Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Koksidiosis | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

GURU BESAR FKH UGM MERAIH PENGHARGAAN BESTARI AWARD



Prof. Michael (tengah) bersama perwakilan PDHI dan Tim Qilu Pharmaceutical 

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM Prof. Dr. Drh Michael Haryadi Wibowo M.P. dinobatkan sebagai peraih penghargaan Bestari Award oleh PDHI bersama Qilu Pharmaceutical pada Sabtu (27/11) yang lalu.

Kepada Infovet ketika ditemui di Grha Dokter Hewan Indonesia yang berlokasi di jalan JOE Jakarta Selatan, Prof. Michael mengutarakan rasa syukur dan terima kasihnya atas penghargaan tersebut.

"Ini merupakan suatu hal yang istimewa dan luar biasa bagi saya, terima kasih untuk berbagai pihak yang telah memberikan support, terutama PDHI dan Qilu Pharmaceutical atas kepercayaannya kepada saya. Mudah - mudahan ini menjadi penambah motivasi saya dalam berkarya dan terus memajukan negeri ini dari sektor kesehatan hewan," tuturnya.

Prof. Michael dinilai layak mendapatkan penghargaan tersebut atas prestasi, inovasi, kreasi, dan kontribusinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang peternakan. Hal tersebut diutarakan oleh Dr. Heriyanti O. Utoro MA, Corporate Public Relation Qilu Pharmaceutical dalam kesempatan yang sama.

"Kami Qilu Pharmaceutical peduli akan perkembangan sains dan teknologi di bidang kesehatan dan nutrisi hewan, penghargaan ini tentunya merupakan pengejawantahan hal tersebut. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Michael atas kontribusinya di bidang kesehatan hewan," kata wanita yang akrab disapa Ibu Oyen tersebut.

Ia melanjutkan bahwa Bestari Award juga memiliki filosofi tersendiri dimana makna dari kata Bestari yakni merujuk pada seseorang yang memiliki pengetahuan luas, berpendidikan baik, memilki budi pekerti yang luhur serta memiliki prakarsa, gagasan orisinal, inovatif, dan tentunya profesional. 

"Biasanya ungkapan bestari disandingkan dengan kalimat bijak bestari, yang memiliki makna cerdas dan bijaksana. Bestari ini bagi kita juga merupakan akronim yakni belajar, beramal seperti semangat matahari, dan kata Bestari pun sudah dibakukan dalam KBBI," tuturnya. 

Heryati juga menuturkan bahwasanya Bestari award nanti juga akan dianugerahkan kepada orang dari bidang lain seperti agribisnis, nutrisi ternak, bahkan bidang kebudayaan yang dinilai memiliki kriteria seperti di atas. 

Ketua Umum PB PDHI Dr. Drh Muhammad Munawaroh MM. memberikan sedikit testimonialnya terkait terpilihnya Prof. Michael sebagai peraih Bestari Award.

"Beliau merupakan salah satu orang yang berkontribusi dalam mitigasi wabah AI di Indonesia pada tahun 2003, yang sekarang sudah banyak lahir vaksin AI dari hasil mitigasi beliau. Selain itu beliau juga yang proaktif dalam meneliti bahkan menemukan beberapa penyakit unggas lainnya di tanah air seperti IB Varian, IBH, dan lainnya. Jangan juga dilupakan peran beliau dalam membantu peternak dan kontribusi beliau di dunia pendidikan, tentunya ini merupakan suatu hal yang luar biasa dan layak diapresiasi," kata Munawaroh.

Webinar Koksidiosis

Koksidiosis merupakan salah satu momok bagi peternak lantaran dapat menyebabkan hambatan dalam pencapaian performa ayam maksimal. Hingga kini koksidiosis menjadi momok menakutkan bagi peternak ayam baik broiler, layer, bahkan untuk level indukan (PS dan GPS).

Atas dasar tersebut Qilu Pharmaceutical bersama PDHI menyelenggarakan webinar dengan tema "Strategi Pengendalian Koksidiosis dan Efektivitas Antikoksidia" di hari yang sama melalui daring zoom meeting. Tercatat lebih dari 800 orang menghadiri webinar tersebut.

Bertindak sebagai keynote speaker dalam webinar tersebut yakni Dr Drh Muhammad Munawaroh MM. Pembicara yang dihadirkan pun merupakan konsultan dan juga guru besar FKH UGM yankni Prof. Charles Rangga Tabbu dan Prof. Gao Xing dari pihak Qilu Pharmaceutical Group. Webinar berdurasi lebih dari dua jam tersebut dimoderatori oleh praktisi perunggasan Drh Eko Prasetyo.

Prof. Charles memaparkan presentasinya sebanyak dua kali, dimana pada presentasi pertama beliau menjelaskan mengenai strategi pengendalian koksidiosis dan dalam presentasi kedua beliau memaparkan mengenai efektivitas sediaan antikoksidia dan aplikasinya. Sementara Prof. Gao Xing dalam presentasinya membawakan presentasi terkait pendekatan praktis dalam mengendalikan koksidia di peternakan broiler. 

Prof. Charles Rangga Tabbu memberikan materi webinar

Qilu Pharmaceutical merupakan perwakilan Qilu Pharmaceutical group di Indonesia yang merupakan salah satu produsen berbagai jenis produk Animal Health & Agricultural Solution terbesar di dunia. Dengan teknologi yang canggih dan muktahir, Qilu Pharmaceutical menghasilkan produk-produk yang berkualitas yang menguasai 50% market share Pharmaceutical dunia untuk produk Salinomycin, Monensin, Maduramicin, Ceftiofur, Apramycin, Tylosin, Tilmicosin, Neomycin dan lain-lain.

Selain itu, untuk produk Biopestisidanya juga menguasai 60% market share dunia seperti Abamectin dan Spinosad.

Dengan hadirnya Qilu Pharmaceutical di Indonesia, diharapkan dapat turut menyumbang peran dalam membangun dunia peternakan dan agrikultural Indonesia yang lebih baik. (CR)



BERANTAS TUNTAS GANGGUAN PENCERNAAN

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Data analisa BMKG untuk Agustus 2021, menunjukan bahwa curah hujan menengah dikisaran 100-300 mm dengan kelembapan di atas 80% dan suhu permukaan 23-29° C. Hal ini akan berdampak kondisi di Agustus relatif lebih dingin dan berkorelasi dengan strategi pengendalian manajemen dan kesehatan unggas. Pada kondisi tersebut, tantangan gangguan penyakit pencernaan sangat potensial terjadi mengingat kondisi lingkungan mendukung bibit patogen untuk tumbuh, berkembang dan menyebabkan gangguan sistem pencernaan.

Usus atau intestine terdiri dari usus halus (duodenum, jejenum dan ileum) serta usus besar. Usus halus terbentang dari ventriculus sampai bagian ileosekal yang merupakan tempat pertautan sekum. Bagian setelah ileosekal menuju kloaka disebut usus besar. Dibagian usus halus terdapat sel-sel epitel vili yang berperanan dalam proses pencernaan dan penyerapan pakan. Sedangkan dibagian usus besar terjadi penyerapan air.

Sejumlah penyakit dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada usus halus. Sebagai contoh adalah infeksi protozoa. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan usus untuk mencerna dan menyerap nutrisi pakan, akibatnya bobot badan ayam menurun atau terjadi hambatan pertumbuhan (Zalizar et al., 2007).

Tantangan pengendalian gangguan pencernaan semakin kompleks pasca dicabutnya penggunaan antibiotic growth promoter (AGP) dalam pakan sejak 2018. AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif yaitu Clostrodium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP, maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan sering terjadi.

Menurut Paiva D. and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566), menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D. and McElroy A J., bahwa kejadian NE yang bersifat sub klinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Kejadian NE seperti fenomena gunung es, dimana yang bersifat sub klinis justru lebih besar dibandingkan dengan klinisnya. Kejadian NE subklinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, average daily gain (ADG) yang tidak tercapai dan feed conversion ratio (FCR) yang buruk.

Kejadian NE seperti fenomena gunung es. (Gambar: Istimewa)

Hubungan NE dan Koksidiosis, serta  Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal yakni Koksidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Agustus 2021.

Ditulis oleh:
Eko Prasetyo Bayu S Spt
(Staff Region PT Karya Satwa Mulia, Mustika Grup) dan
Drh Sumarno Wignyo
(Senior Manager AHS PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk)

NE & KOKSIDIOSIS: DYNAMIC DUO PEMBAWA KERUGIAN

Perdarahan hebat pada usus, gejala klinis yang biasa diamati pada kasus NE. (Foto: Dok. Gold Coin)

Kombinasi dari dua jenis yang berbeda atau yang biasa disebut dengan istilah duet juga berlaku dalam penyakit unggas. Sangat familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E. coli. Tak kalah mematikan yakni duet antara Nekrotik Enteritis (NE) dan Koksidiosis. Kombinasi keduanya “sukses” membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya apakah ayamnya sudah pernah kena Koksidiosis atau Nekrotik Enteritis? Pasti peternak sepakat menjawab “Jangan sampai kena,”. Koksidiosis dan NE, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya disebabkan oleh protozoa (Eimeria sp.) dan bakteri (Clostridium perfringens).

Berdasarkan buku teks atau diktat perkuliahan penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis Eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis Eimeria tersebut, ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella dan E. hagani. Namun dari ke-9 spesies itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Serupa dengan Koksidiosis, NE juga mengakibatkan kerusakan pada usus, penyakit bakterial ini bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan C. Seperti yang disebutkan di atas, di lapangan kasus Koksidiosis dan NE biasanya berjalan seirama.

Hal ini bisa terjadi karena saat Koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang men-trigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berujung pada serangan NE atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Pada sebuah webinar beberapa waktu yang lalu, Drh Lussya Eveline dari PT Medion, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2021. (CR)

Gambaran Dinamika Penyakit Unggas 2019

Penanganan penyakit menjadi kunci sukses usaha budidaya unggas. (sumber: Google)

Penyakit merupakan satu dari banyak tantangan yang akan terus merintangi usaha budidaya ternak. Perkembangan penyakit unggas di lapangan sangat dinamis dan terkadang sulit ditebak, bagaimana kira-kira prediksi penyakit unggas di 2019? Tentu akan sangat menarik untuk dicermati.

Hari berlalu tahun berganti, namun penyakit-penyakit unggas tetap terus menghantui. Jika budidaya ternak diibaratkan sebagai perang, penyakit merupakan musuh yang paling pantang menyerah dalam meneror usaha budidaya. Bagaimana tidak?, walaupun di kandang ayam terlihat sehat secara kasat mata, bisa jadi kondisi ayam tidak sepenuhnya sehat, oleh karenanya kewaspadaan diperlukan agar peternak tidak kecolongan.

Ngorok yang Tak Pernah Usai
Ada suatu kutipan dalam bahasa Inggris yang berbunyi, “nothing last forever”. Mungkin kutipan tersebut kurang tepat untuk beberapa jenis penyakit unggas. Pasalnya, beberapa penyakit unggas justru “long lasting forever”. Sebut saja penyakit CRD (Chronic Respiratory Disease), Coryza dan Colibacillosis. Entah bagaimana penyakit-penyakit tadi sangat betah menebar teror kepada para peternak di Indonesia.

“Setiap kandang dengan sistem open house pasti pernah kena CRD atau Coryza apalagi Colibacillosis, saya yakin banget,” ujar Prof I Wayan Teguh Wibawan, dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB sekaligus praktisi perunggasan. Menurutnya, CRD adalah penyakit “langganan” yang sudah mendarah daging di sektor perunggasan Indonesia.

Prof Wayan menegaskan, penyakit-penyakit tadi sangat sulit dieradikasi karena memang bukan hanya terkait dengan si agen infeksi, tetapi juga perkara manajemen pemeliharaan. “Sekarang begini, kita semua tahu bahwa negara ini kondisi iklimnya sangat mendukung untuk siklus hidup mikrobiologi patogen, tapi karena faktor kita yang lengah dan tidak peduli, siklus penyakit jadi sulit diputus, oleh karenanya kita juga harus eling bahwa kita jangan betah diteror penyakit,” ucap dia.

Yang kadang peternak luput adalah, penyakit-penyakit di atas tadi adalah pintu gerbang bagi agen patogen lainnya untuk masuk ke dalam kandang. “Kalau mereka sudah berkolaborasi, baru tuh mereka kalang-kabut kelabakan, saya sering banget ditanya harus seperti apa,” ungkap Prof Wayan.

Berkaitan dengan ketiga penyakit tadi, Prof Wayan merekomendasikan agar peternak tidak memaksakan diri dalam mengisi kandang. Artinya, ketika harga bagus peternak seringkali mengisi kandang overload, sehingga kandang terlalu padat, sirkulasi udara buruk dan kadar amoniak terlalu tinggi. Amoniak tadi akan mengiritasi ayam di dalam kandang terus-menerus dan menyebabkan peradangan pada slauran pernafasan. Dari situ mikroba patogen akan mengambil alih dan memperparah peradangan tersebut.

“Perbaiki cara pemeliharaan juga, ini berpengaruh. Mindset jangan hanya keuntungan saja, selain itu patuhi istirahat kandang. Jangan ketika harga (ayam) sedang oke, kandang dipaksa berproduksi terus, gawat itu,” tukas Prof Wayan. Menurut dia, apabila manajemen pemeliharaan yang buruk tetap dipertahankan, penyakit-penyakit tersebut di atas akan terus eksis sampai kapanpun.

Dampak Pelarangan AGP
Sejak diberlakukannya Permentan No. 14/2017 tentang pelarangan antibiotik sebagai imbuhan pakan, pro dan kontra di lapangan terus terjadi. Beberapa pihak mengklaim bahwa pelarangan penggunaan AGP (Antibiotic Growth Promotor) membuat ayam menjadi rentan terhadap penyakit, namun ada juga yang menganggap pelarangan penggunaan AGP tidak banyak membawa pengaruh pada kesehatan ayam.

Darmawan, peternak kemitraan asal Tuban, ketika ditemui Infovet menyatakan, sejak pelarangan AGP kandangnya sangat sulit untuk perform. “Sekarang beda, enggak pakai antibiotik ayam jadi mudah sekali mencret, sudah begitu tingkat kematiannya juga lumayan kalau enggak kita upayakan,” tutur Darmawan.

Hal senada juga diutarakan Jarwadi, salah satu peternak layer asal Lamongan. “Nyekrek dan mencret-nya jadi lebih sering, produksi telur juga turun entah mengapa, mungkin karena pakan non-AGP, yang jelas sekarang peternak harus punya lebih banyak jurus untuk menghadapi hal-hal seperti itu,” ucap Jarwadi.

Sementara, Pakar Kesehatan Unggas dan Konsultan Perunggasan, Tony Unandar, juga angkat bicara mengenai pelarangan AGP. Menurut Tony, ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman Koksidiosis. “Banyak yang bilang ke saya kalau semenjak pakan tidak diberi AGP, Koksidiosis marak terjadi. Sudah banyak yang konfirmasi juga ke laboratorium, kalau itu benar Koksidiosis,” ujar Tony.

Ia melanjutkan bahwa ketika AGP dilarang, yang justru berbahaya dan dikhawatirkan adalah ancaman... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

Nekrotik Enteritis & Koksidiosis: Duet Maut Pembawa Kematian

Siklus hidup koksidia. (Gambar: CR)

Kombinasi atau yang biasa disebut dengan istilah Duet ternyata juga berlaku dalam penyakit unggas. Kita familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E.coli. Ada pula yang tak kalah mematikan, yakni duet antara Nekrotik Enteritis dan Koksidiosis. Kombinasi keduanya membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya “Pak, ayamnya sudah pernah kena koksidiosis atau nekrotik enteritis..?” Semua pasti sepakat menjawab “Aduh, jangan sampai deh”. Koksidiosis dan nekrotik enteritis, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya yang satu penyebabnya adalah protozoa (Eimeria sp.), yang satunya lagi adalah bakteri (Clostridium perfringens).

Jika membuka kembali buku atau diktat kuliah penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis Eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis Eimeria tersebut ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella dan E. hagani. Namun dari kesembilan spesies Eimeria sp. itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Hampir senada dengan koksidiosis, nekrotik enteritis juga mengakibatkan kerusakan pada usus, bedanya nekrotik enteritis adalah penyakit bakterial yang bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan tipe C. Seperti yang disebutkan di atas tadi, di lapangan kasus koksidiosis dan nekrotik enteritis sering berjalan beriringan.

Hal ini bisa terjadi karena saat koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang mentrigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berlanjut dengan serangan nekrotik enteritis atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Technical Education & Consultation PT Medion, Drh Christina Lilis, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan benar-benar merepotkan, terutama koksidia, karena protozoa itu berbeda dengan bakteri dan virus, jadi agak susah dieradikasi,” katanya.

Ia melanjutkan, secara normal di dalam usus ayam yang sehat terdapat bakteri C. perfringens sebagai bakteri komensal (tidak menyebabkan terjadinya outbreak penyakit). Namun, hubungan ini bisa berubah menjadi parasitisme disaat kondisi ayam sedang buruk atau tidak fit dan didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak nyaman (tantangan agen penyakit, stress, dll), maka wabah nekrotik enteritis dapat terjadi. Pada ayam yang mati karena NE, jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada usus ialah > 107-108 CFU per gram isi usus, sedangkan jumlah bakteri C. perfringens di dalam usus ayam pedaging yang sehat berkisar 0-105 CFU tiap gram isi usus.

Jika berbicara mengenai kerugian, serangan koksidiosis (apalagi berkombinasi dengan nekrotik enteritis) adalah jagonya. Tingkat kematian yang disebabkan penyakit ini bisa mencapai 80-90% dari total populasi pada ayam broiler, selain itu produksi telur pada layer sudah pasti terganggu. Seakan tidak puas sampai di situ, serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Bagaimana bisa sampai imunosupresif? Lilis lebih lanjut menerangkan. Hal pertama yang terjadi adalah kerusakan pada jaringan mukosa usus menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal. Akibatnya, terjadi defisiensi nutrisi pembentukan antibodi jadi terganggu.

Kedua Peyer's patches dan caeca tonsil (organ pertahanan di mukosa usus) mengalami kerusakan, jika kedua organ ini rusak akan mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi penyakit lainnya. Ketiga, di sepanjang jaringan mukosa usus terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), di mana IgA tersebut akan terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya plasma dan sel darah merah, sehingga kadar IgA sebagai benteng pertahanan di lapisan permukaan usus pun menurun. “Sudah menyebabkan kematian, produksi turun, imunosupresif, kurang mengerikan apalagi coba duet penyakit ini?,” ucap Lilis. *** (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Pengendalian NE dan Coccidiosis Jaman Now

Gambaran lokasi kejadian koksi. (Gambar: Sumarno)

Overview
Kebijakan berbagai negara termasuk Indonesia terkait dengan pelarangan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (AGP) telah berlaku sejak Januari 2018. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017. Pro dan kontra terkait kebijakan ini telah terjadi di masyarakat bahkan sebelum kebijakan tersebut berlaku, mengingat selama ini AGP sangat jamak digunakan oleh masyarakat (peternak) untuk meningkatkan performa unggas.

AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif, yaitu bakteri Clostrodium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan semakin sering terjadi. Menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) bahwa kejadian NE yang bersifat sub-klinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Fenomena kejadian NE seperti fenomena gunung es, di mana yang bersifat sub-klinis justru lebih besar dibandingkan dengan klinis. Kejadian NE sub-klinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, ADG yang tidak tercapai dan feed conversion yang buruk.

NE-Koksidiosis dan Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal yakni coccidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti setelah koksi yang akan menyerang terlebih dahulu dan biasanya di sekitar duodenum. Masuknya koksi, akan menembus vili-vili usus. Banyaknya sel usus yang rusak merupakan pintu bagi masuknya Clostridium perfringens, serangannya pun tak tanggung-tanggung, yakni sepanjang usus itu sendiri. Kasus yang terjadi pada broiler lebih banyak disebabkan oleh buruknya manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang, kepadatan yang berlebihan, serta buruknya sirkulasi udara yang mengakibatkan sekam basah.

Menurut Van der Sluis, W. 2000, dalam “Clostridial enteritis is an often underestimated problemWorld Poultry. 16 (7): 42-43, menyatakan bahwa kerugian ekonomi  yang diakibatkan oleh NE dan koksidiosi adalah US$ 0,05 (setara Rp 500) tiap ekornya. Kerugian besar ini disebabkan karakter NE yang menimbulkan kerusakan jaringan (nekrosis) usus, sehingga menghalangi proses penyerapan nutrisi pakan dalam saluran digesti. Dampaknya, konsumsi pakan yang merupakan porsi terbesar dalam biaya produksi dan belakangan harganya menggila tidak sanggup oleh tubuh dikonversi menjadi daging. Alhasil, pertumbuhan lambat, FCR pun membengkak. ***

Drh Sumarno Wignyo
Senior Manager Poultry Health
PT Sierad Produce, Tbk

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Benarkah Koksidiosis Masih Mengancam Peternak Ayam Ras Komersial

Serangan koksi dapat menyebabkan tingkat mortalitas tinggi. (Sumber: Google)

“Menjaga infestasi parasit Coccidia sp., di puncak teratas dalam manajemen kesehatan unggas merupakan satu hal penting agar dapat terhindar dari Koksidiosis,” demikian disampaikan Jake Davies yang dikutip dari laman poultryworld.net. Pernyataan Jake Davies membuka mata pembudidaya unggas komersial dunia akan pentingnya menjaga kebersihan kandang, baik di dalam maupun di luar kandang.

Kebersihan kandang dan peralatannya menjadi topik hangat dari beragam diskusi semi-ilmiah sampai ilmiah, sehingga tidak sedikit para pemerhati bidang produksi ternak unggas melakukan kajian terkait dengan korelasi kebersihan kandang dengan kejadian berbagai penyakit.

Sebuah laporan hasil penelitian menyebutkan bahwa kandang dengan tingkat kebersihan minimal, ternaknya lebih mudah dijangkiti oleh beragam bibit penyakit jika dibandingkan dengan kondisi kandang dengan tingkat kebersihan maksimal. Hal inilah yang mengantarkan statement Prof Drh Ekowati Handharyani PhD APVet, bahwa semua bibit penyakit merupakan ancaman bagi pembibit, pembudidaya ataupun pemelihara unggas komersial, seperti ayam ras pedaging dan petelur.

“Ancaman penyakit itu tidak hanya dari Coccidia sp., saja, namun dari beragam virus dan bakteri dapat menjadi ancaman bagi peternak,” kata Prof Ekowati mengawali diskusinya dengan awak Infovet.

Menurut dia, sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia disebut sebagai surganya bagi mikroorganisme, baik yang patogen maupun non-patogen. Hal ini berarti bahwa kondisi lingkungan usaha peternakan komersial dapat dikatakan tidak aman karena bibit penyakit dapat mengancam kapan saja.

Pembicaraan terkait dengan penyakit di dunia perunggasan tidak pernah habis. Hal ini disebabkan karena sektor perunggasan merupakan sektor inti yang mendukung penyediaan bahan pangan hasil ternak, bernutrisi tinggi dan disukai hasil olahannya oleh semua kalangan konsumen.

Sebagai ternak yang disebut memiliki potensi gen pertumbuhan terbaik, ayam ras komersial harus dipelihara pada kondisi lingkungan luar dan dalam kandang yang sesuai, pakan yang cukup dan bernutrisi tinggi, serta minimum paparan mikroorganisme patogen. Ada banyak mikroorganisme patogen yang dapat menyerang unggas dalam tatanan budidaya, baik komersial maupun non-komersial, seperti bakteri, fungi, virus maupun dari jenis parasit. Salah satu parasit yang sering menggerogoti usaha peternakan ayam ras komersial adalah protozoa Coccidia sp., sebagai penyebab penyakit koksidiosis pada unggas.

Koksidiosis dan Heat Stress
Menurut Michels et al. (2011), koksidiosis merupakan penyakit umum terpenting pada unggas yang menyerang intestinal yang disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Eimeria. Penyakit yang terkenal dengan istilah berak (feses) darah ini merupakan penyakit parasiter yang dapat mengganggu saluran pencernaan bagian aboral. Kerusakan bagian ini biasanya dapat terlihat dari gejala yang muncul, yakni diare yang diikuti oleh dehidrasi, yang dapat berakhir dengan kematian. Menurut Retno et al. (1998) dan Tabbu (2002), angka kesakitan ayam yang terpapar protozoa genus Eimeria dapat mencapai 100% dari populasi, sedangkan angka kematian dapat berkisar 80-90% dari total populasi di kandang. Tingginya angka kematian ini menyebabkan trauma atau ketakutan bagi peternak terhadap koksidiosis dimaksud.

“Koksidiosis itu sebenarnya adalah penyakit umum pada unggas termasuk ayam ras komersial yang dapat dijumpai di negara beriklim tropis, memiliki dua musim, panas dan musim hujan, dengan kelembaban yang ekstrim, menjadi tempat yang disukai oleh banyak bibit penyakit untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat,” tambah Prof Ekowati.

Prof Ekowati yang juga Alumni Program Doktoral Graduate School of Veterinary Medicine Hokkaido University Jepang ini, juga menyebut protozoa genus Eimeria menyukai daerah-daerah dengan temperatur tinggi, namun kelembabannya rendah. Munculnya kasus koksidiosis biasanya dipicu oleh kondisi ayam yang dipelihara, di samping kondisi lingkungan kandang yang juga dapat mendukung berjangkitnya penyakit.

Merujuk pada buku yang ditulis oleh Nuhad J. Daghir berjudul “Poultry Production in Hot Climates” edisi kedua yang terbit pada 2008, dijelaskan bahwa stress menjadi faktor predisposisi penyakit tertinggi pada unggas khususnya di daerah-daerah beriklim panas. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Tabbu (2000), bahwa stress terutama heat stress berdampak jelek pada ayam ras komersial. Dampak tersebut dapat berupa turunnya intake pakan, sehingga produksi optimal tidak dapat dicapai. Di samping itu, stress diduga juga dapat menurunkan sistem imun, sehingga ayam dapat dengan mudah terpapar oleh bibit penyakit.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Mashaly MM et al. (2004) yang dimuat di Poultry Science 83: 889-894, menyebutkan bahwa ayam ras petelur pada kelompok yang di-treatment dengan heat stress menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sel darah putih dan produksi antibodi secara signifikan. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pada kondisi heat stress, angka kematian jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi un-heat stress, hal yang sama untuk produktivitas berupa produksi telur dan mutu dari telur yang diproduksi, lebih jelek dari ayam ras petelur pada kondisi un-heat stress. Hal ini berarti bahwa heat stress tidak hanya dapat memengaruhi kinerja produksi, namun juga dapat menghambat fungsi kekebalan tubuh ayam ras petelur, sehingga ayam ras petelur dan/atau unggas lainnya mudah dipapari oleh bibit penyakit.

Terkait dengan kondisi tersebut, peternak sejatinya harus paham dan cepat tanggap, bagaimana menurunkan atau menghambat terjadinya stress pada ayam komersial yang dipeliharanya. “Jika stress dapat membuka jalan bibit penyakit masuk ke dalam tubuh ternak, maka peternak seharusnya dapat menjaga ternak yang dipeliharanya untuk tidak stress,” kata Prof Ekowati. (Sadarman)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Aksi Cerdas Antisipasi Koksi



Pakar ilmu penyakit parasiter dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada ( FKH UGM) Yogyakarta Dr Drh Dwi Priyo Widodo, MP mengungkapkan bahwa problema utama wabah penyakit koksidiosis atau berak darah pada ayam ras erat terkait dengan stress, pakan dan manajemen. Oleh karena itu, upaya yang bersifat antisipasif dan bersifat mencegah adalah langkah yang paling utama dan terbukti membuahkan hasil nyata yang lebih pasti.

Untuk itu program biosekuriti yang benar dan baik adalah salah satu kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Khusus untuk menghadapi sergapan penyakit pada saluran pencernaan, yang “sangat membandel” maka pilihan koksidostat adalah kunci penting yang kedua.

Terlebih organisme penyebabnya yakni Eimeria (E) necatrix dan E. tenella umumnya selalu menunjukkan gejala nyata atau bersifat klinis. Hal ini menjadi pedoman dasar yang mutlak untuk dipertimbangkan oleh para pengelola kesehatan ayam di lapangan. Sedangkan jenis yang lain pada umumnya bersifat sub klinis seperti E. maxima dan E. acervulina. Demikian rekomendasi Dwi Priyo ketika memaparkan materi tentang koksidiosis pada saat seminar di UGM, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Perihal stress pada ayam yang terkait dengan timbulnya wabah penyakit berak darah pada kejadian di lapangan, menurutnya juga akibat dari perubahan  jenis pakan dan suhu lingkungan yang ekstrim, serta tindakan potong paruh.

Khusus masalah perubahan jenis pakan, hal itu adalah suatu menejemen yang jelas nyata dan diketahui akan adanya dampak sesudahnya. Akan tetapi umumnya para penanggung jawab di lapangan selalu menganggap remeh dan ringan. 

Stress yang muncul itu tidak selalu berkait dengan rentetan yang berubah dari kualitas pakan yang baik ke kualitas kurang baik/buruk saja. Namun, juga akibat sebaliknya, dapat menyebabkan hal yang sama. Menurutnya pria kelahiran Bantul 29 Januari 1969 itu, bahwa persoalan penyakit berak darah pada ayam komersial jauh lebih tinggi prevalensinya dibanding ayam di farm pembibitan. Hal ini karena program biosekuriti yang diterapkan farm pembibitan lebih ketat dan pengawasan yang lebih intensif.

Seperti diketahui ada beberapa spesies dari eimeria, diantaranya E. tenella, E. acervulina, E. mitis, E. maxima, E. mivati, E. praecox dan E. hagani. Setidaknya ada dua yang paling sering membuat ulah dan masalah yang sangat merepotkan peternak ayam komersial, yakni E. tenella dan E. necatrix. Keduanya sangat patogen dan lebih banyak membawa akibat yang sangat merugikan. *** (iyo)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Juni 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer