-->

SUDAH SIAPKAH INDONESIA MENYAMBUT ERA TELUR CAGE FREE?

Ayam Yang Dipelihara Dengan Sistem cage free Dinilai Lebih Berperikehewanan
(Foto : Istimewa)


Telur merupakan sumber protein hewani termurah yang dapat diperoleh masyarakat Indonesia. Namun bagaimana jika telur yang dikonsumsi berasal dari ayam yang tidak dikandangkan alias cage free?. Seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat akan konsumsi telur cage free di seluruh dunia, Indonesia seakan tidak mau ketinggalan. Hal tersebut terlihat pada booth Indonesian Cage Free Association (ICFA) yang hadir pada perhelatan ILDEX 2025 pada 17 - 19 September lalu. 

Berdasarkan penuturan Yovela Sukamto Program Associate ICFA yang ditemui infovet, ICFA merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang peternakan ayam tanpa kandang alias cage free. Tujuan hadirnya ICFA mengajak kepada peternak Indonesia untuk beralih ke sistem cage free.

"Kami tidak memaksa atau anti terhadap sistem konvensional, kami hanya hadir sebagai alternatif untuk peternak yang menginginkan nilai tambah bagi produknya serta menjawab kebutuhan masyarakat mengenai telur ayam cage free," tuturnya. 

Program - program yang dijalankan oleh ICFA diantaranya adalah Training nasional beternak bebas sangkar, pendampingan sertifikasi kesejahteraan hewan, business matchmaking, seminar, serta kegiatan lain yang mengarah kepada peternakan ayam cage free.

"Untuk bergabung syaratnya cuma 3, memiliki visi yang sama, berpartisipasi aktif, dan saling transparansi antar anggota. Kami terbuka bagi peternak baru maupun peternak yang ingin beralih sistem dari konvensional ke cage free. Nanti akan kami adakan pelatihannya, survey, serta diskusi mengenai apapun yang dibutuhkan dalam sistem ini," kata Yovela.

Hingga saat ini lanjut Yovela, ICFA sudah memiliki anggota sebanyak 27 peternak yang terdiri atas peternakan mandiri maupun perusahaan yang menghasilkan produk telur cage free. Kesemuanya tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Bali. 

Terkait hambatan, menurut Yovela hambatan yang masih dihadapi yakni sedikitnya demand akan telur cage free di Indonesia. Selain itu menurut Yovela, telur cage free harganya memang lebih mahal, menbgutungkan bagi produsen namun kurang bersahabat dikantong konsumen. Namun begitu Yovela optimis seiring berkembangnya waktu dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan animal welfare, pasar untuk telur cage free dengan sendirinya akan terbentuk. (CR) 

MERAIH PELUANG TREN BUDI DAYA AYAM BEBAS SANGKAR

Pola budi daya ayam bebas sangkar memungkinkan ayam bergerak bebas sesuai nalurinya. (Foto: Istimewa)

Kesejahteraan ternak atau hewan (Kesrawan) semakin kuat disorot banyak negara di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Hal itu tidak terlepas dari peningkatan kesadaran masyarakat dunia akan tren konsumsi pangan protein hewani, kepedulian pada kelestarian lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan hewan. Kenyataan itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa kandang baterai konvensional dilarang di Uni Eropa dan banyak negara bagian di Amerika Serikat.

Hal itu dibahas dalam Indonesia Livestock Club (ILC) edisi 21, Rabu (30/6/2021) dengan menghadirkan Guru Besar Fapet UGM Prof Dr Ali Agus, Manajer PT Inti Prima Satwa Sejahtera Roby T. Dharma Gandawijaya dan owner Rasyid Barokah Farm Muhammad Ridwan

Dalam webinar tersebut dijelaskan bahwa kandang ayam baterai dianggap sebagai tempat yang kurang sesuai dan berukuran kecil, sehingga ayam tidak dapat bergerak bebas atau mengekspresikan perilaku alaminya. Tren tersebut menuntut seluruh pemangku kepentingan bidang peternakan untuk tidak hanya fokus pada produksi semata, namun juga perlu memerhatikan aspek Kesrawan dalam usahanya.

Dijelaskan pula tren Kesrawan dalam hal ini pada sistem produksi telur dengan pola budi daya ayam bebas sangkar (cage free), memungkinkan ayam bergerak bebas sesuai nalurinya. Kemudian makan, minum, bersarang, bertengger dan berinteraksi dengan ayam lainnya.

Sistem bebas sangkar membuat setiap ayam lebih nyaman dan terhindar dari stres, dirawat dan dipelihara dengan baik menggunakan lima prinsip kesrawan. Pertama, terbebas dari rasa lapar dan haus. Kedua, bebas dari rasa tidak nyaman. Ketiga, kebebasan dari rasa sakit, cidera, dan penyakit. Keempat, bebas mengekspresikan tingkah laku alaminya. Kelima, bebas dari rasa takut dan tertekan.

Menurut Ali Agus, tren masa depan budi daya ayam bebas sangkar akan didorong dan ditarik oleh berbagai faktor. “Isu Kesejahteraan ternak, permintaan konsumen, gerakan pecinta atau penyayang hewan, regulasi pemerintah (insentif, grading egg quality), tata niaga yang mengikat (perusahaan multinasional), pasar segmented dan harga jual telur,” kata Dekan Fakultas Peternakan UGM tersebut.

Untuk strategi implementasi di Indonesia, kata dia, perlu untuk belajar dari praktik keseharian, dimulai dari populasi yang tidak terlalu besar, misalnya di bawah 10 ribu ekor. “Strategi berikutnya adalah perlu dilakukan penelitian berkesinambungan seputar aspek dalam budi dayam ayam bebas sangkar, peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian, serta perlu adanya pembentukan asosiasi usaha sejenis, yakni lembaga tempat berinteraksi para praktisi budi daya ayam bebas sangkar,” tukasnya. (IN)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI


Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer