Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini diabetes | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BENARKAH TELUR DADAR BISA SEBABKAN KANKER DAN DIABETES?

Telur dadar. (Foto: Shutterstock)

Pendapat bahwa olahan telur dadar dapat menyebabkan kanker dan diabetes yang tayang di podcast Kasisolusi membuat bingung pemirsanya. Ahli gizi dari IPB menyebut butuh pembuktian melalui uji klinis. Bagaimana sebenarnya?

Pertengahan Februari lalu, jagad media TikTok dihebohkan dengan pernyataan narasumber sebuah tayangan podcast yang menyebut telur dadar bisa sebabkan kanker dan diabetes. Dalam podcast Kasisolusi yang tayang pada Kamis (8/2/2024), Iwan Benny Purwowidodo, founder Konsep Karnus, mengatakan bahwa telur yang didadar dapat menyebabkan kanker dan diabetes.

Dalam tayangan podcast tersebut, Iwan menjelaskan di dalam telur terdapat zat biotin dan avidin. Biotin dibutuhkan tubuh untuk mengubah asam lemak dari minyak dalam kuning telur. Jika putih dan kuning telur mentah dicampur, biotin akan diikat oleh avidin yang terdapat dalam putih telur. Ini menyebabkan biotin tidak dapat berfungsi, begitu ulasan narasumber dalam podcast ini.

Dalam kajian sains, biotin adalah vitamin B yang larut dalam air. Biotin yang juga dikenal sebagai vitamin B7, terlibat dalam produksi glukosa dan asam lemak sehingga penting bagi tubuh. Menurut artikel dalam Jurnal Encyclopedia of Cell Biology tahun 2023, kekurangan biotin dapat terjadi pada orang yang mengonsumsi telur mentah (enam telur per hari) selama berbulan-bulan.

Ketika tubuh kekurangan biotin dan asam lemak masuk dalam darah, maka akan terjadi oksidasi parsial. Akibatnya, muncullah senyawa disebut malondialdehid, yang akan merampas elektron di DNA dan RNA, sehingga terjadi risiko kanker.

Kemudian, jika asam lemak macet akibat tubuh kekurangan biotin, kemudian berinteraksi oksigen dalam darah, penyumbatan dapat terjadi. Menurut Iwan, penyumbatan akan menutupi reseptor insulin, sehingga dapat menyebabkan diabetes.

Dengan demikian, Iwan berpendapat bahwa telur sebaiknya tidak diolah dengan cara didadar untuk mencegah risiko kanker dan diabetes, sebagaimana yang ia jelaskan.

Ulasan ini bukan hanya membuat orang yang menyimak tayangan tersebut jadi bingung, tapi juga bertanya-tanya apakah ini benar atau malah menyesatkan. Jika ini benar, bisa jadi orang akan beripikir ulang kalau mau mengonsumsi telur dadar. Tetapi jika ulasan dalam tayangan podcast ini hanya kajian teori saja, tanpa ada uji klinis yang akurat, maka para ahli nutrisi perlu angkat bicara.

Sebab, isu soal olahan makanan yang dinilai berbahaya melalui media sosial sangat rentan dijadikan referensi pembaca untuk dipercayai. Tak menutup kemungkinan kalau sampai viral dan diyakini kebenaran informasinya, bisa jadi orang akan berhenti total makan telur dadar yang sangat nikmat. Efek bisnisnya, para pemilik warteg dan warung padang akan berhenti menyediakan menu telur dadar gara-gara pembeli takut untuk mengonsumsinya.

Butuh Pembuktian
Menurut ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Ali Khomsan, teori yang disampaikan narasumber dalam podcast tersebut masih merupakan kajian teoritis. Belum ada kajian klinis, apalagi epidemiologis yang membuktikan bahwa mereka yang mengonsumsi telur dadar rentan kanker dan penyakit lainnya.

“Untuk membuktikan hal tersebut benar atau tidak, maka narasumber sebaiknya menunjukkan uji pada hewan sebagai pra klinis dan melakukan survei epidemiologis pada orang-orang yang suka mendadar telur versus yang suka merebus telur. Ini pembuktian yang sangat panjang jalannya. Untuk sementara saya tetap ndadar telur,” ujarnya kepada Infovet.

Konsumsi telur ayam sangat dianjurkan untuk semua kalangan, baik anak-anak maupun orang dewasa. Sebab, telur merupakan sumber protein dan kandungan gizi lainnya yang tinggi dengan harga terjangkau bagi masyarakat.

Dalam perbicangan dengan Infovet sebelumnya, Ali Khomsan berpendapat mengonsumsi satu jenis menu secara terus menerus memang bisa membosankan. Karena itu, variasi dalam mengolah telur sangatlah penting. Salah satunya diolah dengan cara didadar. Bagi anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan ibu menyusui, asupan gizi protein hewani dari daging ayam dan telur sangat dibutuhkan.

“Kandungan asam amino yang ada di dalam telur dan daging ayam juga cukup bagus untuk kesehatan tubuh. Asam amino berperan penting karena membantu pembentukan protein sebagai bahan dasar pembentuk sel, otot, serta sistem kekebalan tubuh. Namun demikian, proses pengolahan daging ayam yang baik adalah sampai sempurna matangnya,” ujar pakar gizi ini.

Menurutnya, konsumsi telur dan daging ayam bagi anak-anak sangat baik dan bisa dimulai sejak awal ibu menyusui bayinya. Daging ayam mengandung protein, zat besi, magnesium, vitamin, dan fosfor.

Dihubungkan dengan Mitos
Hal senada juga disampaikan oleh dr Triza Arif Santosa, yang merupakan dokter spesialis anak terhadap tayangan podcast yang mengulas konsumsi telur dadar dapat menyebabkan kanker dan diabetes. “Gak bener itu, Pak,” itulah komentar singkat yang diterima Infovet.

Dalam beberapa diskusi dengan Infovet sebelumnya, dokter spesialis anak yang rajin menjadi pembicara tetang gizi bagi anak ini, merasa prihatin dengan ulasan-ulasan seputar konsumsi telur dan daging ayam. Bahkan persoalan konsumsi telur kerap kali dihubung-hubungkan dengan mitos yang sumbernya tidak jelas.

Salah satu mitos yang sering terdengar di tengah masyarakat adalah munculnya bisul pada anak yang mengonsumsi telur. Menurut Triza, kekhawatiran munculnya bisul pada anak bukan semata-mata karena mengonsumi telur. Diakui, memang ada beberapa anak yang alergi terhadap telur. “Tapi bukan semata-mata karena konsumsi telur, lalu keluar bisul,” ujarnya.

Ahli gizi ini menjelaskan, telur merupakan sumber nutrisi yang baik bagi anak-anak. Pemberian telur satu butir setiap hari pada bayi usia 6-9 bulan dapat mencegah gangguan pertumbuhan dan stunting.

Untuk memperkuat kajian ilmiah ini, dalam sebuah jurnal kesehatan penelitian dari Washington University, menyebutkan bayi-bayi mulai usia 6-9 bulan yang diberikan satu butir telur setiap hari, kadar kolin dan DHA-nya lebih tinggi dibandingkan pada bayi-bayi yang tidak diberikan telur.

Dengan penjelasan detail dan ilmiah dari Triza ini sudah seharusnya para orang tua tak lagi memercayai mitos-mitos yang tak jelas sumbernya. Telur merupakan sumber nutrisi penting yang dibutuhkan oleh anak balita dengan harga terjangkau.

Jika dihitung, harga telur ayam masih di bawah harga kerupuk yang sangat minim kandungan gizinya. Namun faktanya, masih banyak orang tua yang justru memberikan kerupuk kepada anaknya yang masih balita sebagai lauk.

Masalah Putih dan Kuning Telur
Hal lain yang menjadi kontroversi adalah dalam tayangan podcast tersebut juga diulas bahwa memasak telur jangan dicampur antara putih dan kuningnya, karena ada dampak lain dalam hal kandungan gizi. Pendapat ini juga perlu dibuktikan melalui uji klinis.

Masih menurut Jurnal Encyclopedia of Cell Biology, putih telur mengandung protein yang disebut avidin. Avidin dapat berikatan sangat erat dengan biotin, meskipun tidak melalui ikatan kovalen. Avidin mengikat biotin yang dilepaskan selama pencernaan protein makanan sehingga mencegah penyerapannya. Namun, perlu diketahui bahwa avidin dapat hancur saat dimasak.

Panas selama proses memasak menyebabkan perubahan struktural pada avidin sehingga kurang efektif dalam mengikat biotin. Hal ini membuat biotin lebih mudah diserap tubuh. Karena itu, tidak masalah untuk mengonsumsi putih dan kuning telur yang sudah dimasak.

Dilihat dari narasi konten podcast di atas dan komentar para ahli gizi, tampaknya cara mengolah telur jadi menu yang nikmat kadang menjadi kontroversi. Ada yang menyebut mengolah telur dengan digoreng (dadar) akan menimbulkan penyakit tertentu. Ada juga yang berpendapat meskipun direbus tapi kalau diolah dengan santan juga dianggap kurang baik bagi kesehatan. Sementara untuk mengonsumsi telur agar terasa nikmat, setiap orang memiliki cara tersendiri.

Untuk menghindari kontroversi yang membingungkan masyarakat, ada baiknya para narasumber yang “ahli” di bidang nutrisi atau gizi bisa lebih berhati-hati dalam membuat ulasan. Bisa berdampak kemana-mana jika konten ulasan kesehatan yang belum teruji secara klinis sudah kadung dimuat dan viral di media sosial. Karena itu, bijaklah dalam membuat konten medsos. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer