Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini E. coli | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KUALITAS AIR BERMASALAH, PENYAKIT MERAJALELA

Air mempunyai pengaruh besar terhadap performa dan pertumbuhan ayam. (Foto: Dok. Infovet)

Air merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam manajemen pemeliharaan ayam, karena air sangat penting dibutuhkan oleh ayam untuk menunjang kehidupan dan produktivitasnya, dimana hampir 80% unsur yang terdapat dalam tubuh ayam terdiri atas air.

Air harus tersedia dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan ternak dan memenuhi syarat dari segi kualitasnya. Air yang kualitasnya kurang baik secara tidak langsung dapat memengaruhi kesehatan ternak.

Pada hampir sebagian besar lokasi peternakan ayam yang ada di Indonesia, dilaporkan sumber airnya mengalami masalah pencemaran kuman patogen dan logam berat. Selain itu pada beberapa daerah dikeluhkan pula oleh para peternak bahwa sumber air yang mereka dapatkan pHnya ada yang rendah (cenderung asam) dan ada juga yang terlalu tinggi (cenderung alkalis). Juga dari hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh peternak, kebanyakan sumber air yang ada di lokasi peternakan tercemar kuman E. coli.

Kriteria Air Minum yang Baik untuk Ayam
Air mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan program vaksinasi dan pemberian obat-obatan untuk ayam, yang mana baik vaksinasi maupun pengobatan dalam pemberiannya mengunakan air sebagai media untuk bisa membawanya masuk ke dalam tubuh ayam.

Ada tiga kriteria penting yang dipersyaratkan untuk air yang layak diberikan pada ayam guna mendukung pertumbuhan, kesehatan dan produktivitasnya, yaitu:... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Maret 2022.

Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, JAKARTA
Telp: 021-8300300

NE & KOKSIDIOSIS: DYNAMIC DUO PEMBAWA KERUGIAN

Perdarahan hebat pada usus, gejala klinis yang biasa diamati pada kasus NE. (Foto: Dok. Gold Coin)

Kombinasi dari dua jenis yang berbeda atau yang biasa disebut dengan istilah duet juga berlaku dalam penyakit unggas. Sangat familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E. coli. Tak kalah mematikan yakni duet antara Nekrotik Enteritis (NE) dan Koksidiosis. Kombinasi keduanya “sukses” membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya apakah ayamnya sudah pernah kena Koksidiosis atau Nekrotik Enteritis? Pasti peternak sepakat menjawab “Jangan sampai kena,”. Koksidiosis dan NE, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya disebabkan oleh protozoa (Eimeria sp.) dan bakteri (Clostridium perfringens).

Berdasarkan buku teks atau diktat perkuliahan penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis Eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis Eimeria tersebut, ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella dan E. hagani. Namun dari ke-9 spesies itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Serupa dengan Koksidiosis, NE juga mengakibatkan kerusakan pada usus, penyakit bakterial ini bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan C. Seperti yang disebutkan di atas, di lapangan kasus Koksidiosis dan NE biasanya berjalan seirama.

Hal ini bisa terjadi karena saat Koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang men-trigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berujung pada serangan NE atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Pada sebuah webinar beberapa waktu yang lalu, Drh Lussya Eveline dari PT Medion, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2021. (CR)

AGAR PENYAKIT BAKTERIAL TIDAK VIRAL

Faktor mendasar terjadinya kasus infeksi penyakit bakterial adalah kurangnya kesadaran peternak akan manajemen pemeliharaan yang baik. (Foto: Istimewa)

Mengendalikan penyakit agar tidak bersarang dan berkembang di suatu peternakan unggas memang susah-susah gampang. Karena itu, dibutuhkan teknik yang jitu dan pengalaman yang mumpuni dalam mengendalikannya.

Ada di Lingkungan dan Kasat Mata
Seperti diketahui bahwa iklim Indonesia yang tropis menjadi salah satu faktor mengapa banyak mikroorganisme kerasan dan mampu bertahan hidup di lingkungan. Begitupun bakteri, entitas seperti bakteri patogen sejatinya sudah ada di lingkungan. Oleh sebab itu ibarat perang, peternak sudah lebih dahulu dikepung oleh musuh.

Bakteri penyebab penyakit seperti Mycoplasma gallisepticum, E. coli, Clostridium dan lainnya mampu bertahan hidup di lingkungan. Belum lagi bakteri yang berasal dari hewan seperti burung liar yang sering ditemui di kawasan peternakan. Faktor manusia juga bisa menjadi penunjang bagi bakteri patogen dapat menyebar di kawasan peternakan. Misalnya saja jika higiene dari petugas kandang yang kurang terjaga, tentunya dapat menulari ayam di flock yang berbeda.

Terkait masalah tersebut, peneliti serta dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof Drh Bambang Pontjo, mengingatkan peternak akan pentingnya memahami musuh yang kasat mata ini. Ia memberi contoh bakteri peyebab Chronic Respiratory Disease (CRD) yang bisa bertahan lama di suhu sekitar 20° C selama 1-3 hari, kemudian dalam kuning telur selama 18 minggu pada suhu 37° C atau selama enam minggu pada temperatur 20° C. Di dalam cairan allantois, mikroorganisme ini tetap infektif selama empat hari dalam inkubator, enam hari dalam suhu ruang dan 32-60 hari dalam lemari es.

“Kalau kita sudah tau musuh kita karakteristiknya seperti apa, seharusnya bisa kita perangi mereka. Jangan kita lengah dan acuh atau bahkan terlalu yakin bahwa kawasan peternakan kita benar-benar clear dari ancaman bakteri patogen,” kata Bambang. Setidaknya peternak harus berusaha meminimalisir kejadian penyakit, jika perlu dibuat target agar tidak ada kasus penyakit infeksius kendati sulit.

Hal senada juga disampaikan oleh peneliti dari Universitas Airlangga, Prof Suwarno, yang mengatakan bahwa faktor… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2021. (CR)

PENYAKIT BAKTERI YANG TAK KUNJUNG BERHENTI

Ayam broiler. (Sumber: Freepik.com)

Bakteri patogen memegang peranan penting dalam tingkat kejadian penyakit pada ayam di Indonesia. Kasus penyakit pada ayam lebih dari 50% disebabkan oleh bakteri. Distribusi penyakit bakterial 70% disebabkan oleh bakteri tipe gram negatif dan 30% disebabkan bakteri gram positif. Bakteri gram negatif menyebabkan 80% penyakit pada sistem pernapasan, 60% penyakit pada sistem pencernaan, 40% pada sistem reproduksi dan 70% pada multisistemik.

Beberapa bakteri gram negatif terpenting pada ayam diantaranya Echerichia coli, Haemophillus paragallinarum, Pasteurella multocida, Salmonella sp., Pseudomonas aeruginosa, Camphylobacter sp., dan Ornithobacterium rhinotracheale. Sedangkan beberapa bakteri gram positif diantaranya Clostridium sp., Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp.

Beberapa penyakit bakterial yang memiliki arti ekonomi tinggi dan tingkat kesulitan tinggi diantaranya Kolibasilosis, Snot, Salmonellosis, Kolera unggas, infeksi Klostridial dan Kampilobakteriosis. Pengobatan pada penyakit dengan tingkat kesulitan tinggi kerap kali menyebabkan terjadinya super infeksi dan respon terhadap vaksin mengalami hambatan, sehingga vaksinasi menjadi tidak efektif.

Terdapat empat macam manifestasi penyakit bakterial pada ayam, yaitu bersifat primer (infeksi bakteri merupakan penyebab utama ayam sakit), sekunder (infeksi bakteri setelah adanya infeksi bersifat primer), tunggal (jumlah infeksi bakteri hanya satu spesies) dan campuran (terjadi infeksi disebabkan lebih dari satu agen penyakit).

Kolibasilosis
Kolibasilosis disebabkan Escherichia coli, bakteri gram negatif yang merupakan bakteri yang normal berada di dalam usus ayam sehat terutama bagian jejunum, ileum dan sekum. E. coli  dapat berada di sekitar area peternakan yang dapat bersumber pada kontaminasi dari kotoran ayam. Penyakit ini dapat terjadi pada semua tingkat umur ayam.

Salah satu produk antibakterial sintetik yang masih merupakan pilihan utama peternak adalah… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2021.

Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, Jakarta
Telp: 021-8300300

MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN KOLIBASILOSIS DI PETERNAKAN KOMERSIAL MANDIRI

Ternak ayam broiler. (Foto: KRJogja.com)

Penyakit unggas dikenal dengan banyak ragam dan penyebabnya, mulai dari mikroba hingga makroorganisme yang dapat menimbulkan sakit pada ayam. Mengupas tuntas perihal penyakit ayam tidak akan pernah habis karena keberagaman penyebab dan cara mencegahnya, termasuk juga cara melakukan medikasi pada penyakit-penyakit tersebut.

PT Veteriner Indonesia Sejahtera (VIS) bersama Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyelenggarakan webinar Kolibasilosis pada broiler komersial mandiri yang diselenggarakan Sabtu (7/11/2020). Dua pembicara kondang dihadirkan dalam acara ini, yakni Drh Baskoro Tri Caroko/BTC (Poultry Technical Consultant) dan Dr Drh Widagdo Sri Nugroho (dosen FKH UGM).

Mengawali pemaparan materinya, Baskoro menyebut, “Banyak peneliti tentang penyakit unggas, tetapi sedikit yang tertarik meneliti bagaimana caranya agar unggas tidak sakit.”

Mengondisikan unggas broiler tidak sakit selama pemeliharaan, lanjut dia, bukanlah perkara mudah, sulit dilakukan mengingat “mereka” dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh dengan kompetitor (agen penyakit).

Lebih lanjut, kondisi riil rata-rata kandang  broiler komersial mandiri juga disebut sangat memprihatinkan. Padahal kandang sejatinya memberikan kenyamanan pada ayam dari awal hingga akhir pemeliharaannya.

“Dari banyak lokasi pemeliharaan yang saya kunjungi, beragam penemuan dapat disampaikan, misalnya kondisi kebersihan kandang yang kurang, jarak antar kandang yang tidak diperhatikan, onggokan feses yang menggunung di bawah lantai kandang, kondisi alas kandang yang basah, ini semua jelas memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan,” kata BTC.

BTC pun mengimbau peternak harus berempati ternak peliharaannya. Sebab, infeksi dapat saja terjadi saat peternak lengah dengan kondisi kandangnya.
"Sejatinya lingkungan kandang yang basah dan kotor dapat menjadi perantara, artinya penyakit tersebut berasal dari lingkungan bukan dari ayam ke ayam,” ucap dia.

Narasumber webinar, Baskro Tri Caroko (kiri) dan Widagdo Sri Nugroho.

Serangan Kolibasilosis
Penyakit yang identik dengan kondisi lingkungan kandang kotor adalah kolibasilosis. Ini merupakan penyakit infeksi bakterial pada unggas yang disebabkan Escherichia coli. Menurut BTC, dampak negatif kolibasilosis pada broiler selama periode pemeliharaan adalah pertumbuhan lambat karena sistem organ pernapasan dan pencernaan terganggu, konversi pakan tidak efisien ditandai dengan keseragaman pertumbuhan rendah, hingga tingginya angka kematian.

Berdasarkan data investigasinya di lapangan, rata-rata kolibasilosis dapat terjadi pada kondisi alas kandang atau sekam basah, menyebabkan kandang pengap karena ventilasi terbatas, akibatnya terjadi peningkatan produksi amonia yang berujung cekaman stres pada ayam.

Kejadian kolibasilosis pada ayam broiler biasanya di umur tiga minggu atau saat mendekati panen. Baskoro menyebut bahwa sebagian peternak komersial mandiri mengandalkan antibiotik untuk penyakit ini. Namun demikian, jika hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah pemborosan karena tidak efektif dan menguras biaya.

“Jangan gunakan antibiotik untuk mengendalikan kolibasilosis, pemborosan karena harganya mahal. Disamping itu beresiko terjadinya residu dan akan berpeluang terhadap kasus berulang atau re-emerging disease,” ungkapnya.

Sementara disampaikan Dr Widagdo, kolibasilosis pada dasarnya dapat menghambat tercapainya standar produk unggas yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), serta memperbesar kemungkinan residu antibiotik pada konsumen. Menurut Vello et al. (2020), jumlah kasus resistensi antibiotik dengan rata-rata prevalensi tertinggi dilaporkan pada penggunaan Cefazolin 86.8%, Fucidik Acid 84.6% dan Ampicillin 79.3%, sehingga perlu dilakukan pembenahan dan pengawasan penggunaan antibiotik terutama pada usaha broiler komersial mandiri.

"Ini telah dilakukan pemerintah kita, yakni diawal 2017, pembatasan penggunaan antibiotik sebagai pencegahan dan medikasi penyakit terutama pada ternak-ternak yang memproduksi bahan pangan,” tutur Widagdo.

Dilihat dari tren penyakit pada ayam ras pedaging pasca pelarangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan, kasus kolibasilosis menduduki peringkat kedua setelah kasus Chronic Respiratory Disease (CRD) pada 2017. Pada 2018 dan diperiode Januari-Oktober 2019, kasus kolibasilosis masing-masing menduduki peringkat kedua setelah CRD dan peringkat ketiga setelah CRD komplek. Hal ini menunjukkan bahwa kolibasilosis masih perlu diwaspadai keberadaannya di lokasi usaha peternakan unggas.

"Peternak harus memperhatikan hal ini, karena hampir disetiap tahun, ketiga jenis penyakit CRD, CRD komplek dan kolibasilosis merajai kasus-kasus penyakit pada ayam ras pedaging,” terang dia.

Namun bila melihat polanya, jelas Widagdo, kejadian kolibasilosis melandai dari Januari-Februari, lalu menurun disepanjang Maret dan naik perlahan di April-Mei. Selanjutnya terjadi penurunan kasus di Juni dan kembali naik di Juli-Agustus. Ia menyebut kerugian akibat kolibasilosis cukup besar mencapai Rp 14.2 triliun perperiode panen broiler dan Rp 13.4 triliun perperiode panen layer.

"Ini nilai kerugian yang sangat fantastik, harus dicarikan solusi agar nilai sebesar itu bisa diturunkan, bisa melalui kontrol kebersihan dengan penerapan biosekuriti maksimal di lokasi kandang,” ucapnya.

Pengendalian
Dalam pengendalian kolibasilosis, Baskoro menganjurkan untuk melibatkan berbagai disiplin ilmu yang memperhatikan interaksi semua komponen beserta lingkungannya, terutama yang terkait langsung dengan pengaruhnya terhadap kejadian dan cara penyebaran penyakit pada ayam broiler.

“Setidaknya ada keterlibatan manusia, ternak dan lingkungannya, semuanya saling memberikan pengaruh hingga penyakit itu muncul pada ayam ras pedaging yang dipelihara,” kata BTC.

Konsultan peternakan unggas inipun menyebut bahwa dalam pengendalian penyakit unggas, perlu menerapkan manajemen resiko dengan seni pengendalian yang menyertainya. Diantaranya adalah melakukan upgrade pada pelaksanaan disinfeksi dan biosekuriti dari masing-masing tipe kandang yang digunakan.

“Pada kandang postal terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan phenols air tergenang. Lalu pada kandang panggung terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan disinfeksi jenis formalin dan phenols. Sedangkan pada kandang postal tertutup, tata cara pembersihannya sama dengan kandang postal terbuka,” kata BTC. Pelaksanaan upgrade juga dilakukan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan DOC hingga panen, manajemen sumber daya manusia, prasarana kandang dan melakukan pencegahan terhadap sumber penularan penyakit.

Sementara itu, Widagdo turut menambahkan bahwa pengelolaan usaha peternakan unggas harus sangat diperhatikan, terutama menyangkut kondisi lingkungan, agen penyakit dan host-nya.

“Kita tetap memerlukan surveilens untuk mengumpulkan data-data yang ada, lalu dianalisis untuk mengetahui tingkat prevalensi dan insidensi penyakit, sehingga diketahui faktor penyebab atau resiko penyakit, disamping adanya rekomendasi dari hasil analisis untuk ditindaklanjuti oleh dokter hewan,” tutur Widagdo.

Dijelaskan, pendekatan one health untuk meredam penyakit dan memperbaiki pangan asal ternak yang sehat juga dapat dilakukan. Ia berharap meningkatnya peran peternak dan dokter hewan dalam pengendalian penyakit dan residu antibiotik dapat dilakukan melalui pemilihan bibit unggul, penerapan biosekuriti ketat, perbaikan sistem manajemen pemeliharaan dan bijak dalam menggunakan obat hewan. (Sadarman)

LAGI-LAGI KOLIBASILOSIS

Omphalitis pada DOC salah satu indikasi infeksi E. coli. (Sumber: Istimewa)

Peternak mana yang tidak tahu kolibasilosis? Mungkin semua peternak ayam terutama broiler di Indonesia sudah pasti pernah merasakan kerugian yang diakibatkannya. Walaupun sudah banyak peternak yang bisa dibilang well educated, namun masih saja peternak kerap kali merasakan kerugian yang berulang.

Tidak usah diberitahu lagi, peternak Indonesia mungkin sudah lebih jago daripada technical service, sales representative, atau semacamnya mengenai penyakit ini. Petugas kandang juga sudah kenyang dengan hal tersebut. Namun misteri mengapa ketika kasus kolibasilosis dapat terus “membunuh” peternak secara berulang memang tak pernah bisa diungkap. 

Si Oportunis dan Residivis
Bakteri Escherichia coli, atau biasa disingkat dan lazim disebut E. coli merupakan bakteri yang normal hidup pada saluran pencernaan dan normal terdapat banyak di lingkungan peternakan ayam. Bakteri yang serupa juga terdapat pada saluran pencernaan mahluk hidup lainnya termasuk manusia.

Sifat dari bakteri ini pun sebenaranya sebagai bakteri pembusuk yang membantu pencernaan. Meskipun kebanyakan non-patogen, namun beberapa diantaranya menyebabkan infeksi saluran pencernaan pada berbagai mahluk hidup termasuk ayam.

Infeksi bakteri E. coli disebut kolibasilosis. Kolibasilosis pada ayam adalah penyakit lokal atau sistemik yang sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh E. coli, termasuk koliseptisemia, koligranuloma, air sac diseases, avian cellulites, swollen head syndrome, peritonitis salfingitis, osteomyelitis/synovitis, panophtalmitis dan omphalitis atau infeksi kantong kuning telur.

Bakteri ini juga dapat mencemari lingkungan. Biasanya mereka dapat ditemukan dalam litter, kotoran ayam, debu atau kotoran dalam kandang. Debu dalam kandang ayam dapat mengandung 105 sampai 106 E. coli/gram (Tabbu, 2000).

Keberadaan E. coli dalam air minum merupakan indikasi adanya pencemaran oleh feses. Dalam saluran pencernaan ayam normal, terdapat 10-15% bakteri E. coli patogen dari keseluruhan E. coli.

Anben et al. (2001), mengelompokkan E. coli yang bersifat patogen sesuai dengan gejala klinis yang ditimbulkan, antara lain penyebab diare, penyebab septisemia dan Avian Pathogenic Escherichia coli (APEC). Galur APEC merupakan galur yang berhubungan dengan karakteristik penyakit kolibasilosis pada ayam.

Peradangan berupa perkejuan pada organ visceral akibat E. coli. (Sumber: Istimewa)

Menurut Drh Agustin Indrawati, staf pengajar mikrobiologi medis Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, menyatakan bahwa penyakit ini sesungguhnya benar-benar persoalan klasik yang tidak kunjung selesai. Hal ini juga berkaitan dengan praktik manajemen dalam beternak.

“Sifatnya memang bakteri normal di usus, tetapi ketika kondisi memungkinkan bagi mereka untuk menginfeksi, maka infeksi akan terjadi. Oleh karenanya peran manajemen sangat menentukan,” tutur Agustin.

Selain itu, yang lebih gawat lagi berdasarkan hasil penelitiannya, beberapa strain dari bakteri E. coli sudah mengalami resistensi terhadap beberapa jenis antimikroba. Tentu saja ini berbahaya bagi ternak, apalagi konsumen.

E. coli juga sering ditemukan pada produk daging ayam, kalau kebetulan E. coli-nya ternyata sudah kebal antimikroba, tidak dimasak sempurna, lalu termakan oleh manusia, dan kemudian manusia itu sakit, tentunya akan sulit mengeliminirnya, karenakan dia (E. coli) sudah kebal. Makanya masalah ini… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2020 (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer