Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini penyakit ayam | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

LEUCOCYTOZOONOSIS, ANCAMAN LATEN PARASIT DARAH PADA UNGGAS

Prevalensi infeksi pada unggas di Indonesia cukup tinggi. Kinerja produksi pada layer dapat terganggu akibat infeksi Leucocytozoonosis. (Sumber: hightoppoultry.com)

Leucocytozoonosis merupakan penyakit parasit pada unggas yang disebabkan oleh parasit darah, Leucocytozoon spp. Ada dua jenis Leucocytozoon spp, yang ganas pada unggas yaitu L. sabrazesi dan L. caulleryi (Zhao, 2016). Nama lain penyakitnya adalah Malaria Like.

Leucocytozoonosis pada unggas menyebabkan anemia karena kerusakan sel-sel darah merah, yang mengakibatkan gejala anemis, kepucatan, lemah, penurunan produksi dan juga kematian pada unggas. Semua jenis unggas dapat terinfeksi parasit ini, bahkan burung pinguin keberadaannya di kutub selatan juga terinfeksi parasit ini sebagaimana dilaporkan oleh Argilla et al., 2013. Infeksi Leucocytozoonosis pada pinguin dada kuning (Megadyptes antipodes) prevalensinya mencapai 73,7% dengan pengujian menggunakan polymerase chain reaction (PCR). Pada burung dara, Nath et al., (2014) menemukan prevalensinya 2% di Bangladesh dan 12% pada ayam.

Infeksi pada unggas komersial dapat terjadi pada layer, broiler, ayam buras, itik dan entok. Kinerja produksi pada layer dapat terganggu akibat infeksi Leucocytozoonosis. Prevalensi infeksi pada unggas di Indonesia cukup tinggi. Balai Pengujian Veteriner (BVet) Banjarbaru pada 2019 telah melakukan pengujian ulas darah yang diambil di berbagai kabupaten di Kalimantan. Dari sebanyak 904 ulas darah yang diperiksa mikroskopis dengan pewarnaan Giemsa, sebanyak 287 positif Leucocytozoonosis atau prevalensinya 31,75%. Proporsi pengujian adalah 1:2, diantara tiga ekor unggas salah satu diantaranya terinfeksi Leucocytoozoonosis.

Serangan epidemik Leucocytozoonosis mengakibatkan kematian pada layer sekitar 7,75%. Walaupun kematiannya relatif rendah, tetapi penyakit parasit darah ini berakibat pada penurunan produksi yang sangat signifikans, berkisar 42-84% (Sawale et al., 2018).

Kerugian ekonomi yang sangat besar akan dialami peternak layer bila ayam yang sedang produksi terserang penyakit ini. Prevalensi pada ayam layer di Kalimantan pada beberapa kabupaten sentra ayam layer mencapai 29.17% (BVet Banjarbaru, 2019). Bisa diperkerikan kerugian yang terjadi bila infeksi terjadi pada layer di Indonesia yang jumlahnya mencapai 181.752.456 ekor atau pada ayam layer di Sulawesi Selatan yang mencapai populasi 12.426.412 ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2018).

(a) Ayam tampak pucat dan lemah karena serangan Leucocytozoon spp. (b) Gametosit Leucocytozoon spp. pada ulas darah ayam.

Siklus Hidup
Penyebaran infeksi Leucocytozoonosis tidak terlepas dari peran… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2020.

Ditulis oleh:
Drh Sulaxono Hadi
Medik Veteriner Ahli

MENGANTISIPASI PENYAKIT DI TAHUN DEPAN

Hindari penyakit dengan mengaplikasikan manajemen pemeliharaan yang baik. (Foto: Infovet/Ridwan) 

Menghadapi tahun 2021, seharusnya pelaku budi daya perunggasan lebih aware dengan apa yang akan datang serta dapat mengantisipasi penyakit yang datang.

Jika bicara prediksi, tentunya tidak akan 100% akurat, semua masih tergantung pada Tuhan Yang Maha Esa. Namun begitu, tidak ada salahnya memperkirakan dan sedikit “meramal” apa yang akan terjadi di tahun depan sembari mengambil ancang-ancang agar lebih siap.

Balada Lagu Lama
Melihat apa yang sudah dipaparkan oleh narasumber sebelumnya, sebenarnya ada pola yang terus berulang yang kerap terjadi tiap tahunnya. Hampir setiap tahun penyakit unggas yang mendominasi bisa dibilang begitu-begitu saja.

Hal ini juga yang menjadi perhatian Tony Unandar selaku private poultry consultant sekaligus anggota dewan pakar ASOHI. Yang ia lihat selama ini penyakit unggas yang terjadi di lapangan masih yang itu-itu saja, berbeda musim memang penyakitnya juga berbeda, tetapi penyakit yang muncul sama.

“Kalau bisa dibilang kita masih berkutat dengan yang lama dan monoton, serta faktor yang sangat urgent untuk diperbaiki adalah pola pemeliharaan dari peternak-peternak kita,” tutur Tony.

Jikalau tidak ada upaya perbaikan dalam hal ini sesegera mungkin, bukan hanya kasus penyakit yang terus berulang akan terjadi, tetapi tingkat keparahannya maupun jenis penyakit baru akan bertambah di masa depan.

“Saya beri contoh yang simple, anda pernah lihat panen di kandang semuanya langsung diangkut? Enggak kan, jangankan di peternakan kecil, yang besar juga begitu ada. Padahal bagusnya kan all in all out, lalu kira-kira berapa persen peternakan di Indonesia ini yang biosekuritinya baik? Mayoritas jelek atau baik biosekuritinya? Saya tanya begitu saja kita langsung tersenyum kecut kan?,” tutur Tony kepada Infovet.

Ia juga berujar bahwa sebaik-baiknya obat baru yang ditemukan, sebaik-baiknya riset di bidang penyakit hewan dan secanggih teknologi berkembang, bila tidak dibarengi dengan manajemen yang baik dan benar, penyakit apapun akan mudah menyerang dan cenderung berulang.

“Kita masih hobi memelihara penyakit, jadi ya seperti inilah potret perunggasan kita. Sebaiknya kita jangan meremehkan ini, agak bosan juga sebenarnya begitu-begitu saja memang permasalahan kita dari dulu, padahal zaman kan berkembang,” ucap dia.

Jangan Kasih Kendor Biosekuriti
Yang diutarakan Tony Unandar tidaklah salah, memang pada kenyataannya beberapa hal acap kali terlihat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2020. (CR)

KASUS PENYAKIT PENTING DI 2020 & PREDIKSINYA DI 2021 MENDATANG

Tahun 2021 terkait penyakit unggas masih akan didominasi oleh penyakit viral. (Foto: Dok. Infovet)


Fenomena kejadian penyakit pada unggas sepanjang 2020 relatif meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pergantian cuaca yang ekstrem dan kondisi suhu yang lebih panas dibandingkan tahun sebelumnya bisa dilihat pada gambar di bawah yang menyebabkan kondisi pemeliharaan ayam mengalami tantangan, diantaranya:

• Kondisi ayam yang mengalami stres dan potensial imunosupresi yang diakibatkan fluktuasi suhu, kelembapan dan kecepatan angin.
• Bibit patogen lebih berkembang diakibatkan kondisi kelembapan lebih tinggi.
• Tantangan manajemen di kandang karena perubahan cuaca yang ekstrem.
• Tantangan pemenuhan kebutuhan energi di saat kondisi panas ekstrem.

Dampak stres karena panas ini paling berbahaya menyebabkan penurunan kekebalan tubuh, sehingga kemampuan imunitas untuk melawan penyakit menjadi berkurang, akibatnya kejadian penyakit potensial meningkat sepanjang 2020.

Berdasarkan pengalaman penulis, di sini akan dibagikan beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi di 2020, baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Chronic Respiratory Diseases (CRD)
Mycoplasmosis terutama yang disebabkan oleh Mycoplasma Gallisepticum (MG) merupakan ancaman nyata dan sangat berperan dalam gangguan sistem ini. Kuman MG yang menempel di silia sel pernapasan akan mengeluarkan endotoksin kemudian melemahkan sistem mukosiliaris. Sumber kontaminasi MG di broiler farm terutama dari burung liar, mobilitas pekerja kandang, kendaraan yang terkontaminasi, serta DOC yang terkontaminasi akibat infeksi vertikal dari induknya.

Sejatinya Mycoplasma mudah mati dalam lingkungan dengan temperatur dan kadar oksigen yang tinggi, kelembapan relatif rendah dan hampir semua jenis disinfektan mampu membunuhnya. Tetapi kondisi ventilasi kandang yang buruk akan mengakibatkan kelembapan udara dan kadar amonia dalam kandang meningkat dan konsekuensinya adalah tekanan oksigen akan menurun. Hal ini yang menyebabkan Mycoplasma yang sudah berada di permukaan sel pernapasan akan berkembang biak dengan cepat dan menggangu sistem mukosiliaris, sehingga rentan akan munculnya infeksi sekunder.

Kontrol yang paling tepat untuk meminimalkan munculnya kasus pernapasan yang dipicu oleh MG adalah melalui kedisiplinan pelaksanaan program sanitasi, pemilihan DOC yang minim kontaminasi MG dan didukung dengan pengaturan ventilasi atau tata laksana kandang yang berhubungan dengan kecukupan oksigen di kandang. Program kontrol di broiler dengan antibiotik khusus untuk MG merupakan pilihan terakhir dan program tersebut sebaiknya didasarkan dengan melihat status MG di DOC yang diterima pada saat kedatangan. Untuk memudahkan kontrol, sangat disarankan memilih DOC yang induknya sudah divaksinasi dengan vaksin MG live.

Inclusy Body Hepatitis (IBH)
IBH menjadi momok yang menakutkan bagi para peternak, hakekat penyakit ini mirip dengan Infectious Bursal Disease (IBD) tetapi lebih hebat dampaknya terhadap mortalitas dan perubahan organ kekebalan tubuh.

Kematian yang disebabkan IBH bisa… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2020

Ditulis oleh:
Drh Sumarno (Senior Manager AHS PT Sreeya Sewu Indonesia)
& Han (Praktisi Peternak Layer)

EVALUASI DAN PREDIKSI PENYAKIT 2020 KE 2021

Selain penyakit viral, penyakit bakterial pada unggas juga masih mendominasi kejadian penyakit di lapangan. (Foto: Istimewa)


Hari berganti, tahun berlalu. Tanpa terasa sudah berada di penghujung tahun 2020. Semua yang diperjuangkan di Tahun ini, mari menganalisis dan evaluasi demi kemajuan diwaktu yang akan datang, di tahun 2021.

Pada 2020, dari laporan pemeriksaan kasus oleh para dokter hewan lapangan PT Romindo di seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa kasus penyakit ND (Newcastle Disease), IBD (Infectious Bursal Disease), CRD, NE, Coryza dan Kolibasilosis kejadiannya selalu tinggi setiap bulannya. Selain itu, penyakit Mikotoksikosis juga dilaporkan terjadi di semua wilayah.

Seperti diketahui bersama bahwa penyakit ND adalah salah satu penyakit pernapasan dan sistemik yang disebabkan oleh virus, bersifat akut dan sangat mudah menular dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam. Pada 2020, gejala klinis ND yang muncul bersifat akut yang berupa pendarahan dan nekrosis pada saluran pencernaan dengan angka kematian tinggi (velogenic viscerotropic). Ada pula dengan gejala klinis pada saluran pernapasan dan syaraf, tanpa perubahan pada saluran pencernaan dengan angka kematian tinggi (velogenic neurotropic). 

Pada 2020 dilaporkan adanya peningkatan jumlah kasus IBD dibanding tahun sebelumnya dan kasusnya tersebar merata. Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan penyakit ini masih belum optimal dan aman, artinya program vaksinasi IBD, baik aplikasinya maupun pemilihan strain vaksin IBD. Pemakaian vaksin IBD live dengan strain intermediate dan intermediate-plus, kadang kala diberikan pada anak ayam baik broiler, layer maupun breeder. Hal ini akan menyebabkan terjadinya atropi bursa fabrisius sebagai organ limfoid primer yang berakibat terganggunya proses pembentukkan kekebalan secara umum.

Selain penyakit viral, penyakit bakterial juga masih mendominasi kejadian penyakit di lapangan. Yang terbanyak ditemukan adalah penyakit CRD, CRD komplek, Kolibasilosis, NE dan Coryza. Kasus penyakit bakterial ini jumlahnya lebih dari setengah keseluruhan kasus yang ditangani oleh tim Romindo di lapangan. Hal ini dikarenakan masih mengedepankan tindakan pengobatan terhadap penyakit daripada pencegahan. Ketika ayam terlihat gejala klinis sakit saat itulah diberikan produk antibiotika. Padahal kalau dicermati, kasus penyakit bakterial ini sifatnya lebih rutin dan terpola. Jadi mestinya dapat dilakukan program pencegahan penyakit, pada saat ayam masih terlihat sehat.

Untuk itu, perlu dipertimbangkan program lain, yaitu vaksinasi terhadap Mycoplasmosis (MG dan MS), terutama pada ayam layer dan breeder, agar ayam mendapatkan kekebalan lokal MG dan MS sejak awal pemeliharaan hingga afkir. Hal ini karena kuman MG dan MS ini selalu ada di lapangan dan menginfeksi ayam setiap saat. Sehingga dengan memberikan kekebalan lokal sejak awal, maka kondisi tubuh ayam selalu siap menghadapi serangan bakteri Mycoplasma dari lapangan. Efek positif lainnya adalah pemakaian antibiotika misalnya golongan tylosin sebagai pencegahan MG dan MS dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga dapat menghemat biaya pengobatan.

Penyakit Coryza atau Snot, pada 2020 ini semakin bandel dan susah dikendalikan. Hal ini terjadi karena ada penyakit lain yang secara diam-diam “membukakan pintu” bagi masuknya bakteri Haemophilus spp. ke dalam tubuh ayam. Penyakit ini adalah AmPV (Avian Metapneumovirus), dengan gejala klinis swollen head syndrome atau kebengkakan di daerah kepala bagian atas. Ketika terjadi outbreak Coryza, perlu dilakukan pemeriksaan serologis terhadap APV, karena meskipun ayam tidak divaksin APV tetapi hasil serologisnya biasanya positif terhadap APV. Ini menunjukkan bahwa ayam sudah terinfeksi APV dan berlanjut menjadi outbreak Coryza. Sering kali APV berjalan tanpa gejala klinis, apabila tidak ada infeksi sekunder yang menyertai.

Helminthiasis atau cacingan, baik karena cacing gilig maupun cacing pita kejadiannya cukup menggangu di lapangan. Pengobatan terhadap cacingan biasanya cukup berhasil tetapi pada beberapa kasus, kejadian cacingan kambuh kembali dalam waktu singkat. Hal ini dimungkinkan karena penanganan kasus cacingan tidak disertai dengan penanganan vektor pembawa, misalnya lalat. Oleh karena itu, penanganan cacingan yang optimal harus dibarengi dengan meminimalkan populasi lalat di lokasi farm.

Mikotoksikosis, adalah penyakit yang disebabkan karena adanya cemaran Mikotoksin dalam pakan. Pada 2020, kasus Mikotoksikosis ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia, baik pada broiler, layer maupun breeder. Tingkat keparahan bervariasi mulai dari hambatan pertumbuhan, penurunan produksi telur, penurunan kualitas telur, kerusakan organ-organ dalam tubuh dan sebagai imunosupresan menurunkan sistem kekebalan dan mendukung munculnya kasus penyakit lain. Hal ini karena Mikotoksin dapat menghambat penyerapan asam amino dan menghambat penyerapan mineral khususnya Ca dan P. 

Lebih jauh lagi, pencemaran multi-mikotoksin dosis rendahlah yang paling banyak ditemui di lapangan. Padahal multi-mikotoksin ini dapat menimbulkan dampak aditif maupun sinergistik pada ayam. Oleh karena itu, tidak ada level aman untuk Mikotoksin.

Prediksi Penyakit 2021
Pada 2021, diprediksi penyakit ayam cenderung muncul... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Desember 2020

Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264, JAKARTA.
Telp: 021-8300300

ATUR VENTILASI AGAR TERHINDAR DARI PENYAKIT

Tirai dalam kandang ternak broiler. (Foto: Ist)

Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil akhir produksi ayam broiler adalah beban panas yang tinggi (heat stress). Hal ini terjadi karena ayam broiler merupakan tipe ayam pedaging yang pada prinsipnya adalah penumpuk lemak di dalam tubuh dalam jumlah besar pada masa produksi akhir (panen). Salah satu penyakit akibat iklim yang ekstrem yakni heat stress. Pada umumnya heat stress terjadi karena penumpukan lemak menjadi penghambat pembuangan panas yang dibentuk oleh tubuh, sedangkan ayam broiler juga mendapat panas tubuh dari hasil metabolisme dan aktivitas lingkungan sekitar.

Aktivitas yang menyebabkan terjadinya panas lingkungan dipengaruhi oleh temperatur, kelembapan dan sirkulasi udara. Ketiga faktor tersebut merupakan elemen penting yang mempengaruhi produksi ayam broiler. Karena ketiga faktor tersebut berperan dalam proses terbentuknya kenyaman pada ayam, dimana akan meghasilkan produksi yang maksimal atau bahkan sebagai predisposisi timbulnya suatu penyakit pencernaan (Colibacillosis) dan pernapasan (CRD/Chronic Respiratory Disease) atau bahkan keduanya (CRD kompleks).

Atur Ventilasi  
Salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan untuk membantu mengurangi heat stress yang muncul akibat ketiga faktor tersebut adalah manajemen ventilasi. Ventilasi merupakan pergerakan udara yang memungkinkan terjadinya pertukaran antara udara di dalam dan di luar kandang. Dengan manajemen ventilasi yang baik, maka angka temperatur, kelembapan dan sirkulasi udara dapat diatur agar kondisi nyaman ayam dapat dicapai. Dalam sistem kandang terbuka, cara meciptakan pergerakan udara di dalam kandang dapat dilakukan dengan pemberian kipas angin, penerapan sistem buka-tutup tirai kandang, serta pembuatan model kandang monitor.

Manajemen brooding pada sistem pemeliharaan ayam broiler merupakan langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan hingga satu periode ke depan. Karena di masa ini, DOC akan mengalami pertambahan jumlah sel (hiperplasia) terutama otot. Oleh karena itu, kondisi di dalam kandang harus sangat mendukung. Dimulai dari suhu ideal, kelembapan yang tepat, serta kualitas oksigen yang memadai untuk proses perkembangan.
 Kebanyakan peternak melupakan faktor terakhir tersebut, peternak cenderung lebih memperhatikan suhu dan kelembapan saja. Sehingga tidak jarang pada umur 7-10 hari tirai masih tertutup. Hal ini diperkuat oleh fakta yang didapat dari Technical Support PT Gold Coin Indonesia, Drh Rizqy Arief Ginanjar.

“Kenyataan yang terjadi ketika tirai masih ditutup, akan mengakibatkan sirkulasi udara di dalam kandang minimal, bahkan tidak terjadi. Sehingga kelembapan dan amonia di dalam kandang tidak bisa terkontrol. Dengan angka kelembapan dan amonia yang tinggi di dalam kandang akan memicu terjadinya penyakit,” ujar Rizqy. 

Lebih lanjut, manajemen tirai yang baik harus mulai diperhatikan ketika masa brooding. Tirai yang digunakan harus menggunakan metode double screen guard (tirai luar-dalam). Aplikasinya adalah dengan menggunakan dua buah tirai, satu untuk di dalam kandang dan satu lagi untuk di luar kandang. Pada saat DOC chick-in hingga umur tiga hari, tirai dalam masih dapat ditutup rapat agar panas di dalam brooder tercapai.

Ketika memasuki umur empat hingga tujuh hari, tirai luar pada siang hari sudah harus mulai dibuka disertai dengan pelebaran dari sekat (chick guard). Tirai dibuka ±10-20cm yang bertujuan agar terjadi pertukaran udara oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Sedangkan untuk tirai dalam masih dipertimbangkan untuk ditutup, namun juga melihat kondisi ayam.

Ketika malam, tirai masih harus ditutup agar ayam tidak terkena cold shock. Pada umur 7-10 hari dengan asumsi pertumbuhan bobot badan yang makin berkembang, maka tirai dan pelebaran sekat juga harus mengikuti. Tirai luar pada siang hari diturunkan ¼ dari tinggi kandang (±40-50 cm), sedangkan untuk tirai dalam sudah bisa mulai dilepas. Pada malam hari tirai dapat ditutup kembali.

Pada umur 10-14 hari, tirai luar pada siang hari sudah dapat dibuka ½ tiang kandang dan pada malam hari tirai dapat dibuka ¼ tiang kandang. Pada umur 15-20 hari, tirai luar pada siang hari sudah dapat dibuka seluruhnya, namun pada malam hari tirai masih ditutup untuk antisipasi stres akibat cuaca dingin. Pada umur 21 hari hngga panen tirai sudah dapat dibuka seluruhnya baik pada siang hari maupun malam hari. Namun masih dengan pertimbangan kondisi cuaca, adakalanya dinaikan (ketika hujan atau angin besar).


Pengaturan Tirai Kandang

Umur
Kondisi Tirai
Keterangan
Luar
Dalam
Siang
Malam
Siang
Malam
1-2
Tutup
Tutup
Tutup
Tutup
* lihat kondisi cuaca
3-6
Buka ¼
Tutup
Buka ½ 
Tutup
7-10
Buka ¼
Tutup
Buka
Buka ½
11-14
Buka ½
Buka ¼ *
Buka
Buka
15-20
Buka*
Buka ½ *
Buka
Buka
21-panen
Buka
Buka *
Buka
Buka

Disamping manajemen tirai, faktor sirkulsi udara juga dapat dibantu dengan penambahan kipas angin dan pembuatan kandang monitor. Pemberian kipas angin sering dipasang di dalam kandang yang memiliki alas litter. Tujuan pemberian kipas angin adalah untuk mempercepat perpindahan udara di dalam kandang. Jenis kipas angin yang digunakan adalah kipas angin pendorong (blower fan) dengan berbagai ukuran 24”, 36” dan 42”. Kipas angin dapat ditempatkan pada ketinggian 50-100 cm dari lantai.

Di daerah tropis jenis kandang tipe terbuka yang memiliki konstruksi panggung diharapkan memiliki atap yang berbentuk monitor. Karena cuaca pada wilayah tropis sangat mempengaruhi dalam tata laksana manajemen ventilasi. Selain dengan manajemen buka-tutup tirai, pembuatan kandang jenis panggung dan atap monitor pada kandang terbuka sangat membantu dalam proses pertukaran oksigen dan karbondioksida atau bahkan pembuangan senyawa berbahya H2S serta NH3. 

Salah satu peternak yang sudah mengaplikasikan manajemen ventilasi adalah Suhardi. Menurutnya, ditengah iklim dan cuaca ekstrem seperti saat ini manajemen ventilasi yang baik akan menunjang performa apalagi jika dibarengi dengan pemeliharaan yang baik.
“Saya selalu rutin dalam mengatur ventilasi, karena saya kurang biaya untuk bikin closed house jadi mau tidak mau saya harus bisa mengatur ventilasi. Paling sebagai tambahan saya sedikit rajin semprot desinfektan, sama memisahkan ayam yang mati. Biar enggak nular penyakitnya,” kata Suhardi.

Pengaturan ventilasi ini, lanjut dia, sangatlah penting. Hal buruk pernah menimpa Suhardi dikala anak kandangnya lupa melakukan maintenance buka-tutup tirai. “Pernah cuaca lagi panas-panasnya lupa buka tirai, ayam malah mati kepanasan semua, mana baru chick-in. Peristiwa seperti ini sudah jadi makanan sehari-hari, makanya saya rutin mengatur ventilasi, supaya ayam tetap oke performanya,” tandasnya. (CR)

MEWASPADAI AVIAN ENCEPHALOMYELITIS

Serangan AE kerap memiliki kemiripan dengan ND, karena ayam mengalami kelumpuhan. (Sumber: Istimewa)

Penyakit Avian Encephalomyelitis (AE) atau biasa disebut dengan epidemic tremor mungkin masih terasa asing di telinga. Penyakit AE jelas kalah populer jika dibandingkan dengan penyakit viral lainnya, seperti ND, IBD, maupun IB yang lebih populer di Indonesia.  Ketidakpopuleran AE ini membuatnya masih dipandang sebelah mata oleh para pelaku usaha perunggasan Indonesia, padahal AE merupakan salah satu penyakit viral yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar bagi peternakan ayam petelur dan breeding.

Masih Asing di Telinga
AE disebabkan oleh virus RNA dari genus enterovirus dan termasuk ke dalam famili Picornaviridae. Virus AE dapat menyerang ayam (buras dan ras), kalkun, burung dara dan burung puyuh. Strain virus lapangan yang pernah dikoleksi menunjukkan bahwa virus ini bersifat enterotropik (berkembang biak di dalam tubuh inang) dan memperbanyak diri di saluran pencernaan. Unggas yang terinfeksi menyebarkan virus melalui feses selama beberapa hari sampai beberapa minggu. AE biasanya dicirikan dengan adanya gejala kelainan syaraf seperti tremor, sebagai akibat adanya infeksi di Sistem Syaraf Pusat (SSP).

Transmisi penularan AE terjadi secara vertikal dan horizontal. Transmisi vertikal merupakan penularan infeksi yang terjadi dari induk ayam kepada anak ayam (transovarial).  Transmisi vertikal terjadi jika induk unggas terinfeksi AE pada masa produksi telur, sehingga virus menular pada anak ayam. Transmisi horizontal adalah penularan infeksi yang terjadi dari ayam yang terinfeksi ke ayam yang belum terinfeksi melalui lingkungan, makanan dan air minum yang terkontaminasi feses.  

Gejala Klinis
Masa inkubasi AE bervariasi, mulai dari 5-14 hari tergantung dari rute infeksi. Masa inkubasi melalui rute infeksi transovari berkisar antara 1-7 hari, sedangkan masa inkubasi melalui rute oral mencapai lebih dari 10 hari.

Gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara vertikal biasanya muncul pada minggu pertama setelah menetas, sedangkan gejala klinis pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal muncul setelah anak ayam berumur 2-4 minggu. Gejala klinis utama yang muncul pada anak ayam yang terinfeksi secara horizontal maupun vertikal adalah ataksia dan kelemahan kaki. Kelemahan kaki ini bervariasi, mulai dari duduk di atas persendian tarsus, sampai paresis yang mengarah pada kelumpuhan total maupun parsial, dengan gejala klinis berupa berbaring di salah satu sisi tubuh (recumbency). Tremor (gemetaran) di kepala dan leher juga merupakan gejala klinis yang sering muncul pada kasus AE, sehingga penyakit AE sering disebut dengan epidemic tremor. Tremor di kepala dan leher terlihat jelas pada saat anak ayam terkejut atau pada saat anak ayam ditaruh secara terbalik di atas tangan. Gejala klinis AE ini hanya muncul pada saat ayam berumur kurang dari empat minggu.

Gejala klinis lain yang biasanya muncul antara lain, bobot badan kurang dari standar, sebagian DOC mengalami leher yang terpuntir ke bawah (tortikolis), lemah dan lama-kelamaan ambruk diakhiri dengan kematian. Dari hasil bedah anak ayam yang sakit, ditemukan perdarahan pada otak, peradangan pada laring dan trakea, serta bursa fabricius membengkak. Diagnosis terhadap kasus ini pun akhirnya beragam, antara lain dugaan akibat kualitas DOC yang buruk, serta dugaan serangan penyakit Gumboro, ND , AI, Marek's, serta AE.

Pada ayam dewasa infeksi AE biasanya bersifat subklinis (tidak terlihat secara kasat mata). Infeksi AE pada ayam dewasa menyebabkan penurunan produksi telur serta penurunan daya tetas telur. Penurunan produksi telur akibat infeksi AE terjadi secara mendadak sebesar 5-10%, tetapi setelah dua minggu produksi telur akan kembali normal, serta tidak ditemukan adanya kelainan pada kerabang telur.

Pada ayam breeder, penurunan daya tetas telur dapat mencapai angka 5% sebagai akibat kematian embrio ayam. Pada beberapa kasus, beberapa minggu setelah infeksi, kekeruhan dari lensa mata (katarak) dapat terjadi pada ayam yang bertahan atau selamat dari infeksi. Tingkat kesakitan dan tingkat kematian akan bervariasi tergantung dari jumlah telur yang terinfeksi dan status kekebalan tubuh dari ayam. Pada beberapa kasus outbreak yang pernah terjadi di sebuah breeding farm, tingkat morbiditas dan mortalitas mencapai lebih dari 50%. Artinya, penyakit ini sangat merugikan peternak secara ekonomi. Belum lagi apabila datang penyakit lain yang bersifat oportunistik, tentunya dengan berkurangnya kinerja sistem pertahanan tubuh ayam pada saat terserang AE, ayam akan sangat rentan terserang oleh agen penyakit lain.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof I Wayan Teguh Wibawan, mengatakan bahwa secara praktis, gejala klinis AE pada ayam telah banyak dicurigai dan mirip dengan ND. Namun pada AE ada penekanan respon imun, hal ini terlihat dari penurunan titer antibodi ND, IB atau AI secara cepat dibandingkan biasanya.

“Secara ilmiah, diperlukan peneguhan diagnosa yang kompleks agar benar-benar jelas titik permasalahannya. Karena gejala klinis AE dan ND sangat mirip, sehingga keduanya kerap dikelirukan,” kata Wayan kepada Infovet. Yang paling sering ia soroti yakni adanya gejala klinis berupa gangguan koordinasi, sangat mirip dengan gejala ND tipe syaraf. Perbedaannya adalah derajat kematian pada ayam tidak setinggi pada serangan ND.

Jika titer antibodi ND pada kelompok ayam secara umum masih protektif (nilai HI di atas 64), tetapi ada peningkatan kematian yang signifikan dengan gejala tortikolis, maka penyakit AE perlu dipertimbangkan. Kerugian yang ditimbulkan juga bisa sangat besar, tidak hanya berupa kematian, tetapi juga mengganggu performa produksi dan meningkatkan kepekaan ayam terhadap berbagai macam penyakit.

Teknik Diagnosis
Pada pemeriksaan patologi anatomi ayam yang terinfeksi AE tidak ditemukan adanya kelainan anatomi mencolok yang menjurus kepada penyakit AE. Kelainan anatomi yang mungkin ditemukan adalah titik berwarna abu-abu atau putih pada permukaan otot gizzard (ampela). Pada pemeriksaan histologi, lesio mikroskopik pada SSP ditemukan di otak (cerebellum dan batang otak) dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Lesio ini berupa degenerasi dan nekrosis sel syaraf (neuron), serta gliosis.

Diagnosa pada kasus AE dilakukan berdasarkan sejarah, gejala klinis, serta pemeriksaan histopatologis otak dan batang otak. Cara terbaik dalam melakukan diagnosa AE adalah dengan melakukan isolasi dan indentifikasi virus. Virus diisolasi dari otak dan duodenum beserta pankreas. Pada ayam dewasa atau ayam produksi, diagnosa AE dapat dibantu dengan melakukan pemeriksaan titer antibodi terhadap virus AE. Selain itu, dapat pula digunakan uji serologis berupa uji ELISA dalam mendeteksi “tamu tak diundang” ini.

Diferensial diagnosa dari gejala syaraf yang muncul pada kasus AE di anak ayam adalah encephalitis yang disebabkan oleh bakteri dan jamur. Infectious Bronchitis (IB), lentogenik Newcastle Disease (ND) dan Egg Drop Syndrome 76 (EDS 76), serta defisiensi vitamin A, E dan Riboflavin juga dapat dijadikan diferensial diagnosa dari kasus AE.
  
Oleh karenanya dibutuhkan pengujian lebih lanjut dalam meneguhkan diagnosis AE. Uji yang dapat mendukung peneguhan diagnosis diantaranya Isolasi dan identifikasi virus dengan PCR (Polymerase Chain Reaction), uji serologis (untuk mengukur titer antibodi AE) berupa ELISA, Virus Neutralization Test, maupun Flourescent Antibody Test.

Pencegahan
Tidak ada tindakan pengobatan yang terbukti efektif untuk mengobati infeksi AE. Apabila ada ayam yang dicurigai terinfeksi AE, ayam segera diisolasi atau dimusnahkan. Ayam yang diisolasi dapat diberikan berupa terapi suportif, seperti pemberian vitamin dan antibiotik tetapi pemberian antibiotik tidak terlalu direkomendasikan, kecuali apabila ditemukan penyakit bakterial lainnya yang juga menginfeksi ayam secara bersamaan.

Namun begitu, AE dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi. Program vaksinasi dilakukan pada saat pullet breeder atau pullet layer berumur 9-15 minggu tergantung kondisi ayam dengan menggunakan vaksin aktif komersial. Vaksin yang seringkali penulis temukan di lapangan adalah kombinasi vaksin fowl pox dan AE. Selain itu, perlu juga diterapkan biosekuriti yang ketat dan konsisten agar tidak menulari ternak yang sehat.

Pemberian immunostimulan seperti vitamin E juga dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh ayam, sehingga dihasilkan titer antibodi yang maksimal setelah vaksinasi dilakukan. Program vaksinansi AE di breeding sangat penting untuk mencegah terjadinya transmisi vertikal dan memastikan anak ayam memiliki maternal antibodi. ***


Drh Cholillurrahman
Redaksi Majalah Infovet

LANGKAH PRAKTIS PENGENDALIAN GANGGUAN PENCERNAAN UNGGAS

Ternak ayam broiler. (Foto: Dok. Infovet)

Overview
Sejak Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2017 di keluarkan dan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dicabut per Januari 2019, kejadian gangguan penyakit pencernaan mulai meningkat dan signifikan berpengaruh terhadap kondisi intestinal ayam.

AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif, yaitu bakteri Clostridium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan sering terjadi.

Menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566), menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) bahwa kejadian NE yang bersifat subklinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Fenomena kejadian NE seperti fenomena gunung es, dimana yang bersifat subklinis justru lebih besar dibandingkan yang klinis. Kejadian NE subklinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, ADG (Average Daily Gain) yang tidak tercapai dan FCR (Feed Conversion Ratio) yang buruk.

NE, Koksidiosis dan Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada ayam broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal, yakni Koksidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti setelah serangan Koksi dan biasanya terjadi di sekitar duodenum. Masuknya Koksi akan menembus fili-fili usus. Banyaknya sel usus yang rusak merupakan pintu bagi masuknya bakteri Clostridium perfringens. Serangannya pun tidak tanggung-tanggung, yakni sepanjang usus itu sendiri. Kasus yang terjadi pada broiler lebih banyak disebabkan... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2019)

Drh Sumarno
Senior Manager AHS, PT Sierad Produce Tbk

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer