usaha yang ditekuni beragam sesuai kemampuan modal, mulai dari ratusan ekor hingga ribuan ekor.

Ayam KUB merupakan ayam kampung hasil seleksi genetik yang memiliki sejumlah keunggulan, antara lain mampu bertelur hingga mencapai 160-180 butir/ekor/tahun, masa mengeram berkurang hingga tinggal 10% sehingga ayam cepat bertelur kembali. Selain itu, ayam ini dapat tumbuh lebih cepat dari ayam kampung biasa.

Menurut literatur di situs Kementerian Pertanian, asal usul ayam KUB dimulai dari program Balitnak pada 1997 dengan mendatangkan indukan ayam kampung dari beberapa daerah di Jawa Barat seperti Cipanas, Cianjur, Jatiwangi, Pondok Rangon, Depok, Ciawi dan Jasinga. Kemudian pada 2010-2014 ayam KUB disosialisasikan melalui forum ilmiah.

Pelan tapi pasti, akhirnya pamor ayam KUB sudah menasional. Tak hanya di sekitaran Jawa Barat, di beberapa daerah sudah bermunculan peternak-peternak yang menggeluti usaha ayam KUB.

Beberapa karakteristik dan keunggulan jenis ayam ini diantaranya warna bulu beragam seperti ayam kampung pada umumnya, produksi telur per tahun bisa mencapai 160-180 butir/ekor dan lebih tahan terhadap serangan penyakit.

Agus Wiyono, salah satu peternak ayam KUB asal Mojokerto, menyebutkan makin banyaknya masyarakat menekuni usaha ternak ayam KUB. Ayam jenis ini masih tergolong ayam kampung seperti pada umumnya. Mudah dipelihara, tidak “rewel” dan pakan jauh lebih murah dibanding beternak ayam ras petelur atau pedaging.

“Itu salah satu alasan masyarakat memilih usaha ternak ini, karena lebih mudah dan pakan juga murah,” ujarnya kepada Infovet.

Agus yang juga seorang dokter hewan dan pernah bekerja di salah satu perusahan integrator peternakan ayam pedaging, saat ini mengembangkan ayam KUB 2 sebanyak 10 ribu ekor lebih.

Alasan Agus memilih ayam KUB karena untuk ayam ras broiler dan petelur sering mengalami persoalan, baik harga yang tidak stabil maupun persoalan harga pakan yang terus naik. Persoalannya hampir tiap tahun pasti ada.

“Kalau untuk peternak yang tidak besar seperti saya, agak sulit mengimbangi masalah kenaikan harga pakan dan penurunan harga telur maupun daging. Untuk peternak skala perusahaan besar mungkin tidak terlalu berasa,” ujarnya.

Ayam KUB 1 dan KUB 2
Usaha yang ditekuni Agus memang belum mencapai dua tahun, namun sudah mencakup penyedia pembibitan (DOC) dan pembesaran (pedaging). Jenis ayam KUB yang dipilih adalah ayam KUB 2. “Untuk ayam KUB 1 dulu pernah saya jalani, tapi karena masih kurang hasilnya, saya pindah ke ayam KUB 2,” ucap dia.

Menurut Agus, untuk jenis KUB 1 membutuhkan pakan yang kandungan proteinnya tinggi, sekitar 17%, sehingga biaya pemeliharaan masih cukup mahal. Sementara untuk jenis ayam KUB 2 kebutuhan proteinnya standar. “Saya mix sendiri untuk pakannya. Dengan pakan tersebut masa panen ayam bisa dilakukan pada ayam umur 60 hari atau dua bulan,” ungkapnya.

Pada masa panen tersebut, berat untuk ayam KUB pejantan bisa mencapai 1,5 kg dan betina mencapai 1,2 kg. Masa panen ayam KUB 2 lebih cepat dibanding ayam kampung biasa dan diternak ala kadarnya, yang mencapai enam bulan.

Yang menarik dari cara beternak ayam KUB 2 yang ditekuni Agus adalah soal pakannya. Dalam memberikan pakan, untuk ayam KUB pedaging, Agus tidak menggunakan pakan kimia, tapi organik. Juga tidak menggunakan obat-obatan.

Peternak ini hanya memberikan pakan mix yang berisi jagung 50%, dedak secukupnya, tepung kedelai 25-30%, vitamin dan tanpa konsentrat. “KUB itu genetiknya kan ayam kampung, jadi soal pakan tidak rewel,” jelasnya.

Pemberian pakan mix ini dimulai sejak usia DOC, jadi tidak menggunakan pakan pabrikan. “Kalau pakan untuk ayam ras itu harga pakan per sak saja sampai Rp 400 ribu. Ini berat untuk peternak kecil,” katanya.

Menurut Agus, ayam KUB memiliki banyak keunggulan dan potensi untuk dijadikan bisnis skala besar dengan beberapa pertimbangan. Pertama, permintaan daging ayam kampung semakin tinggi di pasaran.

Kedua, ayam KUB memiliki pertumbuhan lebih cepat dibanding ayam kampung biasa. Seekor ayam KUB dapat mencapai umur konsumsi dalam waktu dua bulan saja.

Ketiga, ayam KUB sudah beradaptasi dengan iklim Indonesia, sehingga lebih tahan penyakit dan mudah dalam perawatannya. Keempat, harga jual daging ayam kampung termasuk ayam KUB jauh lebih tinggi dari daging ayam potong atau broiler. Kelima, bisnis bahan makanan berbasis ayam akan selalu bertahan dalam berbagai kondisi ekonomi maupun pandemi.

Demam Beternak Ayam KUB
Demam beternak ayam KUB di Jawa Timur diperkenalkan Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) di beberapa kota. Di Kota Batu misalnya, ayam KUB sudah diternakkan banyak orang. Tak hanya para peternak berusia tua saja, tapi kalangan anak muda juga ada yang menjalaninya.

Seperti yang dilakukan Nur, warga Kota Batu ini sebelumnya bekerja sebagai tenaga lepas kemudian terkena dampak pandemi COVID-19. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia mencari peluang untuk berusaha secara mandiri.

Bermodal uang upah bulan yang masih tersisa, Nur mencoba memelihara dan membesarkan 100 ekor ayam KUB. Awalnya ia mengaku tidak berani membesarkan ayam dengan jumlah banyak. Ia pun coba ke BBPP Batu untuk mencari informasi tentang budi daya KUB. Setelah ditekuni ternyata memberikan prospek usaha yang bagus.

“Per ekor DOC harganya Rp 7.000. Saya beli 100 ekor Rp. 700.000,” ujarnya seperti yang ditulis situs BBPP Batu. Selama dua bulan membutuhkan pakan 200 kg atau sebanyak empat karung. Harga pakan per karung Rp 390.000. Apabila dikali empat berarti membutuhkan modal Rp 1.560.000. Dalam waktu dua bulan atau 60 hari, ayam sudah besar dan layak dijual ke pasaran.

“Biasanya membesarkan ayam kampung butuh waktu hingga tujuh bulan. Ini kelebihan ayam KUB, dua bulan sudah bisa panen,” ujarnya. Harga ayam KUB yang sudah siap panen cukup menggiurkan. Per ekor ayam Nur dihargai Rp 40.000, itu harga terendah. Jadi bila dihitung keuntungan bersih dari penjualan ayam per 100 ekor selama dua bulan mencapai Rp 1.740.000. Itu sudah dipotong biaya modal DOC dan pakan selama dua bulan.

Demam beternak ayam KUB juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di daerah ini, sebenarnya ayam KUB mulai dikenalkan Balitnak sejak 2012. Namun, baru beberapa tahun terakhir masyarakat di sana mulai beternak.

Dikutip dari laman situs BPTP NTB, ayam KUB diuji daya adaptasinya di Visitor Plot Aneka Ternak-Kebun Percobaan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB (BPTP NTB). DOC didatangkan sebanyak 230 ekor terdiri dari 200 ekor betina dan 30 ekor jantan.

Hasil yang diperoleh selama dua bulan pemeliharaan pada kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) BPTP NTB, berat badan ayam mencapai ± 600 gram/ekor pada jantan dan betina ± 581 gram/ekor. Dalam pengamatan, ayam ini sampai pada umur dua bulan tahan terhadap cuaca panas dan dapat beradaptasi pada daerah lembap Narmada, tingkat kematian terjadi 2%. Kini ayam KUB sudah berkembang pesat dan menyebar ke 10 kabupaten/kota yang ada di NTB.

Diharapkan demam beternak ayam KUB skala kecil di kalangan masyarakat tidak tergilas kekuatan peternakan integrator bermodal besar. Sehingga pemerataan kesejahteraan rakyat bisa terwujud. (AK)

KENDALA BETERNAK DAN INOVASI MASA MENDATANG

Banyak peternak yang masih terkendala dengan usaha peternakannya. (Foto: Istimewa)

Pada webinar “Kendala-kendala Dalam Beternak dan Inovasi Peternakan di Masa Mendatang,” yang diselenggarakan Ternaknesia beberapa waktu lalu, Ridwan Munir, dari Bogoatta (Bogor Goat Ettawa) mengatakan bahwa peternak mempunyai kendala baik internal maupun eksternal.

Kendala Internal dan Eksternal
Faktor internal yang sangat berpengaruh adalah pengetahuan terhadap bibit ternak. Menurut Ridwan peternak ruminansia kecil kadang tidak paham mengenai bibit khusus untuk pedaging, susu, kontes, ataupun untuk kopulasi.

Pada manajemen hulu dan hilir kadang peternak ingin menguasai semuanya, dari pembuatan pakan hingga penjualan. Padahal masing-masih bidang membutuhkan spesifikasi atau keahlian khusus.

“Kemudian hasil ternaknya ingin diolah sendiri ini akhirnya waktunya terbuang, yang harusnya misal fokus harus menjaga ternak jadi terbengkalai karena ada kegiatan lain,” kata Ridwan.

Masalah mentalitas terutama anak-anak muda, mereka tidak suka dengan dunia peternakan karena dianggap low benefit, kurang bergengsi, harus kotor dan kepanasan.

Faktor eksternal antara lain izin usaha, legalitas, pasar hasil ternak, lahan peternakan, stabilitas harga dan efisiensi pakan berkualitas.

Banyak peternak yang masih terkendala dengan usaha peternakannya karena kepemilikan lahan yang terbatas, hanya ada di lahan pekarangan. Karena tidak ada izin usaha dan legalitas produk hasil usaha peternakan tidak bisa didistribusikan lebih jauh.

“Kualitas serta kontinuitas pakan perlu diperhatikan karena akan memengaruhi produktivitas,” terang Ridwan. “Untuk menghasilkan produk berkualitas pakan menjadi utama. Kalau pakan masih asal-asalan yang penting kambing kenyang tidak dihitung nutrisinya, tidak dihitung efeknya terhadap kesehatan akan memengaruhi kualitas susu.”

Hasil ternak ruminansia kecil memiliki pasar lebih spesifik, cara membidik pasar harus dilakukan dengan baik. Konsumen mau membeli produk hasil ternak dengan harga cukup tinggi jika kualitasnya bagus dan manfaatnya terasa.

Sementara untuk teknologi hulu maupun hilir pada ruminansia kecil cenderung kurang diperhatikan. Masih cukup mahal dan belum terjangkau, solusinya bisa dengan membeli secara patungan.

Ridwan menyarankan untuk efisiensi dan manajemen kandang sebaiknya bekerjasama dengan para ahli. Menurutnya, universitas adalah gudang ilmu yang tidak boleh diabaikan peternak. Pengolahan produk sebaiknya menerapkan HACCP meskipun belum mempunyai sertifikasinya. Selain itu ia juga menyarankan pemasaran online agar peternak bekerja sama dengan pihak yang kompeten dan tidak dikerjakan sendiri.

Belajar dari Negara Maju
Sementara itu Drh Deddy Fachruddin Kurniawan dari Dairy Pro Indonesia, menjelaskan di Indonesia terdapat tiga macam peternak. Pertama, peternak mikro yang secara ekonomi dan pendidikan biasanya menengah ke bawah. Semua pekerjaan beternak dikerjakan sendiri, dari mencari rumput, memerah susu, hingga penjualan.

Kedua, peternak kelas menengah yang secara ekonomi dan pendidikan biasanya menengah ke atas. Peternakan ini bukan pekerjaan utamanya, mereka tahu cara bisnis tetapi minim pengetahuan tentang bagaimana mengelola peternakan secara teknis. Biasanya sudah memiliki mindset sebagai seorang entrepreneur.

Ketiga, peternak korporasi yaitu peternakan yang sudah berbentuk perusahaan. Standar-standar pengelolaan sebuah perusahaan dengan berbagai aspek teknisnya termasuk bagaimana mengelola peternakannya diterapkan. Banyak prosedur dan performa indikator yang diterapkan.

“Di Indonesia sekitar 85-86% mungkin hampir 90% micro farmer. Corporate farmer tidak lebih dari 6-8%, sisanya sekitar 5-6% middle class farmer,” kata Deddy. “Jumlah middle class farmer semakin ke sini semakin banyak, micro farmer semakin sedikit, corporate farmer semakin banyak. Maka kita tidak bisa menyamaratakan berbagai macam inovasi sistem untuk semua modelnya.”

Deddy memaparkan, di negara maju bisnis terkuat di bidang pertanian dan peternakan bentuk organisasinya berupa koperasi. Misalnya es krim Campina di Belanda adalah sebuah koperasi, susu Anlene di New Zealand adalah sebuah koperasi bernama Fonterra.

Indonesia dalam peternakan masih tertinggal jauh dengan New Zealand dan Amerika Serikat. Di Amerika produksi susu dari 1940-an hingga 2010 naik lima kali lipat dengan jumlah sapi turun hingga seperempatnya. Hal itu bisa terjadi karena adanya mindset, inovasi, teknologi dan solusi terintegrasi.

“Jadi solusinya tidak bisa sendiri-sendiri. Solusi integrasi yang kita butuhkan dan ini tidak bisa diselesaikan dalam diskusi dua jam, tapi minimal memberikan inspirasi,” tutur Deddy. “Kita lihat cara USA dan New Zealand, kita perlu memformulasikan dalam bahasa kita di Indonesia tapi kita perlu memutuskan fokus kita apa.”

Deddy berharap teknologi pemerahan, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan reproduksi, pembuatan produk yang lebih efisien, pakan dan lainnya, dibuka semua ke peternak. Karena di Indonesia masih ada gap antara seorang yang paham/ilmuwan dengan peternak. Peternak dan akademisi harus disambungkan seintensif mungkin. Peternak harus dipaksa untuk pintar, yang akan membuat mereka terbuka dengan informasi.

Koperasi yang menaungi peternak sebaiknya juga memiliki business mindset, jangan hanya sebagai penyambung lidah antara peternak dengan industri, namun juga memiliki power.

Deddy menyoroti di Indonesia peternak, pengepul, koperasi, industri, hingga penjualnya adalah orang-orang yang berbeda. Maka struktur satu dengan struktur lainnya bisa saling menekan karena masing-masing menginginkan keuntungan sendiri.

Sementara di negara maju untuk jadi peternak tidak bisa langsung, peternak harus terintegrasi dengan pabrik, harus memiliki saham di pabrik. Sehingga peternak berkumpul dalam sebuah wadah koperasi membuat pabrik, sehingga ketika pabrik untung peternaknya pasti untung. Peternak fokus di kompetensinya sebagai peternak tetapi tidak ditekan oleh struktur di atasnya, baik koperasi maupun pabrik. Di Indonesia perlu diciptakan bagaimana mengintegrasikan peternak sampai ke industri supaya semua bisa saling support.

Deddy menceritakan sebelum menjadi eksportir sapi 1950-an, Australia adalah importir sapi. Negara itu kemudian fokus pada integrated database memastikan datanya akurat dan top down. Dalam waktu singkat yaitu sekitar 1970-1980, Australia menjadi eksportir. Sedangkan di Indonesia data dinilai masih kurang tepat akurasinya.

Realtime integration juga penting dilakukan. Menyambungkan antara peternak, bisnis transportasi, hingga legalitas dan standarisasi secara realtime. Genetik hewan ternak juga harus di-record dengan baik sehingga mudah untuk mengetahui genetik yang bagus dan tidak. Untuk melakukan recording diperlukan identifikasi ternak (animal ID) yang baik.

Selain itu, detecting tools juga menjadi inovasi yang penting. Agar beternak menjadi lebih praktis karena berbagai permasalahan bisa terdeteksi dengan cepat dan mudah. “Di luar sana banyak tools diciptakan hanya untuk satu tujuan yaitu deteksi birahi, sehingga mereka mengalami efisiensi reproduksi yang luar biasa,” terang Deddy.

Di Indonesia untuk mendapatkan pejantan yang proven butuh paling tidak tujuh tahun. Negara maju sudah menciptakan DNA proven sehingga bisa mengidentifikasi DNA yang terbaiknya untuk pedet yang usianya baru dua minggu.

“Peternak butuh bantuan bagaimana mengelola manajemen. Jadi peternak itu sudah berat kalau disuruh memikirkan bagaimana manajemen kesehatannya. Jangan disuruh membuat laporan rutin karena bukan kompetensinya, tapi mereka butuh batuan cara mengetahui bagaimana peternakannya ini sudah benar. Para ahli bisa kita sambungkan dengan peternak untuk melakukan hal itu, kalau peternak disuruh melakukan sendiri tidak bisa,” pungkas Deddy. (NDV)

AYAM ABANG, AFKIRAN PETELUR YANG DIGEMARI MASYARAKAT DESA

Ayam abang adalah ayam ras petelur yang sudah memasuki masa “pensiun” bertelur. (Foto: Dok. Infovet)

Ayam abang menjadi salah satu bisnis “sisipan” bagi para peternak ayam petelur. Hanya ayam-ayam yang sudah dianggap “pensiun” bertelur ayam ini masuk dalam kandang ayam abang. Meski harganya terpaut jauh dengan ayam pullet, namun hasil jualnya menambah pundi-pundi peternak.

Pernah mendengar istilah ayam abang? Istilah unggas yang satu ini cukup dikenal masyarakat pedesaan, khususnya di daerah Jawa Tengah. “Abang” dari bahasa Jawa yang artinya merah. Jadi, ayam abang adalah ayam merah. Bukan ayam hias, melainkan ayam konsumsi lazimnya ayam pedaging broiler.

Ayam abang adalah ayam ras petelur yang sudah memasuki masa “pensiun” bertelur. Di kalangan peternak umumnya disebut ayam afkir, ayam yang sudah lewat masa produksinya. “Ayam ini merupakan ayam petelur yang sudah tidak mampu menghasilkan telur secara maksimal,” ujar Agus Wiyono, peternak asal Mojokerto kepada Infovet.

Menurut peternak yang juga dokter hewan ini, ayam abang usianya sekitar 80 minggu ke atas. Karena warna bulunya merah, maka masyarakat di daerahnya menyebut ayam abang. Daging ayam abang ini sedikit alot, karena umurnya sudah cukup tua.

Persoalan ayam petelur afkir ini pernah diatur ketentuannya oleh pemerintah. Pada 2019, Kementerian Pertanian menginstruksikan pengurangan produksi telur konsumsi dengan cara afkir final stock (FS) layer yang berumur Iebih dari 80 minggu pada peternak layer komersial berpopulasi Iebih dari 50.000 ekor. Instruksi itu disampaikan melalui Surat Edaran Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan No. 12141/SE/PK.230/F/11/2019 tertanggal 10 November 2019. Pelaksanaan afkir FS layer berumur lebih dari 80 minggu dilaksanakan bertahap mulai 10 November sampai 31 Desember 2019.

“Untuk hal tersebut diperintahkan kepada saudara pimpinan perusahaan dan peternak layer komersial melaksanakan poin-poin tersebut. Pelaksanaan kegiatan afkir FS layer yang berumur Iebih dari 80 minggu dilakukan pengawasan oleh tim pengawas pusat dan/atau dinas yang melaksanakan fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi/kabupaten/kota,” ditegaskan dalam surat itu.

Instruksi afkir ayam layer komersil berumur lebih dari 80 minggu dikeluarkan untuk menyeimbangkan ketersediaan (supply) dengan kebutuhan (demand) telur konsumsi, sesuai Peraturan Menteri Pertanian No. 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.

Penjualan ayam afkir petelur cukup ramai di pasar tradisonal. Di Jawa Tengah harga ayam abang per ekor bervariasi, mulai dari Rp 35.000-40.000 di tingkat produsen. Jika sudah dalam bentuk karkas, harganya bisa mencapai Rp 45.000-50.000/ekor. Harga ini lebih tinggi dibanding harga karkas ayam broiler yang berkisar Rp 29.000-33.000/ekor. Berat per ekor ayam abang menjadi perbedaan harga dengan ayam broiler. Ayam abang per ekornya rata-rata di atas 1 kg.

Harga ayam afkir petelur ini di bawah harga ayam tersebut masih jadi pullet yang mencapai Rp 70.000/ekor. Karena ayam afkir, sudah pasti harga lebih murah dibanding ketika masih produktif bertelur. 

Namun demikian, minat masyarakat untuk membeli ayam afkir cukup tinggi. “Ayam afkir sudah menjadi komoditas ayam pedaging atau ayam konsumsi masyarakat sejak lama. Ukurannya yang besar cukup digemari konsumen di daerah,” kata Agus.

Mata Rantai Penjualan
Pola penjualan ayam abang di pasar tradisonal hampir sama di setiap daerah. Umumnya penjual ayam abang ini sekaligus memberikan layanan potong dan pembeli menerimanya dalam keadaan sudah bersih. Ceker dan jeroan jadi satu paket dagingnya.

Dari pemantauan Infovet di salah satu pasar di Kota Pemalang, Jawa Tengah, untuk konsumen yang membeli dalam bentuk karkas satu paket akan dikenai biaya potong Rp 5.000/ekor.

Menurut Agus, berjualan ayam abang menjadi nilai tambah para peternak ayam petelur. Peternak sudah menikmati hasil penjualan telurnya. Di masa tua ayamnya, masih bisa dijual dengan harga cukup lumayan.

Hanya saja, jual beli ayam abang tidak bisa dilakukan secara rutin dalam rentang waktu yang pendek, misal setiap hari atau setiap minggu. Tapi menunggu ayam petelurnya memasuki masa afkir. “Peternak baisanya akan mensortir lebih dulu ayam-ayam petelur yang sudah dianggap afkir, untuk selanjutnya masuk ke penjualan sebagai ayam pedaging,” jelas Agus.

Mata rantai bisnis ayam abang ini tergolong pendek. Dari peternak biasanya langsung didrop ke lapak ayam di pasar-pasar tradisional. Peternak mensuplai ayam afkiran ke para pemilik lapak. Selanjutnya para pemilik lapak menjual ke konsumen dengan dua pilihan, yakni ayam hidup atau ayam potong, tentu ada selisih harga. Ada juga peternak yang langsung menjual ke konsumen.

Nurkhikmah, ibu rumah tangga asal Kota Pemalang, Jawa Tengah, mengaku sering membeli daging ayam abang di warung dekat rumahnya. Terkadang juga membeli di pasar dengan harga lebih murah. Dalam seminggu, setidaknya dua kali mengolah ayam abang untuk santapan keluarganya.

Menurut wanita 33 tahun ini, daging ayam abang lebih enak. Dagingnya tebal dan berasa seperti ayam kampung. “Kalau soal alot itu tergantung cara masaknya. Butuh waktu masak lebih lama agar dagingnya empuk,” ujar Nurkhikmah.

Di Pasar Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, hampir setiap hari lapak penyedia ayam abang menjual puluhan ekor. Di pasar ini ada dua lapak yang khusus menjual ayam abang. Di dua lapak ini disediakan juga tempat pemotongan ayam. Untuk ayam hidup per ekor dengan berat 1 kg lebih berkisar Rp 40.000-45.000. Namun jika dipotong dan dibersihkan, pembeli hanya diminta tambahan biaya Rp 5.000/ekor.

Khusus pada Rabu dan Minggu, kedua lapaknya paling ramai dikunjungi pembeli. Dua hari tersebut merupakan hari “Pasaran”, pengunjung pasar jauh lebih banyak dibanding hari lainnya. Biasanya lapak ayam abang ramai dikunjungi pembeli saat bulan Ramadan, menjelang Idul Fitri, atau tahun baru. (AK)

HELLO MILK & FRIENDS, PERUSAHAAN SUSU DENGAN IMPACT SOSIAL KE PETERNAK

Hello Milk & Friends adalah perusahaan susu yang didirikan oleh Nu'man Firdaus, seorang alumnus Fapet UGM. Berdiri sejak 2017 saat ini market perusahaan meliputi Yogyakarta, Sleman, dan Bantul.

Perusahaan ini mempunyai konsep menyuplai kebutuhan susu segar secara sustainable dan mempunyai impact sosial pada peternak.

Nu’man mengatakan ada 3 permasalahan utama persusuan di Indonesia:

  1. Konsumsi susu masih rendah bahkan dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya.
  2. Harga jual di tingkat produsen sangat rendah, membuat motivasi peternak rendah yang mengakibatkan produktivitas rendah.
  3. Ada ketidakefisienan distribusi, karena secara konvensional di indonesia susu didistribusikan melalui supermarket, hal ini tidak efisien karena membuat tingkat konsumsi rendah.

Hello Milk & Friends hadir bukan sekedar mencari profit, tapi juga sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut.

Dikelola oleh anak-anak muda, perusahaan susu ini mengetahui apa yang sedang tren di kalangan anak muda. Dari situ mereka memformulasikan produk-produk yang bisa diterima masyarakat luas.

Perusahaan bermitra dengan peternak, dimana peternak setidaknya mendapat 2 kelebihan. Pertama, peternak diedukasi untuk menghasilkan susu dengan kualitas yang baik dan produksinya ikut meningkat. Kedua, peternak diberi kepastian harga beli yang lebih baik dibanding jika peternak menjual ke koperasi.

Hello Milk & Friends membuat opsi-opsi yang dapat meningkatkan efisiensi pendistribusian susu.

Pertama, mereka menawarkan sistem berlangganan sehingga konsumen yang ingin membeli tidak harus pergi ke supermarket, mereka cukup memesan via WA atau Instagram https://www.instagram.com/hellomilf_/. Susu akan diantar langsung ke rumah pelanggan.

Kedua dengan rajin mengikuti berbagai event terutama event anak muda, sehingga mendekatkan produk pada konsumen.

Lini pertama produknya adalah Hello Milk, susu pasteurisasi dengan berbagai macam rasa dan ukuran, dengan konsep natural dan rendah gula. Konsumen yang ingin diraih dari produk ini adalah keluarga, terutama keluarga muda yang sadar pentingnya kesehatan dan pentingnya mengonsumsi susu.

Lini kedua produk adalah Hello Friends yang merupakan pengembangan dari Hello Milk. Berupa milkshake yang cocok untuk market anak muda.

Ada setidaknya 2 hal yang ingin diraih oleh Hello Milk & Friends di masa depan. Yaitu mewujudkan visi membuat sistem agribisnis yang lebih adil untuk semua stakeholder di dunia agribisnis sapi perah. Kemudian bermitra dengan desa di mana mitra perusahaan kini berada, sehingga desa akan menjadi desa yang mandiri oleh usaha sapi perah mereka.

EVALUASI DAN OPTIMALISASI KEUNTUNGAN TERNAK LAYER

Agar untung, kuncinya adalah menjaga ayam agar tetap berproduksi stabil. (Foto: Istimewa)

“Tahun 2020 dimulai dengan harga telur yang lebih bagus dari 2019, beberapa kali sempat turun tapi bisa recovery harganya bagus lagi. Harga DOC di akhir 2020 juga lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Sedangkan harga pakan dari tahun lalu cukup stabil Rp 5.000-an,” kata Fatimah mengawali kuliah WhatsApp “Evaluasi dan Optimalisasi Keuntungan Ternak Layer”, Jumat (13/11).

Wanita yang sudah sembilan tahun bergabung dengan PT Cargill Indonesia dan sekarang menempati posisi Technology Application Manager, menjelaskan perhitungan kasar BEP (harga impas) ternak layer. Yaitu 3,5 x harga pakan jika performa normal; 3,25 x harga pakan jika performa bagus dan 3,75 x harga pakan jika performa sedang jelek.

Kemudian disampaikannya untuk evaluasi performance total farm ada dua yang harus dihitung, yaitu FCR total farm dan %HD (hen day) produksi total farm.

Biaya Pullet, Operasional, Depresiasi Kandang, Program Kesehatan dan Pakan
Tahun 2020 ini biaya pullet terhitung meningkat cukup gradual sekitar Rp 1.450-1.500/kg telur. Kemudian biaya operasional fase layer adalah Rp 2.000-2.500/kg telur, biaya depresiasi bangunan (gudang, kandang) Rp 1.700-2.000/kg telur, biaya kesehatan (obat, vaksin, vitamin) Rp 600-700/kg telur. Mayoritas peternak mengalami kenaikan di biaya kesehatan ini.

Harga jagung tahun ini terhitung cukup terkendali dan lebih kondusif dibandingkan dua tahun ke belakang. Rata-rata harga pakan tahun ini tidak ada gejolak signifikan, cukup stabil bahkan sedikit lebih rendah dibanding dengan rata-rata harga pakan tahun lalu.

Evaluasi Performance (Total Farm)
Untuk bisnis yang dievaluasi adalah total farm. Karena dalam satu farm biasanya mempunyai lebih dari satu kandang layer dan biasanya juga memiliki ayam starter dan ayam grower yang belum berproduksi. Ayam layer yang dimiliki pun biasanya ada ayam yang muda, ada yang di puncak produksi dan ada ayam tua.

FCR total farm yang masih menguntungkan ada di kisaran 2,5-2,6. Jika di atas 2,6 biasanya keuntungannya tipis sekali atau bahkan tidak ada keuntungan.

%HD produksi total farm yang masih menguntungkan adalah di atas 75%.

Untuk mengoptimalkan keuntungan bisnis layer, pertama pastikan FCR total farm lebih kecil dari 2,6. Jika sudah lebih besar dari 2,6 segera ambil tindakan untuk memperbaiki FCR.

Kedua, perbaiki %HD total farm. Secara umum rataan %HD total farm, jika performa layer sesuai standar, angkanya adalah 84%. Jika pullet masuk HD akan turun jadi sekitar 75-76%.

Jika %HD total farm 70% peternak masih bisa membayar biaya pakan, biaya operasional dan biaya pullet. Jika %HD total farm 60% hanya bisa digunakan untuk membayar biaya pakan dan biaya operasional. Dengan HD 60% ini nanti jika harus masuk pullet pasti akan terganggu cash flow-nya. Sedangkan jika %HD total farm 50% hanya bisa untuk membayar biaya pakan dan biaya lain-lain harus nombok.

Jika produksi total adalah 60% sudah harus dievaluasi kandang yang sudah tidak produktif untuk segera di-culling/afkir, untuk mengembalikan angka HD tetap di atas 70%. Kecuali kalau harga telur sedang bagus sekali.

Utamakan Jaga Performance Ayam
Konsep efisiensi biaya produksi perlu ditetapkan secara bijak, yaitu dengan disiplin melakukan biosekuriti. Kemudian bisa dengan sedikit menambahkan instalasi sederhana yang memangkas waktu tenaga kerja melakukan sesuatu dan memfokuskan tenaga ke kegiatan yang lebih penting.

Pembuatan instalasi tersebut misalnya bisa diterapkan pada alat pemberian pakan semi otomatis. Sebab pakan yang terbuang dari aktivitas pemberian pakan manual (dengan gayung, piring dan lain-lain) bisa mencapai 1-2 gram/hari/ekor ayam. Alat semi otomatis bisa mengurangi potensi pakan tercecer ini. Jika peternak mempunyai populasi 10.000 ekor dengan harga pakan Rp 5.000/kg. Apabila pakan terbuang 2 gram/ekor/hari, maka biaya pakan terbuang per bulan adalah Rp 3.000.000.

Untuk menjaga keuntungan, output (hasil penjualan) harus bisa menutup semua biaya produksi. Di kondisi sulit, misalnya waktu harga telur sedang jatuh mau tidak mau harus mengoptimalkan biaya produksi. Konsep efisiensi biaya produksi harus ditetapkan secara bijak.

Jangan ganti pakan yang lebih rendah kualitasnya demi berjalannya cash flow atau demi agar tetap untung. Mengganti pakan sebaiknya jadi pilihan terakhir. Menurut Fatimah, masih bisa mengoptimalkan biaya produksi dengan cara lain, misalnya biosekuriti, agar farm benar-benar terjaga dan risiko ayam terkena penyakit bisa dihindari. Kalau ayam gampang sakit maka produksi akan menurun dan bisa terjadi kematian.

Penggantian pakan secara drastis akan berdampak ke FCR. Jika tidak dilakukan dengan baik bisa berdampak ke saluran cerna, ayam mungkin tidak sakit tapi akan ada masa adaptasi yang biasanya langsung berdampak ke FCR. Jika FCR naik 0,1% maka kerugiannya 0,1% x Rp 5.000 (harga pakan) = Rp 500. Jika pakan tidak diganti, harga pakan memang bisa naik Rp 100-200 tapi FCR dan performance tetap terjaga kestabilannya.

 “Kalau harga telur sedang jatuh lebih baik pakan tetap yang bagus atau di bawahnya? Beberapa peternak yang benar-benar menghitung bisnis tetap memilih pakan yang kualitasnya bagus. Tidak mengganti pakan tapi mencari alternatif lain untuk menekan cost,” kata dia.

Secara jangka pendek mengganti pakan yang lebih murah memang bisa menurunkan biaya operasional. Tapi produksi jangka panjang cenderung menurun dan ayam lebih cepat afkir. Sedangkan dengan tetap menjaga kualitas pakan, produksi dipertahankan tetap stabil dan ayam lebih lama afkir.

“Agar untung kuncinya adalah menjaga ayam agar tetap berproduksi stabil, jangan sampai terganggu produksinya,” pungkasnya. (NDV)

PROBLEMATIKA PETERNAKAN LAYER DI INDONESIA

Ternak ayam petelur. (Foto: Istimewa)

Peternakan layer atau ayam petelur yang tersebar hampir di semua pulau di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan peternakan rakyat. Ternak layer merupakan bagian dari industri perunggasan bersama breeder, broiler, bebek dan puyuh. Karenanya peternakan layer pun tak lepas dari imbas problematika industri perunggasan di Indonesia.

Hal itu disampaikan oleh Konsultan Marketing PT Cheil Jedang Super Feed, Ir Adi Widyatmoko, yang membawakan tema “Himpitan Peternakan (Layer) Rakyat Di Antara Problematik Industri Perunggasan Indonesia”, pada webinar Selayang Pandang Industri Perunggasan di Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Peternakan UGM pada September lalu. Adi membahas satu-per-satu permasalahan peternakan layer di Indonesia.

Populasi Menurun, Impor Jagung vs Impor Gandum
Data estimasi populasi layer pada 2016 sekitar 150 juta, kemudian turun pada 2018 menjadi sekitar 135 juta. Penurunan tersebut karena berbagai faktor, diantaranya akibat kerugian sepanjang 2012-2015 karena harga telur anjlok.

Faktor lain yaitu pada Oktober 2015 pemerintah mendadak menghentikan impor jagung sehingga harganya di 2016 melambung dari Rp 3.300 menjadi Rp 6.500 bahkan mencapai Rp 7.000. Ditambah lagi pada Oktober tidak ada (sedikit) panen jagung. Akibatnya banyak peternak bangkrut, sehingga otomatis populasi menurun.

Saat itu pemerintah mengharapkan swasembada jagung, padahal tidak mungkin karena lahannya tidak bertambah. Jika dipaksakan swasembada jagung bisa menyebabkan tidak bisa swasembada beras, karena lahan padi digunakan untuk menanam jagung.

Pola produksi jagung di Indonesia 65% diproduksi pada Februari-Maret, 25% pada Juni-Juli dan 10% pada September-November. Jadi jika di bulan Oktober impor dihentikan, berakibat jagung tidak ada di pasaran. Penghentian impor jagung sendiri ternyata diikuti terjadinya lonjakan impor gandum pada 2016. Impor tersebut digunakan sebagai pakan.

Pemerintah sebetulnya melarang penggunaan gandum untuk pakan. Sehingga ketika terpepet, timbul permintaan izin untuk membeli gandum yang dibeli dari industri makanan. Harga gandum lebih mahal, waktu itu jagung impor harganya sekitar Rp 2.900 dan gandum sekitar Rp 3.400, namun karena dibeli dari industri makanan harganya jadi mendekati Rp 5.000. Tentunya itu menyebabkan harga pakan menjadi tinggi dan lagi-lagi yang menanggung adalah peternak.

Ketika panen raya jagung juga sering terjadi jatuh harganya, karena banyak pabrikan yang mengimpor jagung sebelum panen raya yang memang bertujuan untuk menekan harga jagung. Pemerintah semestinya memahami hal ini dan melarang impor jagung ketika menjelang panen.

Meski banyak peternak yang bangkrut, namun tumbuh lagi peternak-peternak baru yang umumnya adalah peternak kecil. Adi mengatakan, ”Untuk 2020 saya belum melakukan survei, tapi estimasi saya populasi akan menjadi 143 juta,” ungkapnya.

Harga Telur Naik-Turun
Harga telur biasanya pada Februari-Maret akan turun. Lalu akan naik pada Mei-Juli karena ada momen yang memicu kenaikan harga seperti lebaran dan libur sekolah. Tetapi setelah masuk bulan Muharam dan Safar biasanya harga akan jatuh dan akan naik lagi di November dan Desember.

Awal Mei 2020 ini harga telur sempat jatuh sampai Rp 15.000 bahkan di beberapa tempat mencapai Rp 13.000. Hal ini disebabkan jatuhnya harga ayam sehingga terjadi penjualan hatching egg oleh breeding. Telur tetas yang seharusnya tidak boleh dijual, ternyata dijual di pasar dengan harga Rp 8.000-9.000, sehingga menyeret harga telur lokal. Sedangkan seharusnya sesuai pola dalam kondisi normal harga telur mestinya naik di bulan Mei.

Februari-Maret 2020 harga telur cukup tinggi. Hal ini karena banyak kasus penyakit seperti Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND). AI ada bermacam jenis diantaranya ada yang menyebabkan kematian dan ada yang menyebabkan penurunan produksi. Penyusutan produksi ini mencapai 20-30% dan tidak bisa kembali normal, maksimal hanya kembali 60-70% produksi. Akibatnya suplai telur berkurang dan harga naik cukup tinggi.

Rice Bran, Culling Bird dan DOC
Rice bran (bekatul) mencapai harga termurahnya pada April-Agustus. Jadi dalam setahun selama lima bulan peternak mendapatkan harga yang murah, namun bulan-bulan lainnya harga menjadi cukup tinggi. Saat harga tinggi ini biasanya banyak terjadi pemalsuan (pencampuran) rice bran yang merugikan peternak.

Dalam struktur keuntungan farm layer penjualan culling bird (ayam afkir) cukup membantu. Bahkan jika ayam afkir tidak bisa terjual dengan harga yang bagus, maka keuntungan peternak akan sangat tipis. Secara bisnis memang keuntungan layer tipis, peternak akan mendapatkan untung yang lumayan ketika harga afkir cukup tinggi. Harga ayam afkir tinggi biasanya saat Juli-Agustus karena momen puasa, lebaran dan libur sekolah. Lalu harga kembali turun mulai Oktober dan titik terendahnya terjadi di Februari.

Sementara itu harga DOC layer dalam tiga tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang cukup fantastis dan sangat memberatkan peternak. Ditambah lagi untuk mendapatkan DOC sulit sekali, karena beberapa pabrikan memelihara DOC sendiri dan baru dijual dalam bentuk pullet. Hal itu juga menyebabkan DOC yang ada dijual dengan harga tinggi.

Profitability di 2020
Profitability peternak untuk tahun ini cukup bagus jika pemeliharaannya normal. Namun realitanya banyak kasus penyakit dan dua tahun terakhir mortalitas cukup tinggi, sehingga memberatkan peternak dan menurunkan keuntungan yang seharusnya didapatkan.

Setelah mengalami kerugian yang cukup panjang sejak 2012-2017, dalam tiga tahun terakhir ini mulai pulih dan mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan itu belum layak.

Terpukul Policy Pemerintah
Yang paling memukul peternak adalah policy pemerintah seperti pemberhentian impor jagung dan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Entah karena efek AGP atau iklim belum bisa disimpulkan. Namun sejak dilarangnya AGP, mortalitas menjadi tinggi sekitar 20-30%.

Performa turun dan terjadi Necrotic Enteritis (NE), Dysbacteriosis (penyakit yang disebabkan oleh bakteri), wet litter dan biaya produksi naik. Untuk mengganti AGP membutuhkan biaya mahal. “Saya pernah menghitung, kalau itu di dalam konsentrat bisa menambah cost sekitar Rp 200/kilogram complete feed,” kata Adi.

Satu cage yang biasanya berisi 3-4 ekor ayam, peternak mengubahnya menjadi hanya 1-2 ekor untuk menekan kematian. Namun sekarang ini meski satu cage hanya diisi satu ekor ayam, angka kematian yang terjadi masih cukup besar.

Kemudian pemerintah mengizinkan company untuk budi daya layer komersial meski masih dibatasi maksimal 2%. Selama ini layer adalah peternakan rakyat, pemberian ruang pada perusahaan dikhawatirkan akan menjadi awal habisnya peternakan rakyat. Sebagaimana ayam broiler dimana peternakan rakyatnya sekarang sudah hampir punah.

NPP dan SNI
Dua tahun terakhir ini NPP (Nomor Pendaftaran Pakan) menyulitkan industri feedmill. Registrasi pakan normalnya memakan waktu tiga bulan, tapi kenyataannya bisa butuh waktu sampai lima bulan baru selesai.

Selain itu, SNI (Standar Nasional Indonesia) juga menyulitkan karena inovasi pakan juga menjadi sulit. Misalnya pembuatan pakan yang menyesuaikan kondisi peternak. Contoh pembuatan pakan konsentrat ditambah katul, sehingga peternak hanya menambah jagung saja. Atau konsentrat ditambah jagung sehingga peternak tinggal menambah katul saja.

Contoh lain adalah jika di suatu daerah banyak limestone makan pakan yang dibuat, dibuang kandungan limestone-nya agar peternak bisa menambahkan sendiri. Ketika betul-betul tidak ada jagung maka dibuat corn homolog, terbuat dari bahan-bahan baku yang ada tetapi nutrisinya mendekati jagung.

Tetapi sekarang dengan adanya peraturan pemerintah, pembuatan pakan seperti itu sudah tidak bisa dilakukan karena tidak ada SNI-nya. Yang dibuat SNI adalah konsentrat, bukan complete feed, sedangkan konsentrat adalah bahan pelengkap maka semestinya harus lebih luwes.

Adi menceritakan, “Waktu di Payakumbuh mengambil pakannya dari Medan, saya lihat transportasinya mahal sekali kalau tidak salah Rp 700. Sehingga konsentrat yang ada saya lepas limestone-nya. Tapi sekarang ini jadi tidak bisa karena ketika didaftarkan menurut SNI tidak masuk karena tidak ada limestone-nya. Padahal limestone nanti kita tambahkan dari lokasi setempat.”

Corn homolog pun tidak ada SNI-nya, dia tidak termasuk konsentrat karena sumber energi, jadi belum ada ketentuannya.“Hal-hal seperti inilah yang membuat kita kesulitan membantu peternak sehingga cost menjadi mahal,” sambung Adi.

Potential Loss Akibat Kualitas Telur
Permasalahan juga dijumpai terkait kualitas telur seperti telur yang pecah, berkulit putih, telur yang jatuh ke bawah kandang dan lain sebagainya.


Perubahan Strategi Supplier
Kebijakan yang diambil supplier juga mempengaruhi peternak. Misalnya jika terjadi perubahan di raw material yang setiap saat bisa terjadi, feedmill akan berusaha memformulasikan dan efeknya biasanya pada farm.

Premix consultant yang memberikan masukan pada feedmill juga mempunyai pengaruh. “Saya melihat ada premix yang dipakai oleh banyak feedmill, ketika efeknya keliru, ini ke peternak dengan performa yang tidak bagus,” ungkap Adi.

Peternak biasanya memakai beberapa pakan dan suka membandingkan antara satu dengan yang lain. “Ketika dibandingkan ternyata performanya tidak bagus semua, mereka bisa berpikir kesalahan ada di pemeliharaan. Padahal itu bisa jadi karena feedmill mendapat advice yang tidak bagus,” ucapnya.

Peternak Layer Perlu Dilindungi
Jadi seolah-olah selama ini peternak layer dihimpit masalah dari segala arah. Mulai dari obat, DOC, pakan, hingga harga jual. Diantara supply chain industri layer adalah peternak yang paling tidak diuntungkan.

Maka peternak layer perlu dilindungi dan butuh regulasi dari pemerintah. Karena kalau tidak ada perlindungan, perusahaan bisa dengan mudahnya membuat kebijakan-kebijakan yang tentunya menguntungkan mereka.

Namun bagaimanapun ada perbaikan signifikan yang mendukung investasi bisnis layer dalam lima tahun mendatang, yaitu stabilitas ekonomi yang terkontrol, kondisi politik yang cukup kondusif, inflasi yang cukup terjaga dan pertumbuhan populasi manusia di Indonesia. (NDV)

COVID-19 MELANDA, USAHA “MINI LAYER URBAN FARMING” BOLEH DICOBA

Mini Layer Urban Farming, budi daya ayam petelur yang bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. (Foto: Dok. Handris)

Awal 2020 ini dunia sedang dilanda pandemi COVID-19 yang melanda hampir seluruh negara-negara di dunia. Roda perekonomian pun turun drastis pada titik terendah, yang mengakibatkan banyak sekali perusahaan dan usaha kecil menengah tidak bisa bertahan oleh terpaan krisis ekonomi yang kencang ini.

Banyak cara dilakukan berbagai perusahaan agar tetap bisa bertahan menghadapi gelombang krisis ini. Mulai dari mengurangi skala produksi serta mengatur jadwal masuk kerja dari karyawan aktifnya. Dampak ini sungguh terasa pada perusahaan yang bergerak dalam bidang transportasi, hiburan, perhotelan, wisata kuliner dan terutama pariwisata.

Dalam kondisi sulit dan kritis seperti ini perlu mengasah insting bisnis dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam rangka menghadapi badai krisis yang belum diketahui sampai kapan akan berakhir dan seberapa parah dampaknya.

Salah satu ide kreatif dan imajinatif adalah diciptakannya model beternak ayam petelur mini atau skala kecil yang dinamakan “Mini Layer Urban Farming” oleh Koperasi Makmur Sidoarjo,  Jawa Timur. Selama ini masyarakat hanya tahu bahwa telur ayam ras yang dikonsumsi setiap hari adalah dari hasil produksi peternakan ayam petelur (layer) intensif berskala besar. Padahal model, bentuk dan cara beternak ayam petelur itu sendiri masyarakat awam masih banyak yang belum tahu.

Kendati demikian, dengan adanya Mini Layer Urban Farming ini masyarakat jadi bisa mengetahui bagaimana model, bentuk dan cara melakukan budi daya ayam petelur dalam skala kecil. Masyarakat bisa mempraktikkan sendiri bagaimana cara beternak ayam petelur yang baik dan benar. Hal yang dulu mungkin hanya sebuah impian, sekarang bisa direalisasikan menjadi kenyataan yang bisa setiap hari mereka kerjakan di rumah atau disela-sela waktu luang sebelum dan setelah jam kerja utama.

Seperti namanya, Mini Layer Urban Farming adalah kegiatan beternak ayam petelur skala kecil yang bisa dilakukan oleh masyarakat urban, yaitu masyarakat perkotaan yang tidak mempunyai lahan yang luas. Kegiatan usaha ini termasuk kategori kegiatan yang multi-purpose, yang mempunyai banyak fungsi sebagai kegiatan usaha beternak, sekaligus mengisi waktu luang, refreshing, maupun edukasi dan pelatihan bisnis pada anak-anak maupun lembaga pendidikan.

Mini Layer Urban Farming adalah konsep beternak ayam petelur dalam kandang baterai yang hanya berjumlah delapan ekor. Paket ternak ini terdiri dari kandang dan ayam dara siap bertelur. Namun, paket kandang dan ayam baru bisa direalisasi untuk wilayah Jawa Timur saja, untuk wilayah di luar Jawa timur hanya berlaku penjualan kandang saja karena terkendala pengiriman ayamnya. Kendati begitu, kandang bisa diisi tak hanya untuk ayam petelur, melainkan ayam kampung ataupun ayam arab.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada budi daya Mini Layer Urban Farming ini adalah sebagai berikut: 
• Siapkan tempat dengan luas tanah 2 x 3 meter.
• Pastikan tempat tersebut mendapat sirkulasi udara yang baik dan cukup, serta teduh.
• Buatlah lantai semen di bawahnya agar tidak becek dan mudah dibersihkan.
• Tempatkan kandang mini di atas lantai semen tersebut.
• Bersihkan tempat minum dan isi penuh dengan air bersih setiap pagi (air minum harus selalu tersedia).
• Pemberian pakan layer komplit (pakan jadi) bisa dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore. Pakan bisa dibeli di poultry shop wilayah masing-masing atau dengan mencampur sendiri (konsentrat layer : jagung : katul = 35% : 50% : 15%).
• Jatah pakan adalah 120 gram/ekor/hari. Pagi hari diberikan 60 gram dikalikan jumlah ayam, begitu juga pada pemberian pakan sore harinya. 
• Bersihkan kotoran setiap hari agar tidak menumpuk dan menimbulkan bau. Hal ini juga sebagai pencegah penyebaran penyakit pada ayam.
• Lakukan penyemprotan dengan disinfektan sesuai dosis pada label setiap hari untuk membunuh bakteri dan virus yang ada di kandang.
• Berikan penerangan lampu mulai pada pukul 18:00-22:00, setelah itu lampu dimatikan sampai pagi hari.
• Setelah itu baru bisa dilakukan pemungutan telur.
• Untuk mencegah bau kotoran, bisa diberikan probiotik melalui pakan.

Melihat aktivitas kegiatan dan cara budi daya Mini Layer Urban Farming, sangat memungkinkan usaha ini bisa dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik di perdesaan maupun perkotaan dengan lahan terbatas. Lahan yang sempit serta modal yang besar sudah bukan manjadi masalah lagi. Dari memulai berbisnis mini layer ini, nantinya bisa dikembangkan menjadi usaha peternakan ayam petelur yang lebih besar lagi. Untuk itu perlu belajar, praktek, mendalami, mencermati, serta mengevaluasi agar usaha budi daya bisa menjadi berkembang dan membawa manfaat bagi banyak orang, khususnya di era pandemi COVID-19 ini.

Konseptor Mini Layer Urban Farming, Drh Handris Nugraha (kiri) dan Drh Andy Siswanto. (Foto: Dok. Handris)

Diharapkan dengan hadirnya budi daya mini layer ini masyarakat masih bisa beraktivitas serta melakukan kegiatan usaha dengan konsep urban farming yang tentunya sangat bermanfaat. Konsep Mini Layer Urban Farming juga sangat cocok sebagai salah satu pilihan program bina lingkungan, desa dan kampung tangguh, kemandirian gizi dan ekonomi, serta program CSR (Corporate Social Responsibility) oleh perusahaan-perusahaan yang mudah dilakukan dengan biaya yang murah, serta mudah dikontrol dan dievaluasi keberhasilan maupun kendalanya.

Untuk masyarakat yang kurang beruntung, dengan mendapatkan project mini layer farm ini, mereka bisa mempunyai tambahan lapangan kerja baru, kemandirian gizi dan ekonominya.  Hasil produksi telur selain bisa dikonsumsi sendiri, juga bisa untuk dijual kepada masyarakat.

Analisis usaha Mini Layer Urban Farming

 

Investasi

Biaya

Pendapatan

Perbulan

Kandang

1.200.000

5.000

Ayam pullet

800.000

18.333

Pakan

158.400

Penjualan telur (Rp/bulan)

278.400

Total

2.000.000

181.733

278.400

 

 

 

 

Keuntungan bersih (Rp/bulan)

95.000

ROI (bulan)

21


Catatan:
• Jumlah ayam/pullet (ekor) : 8 (delapan)
• Asumsi produksi (80-90%) : 0.80
• Memproduksi telur         : 7 (tujuh) butir/hari (90% x 8 ekor)
• Produksi satu bulan (butir) : 192
• Harga pakan (Rp/kg)         : 5.500
Feed konsumsi (120 gram/ekor/hari) : 0.12
• Biaya pakan (Rp/bulan) : 158.400
Life time kandang (tahun) : 20
• Beban biaya kandang (Rp/perbulan) : 5.000 
• Beban biaya pullet (Rp/perbulan) : 18.333
• Asumsi pemeliharaan         : s/d 24 bulan
• Asumsi harga telur (Rp/butir) : 1.450
• Asumsi harga ayam afkir 8 ekor (Rp) : 360.000 
• Harga sapronak tergantung wilayah dan bisa berubah setiap saat. ***

Ditulis oleh:
Drh Handris Nugraha (Praktisi perunggasan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer