Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini sapi potong | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

LEP EXPO 7-8 APRIL 2020 DITUNDA

LEP Expo sebagai ajang pertemuan stakeholder peternakan (Foto: Infovet)

Penyelenggaraan Livestock Export Program  (LEP) Expo yang semula direncanakan digelar pada 7-8 April 2020 di Royal Ballroom The Springs Club Summarecon Serpong, tertunda hingga menunggu perkembangan selanjutnya.

Melalui siaran pers yang diterima Infovet, Drh Helen Fadma selaku Livestock Services Manager, Meat & Livestock Australia (MLA), keputusan ini diambil karena Indonesia tengah dilanda pandemi virus corona (COVID-19).

Selain itu MLA sebagai pihak penyelenggara juga harus menaati imbauan pemerintah, serta mendukung upaya pemerintah guna mencegah penyebaran virus corona.

LEP Expo dikenal sebagai ajang pameran yang dikonsp secara unik, yakni one stop shopping. Konsep ini memudahkan pengunjung dalam memperoleh semua informasi produk yang dibutuhkan dalam sekali putaran.

Bertujuan mempertemukan industri-industri produk peternakan sapi potong, LEP Expo juga diisi dengan jadwal acara berbagai technical seminar. (NDV)

PERADABAN BARU SAPI BX DI INDONESIA

Ternak sapi BX. (Foto: Kementan)

Heboh soal pemberitaan kantor berita ABC di berbagai media pada Desember 2019 lalu, bahwa ratusan sapi BX (Brahman Cross) asal Australia bantuan pemerintah Indonesia untuk program perbibitan sapi mengalami malnutrisi dan mati. Namun demikian hal itu dibantah pemerintah yang menyatakan bahwa sapi-sapi tersebut dalam kondisi baik.

Dalam kegiatan tersebut pemerintah menyalurkan sapi-sapi bantuan ini ke puluhan kelompok peternak dan UPTD disentra-sentra pengembangan sapi di Indonesia. Namun dikhawatirkan dampak dari pemberitaan tadi menjadi polemik baru mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan Australia. Seperti yang pernah terjadi pada peristiwa pemotongan brutal terhadap sapi BX asal Australia di RPH Indonesia 2011 silam, yang berakhir dengan penyetopan impor sapi asal Australia dan mengharuskan mengikuti standarisasi rantai pasok ternak sapi Australia (Exporter Supply Chain Assurance System/ESCAS).

Pemeliharaan Ekstensif
Sapi BX ini merupakan jenis sapi hasil persilangan antara sapi Brahman dengan berbagai bangsa sapi seperti Santa Gertrudies, Limousine, Simental, Angus, Hereford dan lainnya. Sapi-sapi persilangan tersebut lebih dikenal dengan ACC (Australia Commercial Cross) atau BX jika sapi Brahmannya lebih dominan.

Sapi-sapi ini hidup dan dikelola dalam sistem ranch, yaitu pemeliharaan secara ekstensif dilepas-liarkan di padang penggembalaan. Sapi-sapi ini tumbuh dan berkembang, serta bereproduksi di alam bebas. Boleh disebut tanpa sentuhan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan (IB) yang biasa dilakukan di dalam negeri.

Para peternak hanya menyiapkan makanan tambahan berupa mineral blok dan mengendalikan air yang berasal dari sumber air (embung) di tengah padang gembala. Pada musim tertentu mereka melakukan “mustering”, yaitu suatu periode untuk mengumpulkan ternak, menyeleksi, memilih, memisahkan ternak yang kecil dan besar, atau yang sakit, pemilihan jantan dan betina, untuk kemudian diatur kembali rasionya dalam kelompok ternak tersebut. 

Rasio lahan yang biasa digunakan di Australia bisa mencapai lebih dari 2 hektar per ekor. Bisa dibayangkan bila seorang peternak di Australia memiliki ternak 500 ekor, maka lahan yang dipakai tidak kurang dari 1.000 hektar. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Australia yang sekitar 24,5 juta orang, sedangkan jumlah populasi sapinya sekitar 25 juta ekor. Data ini bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia, dimana populasi penduduknya lebih dari 260 juta, sementara populasi sapinya hanya sekitar 16 juta ekor.

Kematian Sapi
Kematian sapi indukan dan anakannya yang terjadi selama ini pada kelompok peternak penerima bantuan, umumnya disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang dilakukan berbeda dengan pemeliharaan ternak tersebut di negara asalnya. Bisa dibayangkan bahwa sapi BX yang asalnya hidup di alam bebas, kini hidup dikurung dengan hidung yang dikeluh. Apalagi sapi ini juga memiliki sifat berahi tersembunyi (silent heat) yang akan sulit diketahui manusia. Biasanya peternak di Indonesia menyebut gejala birahi ini dengan 3B (Beureum, Bareuh, Baseuh). Jadi jika sapi-sapi ini minta kawin, hanya jantannya saja yang mengetahuinya. Kesimpulannya bahwa para peternak akan sulit mendeteksi sapi ini kapan akan dilakukan IB.

Selain itu, sapi BX ini juga ternyata memiliki sifat keibuan (mothering ability) yang rendah. Ditambah lagi jika sapi ini terlalu gemuk atau terlalu kurus, akan sulit bunting. Sifat-sifat inilah yang tidak dipahami peternak rakyat, sehinga sapi sulit bunting. Namun, seandainya sapi tersebut bunting (bawaan dari Australia) sampai melahirkan, ternyata pedet yang baru dilahirkan tersebut sudah mati di kandang, hal ini diakibatkan pedet terinjak-injak karena sifat mothering ability yang rendah.

Berdasarkan kondisi tersebut, sapi-sapi ini harus sangat diperhatikan agar pakan yang diberikan tidak menimbulkan kegemukan maupun kekurangan, serta diberikan kandang khusus untuk melindungi pedet dari sifat induknya yang agak liar. Hal ini berbeda dengan sapi-sapi lokal di Indonesia, khususnya sapi Bali, dalam kondisi apapun mereka tetap bisa bunting dan melahirkan pedet dengan baik.

Sebenarnya sapi BX lebih jinak ketimbang bangsa sapi lainnya. Namun pada kasus ini, dapat dibayangkan dari kehidupan bebas di alam terbuka tanpa hadirnya manusia, kini mereka dikandangkan yang serba tertutup dengan kesibukan manusia di sekitarnya.

Berdasarkan pengamatan, ternyata sebaiknya distribusi sapi kepada peternakan rakyat perlu dilakukan domestikasi terlebih dahulu oleh industri atau korporasi/lembaga peternakan yang memahami perilaku sapi BX. Sebab hasil dari domestikasi ini dipastikan anak keturunannya (pedet) sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan peternak sapi potong rakyat di Jawa, usahanya tidak berbasis lahan (non-land based). Peternak memberikan hijauan pakan dan konsentrat berasal dari hasil ikutan usaha taninya. Sebagian besar usaha ternak sapi potong di Jawa memberikan jerami padi sebagai hijauan pakan utamanya. Hanya sebagian kecil yang memberikan tambahan berupa ampas tahu, singkong (onggok), ataupun dedak padi. Pada kondisi ini para ahli pakan sudah menduga bahwa kasus kematian pedet dan indukan pasca melahirkan, utamanya disebabkan karena kualitas pakan yang tidak standar. Sehingga sapi-sapi terlihat kurus pasca melahirkan atau gemuk melibihi dari yang diharapkan bagi masa suburnya seekor sapi betina.

Peradaban Baru
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada kasus penyebaran sapi indukan dan ketidakberhasilan pengembangan sapi BX beberapa waktu lalu. Penulis menyimpulkan bahwa sapi BX asal Australia sesungguhnya tengah menjalani peradaban baru. Yaitu perubahan kultur atau budaya pemeliharaan yang bersifat ekstensif, dimana sapi-sapi bebas mencari pakan dan kawin, kini berada pada kultur budidaya intensif yang dikandangkan.

Perubahan ini telah disalahartikan oleh khalayak, bahwa sapi-sapi tersebut telah dibuat steril, diberikan sapi-sapi potong bukannya produktif dan sebagainya. Padahal sesungguhnya, sapi-sapi tersebut sedang melakukan proses adaptasi terhadap perubahan budaya pemeliharaan. Jika dibandingkan dengan sapi-sapi yang dipelihara di kebun sawit, tampak lebih banyak keberhasilan ketimbang yang dilakukan atau dipelihara secara intensif di kandang peternakan rakyat. Hal ini disebabkan perbedaan sistem pemeliharaan tidak terlalu signifikan dari negara asalnya.

Distribusi Sapi BX
Berdasarkan beberapa pengalaman baik dan buruknya sistem pemeliharaan sapi BX di tingkat peternak maupun perusahaan, kiranya perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, pengembangan sapi BX sebaiknya tidak diberikan kepada peternak rakyat secara langsung dari negara asalnya. Sapi-sapi ini perlu dilakukan domestikasi oleh korporasi yang kredibel. yaitu perusahaan/lembaga yang sangat paham terhadap pemerliharaan sapi BX sebagaimana di negara asalnya. Kondisi ini sesuai dengan amanat UU No. 41 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa perbibitan dan pengembangbiakan adalah tugas pemerintah. Oleh karenanya, kegiatan breeding dan pembiakan harus dilakukan oleh UPTD Pemerintah atau program sapi sawit yang dikelola pemerintah/swasta, kemudian anakannya (pedet) disebarkan kepada masyarakat peternak. Hal ini mengingat pemerintah bertekad bahwa pada 2020 ini akan melakukan importasi sebayak 1.500 ekor sapi betina bahkan bisa melebihi target.

Kedua, distribusi kepada peternak rakyat yang dilakukan secara intensif dalam kandang sebaiknya berupa sapi bakalan untuk penggemukan. Jadi pada masalah ini peternakan rakyat tidak dibebankan oleh usaha perbibitan dan pembiakan.

Ketiga, partisipasi menghasilkan pedet-pedet asal sapi BX impor dapat pula dilakukan oleh para pengusaha feedlot yang difasilitasi pemerintah sebagai insentif. Program ini akan mempercepat kehadiran sapi-sapi bakalan asal sapi BX bagi pengembangan peternakan sapi potong rakyat. Perusahaan feedloter nantinya dapat menghasilkan pedet-pedet jantan/betina yang didistribuskan kepada peternakan UPTD/sapi sawit maupun peternakan rakyat yang berminat.

Pola-pola pengembangan ini mungkin bisa menjadi jawaban atas ketidakberhasilan pengembangan sapi yang terjadi selama ini. Semoga pemerintah dapat mengkaji ulang arah pengembangan sapi potong di dalam negeri jika akan menggunakan sapi indukan BX sebagai salah satu model pengembangannya. ***

Rochadi Tawaf
Dewan Pakar Yayasan CBC Indonesia

MENCARI BIBIT UNGGUL TENAGA KERJA DI BIDANG PETERNAKAN

Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) berkolaborasi dengan Indonesia - Australia Partnership Food Security in The Red Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) menyelenggarakan program pelatihan kerja untuk sarjana baru di bidang peternakan.

Program perdana bertajuk "ISPI-Red Meat Cattle Partnership Internship Program for Fresh Graduate" ini digelar pada tahun 2019 dan diikuti oleh 25 orang sarjana peternakan. Nantinya para peserta akan ditempatkan di 12 perusahaan yang bergerak di bidang sapi potong baik di hulu maupun hilir. Keduabelas perusahaan tersebut yakni PT Citra Agro Buana Semesta, PT Juang Jaya Abadi Alam, PT Indo Prima Beef, PT Karunia Alam Sentosa Abadi, PT Superindo Utama Jaya, PT Buana Karya Bakti, PT Nutricell Pacific, PT AEON, Haleen Australasian Livestock Trader Pty Ltd, Austrex, dan Livestock Shipping Services Pty Ltd. Lama waktu yang disediakan bagi para peserta dalam program ini adalah 3 bulan.

Muhsin Al-Anas selaku koordinator program menyatakan bahwa program ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan teknis lulusan program studi peternakan utamanya yang baru lulus (fresh graduate), sehingga mereka dapat memahami proses bisnis di industri peternakan secara real-time

Suasana saat presentasi dan sharing peserta magang

"Ini merupakan kontribusi nyata dari ISPI dalam mempersiapkan SDM Indonesia yang unggul sesuai dengan visi mis Indonesia negara maju 2045. Selain mempersiapkan SDM yang berkualitas, harapannya akan meningkatkan daya saing dan pemikiran inovatif para tenaga kerja di sektor peternakan terlebih lagi di era revolusi industri 4.0 di Indonesia," tutur Muhsin ketika ditemui Infovet.

Infovet juga berkesempatan menyambangi para peserta magang dalam rangka kegiatan monitoring dan supervisi di Bandung dan Garut, pada 3 - 4 Februari 2019 yang lalu. Dalam kegiatan supervisi tersebut para peserta magang melakukan presentasi dan sharing singkat tentang hal apa saja yang mereka kerjakan pada waktu magang.

Dalam kesempatan yang sama, David Goodwins Monitoring and Evaluation Advisor Project Advisory and Support Group, Indonesia - Australia Partnership on Food Security in The Read Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) mengatakan bahwa dirinya sangat senang dengan diadakannya program ini. Selain menjalin kerjasama internasional yang telah lama dilakukan oleh Indonesia dan Australia, program ini diharapkan dapat menghasilkan tenaga kerja unggul di bidang peternakan khususnya ternak sapi potong.

"Saya senang melihat mereka dapat mengimplementasikan ilmu yang mereka dapat di bangku perkuliahan, tentunya mereka sudah dibekali ilmu dari universitas dan pada program ini adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk menerapkannya," tutur David.

Ketika ditanya Infovet mengenai tolak ukur keberhasilan dari program tersebut, David mengutarakan bahwa salah satu indikatornya adalah presentase peserta yang diterima oleh perusahaan sebagai karyawan mereka. Ia juga mengatakan bahwa dari program ini diharapkan akan terjadi hubungan saling menguntungkan antara perusahaan dan organisasi seperti ISPI dan RMCP.

Dari segi peserta, program ini dinilai sangat baik bagi para lulusan baru dalam menjajaki dunia kerja. Hal tersebut diutarakan oleh Agil Darmawan, seorang peserta program asal Mataram, Nusa Tenggara Barat. Bagi Agil, program ini selain sebagai ajang implementasi ilmu yang telah ia dapatkan di bangku perkuliahan, juga menjadi arena dalam mencari pengalaman dan mengasah soft skill.

"Saya senang dengan adanya program ini, dan sepertinya saya jadi semakin yakin untuk bekerja di bidang yang memang saya senangi dan pelajari. Memang ada beberapa hal yang butuh adaptasi lebih, tetapi saya rasa dalam dua bulan ini fine - fine saja," tutur Agil. Namun begitu, Agil juga memberikan masukan kepada penyelenggara program tentang program ini.

Salah satunya yakni mengenai lama waktu magang yang hanya 3 bulan. Menurut Agil, waktu yang diberikan selama 3 bulan masih kurang karena ia merasa bahwa butuh waktu lebih dari itu untuk benar - benar menghayati apa yang dikerjakannya. Ia berharap nantinya waktu yang diberikan untuk program pada batch selanjutnya diperpanjang, minimal 6 bulan.

Berfoto bersama para peserta magang 

Sementara itu menurut Petrus Hendra Widyantoro Program Manager Indonesia - Australia Partnership on Food Security in The Read Meat and Cattle Sector Red Meat and Cattle Partnership (RMCP) animo peserta dari program ini sangat tinggi. Tercatat bahwa peserta yang mendaftar dalam program ini sebanyak 140 orang. Dari 140 pendaftar dilakukan proses seleksi hingga mendapatkan 25 orang peserta yang dianggap layak mengikuti program ini.

"Ada 25 orang totalnya, dan mereka semua adalah lulusan sarjana peternakan dari seluruh Indonesia. Kita senang karena program ini sangat diminati, semoga kedepannya kita bisa terus membuat program semacam ini dan lebih masif dan mudah - mudahan kontinu," tutur Petrus.

Petrus berharap bahwa peserta yang ikut dalam program ini adalah orang - orang yang siap mendedikasikan dirinya secara total di bidang peternakan khususnya sapi potong. Oleh karena itu, untuk selanjutnya dirinya dan ISPI sudah menyiapkan metode penjaringan peserta yang baru dan lebih kompetitif agar mendapatkan bibit unggul tenaga kerja di bidang peternakan dan lulusan dari program ini selain dapat berkarya di bidang peternakan juga dapat berinovasi.

Kegiatan supervisi tersebut masih akan berlangsung hingga tanggal 7 Februari 2020 di Lampung. Tentunya kita semua berharap agar kegiatan ini akan berbuah manis dan dapat menghasilkan tenaga kerja di bidang peternakan yang berdaya saing, inovatif dan siap dalam menghadapi segala tantangan yang ada di sektor peternakan Indonesia.  (CR)

DAMPAK NEGATIF IMPOR DAGING KERBAU PADA USAHA SAPI POTONG INDONESIA

Kajian tentang dampak importasi daging kerbau terhadap usaha sapi potong di Indonesia yang digelar PB ISPI bersama PB PDHI di Jakarta. (Foto: Andang/ISPI)

Populasi sapi di Indonesia mengalami peningkatan secara perlahan sejak 2005-2013, seiring dengan peningkatan konsumsi dagingnya. Total konsumsi daging sapi secara nasional pada 2017 mencapai 60.966 ton dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018 misalnya, tercatat 662.540 dan 2019 pronogsa Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa konsumsi nasional diperkirakan mencapai 712.893 ton, sementara harga daging segar juga masih berkisar Rp 100.000-115.000/kg.

Perkembangan positif industri sapi pedaging tersebut sayangnya terkendala oleh adanya importasi daging kerbau dari India, yang berdampak negatif terhadap industri sapi pedaging Indonesia. Atas hal itu, Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI) dan Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menggelar kajian tentang dampak importasi daging kerbau terhadap keberadaan usaha sapi potong yang berkembang di Indonesia, melalui sebuah seminar di Jakarta, Kamis (23/1/2020).

Dipandu oleh Ketua Umum PB ISPI, Ir Didiek Purwanto, seminar menghadirkan pembicara Dr Ir Andre Revianda Daut (ISPI) yang membahas dampak importasi daging kerbau terhadap usaha sapi potong di Indonesia, kemudian Dr Drh Tri Satya Putri Naipospos (PDHI) yang turut mengupas tema dampak importasi daging kerbau terhadap perkembangan penyakit mulut dan kuku (PMK) serta penanganannya di Indonesia.

Berdasarkan informasi data impor dari ITC Calculation based on Un Comtrade Statisyics, tercatat pemasukan daging kerbau asal India sebesar 173.534 ton (2016-2018) dan rencana di 2019 sebanyak 100.000 ton. Namun itu ternyata belum mampu menurunkan harga daging sapi menjadi Rp 80.000/kg, bahkan peredarannya cukup masif ke pasar-pasar becek yang tentunya bila tidak dikontrol dengan baik bisa menimbulkan persalahan baru terhadap daya saing usaha sapi potong para peternak maupun keamanan PMK.

Diperkirakan ada 22 unit Meat Plants di India yang disetujui untuk dapat mengekspor daging kerbau ke Indonesia ditengarai berada di wilayah endemik PMK. Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkan berisiko menambah ancaman bagi indonesia yang berstatus bebas PMK.

Fakta tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 17/Permentan/PK.450/5/2016 tentang pemasukan daging tanpa tulang dalam hal tertentu yang berasal dari negara atau zona dalam suatu negara asal pemasukan, khususnya di dalam Pasal 9 huruf (g) berbunyi tidak terjadi kasus PMK sekurang-kurangnya 1 bulan sampai pengapalan daging beku tanpa tulang.

Dari kajian yang sudah dilakukan dalam acara tersebut, PB ISPI dan PB PDHI menyimpulkan antara lain bahwa importasi daging kerbau hanya menguntungkan peternak India dan pelaku tata niaga. Bahkan dampak negatif bagi peternak Indonesia, usahanya menjadi tidak bergairah karena tidak berdaya saing, serta kehilangan pasar potensial hariannya di rumah pemotongan hewan.

PB ISPI dan PB PDHI menyarankan, perlu adanya keberpihakan terhadap peternak rakyat dengan meninjau ulang kebijakan importasi daging asal India. Misalnya, distribusi impor daging kerbau benar-benar hanya untuk industri, juga segmentasi harga daging kerbau, sapi impor dengan lokal. (IN)

BUPATI BLORA TANDATANGANI KERJASAMA BIDANG PETERNAKAN DENGAN PT SURYA AGROPRATAMA

Bupati Blora Djoko Nugroho

Bupati Blora Djoko Nugroho menyambut baik peluncuran Program Kerjasama di Bidang Peternakan dengan Memberdayakan Peternakan Rakyat yang digelar di The Icon, Hotel Morrissey, Jakarta, Kamis (28/11/2019). Program kerjasama ini merupakan diwujudkan melalui penandatanganan kerjasama antara PT Surya Agropratama (PT SAP) dengan Infrabanx, LPPM IPB, serta PT SAP dengan Kabupaten Blora.

Kerjasama dengan Kabupaten Blora berupa implementasi kemitraan dengan peternakan rakyat di wilayah tersebut.

Djoko mengemukakan Kabupaten Blora memiliki masyarakat peternakan yang besar dan menjadi salah satu kabupaten di  Jawa Tengah yang menjadi sentra pengembangan produksi sapi potong.

“Ada tiga jenis ternak yang diusahakan di Kabupaten Blora yaitu ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Sapi potong merupakan jenis ternak besar  terbanyak di di Kabupaten Blora,” kata Djoko. 

Setiap tahunnya, lanjut Djoko, jumlah sapi yang tersebar di wilayah Kabupaten Blora terus mengalami peningkatan cukup bagus. Tidak heran, jika Blora dikenal banyak orang dengan sebutan “Lumbung Ternak di Jawa Tengah.” 

Tahun 2019, jumlah sapi yang tersebar di semua wilayah Blora menembus angka 239.000 ekor. Sementara sebelumnya, di tahun 2017 jumlah sapi sebanyak 222.000 ekor, tahun 2018 sebanyak 231.000 ekor. (NDV)

PT SAP LUNCURKAN PROGRAM KERJASAMA PEMBERDAYAAN PETERNAKAN RAKYAT UNTUK SAPI POTONG

Foto Bersama Setelah Penandatangan Kerjasama (Foto: NDV/Infovet)

Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) yang digagas Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof Dr Muladno MSA, di tahun 2019 ini tercatat sebanyak 34 SPR-IPB yang telah dideklarasikan di 22 kabupaten di 10 provinsi. Perkembangan SPR yang pesat ini tak terlepas dari perwujudan kerjasama LPPM IPB dengan PT Surya Agropratama.

PT Surya Agropratama (SAP) adalah perusahaan agrobisnis yang memiliki peternakan sapi dan memproduksi susu segar yang berkomitmen untuk turut mensejahterakan peternakan rakyat.

Bernardi Rahaju


Untuk mewujudkannya, PT SAP membentuk struktur “konsorsium” guna mendukung peternakan rakyat yang terdiri dari pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, dan investor.

“Tujuan dari konsorsium ini untuk memberikan edukasi peternak rakyat menjadi kelompok peternak yang profesional, sekaligus mewujudkan kemitraan dalam rantai produksi yang teratur, sehingga secara keseluruhan rantai produksi sapi potong menjadi sustainable,” ungkap Bernardi Rahaju, Direktur PT Surya Agropratama dalam peluncuran Program Kerjasama di Bidang Peternakan Dengan Memberdayakan Peternakan Rakyat di Jakarta, (28/11/2019).

Pada acara peluncuran Program Kerjasama di Bidang Peternakan Dengan Memberdayakan Peternakan Rakyat turut hadir Darren S Dimoelyo, Direktur Utama PT Surya Jaya Abadi Perkasa (PT SJAP) sebagai Agriculture Sector Sponsor, Dr Ir Aji Hermawan MM selaku Kepala LPPM IPB, Prof Dr Muladno MSA Guru Besar Fakultas Peternakan IPB yang juga sebagai Penggagas Konsep Sekolah Peternakan Rakyat, serta Sebastian S Subba dari Master Agent Infrabanx INHC 103.

Penandatanganan kemitraan ini diwujudkan melalui penandatanganan beberapa kerjasama. Pertama, kerjasama antara Infrabanx dengan PT Surya Agro Pratama untuk pendanaan dan dukungan teknis investasi di bidang peternakan. Kedua, kerjasama antara PT SAP dengan LPPM IPB untuk Program Train of Trainers atas konsep SPR ke perguruan tinggi lainnya. Ketiga, kerjasama antara PT SAP dan Kabupaten Blora untuk implementasi kemitraan dengan peternakan rakyat di wilayah Kabupaten Blora. (NDV)

MUNAS II GAPUSPINDO SIAP DIGELAR DI MALANG

(Sumber: Istimewa)


Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) bersiap menggelar Musyarawah Nasional (Munas) II pada Kamis, 7 November 2019 di Malang, Jawa Timur.

Rencananya dalam Munas II Gapuspindo akan hadir Menteri Pertanian (Mentan) RI, Syahrul Yasin Limpo yang diagendakan melantik Dewan Gapuspindo Periode 2019-2022.

Selain itu, sesuai jadwal acara dilanjutkan penandatanganan MoU Gapuspindo dengan Kelompok Peternak Gading Mandiri yang disaksikan oleh Mentan.

Acara berikutnya adalah sosialisasi Indonesia Australia Red Meat Cattle Partnership (I-ARMCP) "Commersial Prospect of BX Cattle Breeding in Indonesia - The IACCB Exprience".

Gapuspindo merupakan organisasi pelaku usaha peternakan sapi potong atas dasar kesamaan usaha, kegiatan dan profesi di bidang industri usaha sapi potong berbentuk kesatuan dengan ruang lingkup kegiatan nasional.

Bersumber dari laman website https://gapuspindo.org/, Gapuspindo merupakan nama baru dari Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) yang berdiri sejak tahun 1992. Perubahan ini berdasarkan keputuskan Munaslub (Munas Luar Biasa) Apfindo yang dilaksanakan di Hotel Santika Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Kamis (5/11/2015) lalu. (INF)




ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer