Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini broiler | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MANAJEMEN PERALATAN DAN AKTIVITAS PERIODE BROODING

Brooding merupakan masa awal pemeliharaan unggas yang sangat penting dan memengaruhi periode pemeliharaan berikutnya (grower/finisher). (Foto: Infovet/Ridwan)

Periode pemanasan atau brooding period merupakan masa paling kritis dalam siklus kehidupan ayam, baik ayam bibit (breeder), petelur (layer) maupun pedaging (broiler), karena DOC mengalami proses adaptasi dengan lingkungan baru sejak menetas. Periode ini juga merupakan masa proses pembentukan kekebalan (imunitas) tubuh dan masa awal pertumbuhan semua organ tubuh.

Masa brooding pada ayam ialah periode pemeliharaan dari DOC (chick in) hingga umur 14 hari (atau hingga pemanas/brooder tidak digunakan). Baik tidaknya performance (penampilan) ayam di masa selanjutnya seringkali ditentukan dari bagaimana pemeliharaan di masa brooding. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh peternak yakni kesalahan manajemen pada periode brooding dan akibatnya seringkali sulit dipulihkan kembali dan berdampak negatif terhadap performa periode pemeliharaan selanjutnya (grower/finisher).

Berikut peralatan dan aktivitas yang perlu dilakukan pada masa brooding, antara lain:

1. Persiapan Sebelum Chick in
a. Biosekuriti ketat: Biosekuriti adalah kunci menekan penularan berbagai penyakit dari ayam periode sebelumnya, di mana untuk mewujudkannya dapat dilakukan tindakan/perlakuan selama pre chick in yang dimulai dari:
• Tahap persiapan kandang yang optimal, seperti pengangkatan kotoran ayam (feses), penyikatan, hingga ke sela-sela kandang, perbaikan kerusakan kandang dan desinfeksi kandang.
• Desinfeksi tempat minum dan tempat pakan DOC sebelum digunakan kembali.
• Masa istirahat kandang yang cukup sebelum chick in (minimal 14 hari setelah desinfeksi).

b. Persiapan dan perlengkapan kandang: Pemilihan bahan litter (sekam padi/jerami/serutan kayu halus/kertas), penyediaan tempat pakan (feeder chick/nampan), tempat minum DOC dan indukan pemanas gas (Gasolec). Sekam padi bahan yang umum dipakai sebagai litter dan ditabur di lantai dengan ketebalan 8-12 cm. Sebelum masuk kandang, sekam padi perlu dikeringkan dan difumigasi atau disemprot dengan desinfektan agar mematikan kuman penyakit yang mungkin ada. Usahakan agar jumlah peralatan sesuai dengan standar kebutuhan DOC agar tidak terjadi persaingan antar DOC baik dalam hal pakan, air minum dan ruang gerak. Pada Tabel 1 berikut disajikan Kebutuhan peralatan dan perlengkapan untuk 1.000 ekor DOC.

Tabel 1: Kebutuhan Peralatan dan Perlengkapan Periode Brooding Per 1.000 DOC
Peralatan
Kapasitas
Jumlah Dibutuhkan
Chick guard (seng pembatas)
1.000 ekor (diameter 4-5 meter)
1 buah
Indukan Pemanas Gas
1.000 ekor
1 buah
Tempat pakan (nampan/feeder chick)
50-63 ekor
16-20 buah
Tempat minum 1 galon
80-120 ekor
10-12 buah
Lampu pijar
75 watt
1 buah
Sumber: Manajemen Brooding Medion (2010).

c. Menyalakan alat pemanas: Alat pemanas (Gasolec) sebaiknya dinyalakan satu hari sebelum DOC tiba, dengan tujuan agar suhu di sekitar lingkungan sudah hangat dan merata. Suhu yang diperlukan untuk DOC bisa diukur dengan menggunakan termometer yang diletakkan 5 cm di atas permukaan sekam di pinggir chick guard (lingkaran pelindung). Kebutuhan suhu pada masa brooding untuk DOC, seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2: Kebutuhan Suhu pada Masa Brooding
Umur DOC (hari)
Suhu (°C)
0-3
32-35
4-7
29-34
8-14
27-31
15-21
25-27
Sumber: Sukses Beternak Ayam Broiler (2006).

d. Menyiapkan tempat minum: Tempat minum diisi air gula merah/aren dengan takaran 50-60 gram gula aren/liter air untuk 6-8 jam pertama, dengan tujuan agar DOC memperoleh energi baru setelah kehilangan energi dalam transportasi dari penetasan menuju farm/peternakan.

2. Chick in
a. Penimbangan dan penghitungan DOC: Saat chick in, pertama kali lakukan penimbangan (timbang DOC bersama-sama boksnya lalu dikurangi berat boks kosong) dan penghitungan jumlah DOC. Sekaligus memindahkan DOC ke chick guard, lakukan penyeleksian dengan mengisolasi DOC yang terlihat lesu, bulu kusam, kerdil dan mata keruh, karena akan menurunkan uniformity (% keseragaman bobot badan) dan kemungkinan menjadi sumber penyakit.

b. Pemberian pakan: Tiga sampai empat jam setelah semua DOC minum, segera berikan pakan starter (kandungan protein 19-21%) sedikit demi sedikit dengan cara ditabur, karena daya tampung tembolok yang terbatas dan terjaga kesegaran pakan akan memacu nafsu makan DOC agar tetap tinggi dan peternak harus lebih sering mengontrol DOC. Berikut disajikan frekuensi pemberian pakan seperti pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3: Frekuensi Pemberian Pakan Masa Brooding
Umur (hari)
Frekuensi Pemberian Pakan (kali)
Waktu Pemberian (Jam)

1-3
9
6
8
10
12
14
16
19
21
23
4-6
8
6
8
10
12
14
16
19
21
-
7-10
7
7
10
13
15
17
19
21
-
-
11-14
5
7
10
13
16
19
-
-
-
-
Sumber: Manajemen Brooding (2010).

c. Pemberian air minum: Setelah 6-8 jam pertama dan air minum mengandung gula aren habis, isi tempat minum dengan air biasa plus vitamin elektrolit agar perkembangan tubuh DOC lebih optimal lagi.

d. Kontrol kondisi tembolok DOC: Lakukan pemeriksaan konsumsi ransum dan air minum 2-3 jam setelah pemberian pakan pertama, dengan cara meraba tembolok dari sampel DOC. Bila  75% dari sampel ternyata temboloknya terasa kenyal dan lunak, berarti konsumsi pakan dan air minum cukup, kemudian pengontrolan diulang 24 jam kemudian dan diharapkan 95% tembolok terasa kenyal dan lunak. Bila tembolok terasa keras, kemungkinan DOC banyak memakan sekam dan air minum.

e. Kontrol kondisi sekam: Pada 1-3 jam setelah chick in, lakukan pengontrolan suhu sekam/litter apakah sudah nyaman atau belum? Salah satu teknik mendeteksinya adalah dengan memperhatikan kondisi kaki DOC, di mana bila litter terlalu panas maka kaki akan tampak kemerahan dan pecah-pecah di bagian kuku dan telapaknya, juga DOC yang mengalami hal ini biasanya akan berkumpul menjauh dari brooder. Sebaliknya bila litter terlalu dingin maka kaki DOC teraba dingin (dibanding suhu tubuh manusia), yang dampaknya konsumsi pakan menurun karena DOC cenderung diam memadati brooder.

f. Kontrol chick guard: Chick guard diperlebar setelah tiga hari pertama untuk menambah luas lantai (floor space), di mana pelebaran chick guard harus diulang setiap dua hari sekali sekitar 0,3-0,5 m. Setiap pelebaran harus diimbangi dengan penambahan tempat pakan (feeder) dan tempat minum (waterer). Floor space yang diperlukan untuk ayam broiler selama tiga minggu pertama sekitar 10-11 m2, tergantung strain ayam itu.

g. Melakukan seleksi dan grading: Seleksi dilakukan secara rutin setiap hari sejak minggu pertama, dengan tujuan memisahkan DOC yang kerdil, kaki kering, omphalitis (perut kembung) serta abnormal (kaki pincang, paruh bengkok, tubuh lemas) dari anak ayam yang masih sehat dan normal. DOC afkir harus segera dimusnahkan dan dicatat (recording) sebagai penyusutan (depletion). Sementara, grading adalah aktivitas pengelompokan ayam menjadi beberapa kelompok dengan standar berat badan yang ada. DOC yang kecil diisolasi tersendiri lalu diberikan perlakuan (treatment) khusus  agar mampu mengejar ketertinggalan berat badannya dengan cara sesering mungkin membangunkan DOC untuk makan, pemberian pemanas lebih lama, pemberian vitamin elektrolit terus-menerus dan mengurangi perbandingan tempat makan/minum dengan populasi ayam. Grading dilakukan sejak ayam berumur 17-22 hari.

h. Mengatur sirkulasi udara kandang: Hal ini perlu dilakukan terutama untuk kandang terbuka (open house), yang dilakukan 2-3 hari masa brooding (tergantung pada kondisi udara di dalam kandang). Mengatur sirkulasi udara yaitu dengan cara membuka layar/tirai dari bagian atas ke bawah (minggu kesatu 1/3 bagian, minggu kedua 2/3 bagian dan minggu ketiga seluruh bagian). Namun bila malam hari, saat hujan turun atau ada hembusan angin dingin, layar bagian bawah tetap ditutup hingga ayam berumur empat minggu, dalam arti pertumbuhan bulu sudah sempurna menutupi seluruh tubuh.

i. Mengganti tempat pakan dan tempat minum: Nampan (feeder chick) mulai diganti dengan tempat pakan tabung kapasitas 5 kg secara bertahap, yaitu 25% sejak DOC berumur 5-10 hari. Selanjutnya pada hari ke-15 diganti sebanyak 50% dan pada hari 18-21 diganti 100%. Demikian juga halnya dengan tempat minum.

j. Membuat laporan (recording): Pencacatan laporan pada masa brooding bertujuan untuk mengetahui perkembangan ayam menyangkut pertambahan berat badan mingguan, tingkat keseragaman (uniformity), tingkat konsumsi pakan (feed in take) dan perkembangan kesehatan. Laporan memuat jumlah ayam yang mati/afkir, jumlah dan cara pemberian pakan, obat-obatan, vaksin, berat badan mingguan dan tingkat keseragaman. Data perkembangan berat badan mingguan dan konsumsi pakan kemudian digambarkan dalam grafik standar berat badan dan konsumsi pakan mingguan.

Demikianlah pembahasan tentang masa brooding dan kaitannya dengan manajemen peralatan, serta kegiatan-kegiatan yang penting diaplikasikan, semoga bermanfaat. (SA)

Kunci Utama Ayam Sehat dan Produktif

Kontrol terhadap amonia. (Dok. Pribadi)

Di zaman now, kemunculan kasus penyakit dalam suatu lingkungan peternakan ayam tidaklah terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi secara bertahap, sesuai dengan interaksi antara agen penyakit yang ada dengan ayam yang dipelihara. Kunci mendapatkan ayam produktif adalah bagaimana membuat ayam tetap sehat walaupun dengan kondisi tantangan agen penyakit yang semakin tinggi.

Ibarat sebuah rumah yang memiliki pagar dan pintu rumah, dibudidaya ayam, pagar tersebut diibaratkan adalah sistem biosekuriti dan vaksinasi, sedangkan pintunya adalah sistem pernapasan bagian atas. Faktanya saat ini ayam broiler modern sangat rentan sekali terjadi ayam nyekrek di umur 15 hari ke atas dan kondisi tersebut dapat menjadi predisposisi agen penyakit masuk ke dalam sistem tubuh.

Melihat anatomis sistem pernafasan ayam, mengapa makhluk ini sangat rentan terhadap munculnya penyakit pernafasan dan sulit untuk disembuhkan?

• Sistem pernafasan ini merupakan saluran tertutup yang ujungnya di kantung hawa dan yang menyebar di seluruh rongga tubuh, sehingga memudahkan penyebaran bibit penyakitnya keseluruh organ tubuh penting lainnya.

• Kantung hawa sangat minim pembuluh darah, sehingga antibiotik akan sulit untuk mencapainya jika terjadi infeksi sekunder dan pengobatan sangat mustahil untuk menghilangkan 100% mikrobanya.

• Pada broiler modern, proporsi sistem pernafasan ini dari periode ke periode semakin mengecil dibandingkan berat tubuhnya akibat perkembangan genetik yang sangat progresif. Dengan kata lain sistem kekebalan di sistem pernafasan bagian atas makin kecil proposinya.

Untuk mengendalikan kasus pernafasan ini, langkah yang paling penting adalah menjaga integritas sistem pernafasannya dari gangguan berbagai faktor utama pemicunya. Hal ini dapat tercapai jika mampu menjaga sistem mukosiliaris dari saluran pernafasan tersebut. Sistem ini merupakan gabungan dari silia sel epitel pernafasan dan mukus, yang dihasilkan oleh sel mukus yang terdapat di sel epitel trakhea. Sistem mukosialiaris ini menjadi...

oleh: Drh Sumarno
Sr Mgr Animal Health
PT Sierad Produce, Tbk

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi November 2018.

Bahan Baku Pakan Berkualitas, Produktivitas Ternak Optimal (Bag. I)

Bahan baku pakan ternak. (Foto: Infovet/Wawan)

Tidak dapat dipungkiri bahwa produksi ternak optimal harus sejalan dengan ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas. Bicara soal kecukupan pakan, sudah dimaklumi bersama bahwa ada perbedaan pemberiannya berdasarkan umur pemeliharaan ternak per ekor per hari. Hal ini berarti bahwa pemberian pakan harus didasarkan pada kondisi fisiologi ternak yang disesuaikan dengan umurnya masing-masing.

Pakan tidak hanya dimaknai dengan cukup jumlahnya saja, namun kualitas pakan juga harus diperhatikan. Pentingnya pemberian pakan yang cukup jumlah dan bagus kualitasnya, menurut Apriadi Pasaribu, Supervisor Farm PT Peternakan Ayam Manggis Farm 4 Cianjur, Jawa Barat, ayam yang diberi pakan berkualitas dapat berproduksi optimal dengan bobot telur sesuai standar yang diharapkan. Hal serupa juga dikatakan Reski Susanto, Supervisor Hatchery di perusahaan yang sama. “Jika bobot rata-rata telur sesuai standar, dipastikan persentase telur menetas juga optimal.”

Pakan sendiri diartikan sebagai suatu bahan atau campuran dari berbagai macam bahan yang diformulasikan berdasarkan ISO protein dan ISO energi, sumber nutrien, seperti air, energi, protein, lemak, serat kasar, vitamin dan mineral.

Menurut Dr Roni Ridwan, Peneliti Madya Nutrisi Ternak dan Mikrobiologi Terapan di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cibinong, kualitas pakan yang diberikan pada ternak harus mengikuti aturan, seperti bahan baku pakan tersedia sepanjang waktu, memiliki kandungan nutrien mencukupi, murah harganya dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Selain itu, kata dia, bahan baku pakan juga harus bebas dari toksin, sehingga tidak membahayakan, baik bagi ternak maupun konsumen yang mengonsumsi produk ternak tersebut. Tidak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa ada persyaratan lain yang diperlukan, yakni kadar air dan kecernaan masing-masing bahan baku pakan.

“Kadar airnya perlu diketahui dan diperhatikan, karena terkait dengan penggudangan, soal kecernaan juga sangat penting. Artinya, jika punya bahan pakan melimpah, tapi kecernaan dari bahan pakan itu rendah, percuma karena tidak dapat dimanfaatkan ternak sesuai fungsinya, ternak mengonsumsi pakan namun tidak tumbuh dengan baik, peternak rugi,” ujar Dr Roni kepada Infovet.

Kebaikan bahan baku pakan sampai saat ini masih menjadi perdebatan, terutama terkait dengan bahan baku yang ketersediaannya minim di pasaran, seperti bahan baku pakan sumber protein, energi dan mineral yang masih harus diimpor. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudirman, Dewan Pembina Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), bahwa sekitar 35% bahan baku pakan ternak masih impor. “Benar bahwa Indonesia masih importasi bahan baku pakan ternak sumber protein, yakni bungkil kedelai dan nilai impor tertinggi itu ada di bahan baku pakan tepung daging dan tulang (Meat Bone Meal/MBM),” kata Sudirman, seperti dikutip detik.com.

Mengacu pada pernyataan Sudirman, nilai impor yang 35% dipandang cukup besar jika dikalkulasikan dalam bentuk rupiah. Namun, kebijakan impor tetaplah dilakukan, hal ini mengingat bahwa kebutuhan kedua bahan baku pakan tersebut cukup tinggi, apalagi adanya efek domino penggunaannya, terutama kedelai yang juga harus memenuhi kebutuhan manusia.

“Ketersediaan kedelai dan/atau bungkil kedelai itu sendiri untuk bahan baku pakan jelas tidak memungkinkan, mengingat adanya kompetisi dengan manusia yang mengonsumsi dalam bentuk pangan olahan, seperti tahu, tempe dan kecap,” kata Sudirman.

Terkait itu, ada baiknya mengingat kembali jenis dan fungsi bahan baku pakan ternak itu sendiri. Hal ini sedikit memberikan edukasi kepada peternak, terutama self mixing.

Jenis dan Fungsi Bahan Baku Pakan 
Pengelompokan bahan baku pakan ternak setidaknya didasarkan atas empat kelompok. Hal ini karena untuk menspesifikasi bahan pakan ternak dimaksud agar dalam penggunaan tidak menimbulkan over penggunaan atau hal lain yang tidak diinginkan. Dalam buku Principles of Animal Nutrition karya Guoyao Wu (2018), menyebutkan jika didasarkan atas asalnya, maka bahan baku pakan itu sendiri ada yang nabati dan hewani.

Bahan baku pakan asal nabati merupakan bahan baku pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Bahan pakan ini biasanya memiliki serat kasar tinggi. “Benar, jika tumbuh-tumbuhan dijadikan bahan pakan ternak, khususnya untuk ruminansia, maka itu sudah tepat. Bahan pakan asal tumbuhan, seperti rumput dan lainnya, mengadung serat kasar tinggi, di atas 18-20%, ini cocok untuk ruminansia, mereka punya mikroba rumen yang cukup untuk mengolah serat kasar untuk pertumbuhan dan fungsi tubuh lainnya,” kata Dosen Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB, Dr Ir Muhammad Ridla kepada awak Infovet.

Bahan baku pakan seperti itu tidak hanya didominasi oleh jenis rumput-rumputan saja, namun juga dedaunan, dedak halus, bahkan pelepah daun sawit dapat dikelompokkan ke dalam bahan baku asal nabati.

Di samping itu, bahan baku pakan nabati sebagian juga ada yang mengandung protein tinggi, seperti bungkil kelapa, bungkil kedelai dan bahan asal kacang-kacangan atau leguminosa, sedangkan untuk jagung, disebut sebagai bahan pakan asal nabati tinggi energi.

Selanjutnya bahan baku pakan asal hewani, yakni bahan pakan yang umumnya berasal dari limbah industri, sehingga penggolongannya dapat disebut sebagai bahan baku pakan yang memanfaatkan limbah atau produk samping industri pengolahan pangan asal hewan. Menurut Dr Ridla, bahan baku pakan ini mengandung protein cukup tinggi, sehingga disebut juga sebagai bahan pakan tunggal atau untuk penyusun konsentrat.

“Bahan pakan dari produk samping industri pengolahan ikan, sapi, kambing, domba dan ayam, serta jenis ternak lainnya, biasanya dikelompokkan ke dalam bahan pakan tinggi protein, dengan kandungan protein di atas 20%,” ucap dia.

Namun demikian, dalam memformulasikannya ke dalam pakan ternak, bahan pakan ini memiliki keterbatasan, karena adanya batas maksimum protein di dalam pakan, misalnya untuk ruminansia sekitar 16,20% dan unggas kisaran 18-23%, baik broiler maupun layer. “Batasan ini diperlukan mengingat nilai ekonomi dari pakan itu sendiri, artinya ketika pakan tinggi protein, maka kaitannya dengan biaya yang dikeluarkan untuk pakan itu sendiri juga tinggi,” kata Dr Ridla.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika dikelompokkan berdasarkan bentuk, dibedakan atas empat golongan. Pertama, bentuk butiran, disukai oleh unggas dengan nilai ekonomis sampai 25%. Bahan baku pakan ini adalah jagung, gandum, sorgum, kedelai dan lainnya. Kedua, bentuk tepung, biasanya digunakan untuk unggas fase awal pemeliharaan. Bentuk bahan baku pakan ini memiliki nilai ekonomis 25-35%. Ketiga, bentuk pilih, tidak jauh berbeda dengan bentuk butiran, hanya saja nilai ekonomis mencapai 10-25%. Keempat, bentuk cairan, berupa minyak ikan, minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil/VCO) dan minyak kedelai, dengan nilai ekonomis 0,5% yang berfungsi untuk pembentukkan asam lemak bebas.

Sementara itu, jika dilihat dari sumbernya, bahan baku pakan dimasukkan ke dalam tiga kelompok. Pertama, bahan baku pakan sumber energi, yakni semua bahan baku pakan ternak yang kandungan protein kasarnya tidak lebih dari 20% dan kandungan serat kasar di bawah 18%. Bahan pakan ini pun dibedakan lagi atas empat golongan, yakni kelompok serealia atau biji-bijian, kelompok produk samping dari penggilingan biji-bijian, kelompok umbi-umbian dan kelompok hijauan.

“Bahan baku pakan sumber energi secara umum dapat digunakan untuk semua ternak, namun perlu dibatasi penggunaannya terutama untuk unggas, ini terkait dengan efeknya, misalnya pada pakan ayam broiler, biasanya pakan sumber energi yang berlebihan dapat dimobilisasi untuk pembentukkan lemak abdomen,” kata Randi Mulianda, Mahasiswa Program Doktoral di Prodi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fapet IPB.

Kedua, bahan baku pakan sumber protein, biasanya dari bahan pakan yang kandungan proteinnya di atas 20%, dapat berasal dari hewan maupun tumbuhan. Menurut Randi, bahan baku pakan sumber protein dapat berasal dari kelompok hijauan, produk samping industri pertanian dan perkebunan, serta kelompok bahan yang diproduksi dari hewan (peternakan dan perikanan) berupa MBM, tepung darah, tepung ikan dan lainnya, baik yang didapat dari RPH, RPU maupun produk samping industri pangan berbahan dasar produk perikanan dan peternakan.

Ketiga, bahan baku pakan sumber vitamin dan mineral, keberadaan dua jenis nutrien ini sangat umum, dapat dijumpai dihampir seluruh bahan baku pakan, baik dari tumbuhan maupun hewan. Perlu diingat, bahwa bahan baku pakan yang diperuntukkan sebagai sumber vitamin dan mineral perlu diperhatikan dalam pemanenan, umur panen, pengolahan dan penyimpanan, serta jenis dan bagian-bagiannya yang akan diberikan kepada ternak, seperti yang ditulis McDonald et al. (2011), dalam bukunya Animal Nutrition, perlakuan apapun yang diberikan kepada bahan baku pakan dapat berpengaruh terhadap nilai nutrien yang dikandungnya, terutama vitamin dan mineral.

Selanjutnya, jenis bahan baku pakan jika kelompokkan menurut kelaziman penggunaannya dibedakan atas bahan baku pakan konvensional dan non-konvensional. Menurut Guoyao Wu (2018), bahan baku pakan konvensional adalah bahan pakan umum dan sering digunakan untuk ternak. Bahan baku pakan ini memiliki kandungan nutrien lengkap, terutama protein dan energi sebagai dasar formulasi pakan.

Sedangkan bahan baku pakan non-konvensional disebut belum umum dipakai untuk bahan pakan tunggal atau dijadikan bahan pakan dalam formulasi pakan. Biasanya bahan pakan non-konvensional lebih banyak digunakan untuk unggas, karena nilai nutriennya mumpuni untuk kebutuhan unggas selama periode pemeliharaan.

“Pakan non-konvensional lebih disarankan penggunaannya karena tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, namun perlu kajian-kajian spesifik, misalnya kandungan nutrien atau non-nutriennya yang dapat dieksplorasi untuk bahan pakan kaya nutrien dimasa depan,” kata Ketua Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia, Prof Nahrowi.

Terkait dengan fungsi dari bahan-bahan baku pakan, banyak informasi yang dipublikasikan, yakni secara umum, fungsi bahan pakan dan pakan untuk semua makluk hidup adalah untuk pemeliharaan tubuh, pertumbuhan, produksi dan perkembangbiakkan atau reproduksi. Namun perlu diingat, pemberian pakan yang tidak sesuai dengan tujuan pemeliharaan, umur dan kondisi fisiologi ternak, dampaknya dapat berupa ternak rentan terhadap penyakit, sehingga dengan sendirinya dapat menurunkan produktivitas ternak, bobot badan panen menurun dan akhirnya keuntungan yang didapat juga ikut menurun. Bersambung... (Sadarman)

Pakan Bebas Toksin Performa Terjamin

Jagung sebagai bahan baku pakan ternak. (Foto: Infovet/Ridwan)

Apa yang terbersit oleh semua orang ketika mendengar kata toksin? Sudah pasti mereka membayangkan suatu zat yang berbahaya. Hal yang sama juga berlaku dalam dunia pakan ternak, berbagai jenis toksin siap mengontaminasi pakan ternak.

Dalam dunia medis, toksin diartikan sebagai zat beracun yang diproduksi di dalam sel atau organisme hidup, dunia veteriner sepakat menggunakan terminologi biotoksin, karena toksin diproduksi secara biologis oleh mahluk hidup memalui metabolisme bukan artificial (buatan).

Dalam dunia pakan ternak sering kali didengar istilah mikotoksin (racun yang dihasilkan oleh cendawan/kapang/jamur). Hingga kini kontaminasi mikotoksin dalam pakan ternak masih menjadi momok yang sangat menakutkan, tidak hanya di Negeri ini tetapi juga di seluruh dunia.

Mikotoksin, Klasik dan Berbahaya
Setidaknya ada tujuh jenis mikotoksin yang menjadi “tokoh utama”, mereka sering kali mengontaminasi pakan dan menyebabkan masalah pada ternak. Singkatknya seperti dijabarkan pada Tabel 1. berikut ini.

Tabel 1. Ragam Jenis Mikotoksin
No.
Jenis Toksin
Organisme Penghasil Toksin
Efek Terhadap Ternak & Manusia
1
Aflatoksin
Aspergillusflavus, Aspergillusparasiticus
Penurunan produksi, imunosupresi, bersifat karsinogen, hepatotoksik
2
Ochratoksin
Aspergillusochraceus
Penurunan produksi, kerusakan saraf dan hati
3
Fumonisin
Fusarium spp.
Penurunan produksi, kerusakan ginjal dan hati, gangguan pernafasan
4
Zearalenon
Fusariumgraminearum, Fusariumtricinctum, Fusariummoniliforme
Mengikat reseptor estrogen (feminisasi), menurunkan fertilitas
5
Ergot Alkaloid
Clavisepspurpurea
Penurunan produksi pertumbuhan, penurunan produksi susu, penurunan fertilitas
6
Deoxynivalenol (DON)/Vomitoksin
Fusarium spp.
Penurunan produksi, kerusakan kulit
7
T-2 Toksin
Fusarium spp.
Penurunan produksi, gastroenteritis hebat
Sumber: Mulyana, 2013.

Menurut Drh Sudirman, mantan Ketua Umum GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), masalah mikotoksin merupakan masalah klasik yang terus berulang dan sangat sulit diberantas. “Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa mikotoksin sangat sulit diberantas, misalnya saja dari cara pengolahan jagung yang salah,” ujar Sudirman.

Maksudnya adalah, di Indonesia kebanyakan petani jagung hanya mengandalkan iklim dalam mengeringkan hasil panennya, dengan bantuan sinar matahari/manual, biasanya petani menjemur jagung hasil panennya. Mungkin ketika musim panas hasil pengeringan akan baik, namun pada musim basah (penghujan), sinar matahari tentu tidak bisa diandalkan. “Jika pengeringan tidak sempurna, kadar air dalam jagung akan tinggi, sehingga disukai oleh kapang. Lalu kapang akan berkembang di situ dan menghasilkan toksin,” tuturnya.

Masih masalah iklim menurut Sudirman, Indonesia yang beriklim tropis merupakan wadah alamiah bagi mikroba termasuk kapang dalam berkembang biak. “Penyimpanan juga harus diperhatikan, salah dalam menyimpan jagung artinya membiarkan kapang berkembang dan meracuni bahan baku kita,” kata Sudirman.

Menurut data dari FAO pada 2017, sekitar 25% tanaman biji-bijan di seluruh dunia tercemar oleh mikotoksin setiap tahunnya. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tercemarnya bahan baku pakan dan pangan oleh mikotoksin berupa penurunan produksi daging dan telur unggas, penurunan produksi bahan pakan dan pangan, penurunan performa ternak, serta meningkatknya biaya kesehatan akibat mikotoksikosis pada hewan dan manusia.

“Di Amerika dan Kanada saja kerugian akibat tercemarnya mikotoksin mencapai USD 225 milyar, bayangkan betapa merugikannya mikotoksin ini, oleh karenanya kita harus selalu waspada,” imbuhnya. Tak lupa Sudirman mengingatkan kembali bahwa sifat alamiah dari mikotoksin adalah tahan terhadap suhu tinggi, sehingga “awet” pada kondisi pelleting saat proses pembuatan pakan dan sangat sulit untuk dieradikasi.

Sudirman juga menilai bahwa pemerintah... (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 291 Oktober 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer