Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini broiler | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Manajemen Pengendalian Mikotoksin Terbaik pada Broiler Modern

Pembuatan pakan ternak dengan mesin. (Foto: Infovet/Wawan)

Fenomena ancaman terhadap bahaya mikotoksin masih menghantui peternak jaman now yang justru masih terjadi di era harga jagung semakin melambung tinggi. Payahnya harga jagung yang tinggi tidak otomatis diikuti oleh kualitas yang prima. Untuk mengendalikan mikotoksin yang menghinggapi bahan baku seperti jagung maupun pakan jadi, perlu adanya manajemen pengendalian terhadap mikotoksin yang baik, khususnya dalam budidaya ayam broiler modern.

Kasus mikotosikosis tentu sangat berhubungan erat dengan imunitas atau kekebalan ayam. Hal tersebut menjadi faktor yang paling fundamental terkait pengendalian terhadap tantangan penyakit unggas akibat serangan mikotoksin dan patogen lainnya.

Mikotoksin merupakan kontaminan alami yang memiliki dampak negatif tehadap keamanan pangan dan pakan secara global. Mikotoksin adalah komponen yang diproduksi oleh jamur yang telah terbukti bersifat toksik (beracun) dan karsinogenik terhadap manusia dan hewan. Kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembaban yang tinggi, investasi serangga, proses produksi, panen dan penyimpanan bahan baku dan/atau pakan yang kurang baik akan menyebabkan tingginya konsentrasi mikotoksin, sehingga dapat menyebabkan timbulnya wabah penyakit.

Melihat fenomena tersebut, mikotoksin perlu menjadi perhatian utama peternak unggas karena faktor sebagai berikut:
• Hampir selalu ditemukan dalam pakan.
• Tidak memiliki symptoms yang spesifik.
• Berinteraksi dengan lingkungan usus halus – bakteri dan toksin bakteri.
• Pada unggas dengan periode produksi panjang akan lebih terdampak paparan dengan manifestasi penurunan kekebalan tubuh, kerusakan usus halus, gangguan kemampuan reproduksi.

Hati yang terpapar mikotoksin. (Dok. Pribadi)

Upaya untuk penanggulangan dan pengendalian mikotoksin telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik petani jagung maupun peternak. Namun terdapat berbagai hambatan dalam proses penanggulangannya, yaitu kondisi iklim tropis Indonesia saat ini yang berfluktuatif, penanganan pasca panen yang belum optimal, penyimpanan bahan baku yang juga belum optimal, adanya impor bahan baku pakan sehingga fungi dan mikotoksin dapat ditransfer dari negara lain, adanya pencemaran toksin yang bersifat ganda, struktur kimia mikotoksin yang sangat stabil dan kurang memadainya fasilitas pengeringan seperti corn dryer, penyimpanan dan mesin giling (storage dan milling). Sedangkan terkait hal yang paling... (Drh Sumarno)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 291 Oktober 2018.

Peternak Diminta Bentuk Koperasi Agar Berdaya Saing

Ternak petelur merupakan salah satu penghasil protein hewani yang harus terus diperjuangkan. (Foto: Infovet/Bams)

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, mengimbau peternak membentuk kelompok ekonomi agar lebih berdaya saing dan memiliki posisi tawar dalam mengembangkan usahanya.

Menurut Ketut, hal tersebut dinilai penting untuk mengatasi penurunan harga telur ayam ras di tingkat peternak karena oversupply dan keluhan biaya produksi yang membengkak akibat harga DOC dan pakan tinggi.

Untuk meminimalisir itu, Ketut bersama jajarannya turun langsung ke sentra produsen ayam petelur terbesar di Jawa Timur, yakni Kabupaten Blitar untuk berdialog dengan peternak pada Senin (1/10). Dalam dialog yang berlangsung di Pendopo Kabupaten Blitar, sekitar 140 peternak mengeluhkan penurunan harga telur ditingkat peternak.

“Kami sarankan agar peternak bersatu dalam wadah koperasi. Hal ini untuk memudahkan kami dalam memfasilitasi peternak untuk mendapatkan DOC secara langsung dari perusahaan pembibit, sehingga harganya normal,” kata Ketut Diarmita dalam keterangan persnya, Sabtu (6/10).

Ketut membantah bahwa harga DOC mahal karena kelangkaan. Menurutnya, berdasarkan data yang ada, produksi DOC FS layer Januari-Agustus 2018 rata-rata per bulan sebanyak 14.831.383 ekor dan DOC FS broiler sebanyak 243.250.971 ekor atau per minggu sebanyak 57.916.898 ekor. Pasokan justru sangat berlebih dan karenanya dilakukan eskpor.

Ia mengemukakan, ada kemungkinan peternak mengorder DOC secara individu dan dengan jumlah sedikit, sehingga sulit untuk dilayani dan akhirnya mendapat DOC dengan harga tinggi dari pihak ketiga. Apalagi setelah dilakukan pengecekan harga DOC ditingkat pembibit masih normal.

Kendati demikian, peternakan ayam petelur sudah menjadi urat nadi bagi perekonomian Kabupaten Blitar, karena itu nasib peternak layer harus diperjuangkan. “Kita akan ambil sikap bersama agar peternak tidak rugi. Apa yang menjadi keluhan peternak soal kesulitan mendapatkan DOC kita carikan jalan keluar, agar biaya produksi turun dan peternak bisa bersaing,” tegas Ketut.

Soal adanya kelebihan pasokan, ia mengungkapkan, semestinya ditanggapi dengan positif. Sebab, lebih baik kelebihan daripada kekurangan. Solusinya adalah terus mendorong pelaku usaha meningkatkan ekspor, selain mendorong kerjasama pemasaran antara produsen telur seperti Blitar dengan daerah lain.

Sementara, terkait pemenuhan kebutuhan jagung untuk pakan ternak, Ketut meminta Pemerintah Kabupaten Blitar memanfaatkan lahan milik pemerintah yang belum produktif untuk penanaman jagung. “Penanaman ini bisa juga dilakukan oleh BUMD, sehingga dapat menambah Pendapatan Asli Daerah yang akhirnya juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat Blitar,” pungkasnya. (RBS)

Trik Membebaskan Bahan Baku dan Pakan dari Ancaman Toksin

Jagung yang merupakan salah satu pakan ternak unggas. (Foto: Infovet/Ridwan)

Indonesia yang terletak di iklim tropis memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau. Musim hujan yang biasanya mulai datang pada bulan Oktober, dalam beberapa tahun terakhir seringkali meleset. Begitu pula pada musim kemarau, tidak jarang hujan tiba sewaktu-waktu. Namun secara umum, pada Oktober-Maret sering digolongkan ke dalam musim penghujan dan sebaliknya pada bulan April-September dianggap musim kemarau.

Pada saat pergantian musim banyak dijumpai berbagai kasus penyakit yang menyerang peternakan ayam pedaging (broiler) dan ayam petelur (layer), salah satunya penyakit yang disebabkan cendawan/jamur dan toksin/racun cendawan antara lain Aspergillosis, Candidiasis, Favus, Aflatoxicosis, Ochratoxicosis dan Fusarium T-2 Mycotoxicosis. Hal ini terjadi disebabkan adanya perubahan temperatur dan kelembaban, dimana saat itu memicu berkembang-biaknya cendawan, kapang dan berbagai kuman di lapangan atau kandang.

Memasuki musim penghujan, intensitas cahaya matahari menurun dan curah hujan meninggi, yang akan menyebabkan kelembaban meningkat dan temperatur rendah, disamping angin bertiup kencang dengan arah yang berubah-rubah, fluktasi suhu dan kelembaban yang tajam, serta perbedaan suhu yang menyolok antara siang dan malam dengan perbedaan lebih dari 4°C. Kondisi ini memicu peningkatan jumlah cendawan, kapang dan berbagai bakteri dan virus yang berbuntut pada rentannya ayam terhadap penyakit, lambatnya pertumbuhan, rendahnya keseragaman (uniformity) dan kegagalan vaksinasi.

Pembebasan Bahan Baku dan Pakan Ayam
Kondisi Indonesia yang beriklim tropis terbukti mendukung pertumbuhan cendawan/jamur/kapang, terlebih lagi jika kadar air bahan pakan melebihi standar (≥ 14%). Oleh karena itu, harus diusahakan penyimpanan bahan baku pakan harus di tempat/gudang yang kering/bebas dari kebocoran atap dan lembabnya dinding dan lantai, disamping pemberian anti jamur/mold inhibitor pada bahan pakan tersebut yaitu Asam propionat.

Saat jamur telah mengontaminasi maka dipastikan bahan pakan akan tercemar toksin/racun yang dihasilkan cendawan. Cendawan/jamur yang mengontaminasi tersebut dapat dengan mudah diatasi, namun tidak demikian dengan toksinnya, yang akan sangat sulit dihilangkan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Oleh karena itu, suplementasi (imbuhan) mold inhibitor pada bahan pakan dan toxin binder pada pakan merupakan strategi yang banyak dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontaminasi mikotoksin. Prinsip kerja toxin binder adalah mengikat toksin yang masuk ke dalam pencernaan, sehingga tidak terserap ke dalam aliran darah, lalu mengeluarkannya bersama kotoran. Beberapa jenis toxin absorben dapat dilihat pada Tabel 1 berikut... (SA)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Oktober 2018.

Pentingnya Sanitasi di Hatchery

Hatchery harus menerapkan program biosekuriti dan pemberian desinfektan yang tepat untuk menghasilkan DOC yang berkualitas. (Foto: Istimewa)

Kemajuan perunggasan Nasional tidak terlepas dari peran operasional di penetasan/hatchery yang tersebar di seluruh Tanah Air, karena dari sinilah awal dihasilkannya bibit (DOC) berkualitas dan bebas dari penyakit, sehingga dapat diharapkan menjadi produk unggas yang Halal, Aman, Utuh dan Sehat (HAUS). Terbukanya peluang ekspor produk unggas (daging dan telur) harus dimulai dari pembenahan sistem  higienitas  dan operasional hatchery yang sesuai dengan standar internasional.

Munculnya penetasan-penetasan kecil yang menggunakan mesin penetas manual/sederhana tidak dapat dipungkiri, namun perlu di-upgrade dalam masalah sanitasinya hingga tidak menimbulkan masalah penyakit di masa sekarang dan mendatang bagi produk yang dihasilkannya.

Hatchery ibarat “rumah bersalin” berperan sangat vital pada suatu peternakan pembibitan (breeding), baik tingkat GGPS (Great Grand Parent Stock), GPS (Grand Parent Stock) maupun PS (Parent Stock). Hal ini disebabkan hatchery merupakan awal munculnya kehidupan seekor ayam dan disaat yang sama berkembangnya berbagai mikroorganisme patogen (Salmonellosis, Chronyc Respiration Disease, Collibacillosis, Staphylococosis, Streptococosis, Aspergillosis dan sebagainya), serta merupakan salah satu sarana penting dalam operasional produksi anak ayam.

Oleh karena itu, hatchery dituntut untuk menerapkan sistem biosekuriti yang lebih ketat dibandingkan dengan perkandangan (farm). Akibat sistem biosekuriti yang asal-asalan akan menyebabkan kegagalan dalam pencapaian akhir usaha breeder, yaitu tidak menghasilkan DOC yang berkualitas, daya tetas yang rendah dan tidak tercapainya target jumlah yang diharapkan.

Hatchery adalah produk ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan mutakhir, yang perlu ditunjang keterampilan dan disiplin para pelaku/petugas di lingkungan hatchery tersebut, sehingga operasional hatchery sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang digariskan. Sebab, suatu produk teknologi jika tidak ditunjang sumber daya manusia yang terampil dan disiplin, akan mengalami kegagalan dan berakhir dengan kerugian yang tidak sedikit.

Perhatikan Isolasi Hatchery
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada isolasi di hatchery, yaitu layout bangunan, isolasi, kualitas telur, penyimpanan telur, ventilasi ruangan, sistem pembuangan sampah penetasan dan pengenalan desinfektan.

1. Layout bangunan Hatchery (hatchery design). Hatchery harus dirancang agar setiap aktivitas yang bisa dilakukan  di ruang yang berbeda seperti ruang seleksi dan grading telur, ruang colling, ruang setter, ruang hatcher dan ruang cuci, dengan tujuan menghindari pencemaran antara ruangan. Juga dirancang jalur masuk dan keluar bagi petugas/orang dan barang di tempat yang berbeda.
2. Isolasi. Hatchery harus terisolasi dari berbagai penyakit ayam (free disease) yang dibawa oleh manusia/petugas, maupun kendaraan dan barang dari luar, dengan cara melewati shower berdesinfektan. Orang yang masuk diwajibkan mengganti pakaian setelah melalui shower tersebut.
3. Kualitas telur (egg quality). Dimana telur yang tiba di hatchery perlu diseleksi ulang baik tingkat kekotorannya, bobot dan bentuknya. Telur yang kotor dan tidak masuk standar segera diafkir dari lingkungan hatchery (dikonsumsi atau dimusnahkan).
4. Penyimpanan telur (eggs storage). Dimana telur yang sudah diseleksi dan di-grading disimpan dalam ruang pendingin (colling room) dengan suhu 18°C (65°F) dan RH (kelembaban relatif) 75%, dengan tujuan menahan kehilangan berat telur secara drastis.
5. Ventilasi ruangan (room ventilation), perlu diatur sesuai dengan fungsi tiap ruangan, seperti pada Tabel 1 berikut.


Tabel 1: Kebutuhan Ventilasi, Suhu dan Kelembaban Tiap Ruang di Hatchery
Area
Kecepatan Ventilasi
Temperatur
Relative Humidity
(cfm/1.000)
(m3/jam/1,000)
°C
%
Penerimaan dan penyimpanan telur
1
1,7
18-20
60-65
Ruang setter
5
8,5
24-27
55-62
Ruang hatcher
16
27
24-27
55-62
Ruang penyimpanan DOC
16
27
22-24
85-70
Ruang pengambilan DOC dan ruang cuci
16
27
22-24
65-70
Ruang cuci peralatan
0
0
22-24
N/A
Lorong (hallway)
0
0
24
N/A

Sumber: Cobb Hatchery Management Guide, USA, 2002.

6. Pembuangan sampah hatchery. Dimana bila daya tetas (hatchability 85%), maka sampah yang harus dibuang sebanyak 15% berupa telur yang tidak menetas (unhatch), kerabang telur, DOC afkir dan bulu-bulu halus DOC. Sampah-sampah tersebut harus segera dibuang dari lingkungan hatchery ke tempat sampah sementara. Bulu-bulu kecil DOC dibersihkan dengan cara disedot menggunakan vaccum atau disemprot dengan power spray kemudian dilakukan sanitasi.
7. Pengenalan desinfektan. Seluruh staf hatchery harus melakukan penyimpanan, penanganan dan pencampuran desinfektan yang dibutuhkan secara benar sesuai dengan petunjuk. Hatchery Manager harus merespon dan benar-benar mengenal setiap bahan desinfektan dan setiap petugas mengerti cara penggunaannya. Untuk itu diperlukan Specific Training untuk staf, mengenai bagaimana menggunakan desinfektan yang benar. Desinfektan harus sudah memperoleh izin dari instansi pemerintah yang berwewenang (BPMSOH). Pada Tabel 2 berikut disajikan karakteristik berbagai desinfektan kimiawi yang dipergunakan di hatchery.


Tabel 2: Karakteristik Berbagai Desinfektan Kimiawi Hatchery
Karakteristik
Hypoclorit & Chlorin
Quaternary Ammonium
Phenol
Formal dehid
Iodophors
Glutaral-
dehide
Paracetic
Acid
Cairan
Gas
Bactericidal
+
+
+
+
+
+
+
+
Sporicidal
+
-
±
+
+
+
+
+
Fungicidal
±
±
+
+
+
+
+
+
Virucidal
±
±
±
+
+
+
+
+
Toxic animals & human

±

-

+

+

+

-

±

-
Activity with
Organic Matter
-
-


-
-
±
±
Detergency
-
+
-
-
-
-
-
-
Staining
-
-
±
-
-
+
-
-
Corrosive
±
-
±
-
-
-
-
±
Sumber: Cobb Hatchery Management Guide, USA, 2002.

Keterangan: + = Karakter Positif                         - = Karakter Negatif                ± = Karakter Variasi

Program Higiene Hatchery
Suatu kenyataan bahwa tindakan higiene di penetasan masih jauh dari yang diharapkan, oleh karena itu langkah-langkah berikut perlu diterapkan (Euribrid Netherland, 1984), antara lain:

1. Setiap tahun pekerja hatchery dan pekerja sexing DOC perlu diperiksa kondisi kesehatannya terutama paru-parunya untuk mengontrol ada tidaknya kuman Samonella. Bila terjadi kasus terdapat pekerja yang terkena “penyakit Influeza perut” maka perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan ekstra. Demikian pula karyawan/pekerja baru perlu diperiksa dahulu kondisi kesehatannya, jangan sampai menjadi “pembawa penyakit”.
2. Untuk menekan tingkat pencemaran maka wajib diterapkan sistem dan peraturan lalu lintas orang dan barang masing-masing satu jalur di ruang hatchery. Hindari lalu lintas silang.
3. Pintu-pintu di hatchery perlu selalu dalam kondisi tertutup.
4. Tembusan antara ruang inkubator (setter) dan ruang penetasan (hatcher) hanya dipakai untuk transfer (memindahkan) telur dan pintu selalu tertutup.
5. Sistem yang ideal adalah membagi hatchery menjadi tiga wilayah, dimana masing-masing wilayah memiliki warna pakaian dan sepatu pekerja yang berbeda.
6. Pada waktu memasuki hatchery baik pekerja maupun tamu wajib mandi, mengganti pakaian dan sepatu, serta mencuci tangan dengan cairan desinfektan.
7. Disetiap ruangan perlu tersedia fasilitas cuci tangan berdesinfektan dan lap/tisu sekali pakai.
8. Pakaian dan peralatan petugas sexer tidak boleh ikut terbawa keluar tempat tugasnya dan keluar-masuk wajib mandi dengan sabun antiseptik.
9. Setiap kali selesai suatu penetasan DOC maka tiap ruangan dibersihkan, dicuci dengan penyemprotan tegangan tinggi, serta didesinfeksi/fumigasi.
10. Kardus/boks DOC hanya boleh dipakai satu kali saja dan truk pengangkutnya harus didesinfeksi sebelum dimuat.
11. Hewan liar seperti anjing, kucing, tikus dan berbagai jenis serangga harus dicegah memasuki area hatchery.
12. Kantong pembungkus limbah hatchery harus memakai yang telah disediakan pihak hatchery sendiri, dilarang memakai pembungkus dari luar.
13. Telur yang dikirim ke hatchery harus didesinfeksi/difumigasi dulu di farm sebelum tiba di hatchery.
14. Lakukan vaksinasi Marek’s untuk DOC yang menetas dan sudah terseleksi.

Beberapa Peraturan Penting Desinfeksi
Diantara beberapa peraturan penting agar sanitasi dan desinfeksi  berhasil dengan baik, bisa dilakukan:

1. Pastikan bahwa semua peralatan sudah benar banar bersih.
2. Pergunakan deterjen dan desinfektan (lihat Tabel 2 diatas) yang cocok dengan tujuan sanitasi.
3. Bila memakai campuran deterjen dengan desinfektan (kombinasi), maka harus diyakini bahwa kombinasi tersebut tidak akan menambah efektivitas desinfektan.
4. Senyawa yang mengandung 25% Ammonium akan menjadi in-aktif apabila tercampur dengan residu sabun yang kontras dengan senyawa Chlorida.
5. Bacalah petunjuk yang ada pada kemasan desinfektan dan ikutilah dalam penggunaannya, seperti kadar kepekatan/konsentrasi, suhu, kelembaban dan lamanya waktu penggunaannya.
6. Perhatikan tindakan pengamanan bagi petugas seperti keharusan penggunaan masker, sarung tangan, topi, sepatu dan kacamata.
7. Gunakan sabun alkali untuk mencuci tangan.
8. Hindari pencemaran ulang (rekontaminasi).

Demikianlah sekilas tentang sanitasi di hatchery yang penting diketahui para pelaku perunggasan, sehingga bisa menambah wawasan menuju profesionalisme serta modernisasi khasanah perunggasan Indonesia. (SA)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer