-->

Mahasiswa FKH UGM Ingatkan Bahaya Global Warming

Masalah lingkungan sudah selayaknya menjadi sorotan berbagai macam pihak, bukan hanya beberapa kalangan atau lembaga yang bergerak dalam konservasi tetapi juga untuk semua lapisan masyarakat termasuk calon dokter hewan, hal itu mencuat dalam Seminar Nasional Global Warming yang diselenggarakan oleh BEM FKH UGM Yogyakarta pada Minggu 18 April 2010. Tema yang diangkat adalah dampak perubahan iklim terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Seperti yang diketahui bersama perubahan iklim merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi pada saat ini dan perubahan lingkungan ini tentunya juga berimbas pada kesehatan masyarakat baik dalam segi kedokteran maupun kedokteran hewan.

Kita bisa ambil beberapa kasus yang telah terjadi pada masyarakat pada saat ini, di DKI Jakarta hampir setiap tahun mengalami banjir, dan dikarenakan adanya perubahan iklim hal ini berdampak signifikan terhadap frekuensi volume air bah yang semakin lama terus meningkat. Selain itu dampak kesehatan yang lain juga timbul akibat bencana banjir, misalnya munculnya kasus leptospirosis yang merupakan salah satu penyakit zoonosis (dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya) dan berakibat buruk pada kesehatan masyarakat.

Ketua panitia seminar Muhamad Atma Setyadi mengatakan, “Kami mengadakan acara ini untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan mahasiswa tentang masalah lingkungan yang juga berefek pada masalah kesehatan masyarakat dan juga berpengaruh pada kesehatan hewan dan patut menjadi perhatian bersama.”

Pada sesi awal acara ditayangkan video dari Green Peace Indonesia tentang dampak global warming terhadap lingkungan yang dilanjutkan dengan pemberian materi dari Kementrian Lingkungan Hidup Ir. Sri Hudyastuti.
Sementara dr.Abidinsyah Siregar mewakili Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan materi tentang aspek kesehatan masyarakat dan disambung penyampaian oleh DR.Drh. Widagdo SN, M.P yang merupakan dosen dari Bagian kesmavet tanteng aspek kesehatan masyarakat veteriner.

Seminar juga diramaikan dengan aksi teatrikal yang persembahkan oleh VENA FKH UGM. Aksi ini membawa pesan bahwa semua lapisan masyarakat selayaknya juga turut menjaga lingkungan dengan baik dan dilanjutkan dengan diskusi interaktif. Acara diakhiri dengan penanaman pohon di lingkungan FKH UGM secara simbolis oleh Ir. Sri Hudyastuti dan pembagian bibit pohon kepada peserta. Acara ini juga dihadiri oleh berbagai elemen mahasiswa dari beberapa universitas diantaranya adalah UII, UPN dan UNY.

Menurut beberapa peserta, seminar ini merupakan acara yang baik untuk mahasiswa dan secara keseluruhan esensi yang ditampilkan dapat diterima dengan baik. Eka Yanuarti dan Annisa Ullyanni perwakilan peserta mengatakan, “Menurut kami seminar global warming merupakan ajang yang bagus untuk mahasiswa, karena dengan adanya kegiatan semacam ini kita lebih bisa mengerti tentang masalah peubahan iklim dan dampaknya terhadap masyarakat, secara global acara ini sangat bagus karena banyak dihadiri oleh peserta yang berasal dari luar FKH UGM.”

Harapannya kegiatan ini dapat berlanjut pada tahun-tahun berikutnya dan dapat lebih banyak menggugah kesadaran masyarakat untuk menjaga bumi ini dari pemanasan global. (red)

ALAT PEMANAS,BERMACAM-MACAM TAPI SATU TUJUAN

Kondisi ayam pun selalu segar. Tentu saja mesti dilengkapi dengan semua kebutuhan yang lain, tak terkecuali dan teristimewa dalam konteks ini: pemanas yang meski berbeda-beda wujudnya tetap bertujuan sama dalam sistem brooding alias sistem pengindukan.

Pemakaian minyak tanah sebagai bahan bakar pemanas untuk sistem pengindukan alias brooding pernah mendominasi kurang lebih 75 persen peternak di Indonesia. Sangat masuk akal, lantaran harga minyak saat disubsidi sangat murah dan mudah didapat. Investasi peralatannya pun relatif murah, oleh sebab pemakaiannya cukup banyak.

Pada saat itu pun banyak usaha skala industri rumah tangga yang memproduksi alat pemanas berbahan bakar minyak tanah sebagai sarana penunjang produksi peternakan. Namun saat ini, keberadaan minyak tanah susah didapat oleh para peternak yang sangat membutuhkan bahan bakar untuk pemanas dan pengindukan anak ayamnya.

Maka untuk lebih praktisnya, saat ini, “Banyak peternak menggunakan gas elpiji (LPG),” kata Drh Setyono Al Yoyok pemilik Pakarvet Citra Agrindo Malang perusahaan yang bergerak di bidang peternakan, obat-obatan dan bisnis alat-alat umum untuk peternakan.

Selain lebih praktis, papar Drh Yoyok (nama akrabnya), “Elpiji juga mempunyai keunggulan-keunggulan umum. Keunggulan itu antara lain dengan elpiji suhu lebih terkontrol, selain itu elpiji juga mudah diperoleh. Dibanding minyak tanah, elpiji lebih bagus, lantaran elpiji tidak banyak menyebabkan polusi udara dibanding minyak tanah.”

Saat ini, hampir semua breeding farm menggunakan bahan bakar gas sebagai pemanas untuk brooding. Paling mudah digunakan, sebagian besar peternak ayam petelur skala menengah dan besar meyakini bahwa gas paling aman digunakan sebagai pemanas brooding. Pemakaian gas untuk brooding memudahkan pengoperasian, pengaturan suhu, penyalaan dan pematiannya.

Itulah sumber bahan bakar untuk brooding. Sementara untuk alat pemanasnya sendiri, dari bermacam-macam brooder, yang paling disukai dan dianggap terbaik oleh peternak adalah Gasolec yang di antaranya dipasarkan oleh Medion, Agrinusa Jaya Sentosa, dan Mensana Aneka Satwa, selain dari yang terbanyak selama ini didatangkan secara impor.

Beredar secara umum di kalangan peternak, bahwa gasolec adalah alat penghangat DOC dengan bahan bakar gas elpiji. Ada yang bisa menghangatkan 800- 1000 ekor DOC.

Menurut banyak peternak, gasolec merupakan brooder yang paling mudah digunakan. Menjadi rahasia umum, hampir semua breeding farm menggunakan gasolec yang berbahan bakar gas sebagai pemanas untuk brooding. Adapun, gasolec juga diyakini oleh peternak skala menengah dan besar sebagai pemanas gas paling aman dibanding dengan pemanas dengan bahan bakar lainnya.

“Pemakaian gasolec memudahkan dalam pengoperasian, pengaturan suhu, penyalaan dan mematikannya,” kata peternak. Selain itu juga dikenal adanya kanopi yang terbuat dari seng dengan diameter 120 cm digunakan untuk lebih mengoptimalkan kerja dari gasolec.

Ada pula taktik peternak di lapangan peternakan untuk menghasilkan pemanasan yang terbaik dengan modifikasi. Yang ini, “Untuk efisiensi dan lebih irit,” kata Drh Setyono Al Yoyok. Modifikasi ini wujudnya adalah kombinasi menggunakan elpiji dan juga memakai kanopi sebagai alat pemanasnya. Bagusnya alat semacam ini, menurut Drh Yoyok adalah ada regulatornya.

Penghangat DOC berbahan bakar gas elpiji ini, di antaranya sudah dilengkapi kanopi berdiameter 100 cm, 2 meter slang, 1 buah regulator dan 2 buah klem slang yang bisa dipakai.

Selain itu ada pula penghangat DOC dengan bahan bakar batu bara, dilengkapi dengan kanopi salah satunya berberdiameter 100 cm. Penghangat DOC ini di antaranya bisa menghangatkan 500 ekor DOC.

Briket batubara sendiri merupakan bahan bakar padat berbentuk dan berukuran tertentu yang tersusun dari partikel batubara yang kokas maupun semikokas halus yang telah diproses dan diolah dengan daya tekan tertentu agar lebih mudah dimanfaatkan. Banyak pula peternak skala menengah dan besar menggunakan briket batubara sebagai pengganti minyak tanah dan gas.

Penghangat DOC dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah tak ketinggalan. Yang unik, penghangat ini di antaranya sudah dilengkapi dengan kanopi berdiameter 100 cm dan bisa dipakai untuk 500 DOC.

Diakui oleh alumnus FKH Unair ini, alat pemanas untuk brooder memang bervariasi. Begitulah variasinya, ada yang berupa kompor biasa, ada yang berbahan bakar gas elpiji, ada yang memakai bahan bakar arang, batubara, dan lain-lain. Semua ini lantaran, “Tingkatan peternak juga bermacam-macam,” kata Drh Yoyok.

Menurutnya, bagi peternak besar dan peternak sedang, brooding yang digunakan biasanya adalah gasolec. Adapun, peternak kecil yang kebanyakan merupakan peternak ayam pedaging, biasanya memanfaatkan sumber panas apapun yang ada termasuk kompor, arang, maupun kayu bakar.

Selain Alat Pemanas Juga
Harus Bagus

Selanjutnya dengan terpenuhinya sumber bahan bakar pemanas itu maka faktor-faktor yang lain di dalam masa brooding alias pemanasan pengindukan itu juga harus bagus. Faktor-faktor itu antara lain masalah layar, litter, dan air minum.

Adapun masalah-masalah dalam brooding menurut Setyono Al Yoyok juga dapat terjadi. Menurutnya, kegagalan brooding dapat menyebabkan timbulnya penyakit Kolibasilosis yang biasanya muncul pada, “Ayam usia mau panen,” katanya.

Kegagalan sistem pengindukan dan pemanasan ini jelas merugikan secara ekonomi. Bahkan akibat serangan kuman itu dapat pula memunculkan penyakit dengan gejala utama ayam ngorok. Penyakit itu, apalagi kalau bukan CRD (Chronic Respiratory Disease).

Dari banyak kasus penyakit yang muncul akibat kegagalan brooding itu, Drh Yoyok mengungkap bahwa yang paling dominan adalah Kolibasilosis. Secara berurut sebab akibatnya, ayam yang terserang penyakit ini dimulai dengan serangan-serangan fisik ayam kembung lantaran suhu dan tubuh terlalu dingin, temperatur brooding tidak sesuai dengan kebutuhan DOC.

Kondisi ayam yang demikian dapat berlanjut ayam mengalami asites. Kondisi buruk ini diperparah lagi dengan penyebaran kuman Koli di dalam air minum. Bilamana Escherechia coli ini masuk dan terus berkembang biak, sedangkan kondisi ayam buruk, tingginya kasus serangan Kolibasilosis pun tak terbendung.

Sebaliknya, kata Drh Setyono Al Yoyok, “Kalau brooding bagus, kasus Kolibasilosis minim.” Dan, lanjutnya, “Supaya pemanas pengindukan ini bagus, maka ada kondisi yang harus kita persiapkan.”

Dokter hewan yang berpengalaman di banyak tempat peternakan baik di sektor produksi maupun sarana produksi ini pun mengungkap persiapan yang diperlukan itu antara lain manajemen pemilihan waktu DOC. “Layar kandang harus diperhatikan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan di daerah Malang, sistem brooding yang diterapkan ada yang memakai sistem brooding termos. Dengan sistem ini tempat brooding bisa di bawah juga bisa di atas. Kandang dengan sistem ini, layar tertutup atau terbuka bisa separuhnya. Sementara yang separuh lagi juga bisa dibuka atau ditutup. Jadi, “Ada dobel layar,” ucap Yoyok.

Setelah pengaturan layar itu, brooding bisa disekat sesuai dengan kebutuhan. Adapun jumlah tempat makan atau tempat minum pun mesti diatur, supaya, “Saat DOC makan dan minum, tidak berebut,” kata Drh Yoyok. Ia pun menambahkan untuk pakan pemberiannya sedikit demi sedikit, dengan tujuan pakan tidak tumpah.

Dengan tidak tumpahnya pakan, dan ayam memakan secara bertahap akan memberi rangsangan nafsu makan, sehingga konversi pakan (FCR) pun akan menjadi yang terbaik. Kondisi ayam pun selalu segar. Tentu saja mesti dilengkapi dengan semua kebutuhan yang lain tersebut, tak terkecuali dan teristimewa dalam konteks ini: pemanas yang meski berbeda-beda wujudnya tetap bertujuan sama dalam sistem brooding alias sistem pengindukan. (red)

Wabah Rabies Mengilhami Ogoh-Ogoh

Bali sebagai daerah tujuan wisata sangat sarat akan budayanya. Tiada hari tanpa upacara, bahkan Bali itu sendiri diakronimkan sebagai propinsi banyak libur. Ini tidak bisa dipungkiri lagi, karena di dalam penanggalan yang khusus diterbitkan di Bali banyak ditemukan hari libur yang dikaitkan dengan keagamaan dan budaya, misal Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Tumpek kandang, Tumpek landep, Tumpek uduh, Pagerwesi, Sugihan Jawa, Sugihan Bali, dan lain-lain. Walaupun banyak libur masyarakat Bali tidak pernah kekurangan materi dan rejeki senantiasa ada, disukai wisatawan asing dan domestik, hidup rukun dan guyub sesama umat beragama.

Salah satu hari penting di Bali dan tidak ada duanya di dunia adalah peringatan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Çaka 1932. Umat Hindu diharapkan tidak makan dan minum (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan) dan tidak melakukan kegiatan bekerja (amati karya) selama 24 jam.

Pada saat Hari Raya Nyepi tersebut, Bali bagaikan kota mati, gelap-gulita tanpa penerangan, tidak boleh ada orang bepergian, tanpa listrik bahkan siaran TV dimatikan. Walaupun begitu, saat malam menjelang Nyepi, jalanan di Bali sangat ramai dipadati orang, karena ada pawai ogoh-ogoh atau sering disebut sebagai malam pengrupukan.

Makna ogoh-ogoh bagi masyarakat Hindu merupakan simbolis dari peperangan antara nafsu baik (dharma) melawan nafsu buruk (adharma) yang akhirnya dimenangkan oleh nafsu baik dengan diakhiri pembakaran ogoh-ogoh pasca diarak keliling kota atau kampung.

Pembuatan ogoh-ogoh butuh kocek cukup banyak bahkan sampai puluhan juta rupiah. Salah satu ogoh-ogoh yang disajikan masyarakat Hindu mengambil tema rabies yang penampilannya sangat menggelitik. Sungguh ironis Bali-ku, masuknya wabah rabies akibat ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Belum ada kepastian dari mana sumber rabies tersebut, apakah dibawa dari anjing ras pengidap yang berasal dari daerah rabies (NTT dan Jawa Barat) atau anjing yang dibawa oleh para nelayan Sulawesi berfungsi sebagai alarm dog. (mas djoko)

Meeting Nasional 2010 PT Medion

Pada tanggal 25 – 27 Februari 2010, PT Medion mengadakan Meeting Nasional 2010 yang bertempat di Hotel Amalia dan Hotel Grande, Bandar Lampung.
Meeting Nasional rutin diadakan tiap tahun dan diikuti oleh seluruh team marketing dari seluruh cabang di Indonesia. Presiden Direktur PT Medion, Jonas Jahja beserta istri, Amalia Jonas, juga hadir dalam pelaksanaan Meeting Nasional.

Meeting yang bertemakan Perusahaan Indonesia yang Inovatif dan Berkualitas ini, memiliki tujuan utama yaitu evaluasi pencapaian target penjualan tahun 2009 dan penetapan target penjualan di tahun 2010.

Dalam acara meeting tersebut perusahaan juga meningkatkan kompetensi team marketing dengan berbagai pelatihan. Drh. I Wayan Teguh Wibawan – dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB menjadi salah satu pembicara dalam acara pelatihan tersebut. Beliau menyampaikan topik differential diagnosa ND, IB dan AI.

Dalam kelas yang berbeda Bpk. Tony Unandar – Konsultan Teknis Peternakan menyampaikan topik yang sama dilengkapi dengan training management farm layer. Pelatihan lainnya yang tak kalah menariknya adalah pelatihan uji serologis dan biosekuriti yang disampaikan oleh Ibu Melina Jonas dan Drh. Budi Purwanto, Team Management PT Medion.

Pada malam kedua, Acara Penghargaan Prestasi dan Anugerah Bakti turut mewarnai rangkaian acara Meeting Nasional ini. Dimeriahkan oleh penampilan para peserta meeting dengan berbagai kesenian membuat suasana malam itu bertambah meriah. Sebelum kembali ke wilayah kerja masing-masing, panitia mengajak peserta berwisata ke Pantai Mutun untuk relaksasi bersama.

Setelah mengikuti acara ini, diharapkan team marketing akan lebih kompeten dan bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Sukses Medion!. (Inf)

Unjuk Rasa Pedagang Ayam Menolak Berlakunya Perda No. Tahun 2007

Siang itu sekitar 2.000 pedagang ayam dan mahasiswa memblokir Jalan Kebon Sirih dan Jalan Medan Merdeka Selatan. Mereka menuntut pembatalan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 mengenai peredaran unggas di Jakarta serta melempari Kantor DPRD dengan bangkai ayam.

Para pedagang ayam dari berbagai wilayah berkumpul di depan Kantor DPRD di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (23/3), untuk menuntut DPRD agar serius dalam meminta penundaan relokasi tempat pemotongan ayam yang tersebar di berbagai lokasi. Sebelumnya, DPRD mengirimkan surat penundaan relokasi, tetapi diabaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Karena tak ada anggota DPRD yang menemui para pengunjuk rasa, massa mulai marah dan memblokir jalan. Mereka juga memotong ayam dan melemparkan beberapa bangkai ayam ke dalam halaman kantor itu. Alhasil kemacetan parah terjadi di Jalan Kebon Sirih karena pemblokiran jalan. Lalu lintas dialihkan melalui Jalan Sabang.

Massa akhirnya pindah ke depan Balaikota DKI dan memblokir Jalan Medan Merdeka Selatan. Mereka kembali menuntut pembatalan revisi atau pembatalan Perda No 4/2007. Perda itu mewajibkan semua penampung dan pemotong ayam masuk ke lima rumah potong ayam (RPA) yang disiapkan pemerintah.

Wuryono, salah satu pedagang ayam, mengatakan, relokasi itu akan mematikan banyak usaha pemotongan ayam tradisional. Pedagang ayam Kalideres khawatir pemusatan RPA akan meningkatkan biaya dan berdampak pada mahalnya harga jual.

“Perlu tambahan biaya untuk membayar angkutan ayam dari RPA ke pasar tempat saya berjualan. Modal yang keluar juga lebih besar karena saya harus beli es batu dan tempat khusus untuk mewadahi ayam. Tambahan biaya itu akan membuat harga jual ayam lebih mahal sampai Rp 2.000 per ekor,” kata Wuryono.

Di Balaikota DKI Jakarta, perwakilan pengunjuk rasa diterima Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian Mara Oloan Siregar serta Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Edy Setiarto.

Kepada kedua pejabat itu, Ketua Perhimpunan Pedagang Unggas Jakarta Siti Maryam meminta perda peredaran unggas direvisi dan jaminan tidak ada razia penampungan dan pemotongan ayam tradisional. Para pedagang juga akan mogok berjualan pada 23-25 Maret.

Mara Oloan mengatakan, selain mencegah penyebaran virus flu burung, pemusatan RPA juga dapat untuk mengatasi isu penggunaan formalin dan penjualan ayam bangkai atau mati kemarin (tiren). Semua penampung dan pemotong ayam juga akan diberi tempat di RPA. Dengan demikian, tidak ada pedagang ayam yang kehilangan pekerjaan.

Kepada massa pengunjuk rasa, Edy Setiarto mengatakan, pemerintah menjamin tidak akan ada razia besar-besaran terhadap pemotongan ayam tradisional pada 24 April. Pihaknya akan memperluas dan memperbaiki sosialisasi mengenai relokasi tempat pemotongan ayam tradisional.

“Kita datang ke sini untuk menolak Perda Nomor 4 tahun 2007 dan rencana relokasi rumah pemotongan ayam oleh Pemprov DKI,” kata perwakilan Asosiasi Pedagang Unggas asal Jakarta Barat Yadianto saat berorasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu.

Salah seorang pedagang ayam dari Cempaka Putih Sofyan Sofwan mengatakan bahwa aturan relokasi RPA ke lima tempat resmi yang ditunjuk Pemprov DKI itu akan mematikan banyak pedagang ayam kecil yang ada di Jakarta. Salah satu alasannya adalah bahwa untuk melakukan pemotongan di RPA resmi misalnya di Rawakepiting, dibutuhkan jumlah ayam minimal 500 ekor untuk bisa “booking” (memesan tempat) pemotongan.

“Setiap potong dipungut 75 perak. Kalau jumlahnya kurang harus berkelompok, padahal kami adalah pedagang kecil,” ujarnya.

Selain itu, para pedagang disebutnya hidup dari pesanan ayam potong yang unik atau khusus dari para pelanggannya. Sofyan mencontohkan ada perbedaan dari pemesanan ayam potong, sesuai dengan kebutuhan.

“Kalau orang Medan, mereka minta darahnya juga. Setelah dipotong kemudian dikasih jeruk untuk melihat kualitas ayam. Sedangkan pelanggan dari etnis China minta darah untuk sesaji,” ujarnya.

Dengan pemesanan yang unik itu maka jika pemotongan dilakukan di RPA resmi dikhawatirkan para pedagang itu akan kehilangan pelanggan mereka. Selain itu, penerapan Perda itu juga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang lebih luas kepada pemasok ayam dari daerah-daerah luas Jakarta seperti Cilacap, Yogyakarta, Indramayu dan daerah pinggiran Jakarta.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan antisipasi terhadap ancaman virus H5NI (flu burung) di wilayahnya dengan menerapkan Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas di Ibukota Jakarta.

Dalam Perda tersebut, pada April 2010 mendatang seluruh pemotongan ayam yang ada di Jakarta akan direlokasi ke lima RPA resmi di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Hal itu dimaksudkan agar tidak ada lagi tempat pemotongan dan penampungan ayam di pemukiman penduduk.

Kelima RPA resmi itu masing-masing adalah RPA Rawakepiting di Kawasan Industri Pulogadung, RPA Pulogadung di Jl Palad, RPA Cakung di Jl Penggilingan (Jakarta Timur), RPA Kebun Bibit, di Petukanganutara, Jakarta Selatan dan RPA Ekadharma di Jl Ekadharma, Srengseng, Jakarta Barat.

Relokasi Pedagang Ayam Ditunda
Sebelumnya perjuangan para pedagang dan pengusaha ayam yang beberapa kali menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menuntut penolakan relokasi sempat mendapat angin segar. Ya, setidaknya hal tersebut tercermin dari sikap DPRD DKI Jakarta yang merekomendasikan untuk menunda pelaksanaan relokasi hingga September mendatang.

Padahal, pelaksanaan relokasi pedagang ayam di pasar-pasar tradisional dan pemukiman seyogyanya akan dilakukan pada April. Penundaan relokasi bertujuan memberikan waktu kepada DPRD bersama eksekutif dan perhimpunan pedagang ayam serta pakar perunggasan untuk bertemu menelaah dan mengkaji pasal-pasal dalam Perda No 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas serta Pergub No 1909 Tahun 2009 tentang Lokasi Penampungan dan Pemotongan Unggas.

Rekomendasi tersebut muncul saat pertemuan antara Komisi B DPRD DKI Jakarta dengan Himpunan Pedagang Unggas Jakarta bersama Kepala Dinas kelautan Perikanan dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta, Edy Setiarso, di ruang rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (15/3).

Hampir terjadi kericuhan saat pertemuan tersebut berlangsung lantaran pedagang ayam merasa tidak puas dengan keputusan Komisi B untuk memberikan surat jaminan keamanan bagi para pedagang agar tidak mengalami intimidasi dari berbagai pihak. Beberapa pedagang berebutan menginterupsi Ketua Komisi B, Selamat Nurdin, yang akan menutup jalannya pertemuan. Namun, suasana tegang mencair setelah Selamat Nurdin memberikan kesempatan lima pedagang berbicara menyampaikan aspirasinya.

Selamat Nurdin menegaskan, Komisi B telah melayangkan surat rekomendasi tentang penundaan pelaksanaan relokasi pedagang ayam pada April mendatang serta akan melakukan telaah dan kajian terhadap isi Perda No 4/2007 dan Pergub No 1909 tahun 2009 kepada Ketua DPRD DKI Jakarta Ferial Sofyan. Alasan penundaan relokasi dikarenakan aspirasi dari pedagang. Selain itu dari hasil pantauan persiapan di lapangan, lima rumah pemotongan ayam resmi belum maksimal atau belum siap seratus persen.

“Jadi kita surati Ketua DPRD agar segera menyurati Gubernur untuk menunda enam bulan sampai menunggu analisa konten Perda dan Pergub bersama denga para pakar perunggasan dan perwakilan pedagang ayam,” ujar Selamat Nurdin, di ruang rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (15/3).

Analisa konten Perda dan Pergub ini dilakukan karena kedua peraturan tersebut tidak bisa dibatalkan dengan tiba-tiba, melainkan harus ada mekanisme yang harus dilalui terlebih dahulu. Misalnya melalui penelahaan dan pengkajian secara objektif dari sisi sosial dan ekonomi. Jika ternyata tidak signifikan pelaksanaan relokasi, maka Perda harus diubah dan Pergub No 1909 tahun 2009 bisa batal.

Selamat menegaskan Perda No 4 tahun 2007 merupakan produk hasil kerja sama antara dewan dan pemprov, sehingga penyelesaian permasalahan ini tidak hanya dapat diselesaikan ditangan Pemprov DKI saja.

Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta, Edy Setiarto mengajak kepada seluruh pedagang ayam untuk bertemu dan membahas pelaksanaan Perda dan Pergub tersebut. Menurutnya, relokasi menguntungkan baik dari faktor unggas, pengusaha atau pemotong ayam, konsumen, dan lingkugan sekitarnya.

“Rencana ini sudah dipertimbangkan dengan matang supaya tidak saling membunuh. Makanya pedagang ayam akan disatukan dan dibina. Relokasi justru mengangkat pengusaha dan lingkungan sekitar begitu juga dengan kualitas ayam,” kata Edy.

Sedangkan Ketua Himpunan Pedagang Unggas Jakarta, Siti Maryam, mengatakan, relokasi pedagang ayam akan menambah biaya usaha, karena harus membeli tambahan alat pendingin, tenaga ekspedisi, dan tenaga packing (kemas). Dikhawatirkan dengan adanya relokasi, puluhan ribu pedagang ayam beserta dengan karyawannya akan mengalami penutupan usaha, akibatnya menambah jumlah pengangguran di Jakarta.

Karena itu, dia mengajukan pasal-pasal yang harus direvisi dalam Perda No 4 Tahun 2007 yakni pasal 2 tentang kondisi kandang harus berjarak 25 meter dari pemukiman. “Peraturan itu hanya berfungsi kepada peternakan ayam bukan untuk pedagang ayam. Karena biasanya ayam di pasar akan habis dalam dua hari,” ungkap Siti. Selain itu, pasal 3 tentang tindakan penutupan dan penyitaan unggas pangan, kemudian pasal 6 dan 7 serta pasal 13 dan 14 tentang sanksi berupa denda dan kurungan juga dinilai terlalu berat oleh para pedagang dan perlu dilakukan revisi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri kembali menegaskan rencana penundaan penertiban tempat penampungan dan pemotongan unggas di luar ketentuan pemerintah. Razia ini tadinya akan dilaksanakan pada 24 April 2010 sebagai aplikasi Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas dan Keputusan Gubernur Nomor 1909 Tahun 2009 tentang lokasi penampungan dan pemotongan unggas.

“Sebelum tercipta win-win solution (dengan pedagang), pada 24 April tidak akan dipaksa dan dijamin tidak ada eksekusi pedagang ayam,” kata Asisten Perekonomian dan Administrasi DKI Jakarta Mara Oloan Siregar.

Edy Setiarto menambahkan pada 24 April para pedagang diminta tetap melakukan aktivitas seperti biasa sambil menunggu tuntasnya diskusi mengenai perunggasan antara DPRD, Pemprov, dan perwakilan pedagang.

Sebelumnya, Komisi B DPRD DKI Jakarta merekomendasikan kepada Pemprov DKI untuk menunda pemberlakuan Perda Nomor 4 Tahun 2007 dan Keputusan Gubernur Nomor 1909.

Selama penundaan, pemerintah diminta menelaah kembali semua dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh perda terhadap para pedagang dan pemotong unggas. “Kami minta waktu enam bulan, dari April hingga September untuk mengkaji perda, yang salah satunya mendatangkan ahli untuk melakukan analisis obyektif,” kata Ketua Komisi B Selamat Nurdin.

Mogok berjualan
Aksi mogok berjualan yang diterapkan pedagang ayam juga terlihat dampaknya. Puluhan los pedagang ayam di Pasar Grogol dan Cengkareng, Jakarta Barat, serta Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, kosong. Di Pasar Grogol, dari 50 pedagang ayam, hanya satu pedagang yang tetap berjualan. Di Pasar Cengkareng, semua los pedagang ayam dan pedagang ayam goreng tutup.

Mamun, pedagang ayam di Pasar Cengkareng, mengatakan, mereka mogok berjualan sebagai bentuk protes dengan rencana pemusatan RPA. Pemogokan itu membuat para konsumen ayam kebingungan mencari daging ayam. Eko (36), pedagang kaki lima di Grogol, mengaku mendatangi Pasar Grogol dan Cengkareng, tetapi sama sekali tidak mendapatkan ayam.

Di Pasar Jatinegara, para pedagang ayam meminta pemerintah mengajari mereka untuk menciptakan RPA kecil yang sesuai standar kesehatan. Fahrur Rozi, pedagang ayam, mengatakan, mereka akan patuh jika pemerintah membina dan memberi standar RPA yang steril. Mereka juga mau membayar retribusi yang masuk akal asalkan diizinkan mempunyai RPA yang dekat dengan pasar tempat mereka berjualan.

Menurut Ihsan, pedagang ayam di Petak Sembilan, Jakarta Barat, jarak RPA yang dekat dengan pasar dibutuhkan untuk mengurangi biaya angkut. Selain itu, kedekatan RPA dan pasar juga dibutuhkan agar tidak banyak waktu terbuang untuk pengangkutan sehingga daging ayam tetap segar saat dijual. (wan)

Swasembada Daging: Obsesi Atau Kebutuhan?

Ada 15 komoditi yang menjadi katalis bagi pengembangan dunia agribisnis di Indonesia diantaranya beras, kedelai, jagung, gula, kopi, kakao, sapi, ayam, tuna, udang, mangga.

“Perlu harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan. Roadmap perlu terintegrasi dari hulu hingga hilir hingga produk-produk pertanian kita memiliki nilai tambah. Terkait sapi dan daging, Indonesia pernah mencapai prestasi mengekspor daging ke Hongkong. Strategi ke depan bagaimana swasembada daging dengan peningkatan populasi sapi potong dan sapi perah. Penting pula bagi kita bagaimana cara meningkatkan kemampuan meningkatkan populasi. Untuk itu butuh kebijakan yang efektif agar kendala-kendala seperti industri pembibitan, industri pemotongan dan industri pengolahan daging serta berbagai industri sampingannya,” demikian dikatakan Juan Permata Adoe (KIBIF) saat talkshow Swasembada Daging: Obsesi atau Kebutuhan? yang digelar dalam rangkaian Agrinex 2010 di Jakarta Convention Center.

irjen Peternakan, Tjepy D Sudjana yang berkesempatan hadir pada saat itu menegaskan sebenarnya kita optimis swasembada daging. Potensi kita cukup besar untuk itu. Dicontohkannya, lahan-lahan kita untuk mendukung budidaya sapi sangat besar. Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menciptakan situasi kondusif bagi peternak sapi di Indonesia untuk maju dan berkembang.

Yudi Guntoro Noor (Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia/ISPI) mengatakan dibanding ternak ruminansianya lainnya, sapi merupakan ternak yang siklusnya panjang. “Jika hari ini kita makan sop buntut, maka tiga tahun setelahnya baru bisa dihasilkan sapi penggantinya,” tandasnya. Menurutnya, selain peternak, bibit ternak dan teknologi pakan merupakan hal-hal penting dalam pewujudan swasembada sapi.

Seorang peserta talkshow asal Banyumas, Sukirno menyoroti tentang limbah/kotoran sapi yang selama ini belum banyak dimanfaatkan untuk pupuk. Ia mengisahkan pengalamannya dalam mengolah limbah sapi dengan menggunakan mikroba menghasilkan produk yang dibranded-nya sebagai “Pusaka Alam” sebagai cairan nutrisi untuk tanaman.

Forum Peternak Sapi Indonesia pun turut memberikan masukan-masukan berharga dalam pengembangan sapi di Indonesia, serta mengharapkan dukungan pemerintah bagi peternak-peternak sapi di Tanah Air.

Dipandu oleh Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Dr. Luki Abdullah, talkshow ini berjalan sangat menarik. Hal ini dibuktikan dengan antusiasme peserta untuk berdiskusi tentang topik peternakan ini. (wan/ipb)

PERLUKAH KOMISI NASIONAL ZOONOSIS ?







oleh:
Drh Abadi Soetisna MSi,
Ketua Dewan Kode Etik ASOHI

Terdengar kabar bahwa Komisi Nasional (Komnas) Flu Burung akan berakhir masa kerjanya pada 13 Maret 2010 atau dengan kata lain akan di-stamping out. Salah satu alasan dibentuknya Komnas Flu Burung adalah untuk mengatasi segala permasalahan flu burung dan alhamdulillah sampai sekarang flu burung masih ada di Indonesia.

Flu burung adalah salah satu penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menyerang hewan dan manusia. Artinya penyakit tersebut dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya dari manusia ke hewan.

Penyakit zoonosis ini dapat disebabkan oleh virus misalnya Rabies, Avian Influenza (AI); dan bakteri misalnya Anthrax, Tuberculosis (TBC). Hewan yang diserang Rabies diantaranya anjing, kucing, kelelawar, dll. Hewan yang diserang AI diantaranya adalah unggas. Hewan yang diserang Anthrax diantaranya adalah mamalia seperti kuda, sapi, kambing, dll. Sementara hewan yang terserang TBC contohnya adalah sapi.

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa jika Komnas Flu Burung diakhiri padahal A I masih banyak di Indonesia maka bagaimana kalau Komnas Flu Burung ini dilanjutkan atau ditingkatkan kapasitasnya menjadi Komisi Nasional Zoonosis yang aspeknya lebih luas dan penting bagi nasional dan internasional.

Sudah barang tentu dalam Komnas Zoonosis yang akan dibuat ini perlu mengkaji dengan baik agar “kegagalan/kesalahan” yang dibuat pada Komnas Flu Burung tidak terulang lagi. Jadi diperlukan penyempurnaan organisasi kelembagaan. Untuk itu persiapannya harus mantap, antara lain:

  1. Perlu jejaring (networking) yang baik antar lembaga terkait, misalnya antar lembaga pemerintah seperti Kementrian Kesehatan sebagai public health, Kementrian Pertanian sebagai aspek kesehatan hewan dan Kementerian Perhubungan sebagai aspek transportasi. Dukungan networking juga harus kuat diantara stakeholder seperti pemerintah, RS Umum, perusahaan swasta, asosiasi peternak, asosiasi obat hewan, organisasi profesi seperti IDI, PDHI, dll.
  2. Bagaimana birokrasinya? Hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus baik, jangan sampai akibat otonomi daerah peraturan pemerintah pusat tidak berlaku di daerah
  3. Masalah sumber daya manusia (manpower), harus dipilih “the right man on the right place” . Jadi pejabat atau petugas yang memegang wewenang haruslah dipilih orang yang sesuai dengan kepakarannya, akuntabilitas, dan dedikasinya bukan atas dasar pertemanan atau politik.
  4. Kemudian diperlukan “bridging” atau penjembatani antara Pemerintah-Rakyat-Swasta. Orang ini haruslah yang mumpuni bukan sekadar mankus – ‘manusia rakus’.
  5. Kebijakan (Policy) yang digariskan oleh Pemerintah harus jelas dan tegas! Tujuannya apa, TORnya bagaimana, kemudian institusi yang dibuat sampai sejauh mana independensinya tapi jangan kebablasan terlalu merdeka. Buat alur kerja, hak dan kewajiban setiap kompartemen. Siapa bertanggung jawab terhadap apa.
  6. Pendanaan (Finance), memang uang bukan segalanya, tapi tanpa uang sulit untuk berbuat. Diperlukan kajian strategis berapa banyak anggaran yang diperlukan. Kemudian berapa banyak anggaran yang dapat disediakan, siapa yang mendanai. Bagaimana cara penggunaannya supaya tidak terjadi kebocoran pendanaan. Bagaimana carapertanggungjawaban penggunaan keuangan.
  7. Pencatatan (Recording), yang perlu ditata yaitu database yang meliputi data populasi hewan (sensus hewan), data populasi manusia, peta penyakit, daerah endemik, sistem transportasi, dll. Database ini pula sebagai landasan pijakan sebelum bertindak untuk mencapai tujuan. Upaya penanggulangan mau dimulai dari mana dari aspek manusianya atau hewannya.
  8. Sistem informasi, sangat penting karena kesenjangan informasi antara Pemerintah, Swasta dan Rakyat dapat menimbulkan penafsiran yang salah, kecurigaan dan sebagainya. Jangan menyepelekan penyakit, tetapi jangan menakut-nakuti. Perlu ditanamkan kewaspadaan rakyat terhadap penyakit, penyebabnya, cara mencegahnya, dll. Kepentingan informasi berkaitan dengan database misalnya penyakit apa saja. Yang sudah ada di Indonesia, didaerah mana, SOP pemberantasan, institusi yang berhak men-declare menyatakan bahwa ada/tidaknya penyakit zoonosis.
  9. Perlu dilakukan dH-akukan pelatihan dan penyuluhan (continuing sustainable education) sehingga rakyat tidak lengah terhadap penyakit.
  10. Tim evaluasi dan pengawasan supaya segala tindakan dapat ditelusuri dan dapat diantisipasi kesalahannya.

Menurut saya Komisi Nasional Zoonosis ini akan lebih baik bila dikoordinasikan oleh Menkokesra yang notebene membawahi Menkes, Mentan, dll. Tetapi perlu diingatkan bahwa posisi Ketua, Wakil Ketua dan Sekjen haruslah dari kalangan Dokter Hewan yang berlatar belakang keahlian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Sedangkan dari pihak Depkes harus ada dokter manusia yang berlatarbelakang publichealth.

Dan jangan lupa diperlukan ahli farmakologi veteriner dan ahli farmakologi manusia untuk menentukan obat dan vaksin yang diperlukan untuk menghilangkan atau membebaskan Indonesia dari penyakit zoonosis.

Saya rasa perlu juga disana ahli ilmu epidemiologi baik epidemiologi penyakit hewan maupun penyakit manusia dan dokter praktisi baik hewan maupun manusia. Diharapkan sekali Komisi ini jauh dari hiruk pikuk politik, sehingga kinerjanya benar-benar profesional, berdedikasi untuk membebaskan Indonesia tercinta dari penyakit zoonosis yang mengerikan.

Mudah-mudahan Komnas Zoonosis ini banyak berguna bagi rakyat dan bangsa Indonesia bukan sekadar lembaga pemborosan uang negara.(red)

Kunjungan Para Tokoh Senior


Dalam beberapa hari berturut-turut di bulan Maret ini Infovet kedatangan tamu-tamu terhormat, antara lain Dr. drh Soehadji, Dr. Drh Sofjan Sudardjat, Pramu Suroprawiro, serta Drh Abadi Sutisna Msi.

Kami sebut tamu terhormat karena keempat tokoh ini bisa kita katakan sebagai simbol manusia sukses sekaligus manusia langka. Soehadji adalah manusia langka karena karirnya dimulai dari pedalaman Kaltim di tahun 1960an kemudian menanjak terus dengan cemerlang hingga mencapai posisi nomor satu di Ditjen Peternakan selama 8 tahun.

Dr drh Sofjan Sudarjat, MS adalah yuniornya yang sekaligus penerusnya. Dia dijuluki sebagai Dirjen Peternakan satu abad, yaitu menjadi Dirjen di abad 20 dan berakhir di abad 21. Ia menjadi Dirjen di masa Presiden Habibie, kemudian Gusdur, hingga Megawati. Pada saat yang sama ia menjadi Dirjen sejak Menteri Pertanian Prakosa, Soleh Solahudin, hingga Bungaran Saragih. Biasanya satu Menteri gonta-ganti Dirjen, Sofjan justru sebaliknya, satu Dirjen gonta ganti Menteri, bahkan gonta ganti presiden. Begitulah kami sering berkelakar penuh kebanggaan. Soehadji dan Sofjan Sudardjat adalah dua di antara lima pendiri ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia)

Bagaimana dengan Pramu Suroprawiro? Ia manusia langka bukan saja karena otodidak, melainkan karena kegigihannya menjadi pengusaha di daerah. Di usianya yang sudah 78 tahun, ia masih mampu menyetir mobil sendiri dan senang bersilaturahmi ke sahabat-sahabatnya, termasuk di Infovet. Dia mengaku pengusaha kuni alias jadul. Justru ini yang menarik. Ia adalah perintis pembibitan ayam ras, pendiri GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), juga pernah menjadi pegawai pemda DKI dan merintis perusahaan pembibitan ayam milik Pemda jaman Gubernur DKI Ali sadikin. Saat ini Pramu memiliki perusahaan pembibitan unggas milik sendiri di Sulawesi Utara. Hampir Setiap kali pulang ke Jakarta menyempatkan silaturahmi ke Infovet.

Sementara itu, Abadi Sutisna yang juga sering menulis di Infovet, bukan sekedar ahli farmakologi veteriner, melainkan juga seorang yang dijuluki jembatan komunikasi ASOHI-Pemerintah. Ia paham berbicara sebagai ASOHI sekaligus memahami pola pikir birokrasi. Tulisannya di Infovet selalu menjadi rujukan kalangan peternak dan pengusaha.

Ada apa mereka di Infovet bulan Maret ini? Tidak ada apa-apa. Justru inilah kebanggaan kami, mereka hadir semata sebagai silaturahmi, sesuatu yang patut dicontoh generasi muda. Uniknya, mereka hadir di hari yang hampir bersamaan. Di usianya yang tidak lagi muda, tak tampak tanda-tanda semangatnya menua. Mereka teladan bagi kita kadang lupa semangat mengabdi dan semangat silaturahmi.

Kami tentu bangga memiliki tamu istimewa. Mereka datang tanpa membuat janji, dan mereka juga tidak kecewa jikalau di kantor hanya ada staf.

Terima kasih Bapak-Bapak, engkau telah memotivasi kami akan arti dedikasi.(red)

Aksi Dukung Swasembada Daging Sapi 2014 Lewat Radio dan Facebook

Drh Untung Satriyo saat on air dialog interaktif di RRI Yogyakarta
dengan tema peran dokter hewan dalam mendukung target swasembada daging sapi 2014.

Tepat satu jam penuh acara on air di RRI Yogyakarta dengan Tema ”Peran Dokter Hewan Mendukung Target Swasembada Daging Sapi 2014” disiarkan. Siaran langsung yang digelar Minggu, 7 Februrari 2010 dari jam 4-5 sore hari itu berjalan atas kerjasama antara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan RRI Stasiun Yogayakarta. Menghadirkan pembicara dokter hewan pengamat dan praktisi yang sangat berpengalaman yaitu Drh Untung Satriyo. Acara rutin yang sudah berlangsung hampir 4 tahun itu, ternyata memang sudah banyak penggemarnya dan mengena di hati pendengar setianya yaitu para petani, akademisi dan praktisi.

Bukti nyatanya, yaitu adanya dialog interaktif di studio maupun melalui saluran telepon. Dari catatan Infovet setidaknya ada lebih 10 penanya via telepon berkaitan dengan pembangunan industri peternakan dan hal lain yang terkait. Bahkan salah seorang penanya yang merupakan pensiunan Dokter dari sebuah rumah sakit, nampak sudah sangat akrab sekali dengan sang penyiar. Artinya ada penggemar fanatik terhadap acara itu.

Lepas dari kontribusi acara itu signifikan atau tidak terhadap pembangunan industri peternakan domestik, namun setidaknya mampu menggelorakan semangat nasionalisme untuk kembali mencintai aneka produk dalam negeri. Hal ini terbukti dari pertanyaan dan opini pendengar akan pentingnya menggiatkan peternakan di Indonesia. Semangat itu jelas sekali terpapar dari inti dan esensi para pendengar untuk tidak menolak produk luar namun tetap mengedepankan untuk lebih mengkonsumsi hasil dan produk dari negeri sendiri.

Bahkan ada seorang penanya yang ingin tahu apakah ada program kawin suntik/inseminasi buatan dengan hasil kembar? Juga ada penanya lain yang berharap banyak adanya bantuan teknis atas usaha yang sudah dilakukan. Jadi tidak sekadar mengudara akan tetapi ditindaklanjuti dengan pembinaan di lapangan.

”Saya Sugiyanto peternak dari desa Gamping Sleman dengan jumlah sapi sekitar 50 ekor, bagaimana agar usaha saya tersebut mampu meningkat baik populasi maupun produktiftasnya? Bagaimana dan apa yang harus saya lakukan dalam memilih bibit sapi yang baik agar usaha saya memberi keuntungan yang berlipat,” tanya salah seorang pendengar.

Usai acara itu kemudian pengisi acara yang juga Wartawan Infovet itu, memposting kegiatannya di akun facebook-nya. Banyak tanggapan dari situs jejaring sosial yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia itu tentang langkah dan cara yang harus dilakukan pemerintah dan stake holder di Indonesia untuk mencapai target swasembada daging.

Tidak sedikit yang memberikan dukungan pada program pemerintah itu, dalam rangka untuk mensejahterakan rakyatnya itu. Namun demikian ada juga yang merasa pesimistis atas keinginan besar pemegang kebijakan peternakan. Untuk yang berada di kubu ini, para facebooker merasa bahwa target itu terlalu muluk dan sulit untuk dicapai dalam kurun waktu seperti yang ditargetkan.

Salah satunya, Antony Wong dari Kroya Jawa Tengah Mahasiswa Fakultas Peternakan UGM yang mengungkapkan pendapatnya ”Saya punya prediksi bakalan mundur, kan kita republik undur-undur seperti guyonan almarhum Kiai Maksum”. Hampir senada diatas sejawat Drh Yonathan Raharjo dari Surabaya menulis ”Jadi tahun inikah....? Kalau diundur akan tetap sesuai jadwal pengunduran...?”. Hal yang nyaris sama juga diungkapkan oleh Drh Marjuan Ismail praktisi peternakan dari Tangerang Banten ”Swasembada.....? Hati-hati dengan istilah ini, swasembada beras katanya tetapi kenyataannya.... laporan ABS (Asal Bapak Senang) diam-diam impor beras... kalau tidak kita bisa mati kelaparan. Kalau di tanya alasannya sih untuk jaga-jaga”

Sedangkan para facebooker yang berada pada kubu optimistis, umumnya berpendapat bahwa target untuk mandiri mencukupi kebutuhan daging di dalam negeri harus diupayakan secara bersama sama. Ini bukan semata sebuah target mimpi dan hanya menjadi beban pemerintah, namun juga menjadi beban bersama, ujar beberapa facebooker terutama sekali pada era perdagangan bebas China ASEAN (CAFTA) saat ini.

Yoga Nugroho S.Pt seorang alumnus Fakultas Peternakan Undip Semarang, berpendapat bahwa hal itu harus diupayakan secara bersama sama. ”Yang jelas, butuh kerja keras dari semua pihak, biar gak mundur lagi pemerintah pusat harus alokasi dana lebih untuk mewujudkan swasembada daging.”

Demikian juga Ir Chystianto Purnomo, asisten Produser Liputan 6 SCTV mengungkapkan secara panjang akan pendapatnya. ”Soal swasembada, apapun komoditinya, sebenarnya bisa dilakukan....tergantung ada tidaknya goodwill dari pemerintah....Negeri ini subur kok...ketersediaan pakan hijau melimpah...masalahnya, bagaimana kita mengolah dan menggarapnya....NTT, menanti untuk digarap serius....juga Papua....Indonesia tak hanya Jawa lho...banyak daerah yg berpontensi unttuk mengembangkan sapi...domba...kambing...atau unggas...untuk mensukseskan program swasembada daging sapi 2014...Bisa? Ya bisa lah....di mulai dari sekarang....

Demikian juga Fuji KD S.Pt dan Drh Teguh Budi Wibowo bahwa hal itu pasti akan tercapai, jika ada kemauan dan langkah nyata. Fuji menulis ”Jika ada kemauan keras dari semua pihak. Mudah-mudahan Indonesia bisa sukses swasembada daging...” sedangkan Praktisi usaha perdagangan ternak Sapi dari Bandung Drh Teguh BW menulis,”Salut!!! Ayo kita pikirkan dan lakukan dengan memberi dukungan secara bersama sama”

Sedangkan pemikiran lain datang Ketua ASOHI Kalimantan Timur Drh Sumarsongko “Ambil hikmah semangatnya aja, semoga betina produktif tidak banyak dipotong, Kualitas pakan bagus (ditingkatkan) sehingga lebih produktif, di daerah yang mudah terjangkau (sebaiknya) memakai IB (Inseminasi Buatan) agar kualitas genetik naik, tetapi sebaiknya dengan rekayasa genetik yang halal. Selain itu perlu diversifikasi produk pangan hewan lainnya, misal digalakkan makan biawak, dll hahaha......,” selorohnya bercanda

Agus Solikhin dari UD Lisan Mulia Solo ”Swasembada daging sangat diperlukan guna meningkatkan konsumsi protein hewani hingga tercukupi, sehingga taraf kesehatan masyarakat meningkat. kecerdasan anak juga meningkat”. F. Adi Purnama menulis bahwa “Indonesia pasti sukses berswasembada kambing eh daging he...he..he..”

Dari Makassar Sulawesi Selatan Drh Hj Tjitjik Suleman istri almarhum Drh Isep Suleman (Kepala BBV Maros) dan Drh Maryono juga dari Makassar mengungkapkan pendapatnya melalui situs jejaring sosial facebook, ”Ndase memang makin keras aja ya pak.....nangkene memang akeh istilah muluk-muluk...tapi kurang dalam realisasi...embuh ra’ weruh (Makin keras kepala saja. Disini memang banyak istilah tinggi tetapi kurang direalisasikan..entah lah...)”

Lain lagi dengan Drh Zulmanery Manir MM Dosen Manajemen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan perlunya kewaspadaan semua pihak. ”Waspadai impor hewan ternak dari daerah PMK, Sapi Gila, dan penyakit menular yg belum ada di Indonesia. Jangan asal dapat tender dan untung besar, mengorbankan anak cucu sapi yang akan datang dan anak cucu kita juga toh,...termasuk dokter hewannya bisa gila kalau disuruh bunuhin sapi-sapi yang berpenyakit zoonosis,.....kalau hewan nya pada sehat, drh nya bisa bisnis peternakan dari hulu sampai hilir toh wkwkwkwk....,” demikian urai Ibu dosen kelahiran Solok Sumatera Barat 43 tahun lalu
Ir Busron Arief Sudjono peternak sapi potong dari Bantul mengungkapkan pendapatnya bahwa ”Untuk menambah populasi sapi, BET (Balai Embrio Transfer) Cipelang dimaksimalkan fungsinya. Perbanyak program twin/bunting kembar dan sapi eks impor harus digemukkan dahulu jangan langsung dipotong.”

Karyawan Pemda Provinsi Lampung Banggaka Roslamet SH menulis “Rasa-rasanya aku di Lampung tidak pernah menjumpai daging impor..Jadi Lampung artinya secara geografis sudah swasembada ya dibanding Jawa. Lagian harga daging ayam murah sekali lho..kita substitusi aja dengan daging ayam kalau daging sapi mahal. Jika gizinya sama dengan daging sapi lho….”

Kemudian Drh Nanang Purus Sebendro menuliskan opininya bahwa ”Swasembada daging....?? Sepertinya belum bisa dicapai dalam waktu dekat..Bahkan 2014 juga belum bisa..Bukan pesimis, tetapi realistis saja. Maka saran saya kita benahi data populasi, dan asumsi yg digunakan tentang produktifitas ternak kita, perlu direvisi juga. Dan masih banyak lagi pekerjaan rumah kita.”

Sedangkan Wawan Kurniawan, SPt yang juga Redaktur Infovet berpendapat dengan adanya dialog interaktif di radio nasional dan diskusi via facebook ini, ”Semoga memotivasi semua pihak yang kompeten untuk mensukseskan program swasembada daging 2014. Khususnya dengan semakin memperbanyak angka kelahiran sapi yang bisa lewat kawin alam atau IB.
Seorang birokrat dari Kabupaten Magelang Jawa Tengah yaitu Drh Hariyanto (Dinas Peternakan)menyatakan ”Kalau rakyat dilarang makan daging, nanti akan juga tercapai swasembada daging”. Dan pendapat yang rada mirip dari Ir B Suharno Jakarta ”Kalau ayam melimpah dan murah, sementara daging sapi makin mahal, kebutuhan daging sapi menurun, alias swasembada segera tercapai dengan sendirinya. Mungkin begitu ya strateginya? Hehehe...”

Drh Mohamad Mamnun dari Yogyakarta berpendapat lebih frontal, “Swasembada selama 6 bulan sangat bisa...!!!Caranya: potong semua populasi sapi dan kambing....Sehingga tidak akan ada impor daging…Tetapi akibatnya populasi akan habis …lalu...bulan-bulan berikut buat kebijakan impor lagi yang lebih banyak”

Lain lagi suara dari Merauke tanah Papua yaitu Drh Pujiono Slamet, “Indonesia masuk efektif ACFTA akan babak belur jika gagal swasembada! Komoditas halal dan haram memang penting tetapi fakta daging India, USA dan Australia juga bisa masuk legal....Artinya legalitas halal bukan masalah dan kendala bagi produsen daging China maupun Negara-negara ASEAN lainnya.”

Ternyata kemajuan teknologi informasi dapat pula menyerap aspirasi opini dan gagasan penting untuk suatu tujuan yang mulia. Facebook seperti pisau bermata dua. Jika dimanfaatkan untuk keperluan baik, sudah pasti hasilnya baik. Sebaliknya jika disalahgunakan bisa untuk bisnis narkoba ataupun penculikan dan pelacuran ABG, seperti kasus di Surabaya dan beberapa kota besar di Indonesia belum lama ini. (iyo)

DKI Jakarta Waspada Rabies, Perketat Pengawasan Lalu Lintas Hewan Penular

Oleh:
Drh Rudewi
Medik Veteriner Madya
Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta

Berjangkitnya wabah rabies di beberapa Kabupaten di Propinsi Banten baru-baru ini telah memberikan kekhawatiran penularan kepada propinsi di sekitarnya. Rabies dinyatakan telah berjangkit di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Kota Sukabumi Propinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak Propinsi Banten sesuai Kepmentan No.3600/Kpts/PD.640/10/2009.

Sementara itu Propinsi DKI Jakarta yang dinyatakan bebas Rabies sejak tanggal 6 Oktober 2004 berdasarkan Kepmentan No.566/Kpts /PD.640/10/2004 semakin menguatkan kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit yang dapat menular ke manusia ini. Sebelumnya status nol kasus rabies ini terus dipertahankan selama kurang lebih 9 tahun.

Peningkatan kewaspadaan dilakukan melalui pengetatan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies, pasalnya DKI Jakarta saat ini telah dikepung oleh daerah penyangga (immune belt) yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah tertular. Pengawasan terhadap hewan rentan rabies, serta pencegahan dan penanggulangannya ini pun telah diatur dalam Perda DKI No. 11 Tahun 1995.

Rabies atau penyakit Anjing Gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus, bersifat akut karena menyerang susunan syaraf pusat pada hewan berdarah panas maupun manusia yang menderita.

Rabies sangat ditakuti karena bersifat zoonosis dan merupakan penyakit yang sangat berbahaya apabila gejala klinis yang timbul selalu diikuti dengan kematian baik pada hewan maupun manusia dan sampai saat ini belum ada obatnya.

Semua hewan berdarah panas dapat menularkan rabies. Anjing, kucing dan kera termasuk hewan yang sangat berpotensi dalam menularkan rabies dan lebih dari 90 % kasus rabies di Indonesia ditularkan oleh anjing, sehingga anjing menjadi obyek utama dalam pemberantasan rabies. Virus rabies masuk kedalam tubuh manusia atau hewan melalui luka akibat gigitan hewan penderita rabies maupun luka yang terkena air liur hewan atau manusia penderita rabies.

Ada 2 macam gejala rabies yaitu Rabies ganas dan Rabies tenang. Rabies ganas ditandai dengan hewan menjadi ganas menyerang atau menggigit apa saja, ekor dilengkungkan di bawah perut diantara dua kaki, tidak menurut lagi pada perintah pemilik, air liur keluar berlebihan, kejang-kejang kemudian lumpuh dan biasanya hewan mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

Sedangkan untuk rabies tenang ditandai dengan hewan menjadi suka bersembunyi ditempat gelap dan sejuk, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan, kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tak terlihat, kelumpuhan serta kematian dapat terjadi dalam waktu singkat.

Pencegahan dan Kewaspadaan
Pemilik atau pemelihara hewan penular rabies wajib untuk memelihara hewan yang sudah tertular rabies di dalam rumah atau pekarangan rumah. Bila rumah tidak dipagar maka anjing harus dirantai kurang lebih 2 meter. Apabila dibawa keluar rumah, anjing harus dilengkapi dengan pengaman (dibrongsong). Pemberian vaksinasi anti rabies pada anjing, kucing dan kera peliharaan juga merupakan suatu kewajiban, vaksinasi pun dilakukan secara teratur setiap tahun.

Selain itu masyarakat juga harus aktif dalam melaporkan setiap kasus penggigitan hewan penular rabies kepada manusia. Hewan penular rabies yang menggigit dilaporkan dan dibawa ke Rumah Observasi Rabies, Balai Kesehatan Hewan & Ikan di Ragunan. Sementara manusia yang digigit dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan.

Tindakan observasi akan dilakukan terhadap hewan penular rabies yang telah menggigit manusia di Rumah Observasi Rabies Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta selama 14 hari. Jika mengalami kematian pada saat masa observasi maka kepala anjing tersebut dikirim ke laboratorium untuk kepastian diagnosa penyebab kematian. Namun apabila dalam masa observasi hewan tetap hidup maka hewan segera divaksin anti rabies dan dikembalikan kepada pemilik atau dieliminasi bila tidak ada pemilik.

Petugas maupun masyarakat juga secara rutin melakukan penangkapan hewan penular rabies yang berkeliaran ditempat umum yang selanjutnya dilakukan eliminasi. Sementara itu setiap pemilik atau pemelihara hewan penular rabies dilarang untuk menelantarkan hewan penular rabies serta membiarkan hewan penular rabies berkeliaran di luar pekarangan rumah.

Pengawasan lalu lintas terhadap setiap pemasukan dan pengeluaran hewan penular rabies dari dan ke DKI Jakarta, harus mendapatkan rekomendasi atau izin dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dan disertai dengan surat Kesehatan Hewan dan Surat Keterangan Vaksinasi Rabies serta syarat lain yang ditetapkan oleh Gubernur.

Syarat-syarat pemasukan meliputi beberapa hal yaitu harus melalui tempat pemasukan, mempunyai surat Keterangan Kesehatan atau Health Certificate yang berisi antara lain keterangan tidak menunjukkan gejala klinis rabies dalam waktu kurang dari 48 jam sebelum diberangkatkan yang diterbitkan oleh Dokter Hewan berwenang atau Dokter Hewan Prakahtek.

Selain itu juga harus mempunyai Surat Keterangan Identitas (Paspor) yang berisi antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 bulan di negara atau wilayah/daerah asal sebelum diberangkatkan dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur 6 bulan serta tidak dalam keadaan bunting 6 minggu atau lebih dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui saat diberangkatkan.

Apabila diberangkatkan melalui darat tidak boleh melalui wilayah atau daerah tertular. Dan apabila dalam perjalanan harus transit maka harus memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang Karantina Hewan.

Bagaimana Menangani Kasus Gigitan
Pertolongan pertama pada penderita gigitan adalah dengan mencuci luka gigitan secepatnya dengan sabun detergen selama 5-10 menit di bawah air yang mengalir, dikeringkan dan diberi yodium tinctura atau alkohol 70% setelah itu segera pergi ke “RABIES CENTER” yaitu:
RSUD TARAKAN
Jl. Kyai Caringin No. 7 Jakarta Pusat.
Telp. 021-3503150
RUMAH SAKIT PUSAT INFEKSI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
Jl. Sunter Baru Permai, Jakarta Utara .
Telp. 021-6506559

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta, Bidang Peternakan yang beralamat di Jl. Gunung Sahari Raya No. 11, Jakarta Pusat Telp (021)6285484.

Tantangan Dokter Hewan dan Ruang Bagi Tegaknya Otoritas Veteriner

Bertempat di Ruang Kutilang Wisma Kagama UGM Yogyakarta, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia mengadakan pertemuan dan konsolidasi organisasi. Ketua PB PDHI Drh Wiwik Bagja menjelaskan tentang situasi terkini organisasi dan mengkritisi UU No 18 tahun 2009. Acara tunggal yang diikuti oleh seluruh pengurus PDHI se-Propinsi Daerah Istimewa Yogyakara dan utusan dari berbagai Instansi kompeten daerah maupun pusat yang ada di daerah itu, berlangsung 11 Februari 2010.

Menurut Wiwik, dengan secara efektifnya ditandatangani AFAS yaitu suatu pakta persetujuan bersama negara ASEAN untuk layanan kesehatan hewan pada Mei 2009, maka profesi Dokter Hewan di negara ASEAN dapat secara bebas melakukan pelayanannya. Sebuah harapan besar sekaligus tantangan yang tidak ringan bagi praktisi di tanah air. Problema klasik dan paling krusial/mendasar di tanah air saja masih sangat banyak yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi itu, maka tentu saja akan semakin menambah beban berat bagi organisasi sekaligus para praktisi.

Lebih lanjut, Wiwik memaparkan problema tentang Otoritas Veteriner di Indonesia yang belum juga mendapatkan solusi dan bentuk organisasi fungsional oleh karena salah satunya warisan penjajah/kolonialisme Belanda. Menurutnya, di negara-negara bekas jajahan Ingris, umumnya otoritas veteriner sudah ada dan fungsional. Contoh terdekat adalah Malaysia dan Singapura. Sedangkan Indonesia yang merupakan bekas kolonial Belanda perangkat perundangan sama sekali tidak ada.

”Jika kita berbicara tentang realita lulusan Fakultas Ekonomi ada Kementerian Keuangan, Pertanian ada Kementerian Pertanian, Kehutanan (Kemenhut), Kedokteran (Kemenkes), Hukum (Kemenhukham), Tehnik (PU), Perikanan (Kemenperiklut), dlll masih banyak lagi,” ujarnya. Lalu dimana profesi Dokter Hewan ada lembaga yang menaunginya?

Selama ini memang ada asumsi yang salah di benak sebagian besar ahli tata negara dan pakar politik. Menempatkan profesi kedokteran hewan itu hanya sebagai bagian dari pertanian. Oleh karena itu struktur organisasi negara yang dibentuk sama sekali tidak mengakomodasi secara maksimal peran dan fungsi kedokteran hewan. Padahal, profesi itu tidak hanya yang terkait dengan kesehatan hewan semata, namun erat sekali berhubungan kesejahteraan masyarakatnya.

Sekadar mengambil contoh tentang kasus Penyakit Flu Burung dan Flu Babi juga Rabies, sudah pasti mengancam keselamatan, kesehatan dan kenyamanan masyarakat. Juga tidak kalah pentingya dengan ketersedian bahan pangan hewani yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu jika eksistensi profesi terus termarginalkan, maka peran dan fungsinya juga tidak akan optimal. Desakan dan urgensi Otoritas Veteriner bukanlah hanya terkait dengan kekuasan dan jabatan namun lebih lebih luas lagi jangkauan pemikirannya.

Kemudian ketika dimintai pendapatnya oleh Infovet tentang problema klasik para tenaga kesehatan hewan lapangan yang illegal, Wiwik menjelaskan singkat namun proporsional. Jika mengacu pada pasal 47 UU No 18 Th 2009 bahwa tenaga kesehatan hewan adalah dokter hewan dan paramedik. Wewenang dan Hak untuk melakukan diagnosa penyakit serta pengobatan atas hewan/ternak yang sakit hanya dimiliki oleh Dokter Hewan.

”Namun demikian, tenaga paramedik dapat melakukan bantuan jika diminta dan dibawah pengawasan dokter hewan. Hak mutlak untuk melakukan pengobatan dengan obat hewan keras dan injeksi/parenteral juga hanya dimiliki oleh dokter hewan dan tidak ada profesi lainnya yang bisa menggantikan,” jelas Wiwik.

Sedangkan sekretaris PDHI Cabang Yogyakarta, Dr Drh Dody Yudhabuntara usai acara tersebut menitipkan pesan ke Infovet untuk disampaikan ke publik akan adanya rencana kegiatan Bakti Sosial Masyarakat dan Peternak. Lokasi ada di daerah pegunungan tandus tepatnya desa Wukirharjo di sisi kiri lokasi Candi Prambanan Sleman Yogyakarta.

Kegiatan itu diselenggrakan oleh PDHI Cabang Yogyakarta dan Perhimpunan Istri Dokter Hewan Indonesia (PIDHI). Menurut Dody bahwa bakti sosial masyarakat ditangani oleh PIDHI sedangkan terhadap sasaran peternak oleh PDHI.. Selamat dan sukses ....(iyo)

Menteri Pertanian Siap Buka Munas VI ASOHI Mei 2010

Menteri Pertanian RI Ir. Suswono menyatakan kesediaannya untuk membuka acara Munas VI ASOHI yang akan berlangsung 20 Mei 2010 di Jakarta. Pernyataan itu disampaikan Mentan ketika menerima kunjungan Pengurus ASOHI di ruang kerjanya Selasa, 9 Februari 2010.

Delegasi ASOHI dipimpin oleh Ketua Umum ASOHI Gani Haryanto, disertai pengurus tingkat nasional ASOHI yaitu Drh Tjiptardjo SE (sekjen), Drh Syahrony Djaidi (Bidang Luar Negeri), Drh Albert B Winata (Bidang Pengawasan Peredaran Obat Hewan), Drh Suhandri (Bidang hubungan Antar Lembaga), Drh Rakhmat Nuriyanto (Bidang Organisasi), Drh Abadi Sutisna (Ketua Dewan Kode Etik), dan Ir Bambang Suharno (Sekretaris Eksekutif). Sedangkan Menteri Pertanian didampingi oleh Dirjen Peternakan Prof Dr Tjeppy D Sudjana.

Dalam kesempatan itu selain menyampaikan rencana Munas, Ketua Umum ASOHI juga mengutarakan beberapa peran ASOHI dalam pembangunan kesehatan hewan dan peternakan serta beberapa gagasan solusi atas permasalahan di bidang kesehatan hewan dan peternakan. Diantaranya masalah pengendalian AI, pemenuhan kebutuhan obat hewan, pemberlakuan Perda DKI No. 4 tahun 2007 tentang pelarangan masuknya ayam hidup mulai April 2010, Permentan No. 20 tentang izin impor ayam utuh.

Gani Haryanto juga menyampaikan bahwa kebutuhan obat hewan di Indonesia dipenuhi baik dari produksi dalam negeri maupun impor. Bahkan beberapa jenis obat hewan yang diproduksi di dalam negeri juga telah di ekspor. Nilai ekspor obat hewan tersebut cukup tinggi dan terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Untuk itu diperlukan pembinaan serta penciptaan iklim yang kondusif bagi perkembangan industri obat hewan.

Sebelumnya Gani juga menjelaskan secara singkat kepada Mentan yang baru dilantik 22 Oktober 2009 silam mengenai ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) yang merupakan organisasi yang mewadahi seluruh kegiatan usaha di bidang obat hewan yang terdiri dari Produsen, Importir, Eksportir, Distributor dan Pengecer Obat Hewan diseluruh Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1979.

“Dalam perjalanannya bagi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, ASOHI merupakan mitra Pemerintah yang selalu mendukung program pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan,” ujar Gani.

Gani menerangkan, ASOHI telah berperan serta dalam pengendalian penyakit hewan dalam bentuk penyediaan sumber daya manusia, berupa tenaga teknis dokter hewan sebagai Technical Veterinary Services perusahaan obat hewan yang bertugas memberikan informasi, bimbingan teknis dan pelayanan bagi peternak di seluruh Indonesia. Disamping itu juga sebagai penyedia berbagai jenis obat hewan yang diperlukan, baik sebagai sarana pencegahan, biosekuriti maupun pengobatan penyakit hewan.

Lebih lanjut, kata Gani, ASOHI juga telah menyelenggarakan Seminar Nasional Perunggasan yang ke-5 pada 27 Oktober 2009 silam. Seminar ini dihadiri oleh seluruh pelaku bisnis perunggasan dengan narasumber baik dari asosiasi lingkup perunggasan maupun dari luar yang dapat memberikan inspirasi bagi pengembangan industri perunggasan.

Seminar ini merekomendasikan beberapa hal penting diantaranya adalah menyikapi Permentan No. 20 th. 2009 yang memperbolehkan impor ayam utuh. Kebijakan ini perlu disikapi dengan hati-hati karena kemungkinan akan menyebabkan industri perunggasan tidak dapat tumbuh seperti yang diharapkan.

Hal lain adalah mengenai Perda DKI No. 4 th. 2007 yang menyatakan bahwa mulai bulan April 2010 ayam hidup tidak diperbolehkan lagi masuk DKI Jakarta. Untuk ini sesuai dengan rekomendasi seminar perunggasan, ASOHI telah melakukan koordinasi dengan Pemda DKI dan Asosiasi-asosiasi lingkup perunggasan dan dari pertemuan tersebut telah dibentuk Tim yang menyiapkan agar implementasi Perda ini dapat terlaksana dengan baik dilapangan.

Sementara dengan telah terbitnya Undang-undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dimana dicantumkan adanya Sanksi bagi pelanggaran dalam perbuatan, penyediaan, peredaran dan pemakai obat hewan ilegal, ASOHI mengharapkan agar tindakan hukum bagi pengedar obat hewan ilegal dapat dilaksanakan lebih efektif.

“Peredaran obat hewan ilegal, terutama obat yang belum mempunyai nomor registrasi sangat merugikan baik dari aspek ekonomi maupun teknis bagi pengendalian penyakit hewan,” tutur Gani.

Untuk menindak lanjuti terbitnya Undang Undang No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan diperlukan peraturan pelaksanaannya. ASOHI bersedia untuk berperan serta menyampaikan masukan-masukan bagi penyusunan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan obat hewan.

Pada prinsipnya Mentan menyambut baik gagasan-gagasan maupun informasi yang disampaikan pengurus ASOHI. Namun Mentan Suswono menanggapi beberapa hal diantaranya tentang Permentan No. 20 Tahun 2009 yang memperbolehkan impor unggas utuh yang menjadi kekhawatiran masyarakat perunggasan.

Menurut Suswono impor yang dibuka adalah khusus untuk produk unggas yang memang pasokan dalam negeri masih kekurangan seperti daging itik peking, kalkun dan lain-lain. Sementara untuk ayam broiler yang selama ini sudah swasembada tetap tidak diperbolehkan impor, jadi peternak tidak usah khawatir.

Sementara untuk persiapan pemberlakuan Perda DKI No. 4 tahun 2007, pihaknya juga terus melakukan koordinasi dengan pemda-pemda di sekitar Jakarta khususnya dalam persiapan kapasitas RPA/RPU. Terlebih penataan pasar unggas dan menjaga kestabilan harga unggas di DKI dan sekitarnya.
”Jangan sampai ada gap harga ayam yang tinggi antara Jakarta dan luar Jakarta karena pasokan ayam yang melimpah di luar Jakarta, sementara suplai ayam di Jakarta seret akibat kapasitas RPA yang terbatas,” terang Mentan.

Terkait dengan penyusunan Peraturan Pemerintah pendukung UU No. 18 Tahun 2009, Deptan sendiri masih menunda pembahasannya sampai gugatan judicial review yang dilayangkan sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi menghasilkan keputusan tetap.

Dalam kesempatan tersebutpun Mentan langsung menyanggupi untuk membuka Munas VI ASOHI yang akan berlangsung 20 Mei 2010 di Jakarta dengan catatan tidak ada tugas khusus dari Presiden RI. (bams/wan)

ULASAN LENGKAP FAKTOR PENDUKUNG TURUNNYA PRODUKSI TELUR, SERTA TIPS MENGATASINYA.


“Faktor-faktor itu adalah faktor kepekaan ayam (ayam ‘moderen’ relatif lebih peka terhadap pengaruh eksternal), faktor lingkungan (iklim/cuaca), faktor bibit penyakit (patogenitas mikroorganisme) dan faktor tatalaksana/manajemen pemeliharaan ayam.”

Faktor pendukung munculnya kasus penurunan produksi telur adalah manajemen health control alias manajemen kontrol kesehatan yang tidak tepat. Demikian Direktur CV Bintang Mandiri Tasikmalaya Jawa Barat Drh Teguh Budi Wibowo.

Dalam hal manajemen health control alias manajemen kontrol kesehatan yang tidak tepat ini, kata alumnus FKH UGM ini, “Biosecurity kurang sempurna, kurang akuratnya program vaksin dan atau penggunaan dan aplikasi vaksin yang tidak tepat, baik pemilihan jenis vaksin maupun penetapan jadwalnya, sanitasi kandang dan lingkungan kurang baik, serta faktor pakan baik mutu maupun komposisinya, tingkat stres di kandang, ventilasi dan lain-lain.”

Stres dapat menyebabkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi meliputi kedinginan, kepanasan, penangkapan dan pemindahan ayam, parasit, dan ketakutan. Kedinginan adalah stres yang paling sering terjadi selama musim penghujan yang banyak terdapat angin dan hujan.
Dalam kondisi ini biasanya kandang ditutup, ventilasi jelak, sehingga menyebabkan tingginya kadar amonia, lembab dan ayam tidak dapat bertahan. Pada kondisi ini juga kondisi lain yang menyebabkan kurangnya lama penyinaran dapat berakibat tidak terangsangnya hormon reproduksi agar ayam mulai bertelur.

Sebaliknya kepanasan adalah stres akibat cuaca panas, ayam akan lebih banyak minum dan mengurangi konsumsi ransum sehingga kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi. Kondisi ini dapat menyebabkan produksi telur turun karena kebutuhan energi dan protein harian tidak tercukupi. Suhu terlalu panas akan mengurangi konsumsi nutrisi dari ransum yang diperlukan untuk pembentukan telur.

Dalam kondisi lingkungan panas, fisiologi tubuh ayam akan mengubah prioritasnya dari semula untuk produksi telur menjadi untuk bertahan hidup. Sementara penangkapan dan pemindahan serta populasi yang terlalu padat yang meningkatkan kanibalisme juga menyebabkan stres pada ayam. Stres ketakutan pun dapat terjadi akibat suara ribut orang-orang dan suara kendaraan di sekitar kandang untuk mencegah ayam ketakutan.

Secara praktis, pentingnya biosecurity pun diungkap oleh peternak pemilik Eden Farm di Segitiga Emas Jakarta dan Jawa Barat Ricky Bangsaratoe. “Faktor penting penyebab dan pendukung muculnya penyakit itu adalah kurang bersihnya kandang ternak dan kurang terpeliharanya lalu lintas lingkungan kandang,” katanya mengungkap salah satu wujud masalah penting dari penerapan biosecurity yang mempengaruhi penurunan produksi telur.

Direktur PT Agrotech Veterindo Jaya di Jakarta Drh Budi Cahyono Wilogo juga menekankan tentang biosecurity ini sebagai faktor penting yang harus diperhatikan, lantaran biosecurity yang kurang baik merupakan faktor pendukung utama munculnya kasus penurunan produksi telur.
“Biosecurity merupakan benteng pertahanan untuk mencegah penyakit,” kata Drh yang juga alumnus FKH UGM ini seraya menambahkan perlakuan vaksinasi yang tidak rutin dan ketat sesuai program dan anjuran juga dapat menjadi faktor pendukung munculnya penyakit.

Drh Budi Cahyono juga mengingatkan faktor yang kelihatannya sederhana namun sesungguhnya sangat penting. “Apakah peternak masih rajin memberikan obat cacing kepada ayam-ayamnya?” tanya dia seraya menambahkan untuk pembuktian tentang faktor ini sesungguhnya juga sangat sederhana. Tinggal mengambil feses untuk diperiksa telur cacingnya di bawah mikroskop, akan ketahuan apakah masalah cacing sudah terbebaskan dari peternakan.

Cacing beserta parasit parasit eksternal dan internal lain memang dapat mengganggu ayam dan produksinya. Adanya cacing pada alat pencernaan akan mengganggu asupan pakan. Padahal yang dibutuhkan untuk produksi telur yang bagus adalah asupan pakan yang bagus, tercukupi secara seimbang kebutuhan karbohidrat, protein, lemak dan lain-lain.

Selama usus dapat menyerap sari makanan yang ada tersebut, produksi telur pun akan menjadi optimal. “Namun jika fili fili usus terganggu atau rusak, bagaimana bisa menyerap sari-sari makanan ini?” tanya Drh Budi Cahyono Wilogo.

Lebih lanjut mengenai topik-topik pembahasan seperti:

AIR SEBAGAI FAKTOR PENDUKUNG NAIK-TURUNNYA PRODUKSI TELUR
Ada kaitan erat antara naik turunnya produksi telur dengan kualitas air. Ada penekanan perlakuan di peternakan terhadap mutu air ini agak ternak berproduksi optimal dan maksimal dan tidak ambruk sakit. Bagaimana menjelaskan hal ini?

MENGAPA PRODUKSI TELUR TURUN
Secara garis besar dapat terjadi akibat kegagalan manajemen, fluktuasi kandungan nutrisi pakan dan adanya kasus penyakit. rangkuman wawancara dengan drh. I Wayan Seputra, Sales Supervisor PT SHS International Cabang Bali.

INFECTIOUS BRONCHITIS SALAH SATU ANCAMAN TETAP PENYEBAB GANGGUAN PRODUKSI PADA AYAM PETELUR menurut Drh. Wayan Wiryawan Technical Advisor - Malindo Group

Selanjutnya tanggapan mengenai produksi yang merosot bukan monopoli dari penyakit infeksius hasil wawancara dari para praktisi perunggasan di Purwokerto, Pontianak dan Semarang

TIPS AHLI ATASI TURUNNYA PRODUKSI TELUR dari Dr Drh Lies Parede Hernomoadi MSc dari Balai Besar Penelitian Veteriner dan Drh Hernomoadi Huminto MS dari FKH IPB Bogor berlatar penjelasan ilmiah yang kuat. Bila sudah ditemukan penyebab utama, antisipasi permasalahan untuk siklus pemeliharaan berikut. Bila infeksius oleh virus, program vaksinasi harus ditinjau ulang, disertai perbaikan manajemen. Bila produksi mulai membaik, perlu penambahan suplemen atau asam amino esensial dan vitamin.

Untuk selengkapnya silahkan baca majalah Infovet edisi 188/Maret 2010. pemesanan maupun info berlangganan silahkan klik sini.




FAKTOR PENTING MENGATASI TURUNNYA PRODUKSI


Selaras dengan aktivitas sepanjang hari yang dilakukan setiap hari mulai dari sebelum datangnya bibit sampai masa panen, diharapkan tindakan pencegahan itu dapat menjaga produksi telur terus mengalir dan rejeki pun senantiasa tercurah melalui usaha peternakan ayam petelur.

Drh Heri Setiawan dari PT Wonokoyo Jaya Corporindo Surabaya Jawa Timur mengungkap faktor penting untuk mengatasi penyebab turunnya produksi telur adalah menjaga/mempertahankan harmonisasi antara daya tahan tubuh ayam; pengontrolan lingkungan dan mikroorganisme.

“Daya tahan tubuh ayam harus optimal melalui program kesehatan yang baik dan benar,” kata alumnus FKH Unair ini seraya memaparkan program kesehatan yang baik dan benar itu meliputi vaksinasi, gisi/nutrisi seimbang dan sesuai kebutuhan ayam.

Adapun, lanjut Drh Heri, “Pengontrolan lingkungan harus ketat melalui biosekuriti yang tepat dan akurat. Lalu perkandangan juga harus memenuhi syarat.” Sementara pengendalian mikroorganisme patogen harus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan melalui proses desinfeksi dan sanitasi yang benar.

Senada dengan hal itu, Drh Teguh Budi Wibowo dari CV Bintang Mandiri Tasikmalaya Jawa Barat mengatakan, faktor penting mengatasi penyakit penurun produksi telur yaitu, “Tingkatkan biosekuriti, tingkatkan sanitasi kandang dan lingkungan, kurangi stres di kandang seminimal mungkin.”

Lalu, tambah alumnus FKH UGM ini, harus dilakukan penerapan program vaksinasi, pemilihan jenis vaksin dan aplikasi serta jadwal yang tepat. Faktor pakan pun harus cukup secara kuantitas maupun kualitas.

Sepakat dengan hal itu, Drh Andy Tristijanto dari PT Sierad Produce Jawa Timur mengatakan cara mengatasi penyakit penurun produksi telur itu, “Yang pasti biosekuriti termasuk kebersihan kandang, program kesehatan. Juga manajemen terutama sistem pakan, ventilasi/sirkulasi udara.”

Peternak Ricky Bangsaratoe dari Eden Farm pun menambahkan faktor penting untuk mengatasi penyakit penurun produksi telur itu adalah, “Dengan cara kebersihan kandang harus selalu terpelihara, dijaga lalu lintas hilir mudik kendaraan, hewan dan semua yang ada di sekitar kandang,” tegasnya.

Sama dengan yang dilakukan Eden Farm di wilayah barat pulau Jawa, pada peternakan ayam petelur Supardi Farm di Jawa Timur pun dilakukan sanitasi kandang dan peralatan peternakan untuk pencegahan penyakit.

Pada peternakan di Desa Kiringan Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan Jawa Timur ini, kandang dicuci dan disemprot dengan desinfektan untuk mencegah dan membunuh bakteri dan berbagai organisme lain; serta mencegah keluar masuknya hewan lain dan vektor penyebab penyakit seperti lalat dan tikus ke lingkungan peternakan. Obat pembunuh lalat pun digunakan untuk mengusir lalat.

Kegiatan di Supardi farm dilaporkan oleh Ristina Windawati dari Madiun kepada Program Studi Diploma Tiga Kesehatan Ternak FKH Unair Surabaya. Di sini, katanya, “Dilakukan perbaikan sanitasi air minum dengan dua kali sehari membersihkan tempat minum sebelum diberi air yang baru.” Seminggu sekali tempat minum pun diberi disvektor 25 ml tiap 10 liter selama paling tidak 30 menit.

“Pencegahan yang lebih dini dengan penerapan manajemen peternakan yang dikelola dengan baik meliputi pakan, perkandangan, kontrol kesehatan, sehingga tercipta suasana yang nyaman bagi ayam,” ujar Ristina Windawati yang pernah mengalami langsung kegiatan di peternakan Supardi.

Sehari-hari, kegiatan di peternakan ini dimulai pada pukul 6 pagi dengan memberi pakan ayam sampai pukul 7 pagi. Selanjutnya pada pukul 7 sampai pukul 8.30 anak kandang membersihkan tempat minum dan kandang.

Selanjutnya pengumpulan telur dilakukan pada pukul 8.30 sampai pukul 9.15. Telur diambil dari tempat telur di baterai, dikumpulkan atau dipanen dengan egg tray langsung ditimbang kemudian dibawa ke tempat penyimpanan.

Tibalah saatnya karyawan untuk makan pagi pada pukul 9.15 sampai pukul 9.45. Setelah itu pada pukul 9.45 sampai 10.45 telur yang tertata di egg tray tadi langsung dipindahkan ke kotak kayu yang di dalamnya ditaruh jerami untuk mencegah telur pecah juga saat dipasarkan. Saat pemindahan itu juga dipisahkan antara telur yang normal dengan yang pecah, retak dan tidak normal bentuknya.

Kemudian pada pk 10.45 sampai pukul 11.30 anak kandang meratakan pakan dan membersihkan alat-alat kandang, disusul waktu istirahat sampai pukul 13.00. Berikutnya dilanjutkan pemberian pakan lagi sampai pukul 14.00. Disusul lagi pembersihan tempat minum dan sekitar kandang sampai pukul 14.30.

Pada saat pukul 14.30 inilah dilakukan lagi pengambilan telur dari baterai ke eggtrai kemudian dimasukkan ke kotak telur sampai pukul 15.30. Akhirnya pada pukul 15.30 ini anak kandang kembali meratakan pakan dan pembersihan alat-alat kandang sampai pukul 16.00, lalu pulang.

Berlanjut kegiatan petang, malam, sampai pagi yang merupakan kegiatan bagi penjagaan yang tidak membutuhkan aktivitas yang langsung dilakukan seperti pada pagi sampai sore tadi. Tentu saja penjagaan ini dengan kewaspadaan terhadap hal-hal tak diinginkan terjadi.

Dari kegiatan sehari-hari peternakan ayam petelur Supardi Farm ini, terlihat dan terasa, betapa ketat kegiatan untuk memproduksi telur ayam. Apalagi bila berbagai gangguan dan penyakit bisa saja terjadi pada peternakan yang kegiatannya membutuhkan dedikasi ini.

Selaras dengan aktivitas sepanjang hari yang dilakukan setiap hari mulai dari sebelum datangnya bibit sampai masa panen, diharapkan tindakan pencegahan itu dapat menjaga produksi telur tidak jatuh alias turun. Namun, produksi terus lancar mengalir dan rejeki pun senantiasa tercurah melalui usaha peternakan ayam petelur. (Yonathan Rahardjo)

Contoh kasus penurunan produksi telur terjadi di peternakan ayam petelur, pencegahan dan pengobatan diulas secara lengkap pada majalah infovet edisi 188/ Maret 2010. untuk pemesanan dan info berlangganan silahkan klik disini.

PENYEBAB UTAMA TURUNNYA PRODUKSI TELUR

Bukankah semua penyakit dapat menyebabkan turunnya produksi telur? Soal penyebab utamanya, tentu saja berdasar kenyataan lapangan. Ternyata memang ada penyebab turunnya produksi telur yang bersifat infeksius, dan ada pula penyebab yang bersifat non infeksius.

Yang sekarang sedang ‘nge-trend’, penyakit utama penyebab turunnya produksi telur ayam layer, “Adalah AI dan ND,” ungkap peternak ayam petelur di daerah elit segitiga emas Pondok Indah-Bintaro-Bumi Serpong Damai Tangerang dan Jakarta Ricky Bangsaratoe. Terhadap AI (Avian Influenza) dan ND (New Castle Disease) ini, peternak sudah sangat familiar.

Sementara itu Drh Ratriastuti Koordinator Produksi dan Laboratorium Unit Barat (Jawa Barat, Banten, Lampung dan Sumatra Barat) PT Primatama Karyapersada (PKP) Layer mengungkap kasus pada banyak peternakan yang dijumpai adalah ND, IB (Infectious Bronchitis), juga Coryza. “Kemungkinan AI juga ada tapi belum dikonfirmasi laboratorium,” katanya seraya ada juga yang dicurigai ke AE (Avian Enchephalomyelitis).

Semua kasus itu menurut Drh Ratri menyebabkan penurunan produksi telur, bahkan ada yang sampai 20-30 persen. Manifestasi yang dijumpai bermacam-macam, seperti ada yang kerabang telurnya lembek, tidak bulat telur, pucat, pipih, mudah pecah, albumin bagian luar dan dalam sangat encer dan lain-lain. Dari semua kasus yang dijumpai ia mengaku angka kematian sudah jarang ada. Namun, “Penurunan produksi telur itu pasti,” katanya.

Ratriastuti menambahkan terhadap penyakit yang menyebabkan turunnya produksi telur itu diagnosa sering dikacaukan oleh begitu banyak persamaan manifestasi antara satu penyakit dengan penyakit lain. Pemeriksaan laboratorium, termasuk dengan titer antibodi, di sini pun mengambil peran dalam pemastian diagnosa.

Ditambahkan oleh Senior Manager Animal Health Kemitraan Jawa Timur PT Sierad Produce Drh Andy Tristijanto, penyebab turunnya produksi telur layer memang banyak. Penyakit-penyakit itu mulai dari penyakit viral (AI, IB, ND, EDS), penyakit bakterial (CRD) bahkan bisa mikotoksin.

Kemudian Direktur CV Bintang Mandiri Tasikmalaya Drh Teguh Budi Wibowo pun mengungkap beberapa penyakit yang dapat menurunkan produksi telur biasanya disebabkan oleh virus yaitu New Castle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis, Egg Drop Syndrome, dan lain lain. Katanya, “Faktor penyebab seperti ini dalam bahasa kedokteran hewan biasa disebut causa prima-nya adalah virus.”

Adapun sesungguhnya, hampir semua penyakit unggas khususnya ayam petelur, akan berpengaruh pada produksi telur. “Tapi di sini ada perbedaan persentase dan signifikansi yang besar,” kata seorang narasumber yang tidak mau disebutkan namanya.

Senada dengan pendapat itu, Drh Surya Al Qamar dari FKH Unsyiah Banda Aceh mengatakan, sebenarnya hampir semua penyakit unggas menyebabkan penurunan produksi. Karena, ujarnya, “Ayam menjadi stres dan keseimbangan fisiologisnya terganggu termasuk keseimbangan dan pengaturan fungsi bertelur.”

Drh Surya menegaskan, untuk ayam petelur diperhatikan 2 masalah utama yaitu penyakit (infeksi atau non-infeksi) dan juga penurunan produksi karena malnutrisi (termasuk kesalahan pengaturan asupan gizi).

Hal yang sama juga diamini oleh Drh Heri Setiawan dari PT Wonokoyo Jaya Corporindo Surabaya Jawa Timur. “Penyebab utama turunnya produksi telur ayam petelur terbagi menjadi dua, yakni faktor infeksius (penyakit menular: AI, ND, IB, EDS’76, Fowl Cholera, CRD, Ascariasis dan lain-lain) dan faktor non infeksius (defisiensi vitamin, asam amino, mineral, intoksikasi, Aflatoksikosis dan lain-lain),” paparnya.

Selain itu, persentase dan signifikansi berbagai penyakit hendaknya dilihat sesuai dengan kenyataan lapangan. Ternyata penyakit penyebab turunnya produksi telur memang banyak. Meski, “Kalau dirunut dari nama penyakit ya tentunya EDS (Egg Drops Syndrom). Namanya saja sudah jelas,” kata narasumber lain yang tidak mau disebutkan namanya itu seraya berharap hal ini jangan dilihat dari aspek perdagangan obat hewan.

Menurut narasumber ini, ada juga penyakit lain yang juga dapat menyebabkan turunnya produksi telur, misal penyakit yang khusus menyerang organ reproduksi ayam. Gangguan nutrisi juga berperan dalam produktivitas telur. Namun, katanya, “Gangguan nutrisi sebetulnya bukanlah penyakit, namun dapat memunculkan penyakit.” (Yonathan Rahardjo)

Ulasan mengenai topik ini berlanjut ke pembahasan mengenai Penyakit, Biang dan Gejalanya serta bukti dan fakta lapangan dari narasumber diatas. selengkapnya dapat dibaca pada majalah Infovet edisi 188/Maret 2010. untuk pemesanan dan Informasi berlangganan silahkan klik disini

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer