Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PEMERINTAH SUSUN ROADMAP PENGENDALIAN HOG CHOLERA

Sebagai upaya mengembangkan komoditas unggulan ekspor, yakni ternak babi di Provinsi NTT, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, Drh I Ketut Diarmita, mengatakan pentingnya pengendalian dan pemberantasan penyaki Hog Cholera pada Babi. Hal tersebut ia sampaikan pada acara seminar dan lokakarya multipihak di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT (Nusa Tenggara Timur), Senin (6/11).
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, saat acara seminar dan lokakarya
penyusunan roadmap pengendalian Hog Cholera.
“Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan berpengaruh secara ekonomi, untuk itu perlu segera dikendalikan dan diberantas,” kata Diarmita. Karena itu pihaknya bekerjasama dengan dinas peternakan setempat menyusun roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera.
Menurutnya, penyakit Hog Cholera cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala umur. Morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi mencapai 95-100%. Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) atau juga dikenal dengan Sampar Babi, merupakan penyakit yang disebabkan virus yang masuk salah satu dari daftar 25 jenis penyakit hewan menular strategis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis.
Karena menjadi penyakit strategis, roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera ditujukan untuk meningkatkan populasi ternak babi, mengamankan daerah sumber bibit ternak babi, meningkatkan pendapatan dari hasil usaha peternakan babi, meningkatkan perdagangan ternak babi baik domestik maupun eskpor dan meningkatkan pendapatan daerah.
“Saya sarankan agar pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera difokuskan ke daerah-daerah tertentu saja, seperti  Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara,” ucapnya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain, potensi daerah sebagai produsen ternak babi, kepadatan populasi, penyakit Hog Cholera sudah menjadi endemis, daerah tersebut berisiko menyebar Hog Cholera ke daerah lain, komitmen pemerintah daerah cukup tinggi dan sudah memiliki program pengendalian.
Sebab, kata dia, pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera menjadi sangat penting, sebab komoditi ternak babi merupakan aset ekonomi bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia, adanya perkembangan peningkatan populasi babi dalam lima tahun terakhir, komoditi ternak babi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu di Indonesia, komoditi ternak babi merupakan salah satu sumber daging dan pemenuhan sumber protein hewani yang sangat efisien bagi masyarakat tertentu di Indonesia dan ternak babi sudah menjadi komoditi ekspor.
“Meningkatnya produksi daging babi di Indonesia dan terbatasnya segmentasi pasar daging babi, menjadi peluang peningkatan ekpor daging babi,” tukasnya. (CR)

Tahun 2018 Peternakan Diprediksi Masih Tumbuh di Tengah Banyak Tantangan

Pemerintah diharapkan memiliki cetak biru (blueprint) pembangunan peternakan yang diketahui dan disepakati oleh semua pemangku kepentingan peternakan, sehingga semua pihak memahami dan juga mendukung akan  kemana peternakan nasional ini mau dibawa.

Dari kiri: Teguh Boediyana, Askam, Sugiyono, Erwidodo, Krissantono

Demikian salah satu butir rekomendasi Seminar Nasional Bisnis Peternakan yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Rabu, 22 Nopember 2017 di IPB International Convention Center (IICC, Botani Square) Bogor. Rekomendasi dan kesimpulan seminar disampaikan oleh moderator seminar Drh Forlin Tinora Siregar di sesi terakhir seminar .

Seminar yang mengangkat tema "Tantangan Peternakan Nasional menghadapi Serbuan Produk Impor" ini, menghadirkan mantan Dubes RI di World Trade Organization (WTO) Dr Erwidodo, Ketua Umum GPPU Krisantono, Ketua Umum PPSKI Teguh Boediyana, Sekretaris Eksekutif GPMT Drh Askam Sudin, Wakil Ketua Umum Pinsar Indonesia Ir.Eddy Wahyudin MBA, Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Dr. Sauland Sinaga dan Sekjen ASOHI Drh Harris Priyadi. Seminar terdiri dari dua sesi,  dipandu oleh moderator Drh Sugiyono (sesi pertama) dan Drh Forlin Tinora Siregar (sesi kedua).

Pemukulan gong oleh Ni Made Ria Isriyanthi, mewakili Dirjen PKH
Seminar nasional bisnis peternakan merupakan seminar outlook bisnis yang diselenggarakan secara berkesinambungan oleh ASOHI setiap akhir tahun sejak tahun 2005. Seminar ini menjadi salah satu referensi utama para pelaku bisnis peternakan dan kesehatan hewan dalam menjalankan evaluasi dan rencana bisnis. Hadirnya para pimpinan asosiasi peternakan di forum ini merupakan  satu hal utama yang membuat seminar ini berbobot. Ditambah lagi adanya pembicara tamu yang menyajikan topik yang relevan dengan situasi terkini, menjadikan seminar ini semakin bermakna bagi peserta. Kali ini Mantan Dubes RI di WTO menjadi pembicara tamu karena tema yang dibahas sangat terkait dengan tantangan peternakan mengadapi serbuan produk impor. Seminar dibuka oleh Kasubdit Pengawasan Obat Hewan Drh. Ni Made Ria Isriyanthi PhD mewakili Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,  diikuti oleh sekitar 200 orang peserta dari berbagai daerah, terdiri dari pelaku usaha, utusan pemerintah pusat/daerah, asosiasi, perguruan tinggi dan sebagainya

Eddy Wahyudin, Forlin Tinora, Irawati Fari, Sauland Sinaga, Harris Priyadi
Ketua panitia seminar Drh.Andi Wijanarko mengatakan, seminar mengangkat tema tantangan Peternakan nasional menghadapi serbuan produk impor, dilatarbelakangi oleh kemenangan brazil di WTO yang menggugat Indonesia atas kebijakan perunggasan. "Dengan menangnya Brazil di WTO publik peternakan khawatir apakah tahun 2018 ini ayam Brazil yang dikenal murah ini akan masuk ke Indonesia. Jika ini terjadi, akan menjadi tantangan berat bagi peternakan Indonesia," kata Andi kepada Infovet.

Itu sebabnya, tambah Andi, ASOHI mengundang Dr Erwidodo yang menguasai permasalah ini untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana langkah yang harus dilakukan Indonesia.

Ketua Umum ASOHI Drh. Irawati Fari menambahkan, tahun baru 2018 mendatang adalah tahun baru "istimewa" bagi kalangan peternakan karena merupakan tahun dimulainya pelarangan Antibiotic Growth Promoter (AGP) atau antibiotika imbuhan pakan. Selain itu tahun 2017 bisa dikatakan sebagai tahun penuh regulasi. Di bidang obat hewan ada permentan tentang klasifikasi obat hewan serta rancangan Permentan lainnya yang sedang dalam proses pembahasan. Di bidang perunggasan ada aturan untuk mengatasi oversupply, di industri pakan ada peraturan tentang peredaran dan pendaftaran pakan, di peternakan sapi ada aturan rasio impor sapi bakalan dan sapi indukan, juga ada izin impor daging kerbau dari India dan sebagainya. "Semua itu menjadi tantangan besar karena pada saat yang sama kita menhadapi ancaman produk impor," tambahnya.

Tantangan Internal ASEAN lebih besar

Erwidodo dalam paparannya mengatakan, kemenangan Brazil di WTO tidak serta merta langsung tahun depan Indonesia kebanjiran daging ayam asal Brazil. Masih banyak prosedur yang harus dilalui. Lagi pula Brazil itu jaraknya jauh dari Indonesia.

"Justru kita harus waspada adalah internal ASEAN sendiri, karena MEA sudah berlaku dimana bea masuk antar negara ASEAN nol persen. Sedangkan biaya produksi ayam di Indonesia kalah dengan Thailand," ujar Erwidodo menunjukkan data perbandingan biaya produksi unggas antar negara ASEAN.
Ia juga mengingatkan, semua negara ekspor pertanian umumnya juga mengimpor produk yang sama. Misalnya Amerika ekspor daging, tapi juga impor daging. Demikian juga negara lain. Sedangkan Indonesia selalu berpikir impor itu harus nol. Dalam perdagangan internasional hal ini kurang tepat.

Terhadap kebijakan pengurangan produksi untuk keseimbangan  supply-demand unggas dalam negeri, Erwidodo mengatakan hal itu untuk jangka pendek boleh saja, tapi kurang baik untuk jangka panjang. "Kelebihan produksi itu harus diupayakan saluran pasarnya," ujarnya.

Infovet mencacat, pada saat ada embargo negara Eropa ke Rusia tahun 2014, terjadi oversupply susu sapi di Perancis karena ekspor susu ke Rusia terhenti. Kejadian ini tidak menjadikan pemerintah perancis dan peternak memusnahkan susu melainkan Pemerintah membeli susu peternak dan diekspor ke negara Afrika dan Asia dengan harga murah, demi menyelamatkan peternak.

Erwidodo menyarankan agar pemerintah lebih cermat dalam menetapkan kebijakan. "Contoh kasus tentang jagung. Akibat "membela"petani jagung, dengan stop impor,  harga jagung dalam negeri menjadi sangat mahal, hal ini merugikan usaha peternakan. "Petani jagung dan peternak kan masih dalam satu keluarga besar pertanian, mestinya kementan bisa membuat kebijakan yang menguntungkan petani jagung tapi tidak merugikan peternak unggas, karena peternakan unggas ini akan makin sulit bersaing dengan negara tetangga kalau harga jagung saja lebih dari Rp. 4.000/kg," ujar Erwidodo.

Banyak Tantangan Tapi Masih Prospektif
Ketua Umum ASOHI diwawancarai wartawan berbagai media

Dari paparan para pimpinan asosiasi peternakan pada umumnya pelaku bisnis peternakan menilai tahun 2017 ini situasi peternakan kurang kondusif. Wakil Ketua Umum Pinsar Indonesia Eddy Wahyudin menggambarkan situasi peternakan unggas tahun 2017 itu sebagai "ngeri-ngeri sedap" .

"Pemerintah telah berbaik hati menetapkan harga acuan di tingkat peternak, namun selama setahun itu hanya 2 bulan peternak menikmati harga sesuai dengan harga acuan. Sepuluh pulan lainnya mengalami kondisi di bawah harga acuan alias merugi," ujarnya.

Sementara itu Ketua Umum GPPU Krissantono mengeluhkan kebijakan pemerintah yang tidak jelas arahnya. "Sebenarnya mau dibawa kemana peternakan kita. Saat ini kami mau mengadakan rapat saja khawatir dituduh sebagai kartel. Jadi kalau seperti ini buat ada ada asosiasi," ujar Krisantono mempertanyakan kasus yang pernah dialami GPPU yang dituduh sebagai kartel gara-gara mentaati perintah Kementan untuk mengurangi produksi.

Ia mengharapkan Pemerintah menyusun arah pembangunan peternakan khususnya perunggasan secara jelas sehingga semua stakeholder bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang dan sesuai dengan arah yang disepakati.

Hal senada disampaikan Ketua Umum PPSKI Teguh Boediyana yang merasa sering ada kejanggalan pemerintah dalam membuat kebijakan. "Impor daging dari India adalah contoh jelas tindakan yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan. India itu tidak memiliki zona bebas PMK, kenapa pemerintah mengimpor daging kerbau Indonesia?," ujarnya.

Kami menggungat ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pasal impor berbasis zona (UU no 18/2009) pada tahun 2010 dan kami memang. Ternyata UU direvisi menjadi UU no 41/2014 yang membolehkan impor berbasis zona. "Kami menggugat lagi pasal yang sama, tahun 2014, tapi kali ini kami kalah. Ini kan aneh. Dan kami terus memperjuangkan pasal tersebut, demi peternakan rakyat," tambah teguh.

Sementara itu Sekretaris Eksekutif GPMT Drh. Askam Sudin menyatakan meski terjadi gonjang ganjing peternakan, secara umum produksi pakan unggas nasional masih mengalami pertumbuhan positif, dengan rata-rata pertumbuhan 8% /tahun. Tahun 2016 produksi pakan 17,2 juta ton, tahun 2017 ini diperkirakan 18 juta ton.

Hal senada disampaikan Sekjen ASOHI Drh Harris Priyadi. Ia menyamapaikan , berdasarkan hasil kajian ASOHI, bisnis obat hewan tahun 2017 yang terdiri dari produk farmasetik, biologik dan premiks, nilainya berkisar Rp. 8 triliun. Diperkirakan tahun depan akan tumbuh sekitar 7-10%.

Di sektor peternakan babi, Ketua Umum AMI Dr Sauland Sinaga mengatakan, saat ini komoditi peternakan yang diekspor hanya ternak babi, dan ekspor babi masih bisa ditingkatkan. "India masyarakatkan tidak makan daging sapi dan ekspor sapinya sangat besar. Mestinya Indonesia juga bisa seperti itu. Dengan satu pulau saja, kita bisa ekspor babi 300an ribu ekor per tahun. Kita masih banyak pulau yang bisa dimanfaatkan untuk kawasan peternakan babi untuk ekspor," ujarnya. (bams) ***
Para pembicara dan sebagian peserta seminar

Rekomendasi Seminar Nasional Bisnis Peternakan
  1. Pemerintah diharapkan memiliki cetak biru (blueprint) pembangunan peternakan yang diketahui dan disepakati oleh semua pemangku kepentingan peternakan, sehingga semua pihak memahami dan juga mendukung akan  kemana peternakan nasional ini mau dibawa.
  2. Banyaknya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah perlu disesuaikan dengan kondisi peternakan. Pemerintah perlu melibatkan asosiasi dan semua pemangku kepentingan dalam menyusun regulasi demi kelancaran implementasinya.
  3. Semua asoasiasi harus mendorong anggotanya untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing untuk menghadapi tantangan ke depan
  4. Adanya pelarangan AGP yang efektif berlaku awal tahun 2018, asosiasi terkait perlu menyusun strategi yang tepat agar pelaksanaan peraturan ini berjalan lancar dan tidak menimbulkan terpuruknya situasi peternakan.
  5. Kondisi peternakan saat ini mengalami tantangan berat baik dari dalam negeri (banyaknya regulasi yang bisa menghambat efisiensi) maupun tantangan eksternal (ancaman impor) sehingga semua pemangku kepentingan perlu menyatukan langkah untuk tetap tumbuh di tahun 2018.
  6. Saat ini data peternakan masih banyak pihak yang meragukan akurasinya. Karena data kurang akurat maka berpotensi kebijakan yang diambil keliru (contohnya kasus kebijakan stop impor jagung yang berpedoman pada data produksi jagung 23 juta ton) . Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk memperbaiki data statistik peternakan dan pertanian.

(catatan: rekomendasi seminar ini belum final, masih proses penyusunan oleh tim ASOHI)









BEBAS AI, PROVINSI PAPUA PUNYA PELUANG EKSPOR

Status bebas dari virus AI, Provinsi Papua dinilai
punya peluang ekspor produk unggas.
Jakarta (13/11), pemerintah terus berupaya meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor berbagai komoditi strategis. Melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), program pengendalian penyakit terutama Avian Influenza (AI) di Indonesia terus ditingkatkan. Hal ini mengingat aspek status kesehatan hewan menjadi syarat utama untuk ekspor produk peternakan.
“Oleh karena itu, dalam rangka program pengendalian penyakit AI di Indonesia, Ditjen PKH mengambil langkah kebijakan dengan melakukan pembebasan melalui kompartemen, zona, pulau atau provinsi,” ujar Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Ditjen PKH, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan 55 sertifikat kompartemen bebas AI untuk breeding farm.
Fadjar menjelaskan, pada era Pemerintahan Jokowi (2015 dan 2016) untuk wilayah/provinsi yang telah bebas AI yaitu Provinsi Maluku Utara (2015) dan Provinsi Maluku (2016). Selain pada 2015 berhasil membebaskan Pulau Madura dari penyakit Brucella. “Kini menyusul satu langkah maju kembali dicapai di bidang kesehatan hewan dan usaha perunggasan nasional, dengan telah diterbitkannya Kepmentan RI No. 600/Kpts/PK320/9/2017 tentang Provinsi Papua sebagai Zona Wilayah Bebas Penyakit AI pada unggas,” terang dia.
Sebagaimana pemenuhan persyaratan OIE (Badan Kesehatan Hewan Dunia) dan mengacu pada Permentan RI No. 28 Tahun 2008 tentang Penataan Kompatementalisasi dan Zonasi, maka di provinsi Papua telah dilaksanakan upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit AI, kemudian dilakukan surveilans pembuktian bebas AI oleh Balai Besar Veteriner Maros (BBVet) Maros mulai 2015-Juli 2017.
“Berdasarkan hasil surveilans selama dua tahun tersebut, tidak ditemukan kasus AI di Provinsi Papua, baik laporan kasus sindromik yang mengarah pada penyakit AI maupun pengujian virology. Dengan status Bebas AI tersebut, maka beberapa keuntungan dan peluang pengembangan usaha perunggasan di wilayah Papua semakin aman dalam aspek kesehatan unggas dan peluang pasar lebih terbuka secara luas baik domestik maupun internasional,” ucapnya.
Wilayah Provinsi Papua sendiri, lanjut dia, memiliki nilai strategis dalam penguatan status kesehatan unggas sekaligus pengembangan usaha perunggasan. “Sebagai provinsi yang berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG), saat ini provinsi Papua terbuka luas untuk mengekspor produk unggasnya. Tentunya setelah dilakukan harmonisasi persyaratan Sanitary dengan Otoritas Veteriner PNG,” tukasnya. (CR)

POLA PERDAGANGAN DAGING PERLU DITATA KEMBALI

Para pembicara pada diskusi Pataka di Jakarta, Kamis (2/11).
“Menata Pasar Daging yang Tersegmentasi” menjadi bahasan dalam program Bincang-Bincang Agribisnis (BBA), yang dilaksanakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Kebijakan (Pataka) bekerjasama dengan Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor, di Jakarta, Kamis (2/11).
Acara yang dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai kalangan bisnis ini menghadirkan narasumber diantaranya, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian Institut Pertanian Bogor (KSKP IPB), Prof Dodik R. Nurrochmat, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan (P2HP) Kementerian Pertanian, Ir Fini Murfiani, Guru Besar IPB, Prof Muladno dan Manejer Pemasaran Pasar Jaya, Gatra Vaganza.
Menurut Ketua Pataka, Yeka Hendra Fatika, pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga daging dengan menetapkan beberapa kebijakan, salah satunya kebijakan importasi daging kerbau beku asal India. Daging kerbau yang dinilai pemerintah menjadi optional daging sapi justru malah menimbulkan perubahan tata kelola perdagangan daging.
Mengutip penelitian yang dilakukan APDI, Gapuspindo dan Komunitas Sapi Indonesia, kebijakan impor tersebut memunculkan praktek dagang yang tidak berkeadilan, dimana pedagang banyak yang mengoplos daging sapi segar dengan daging kerbau, adanya penurunan volume pemotongan di RPH/TPH hingga 47%, sampai menurunnya skala usaha feedloter sekitar 70%.
“Jika kita bandingkan data penurunan pemotongan sapi, data impor daging kerbau dan data perkembangan harga daging sapi di pasar tradisional yang didukung rilis BPS, menyatakan harga daging sapi stabil tinggi. Maka kebijakan stabilisasi harga daging sapi melalui instrumen yang ada ternyata tidak berhasil,” kata Yeka.
Ia melanjutkan, “Bahkan hal itu turut menurunkan kegiatan perekonomian di industri feedloter maupun peternakan sapi potong yang dikelola peternak kecil. Dengan dalih ingin menciptakan tatanan pasar yang jujur, kebijakan (impor daging kerbau) justru mendistorsi pasar karena munculnya praktek penjualan daging oplosan yang merugikan konsumen dan berdampak pada masih tingginya harga daging sapi,” tambahnya.
Sementara itu menurut Asnawi, gelontoran daging kerbau beku dengan harga rendah ke pasar dinilai kurang tepat, hal itu disebabkan karena permintaan daging sapi segar sangat tinggi di pasar tradisional. Selain menimbulkan persoalan pedagang daging oplosan, ia menekankan pemerintah bisa lebih fokus terhadap peningkatan populasi sapi potong di dalam negeri. “Daging murah belum tentu murah, daging mahal belum tentu mahal, tetapi daging mahal sudah pasti berkualitas,” kata Asnawi.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar IPB, Prof Muladno, kebijakan impor daging kerbau beku untuk menutup permintaan daging segar di dalam negeri dinilai salah sasaran. Masyarakat cenderung lebih memilih daging segar, bukan daging beku. “Saya lihat kebijakan impor daging beku ini untuk mengisi pasar daging segar, dan menjual daging beku ke pasar itu adalah kesalahan,” ujarnya.
Ia menilai, pemerintah seyogyanya mengimpor sapi bakalan ketimbang daging beku guna memenuhi permintaan daging segar di pasar. “Impor daging beku lebih baik hanya untuk industri pengolahan saja,” ucap dia.

Asnawi saat menunjukkan kepada peserta sulitnya
membedakan antara daging sapi dan daging kerbau impor.
Tata Kembali Segmentasi Daging
Sementara, Prof Dodik menyatakan, dengan masuknya daging kerbau beku asal India, segmentasi pasar daging harus dibuat sebagai dasar nilai tambah produk pertanian. Segmentasi bisa dari pola konsumsi, selecting and grading dan processing. “Di pasar daging itu perlu di awasi karena banyak blantik atau importir. Harusnya daging dijual secara spesifik dengan harga bersaing, karena itu segmentasi sangat penting,” ucapnya.
Untuk memperbaiki situasi pasar daging, ia pun merekomendasikan beberapa kebijakan, diantaranya optimalisasi peran Bulog dalam tataniaga daging, kombinasi kebijakan tarif dan kuota untuk pengaturan impor daging sapi dan kerbau guna memastikan daging impor yang masuk aman untuk konsumsi dan tidak menyalahi aturan yang berlaku.
Hal serupa juga dikatakan Prof Muladno. Dengan adanya segmentasi daging pemerintah akan lebih mudah mengawasi, terutama daging beku. Sebab, pemerintah hanya mengeluarkan ijin impor daging beku untuk kebutuhan saja.
Diungkapkan pula oleh Asnawi, mengenai segmentasi pasar itu adalah bagaimana bisa membentuk pola perdagangan daging dengan baik. “Pasar di Indonesia ini sebenarnya sudah terbentuk polanya, namun karena kepentingan politik seperti importasi daging kerbau beku, jadi merubah keadaan,” terang dia.
Pengurus YLKI, Sudaryatmo, mengatakan dari sisi konsumen, harga memang menjadi perdebatan, namun konsumen tidak terlalu mempermasalahkan jika daging yang diberikan sesuai. “Harga tidak menjadi masalah kalau kualitas daginya terjamin,” kata Sudaryatmo.
Terkait maraknya oknum pedagang yang mengoplos daging sapi dan kerbau, ia meminta pemerintah harus sigap dengan selalu memberikan informasi kepada konsumen. “Ini harus terus dilakukan inspeksi, atau paling tidak ada penjelasan yang menyatakan bahwa itu merupakan daging sapi, kerbau ataupun oplosan,” jelasnya.
Dari sisi pemerintah, Direktur P2HP, Fini Murfiani, menanggapi, untuk meningkatkan populasi sapi pemerintah terus menggenjot program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab), yang pada tahun ini sudah mencapai 3 juta ekor sapi yang di Inseminasi Buatan (IB) dari target 4 juta akseptor, dan dari jumlah tersebut yang mencapai kebuntingan sekitar 40%.
Sementara untuk segi pasar, ia mengungkapkan, pemerintah berjanji memperbaiki infrastruktur, terutama pasar di Jakarta yang menjadi tolak ukur pasar di Indonesia. “Kepada pelaku usaha, di balik bisnis ingat ada bisnis peternak juga, sehingga dibutuhkan kerjasama. Pengawasan terus kita optimalkan, mengingat sekarang sudah dibentuk satgas pangan,” pungkasnya.
Satgas pangan sendiri yang dibentuk berdasarkan Rapat Koordinasi Terbatas memiliki peran yang signifikan dalam membangun iklim usaha yang kondusif dan mensejahterkan, serta menstabilkan harga pangan. Kendati demikian, menurut Pataka dalam diskusi tersebut, jika pemerintah memutuskan importasi daging kerbau beku, sebaiknya di pasarkan dengan kaidah penjualan yang jujur. Agar kegiatan perekonomian yang dikelola pihak swasta maupun peternak kecil tidak mengalami penurunan. Karena itu, instrumen pasar harus ditata kembali, agar pedagang dan konsumen teredukasi. (RBS)

AMR MENGANCAM, KESADARAN ANTIBIOTIK MUTLAK DIBUTUHKAN

Dari ki-ka: Dirkeswan, Syamsul Maarif, Dirjen PKH I Ketut Diarmita
dan Team Leader FAO ECTAD James Mc Grane.
Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba, terus diupayakan oleh Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), dengan mengadakan “Pekan Kesadaran Antibiotik”, yang akan diselenggarakan pada 13-19 November 2017.
“Kegiatan ini merupakan kampanye global peduli penggunaan antibiotik sebagai salah satu wadah untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba/AMR,” ujar Dirjen PKH, I Ketut Diarmita saat acara Media Briefing, Rabu, (8/11), di Kantor Kementan.
Menurutnya, antimikroba merupakan salah satu temuan penting bagi dunia, mengingat manfaatnya, terutama untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan kesejahteraan hewan. Kendati begitu, kata dia, antibiotik juga menjadi “pisau bermata dua”, jika digunakan secara tidak bijak dan tidak rasional, justru menjadi pemicu kemunculan bakteri yang kebal terhadap antibiotik (AMR).
Saat ini AMR sendiri telah menjadi ancaman yang tak mengenal batas geografis dan memberikan dampak yang merugikan. “Untuk itu, harus kita sadari bahwa ancaman resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi pembangunan di sektor peternakan dan kesehatan hewan,” katanya.
Berdasarkan laporan di berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, namun di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik berjalan lambat. “Para ahli di dunia memprediksi bahwa jika masyarakat tidak melakukan sesuatu dalam mengendalikan laju resistensi, maka AMR diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu didunia pada tahun 2050 mendatang, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia,” ucapnya.
Ia berpendapat, bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Karena itu, diperlukan pendekatan “One Health” yang melibatkan berbagai sektor. Pihaknya pun telah bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pertahanan, dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional penanggulangan AMR. “Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi kompleksitas dalam mengendalikan masalah resistensi antimikroba dengan pendekatan One Health,” terang dia.
Guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya AMR, pihaknya juga bekerjasama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (FAO ECTAD), ReAct, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), Center for Indonesian Veterinary Analytical Study (CIVAS), Pinsar Petelur Nasional (PPN) dan universitas.
Dalam kesempatan yang sama, Sujith Chandy, Ketua ReAct Asia Pasifik, menyatakan, pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai resistensi antimikroba melalui upaya komunikasi, edukasi dan pelatihan.
Sementara pendiri YOP, dr Purnamawati Sujud, menghimbau kepada semua pihak untuk meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dalam mengendalikan penggunaan antibiotik di semua sektor, agar dunia tidak kembali ke era sebelum ditemukannya antibiotik, yaitu era ketika infeksi bakteri dan penyakit ringan tidak lagi bisa ditangani.
Team Leader FAO ECTAD, James Mc Grane, beranggapan, saat mikroba menjadi kebal terhadap antimikroba, infeksi yang dihasilkan akan sulit untuk disembuhkan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Mikroba yang kebal ini dapat menyebar ke lingkungan sekitar, rantai makanan, bahkan manusia. “Jika tidak diperlukan penggunaan antimikroba pada ternak sebaiknya tidak perlu digunakan,” tegasnya.
Menurutnya, salah satu pengendalian penggunaan antimikroba yang dapat dilakukan yakni melalui implementasi biosekuriti tiga zona. Melalui upaya tersebut, kata James, tidak hanya menghasilkan produk peternakan yang sehat, namun praktik-praktik manajemen yang baik juga terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi peternak, karena akan mengurangi resiko kematian. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer