-->

DISNAKKESWAN KABUPATEN BANGKALAN SIDAK DAGING HALAL

Petugas Melakukan Sidak di Pasar
(Foto : Disnakkeswan Kabupaten Bangkalan)


Upaya mendukung pengembangan industri halal di Kabupaten Bangkalan, khususnya untuk produk daging dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) bersertifikat halal, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Kabupaten Bangkalan melaksanakan sidak sekaligus program penempelan stiker “Daging Halal” di kios-kios daging Pasar Tradisional Ki Lemah Dhuwur.

Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk daging yang dijual, memperluas pangsa pasar, serta memperkuat daya saing para pedagang daging di Kabupaten Bangkalan. Selain itu, langkah ini juga dianggap sebagai upaya strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pengelolaan daging halal yang sesuai standar.

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Bangkalan, Iskandar Ahidayat,  menegaskan bahwa stiker halal hanya ditempelkan pada kios yang menjual daging dari RPH yang telah mengantongi sertifikat halal.

“Kami berharap kegiatan ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memilih produk daging dari sumber yang terjamin halal dan higienis,” ujar Iskandar.

Para pedagang daging di Pasar Ki Lemah Dhuwur menyambut baik inisiatif ini. Mereka mengapresiasi langkah pemerintah yang tidak hanya memberikan jaminan tambahan kepada konsumen, tetapi juga membantu membedakan produk halal mereka dari daging tanpa jaminan.

Salah satu pedagang mengungkapkan bahwa kehadiran stiker halal membuat konsumen lebih percaya untuk membeli produk mereka, sehingga turut mendorong peningkatan omzet.

Melalui kegiatan ini, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Bangkalan berharap dapat memperkokoh posisi Bangkalan sebagai daerah yang mendukung penuh pengembangan industri halal, sejalan dengan visi daerah menuju perekonomian yang kompetitif, modern, dan berdaya saing. (INF)

RENCANA PEMKAB SIGI BANGUN RPH

Rumah Pemotongan Hewan, Sarana Pemenuhan Daging yang ASUH
(Foto : Istimewa) 


Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), meningkatkan nilai produksi peternak di wilayah itu dengan menjual daging beku keluar daerah atau kabupaten/kota di Sulteng.

"Alhamdulillah tahun ini kami melalui proyeksi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Sigi mendapatkan pembangunan dua rumah potong hewan (RPH) untuk sapi, sehingga kedepannya pemerintah daerah tidak lagi menjual ternak hidup lagi melainkan dalam bentuk daging beku," kata Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Sigi Ihsan, Selasa.

Ia menuturkan saat ini pihaknya sedang melakukan proses lelang untuk pembangunan rumah potong hewan di wilayah itu.

"Kami lagi berusaha untuk melengkapi fasilitas di rumah potong hewan di Kabupaten Sigi, Insya Allah setelah terbangun maka akan segera dilengkapi fasilitas untuk ruang pendinginnya guna mencetak daging beku," ujarnya.

Dia menambahkan, dengan menjual daging beku maka dapat meningkatkan nilai produk ternak di Kabupaten Sigi.

"Kedepannya kita berharap tidak lagi mengirim ternak hidup entah itu daging sapi maupun daging babi, jadi yang dikirim adalah daging beku sehingga lama penyimpanannya itu lebih awet," sebutnya.

Adapun daging beku itu nantinya perlahan akan masuk ke swalayan dan mini market di Kota Palu dan kabupaten sekitarnya. 

"Bisa jadi daging-daging beku ini akan masuk ke swalayan yang ada di Kota Palu dan kabupaten lainnya di Sulteng, karena memang saat ini pasokan daging beku di Sulteng masih dari luar daerah, " tuturnya. 

Menurutnya, dana alokasi khusus untuk perbaikan dan pembangunan rumah potong hewan di Sigi sebesar Rp2 miliar.

"Pasca bencana 2018 silam mengakibatkan rumah potong hewan yang ada rusak dan tahun ini ada alokasi DAK untuk rehabilitasi RPH itu masing-masing rumah potong hewan sebesar Rp2 miliar, sehingga totalnya Rp4 miliar dan dana itu fokus memperbaiki sarana prasarana tempat pemotongan tersebut, " ujarnya.

Ia berharap akhir tahun 2024 rumah potong hewan di Sigi sudah dapat kembali beroperasi.

"Untuk pembelian mesin pembeku daging masih terus diusahakan apakah menggunakan dana APDB atau dilengkapi pada tahun 2025, pada dasarnya untuk kelengkapan rumah potong hewan ini sudah final tahun ini," kata Ihsan. 

Sebelumnya diketahui rumah potong hewan sapi itu berada di Desa Beka, Kecamatan Marawola dan pemotongan hewan jenis babi di Desa Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru. (INF)

PENGUATAN HULU-HILIR HASILKAN PRODUK DAGING BERKUALITAS

Proses produksi yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terutama terjadi pada tempat pemotongan daging. (Foto: iStock)

Dalam mendapatkan produk daging yang aman dan higienis, dapat dilakukan tidak hanya dengan melihat saat pasca produksi, tetapi juga dari pra produksi dan proses produksinya. Hal itu disebabkan adanya berbagai cemaran berbahaya bahan baku pakan seperti mikotoksin, pestisida, logam berat dan berbagai zat berbahaya lain, yang walaupun berjumlah sedikit dan tidak menimbulkan efek langsung, tetapi cemaran itu dapat terus berada di dalam tubuh seseorang yang mengonsumsi produk hasil ternak. 

Hal itu disampaikan Dosen Fakultas Industri Halal, UNU Yogyakarta, Meita Puspa Dewi SPt MSc dalam Indonesia Livestock Club (ILC) #Edisi07: Penguatan Hulu-Hilir dalam Menghasilkan Produk Berkualitas, pada Sabtu (1/8/2020), melalui sebuah aplikasi daring.

Acara diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Peternakan Indonesia (BPPI), Indonesia Livestock Alliance (ILA), Universitas Tidar, Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

Meita mengatakan, proses produksi yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak terutama terjadi pada tempat pemotongan, yaitu di rumah pemotongan hewan untuk daging.

“Adanya rumah pemotongan hewan (RPH) atau rumah pemotongan unggas (RPU) merupakan salah satu upaya implementasi keamanan pangan seperti yang dimaksud dalam UU Pangan,” kata Meita.

Dalam hal kualitas daging yang baik, salah satu indikatornya adalah adanya marbling pada daging yang dipilih. Marbling merupakan serat-serat lemak intraseluler yang terdapat pada daging, yakni merupakan guratan berwarna putih yang berada diantara merahnya daging, tampak seperti pola pada batu marmer (marble). 

Banyaknya serat akan meningkatkan rasa juicy dari daging saat dikonsumsi, utamanya bila dihidangkan sebagai steak atau yakiniku. Marbling juga merupakan indikasi dari baik tidaknya kualitas pakan dan perawatan dari ternak tersebut.

“Semakin buruk kualitas pakan, marbling akan semakin sedikit dan mengakibatkan grade daging akan semakin rendah dan harga jual daging juga akan jadi semakin murah,” pungkasnya. (IN)

KESEJAHTERAAN HEWAN DAN PENERAPAN GOOD SLAUGHTERING PRACTICE

RPH dikatakan modern ketika menerapkan standar GSP, fasilitas memadai dan memiliki sertifikasi NKV diatas level II. (Foto: Ist)

Penanganan hewan yang baik menciptakan kesejahteraan hewan yang baik pula. Mencakup perhatian kepada ternak hewan, memastikan ia bebas dari rasa lapar dan haus (freedom from hunger and thirst).

Selain itu memperhatikan apakah hewan ternak bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit dan cedera, bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas untuk menampilkan perilaku alaminya.

Animal Welfare and Health Manager PT JJAA, Drh Neny Santy, dalam acara seminar daring yang digelar Mei lalu menguraikan penerapan kesejahteraan hewan ternak meliputi penanganan hewan ternak, transportasi, penanganan di feedlot, rumah pemotongan hewan (RPH) dan penyembelihan dengan pemingsanan.

Lebih lanjut, Neny menerangkan proses penanganan sapi saat di RPH sebelum disembelih. Saat tinggal di rumah penampungan, sapi harus diberikan penerangan yang baik agar operator bisa melakukan penanganan dengan optimal.

“Kami terbiasa ke RPH dan melihat perlunya edukasi dan bantuan penyediaan fasilitas yang memadahi. Penanganan sapi di RPH ini merupakan fase akhir yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Stres pada saat pemotongan akan menyebabkan daging akan berwarna kehitaman, bukan merah,” terang Neny.

Menurutnya, waktu yang dijadwalkan di RPH harus seminimal mungkin, agar sapi tidak mengalami stres. Neny menyarankan supaya ternak harus segera disembelih secara cepat, baik menggunakan metode pembiusan ataupun tidak. “Proses penyembelihan ini akan menentukan kualitas daging yang akan dibeli oleh konsumen,” katanya.

Pada kesempatan yang sama Livestock Service Manager untuk Indonesia di perusahaan Meat and Livestock Australia, Drh Helen Fadma, mengemukakan kesejahteraan hewan ternak yang paling riskan adalah saat proses pemindahan. Proses ini biasa menggunakan transportasi darat dan transportasi laut yang membuat sapi sering stres.

Selain itu, kandang penampungan sementara juga harus disiapkan sesuai standar yang sudah ditetapkan. Paling banyak ditemui adalah lantai yang tidak datar, sehingga sapi merasa tidak nyaman. 

GSP dan Sertifikasi NKV
Pedoman tertulis mengenai tata cara atau prosedur produksi pemotongan ternak yang baik, higienis dan halal tertuang dalam Good Slaughtering Practice (GSP). 

GSP menjadi syarat untuk mendapatkan sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV), agar keamanan daging yang dihasilkan dapat terjamin.

“Prasyarat paling dasar dan wajib dilaksanakan dalam industri pemotongan hewan ternak (RPH) yakni penerapan GSP,” kata Manager Produksi PT Cianjur Arta Makmur (Widodo Makmur Group), Mukhlas Agung Hidayat SPt.

Dalam Permentan No. 13/2010, izin pendirian usaha RPH akan dicabut jika belum memiliki NKV pada jangka waktu yang ditentukan. RPH dikatakan sebagai RPH modern jika telah menerapkan standar GSP secara menyeluruh dan memiliki fasilitas yang memadai, serta minimal memiliki sertifikasi NKV diatas level 2.

Mukhlas menjelaskan, penerapan GSP di RPH modern diaplikasikan pada proses pra pemotongan, pada saat pemotongan dan pasca pemotongan. Sebelum dipotong, sapi ditempatkan pada kandang istirahat, lakukan pendataan sapi dan pengecekan kesesuaian sapi dengan dokumen, pengaturan sapi pada setiap pen kandang pengistirahatan dan pengelompokan berdasarkan jenis dan waktu pemotongan.

“Alur pemotongan dikategorikan menjadi tiga, yaitu pra pemotongan, pemotongan dan pasca pemotongan. RPH modern menggunakan sedikit tenaga manusia dan lebih banyak menggunakan mesin. Jika pemotongan tradisional sampai melibatkan lima orang untuk menyembelih sapi, RPH modern hanya membutuhkan satu orang operator,” ujar Mukhlas.

Papar Mukhlas, penting juga dilakukan pengecekan kondisi dan kesehatan sapi kemudian penentuan layak tidaknya sapi untuk dipotong dan pemisahan sapi pada hospital pen jika ditemukan syarat-syarat tidak layaknya sapi dipotong.

Adapun pada saat proses pemotongan sapi, dilakukan secara Islami dan berdasarkan syarat-syarat pemotongan halal, yakni penyembelihan dengan memutus saluran makanan (mari’/esophagus), saluran pernapasan (hulqum/trakea) dan dua pembuluh darah (wadajain/vena jugularis dan arteri carotid).

Setelah proses penyembelihan dijalankan, untuk meningkatkan kualitas daging maka dilakukan proses penyimpanan karkas pada suhu 0-4° C selama minimal 18 jam untuk menyempurnakan proses biokimia daging atau rigormortisn ternak.

Lanjutnya, disebutkan ada tiga klasifikasi utama RPH, yaitu kelas I hingga kelas III. RPH dikatakan modern apabila minimal sudah masuk dalam kategori kelas III. 

Perusahaan yang saat ini ditempatinya adalah RPH kelas II yang harus menggunakan fasilitas dan  metode yang terstandar internasional. Namun, untuk melakukan ekspor, RPH harus masuk dalam standar RPH kelas I. Kelas ini jumlahnya sangat sedikit di Indonesia, bahkan bisa dihitung jari. 

“RPH perlu mengetahui dan menerapkan pedoman GSP. Hal ini akan meningkatkan kualitas dari produksi daging di Indonesia,” tandasnya.

Menurut Mukhlas, RPH modern di Indonesia masih belum banyak, padahal potensi bangsa sangat besar di bidang peternakan. (NDV)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer